Sabtu, 17 Januari 2009

Kearifan Lingkungan Ada di Candi Borobudur


Oleh: Bambang Budi Utomo


Wuga pu Mangneb menetapkan daerah bebas pajak berupa
sawah dan kebun di desa Kamalagi....

Itulah sepenggal kalimat yang dituliskan pada Prasasti Kamalagi dari tahun 821 Masehi. Masih banyak lagi sistem pertanian sawah yang disebutkan dalam prasasti yang ditemukan di daerah Jawa Tengah itu. Prasasti tidak hanya menyebutkan sawah, tetapi juga organisasi sosial yang berkaitan dengan pengelolaan area persawahan. Dari prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa, khususnya Jawa Tengah di sekitar daerah lereng dan kaki gunung api, dapat diketahui bahwa sistem pertanian ini merupakan sistem pertanian yang berkesinambungan.

Sawah merupakan bidang tanah yang paling berharga pada zaman Kerajaan Mataram Kuno karena merupakan sumber penghasilan kerajaan pada waktu itu. Dari petak sawah dihasilkan pajak. Dari sawah itu pula dapat diketahui bagaimana sistem birokrasi suatu kerajaan mulai dari desa hingga pusat pemerintahan. Dalam pengelolaan sawah dapat dikatakan cukup rumit karena melibatkan banyak orang dan memerlukan suatu organisasi sosial.


Organisasi sosial


Mengelola areal persawahan tidaklah mudah. Pengelolaannya memerlukan suatu organisasi sosial yang telah mantap. Pada saat ini mungkin dapat disamakan dengan organisasi sosial subak di Bali. Prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja pada zaman Jawa kuno menyebutkan adanya organisasi pemerintahan pada sebuah desa.

Prasasti Tulang Air dari abad ke-9 Masehi yang ditemukan di daerah Temanggung menyebutkan sebuah pemerintahan desa dengan pejabat-pejabatnya, seperti patih, gusti, kalima, wariga, tuha wanua, huluair, tuhalas, makalangkang, pituntun, dan hulu wras. Beberapa jabatan itu berkaitan dengan pertanian sawah.

Wariga, misalnya, adalah pejabat desa ahli perbintangan yang bertugas menentukan kapan waktunya menanam padi. Huluair adalah pejabat desa yang bertugas mengatur irigasi untuk persawahan. Makalangkang adalah pejabat desa yang bertugas mengurusi lumbung desa, dan tuhalas adalah pejabat desa yang mengurusi hutan (semacam mantri kehutanan).

Adanya organisasi sosial yang mantap, ditambah lagi dengan suburnya tanah, menjadikan pertanian dengan sistem sawah dapat berkesinambungan. Bukti berkesinambungannya sistem pertanian sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno (abad ke-8 Masehi) hingga sekarang masih ditemukan di dataran lembah aliran Sungai Progo.

Di wilayah Kabupaten Temanggung dan Magelang banyak ditemukan tinggalan budaya masa lampau di tepi desa yang dikelilingi areal persawahan dengan irigasi. Tinggalan budaya itu ada yang berupa sisa bangunan candi, arca, dan ada pula yang berupa prasasti.

Antara desa sekarang, tinggalan budaya, dan areal persawahan mempunyai suatu keterkaitan. Desa yang ada sekarang ini diduga merupakan kelanjutan dari desa yang sudah ada sejak zaman Mataram Kuno, misalnya Kedu, Meteseh (dahulu Mantyasih), Kyubungan (dahulu Kayumwungan), dan Pikatan. Desa-desa ini masih ditemukan di wilayah Kabupaten Temanggung.

Bukti-bukti arkeologis menguatkan dugaan bahwa sistem pertanian sawah telah ada sejak zaman dulu. Pada relief Candi Borobudur yang berasal dari abad ke-9 Masehi, dalam rangkaian cerita Awadana dan Jataka, terdapat relief yang menggambarkan seorang petani sedang membajak sawah. Tangan kirinya memegang tangkai bajak yang ditarik sepasang kerbau/sapi. Tangan kanannya memegang kayu untuk menghalau kedua ternak tersebut.

Relief ini membuktikan bahwa di sekitar Candi Borobudur terdapat kelompok masyarakat yang hidup dari tanah-tanah pertanian sawah. Tidak mungkin seniman yang memahatkan relief tersebut menggambarkan sesuatu tanpa melihat visualnya.

Pertanian dengan sistem sawah irigasi makin lama terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Kalau pada zaman Mataram Kuno pengairan diperoleh dari sungai yang ada di dekat areal persawahan, pada zaman Airlangga di Jawa Timur sudah lebih maju lagi. Prasasti Harinjing dari tahun 921 Masehi, yang ditemukan di Pare (Kediri), menyebutkan tentang penggalian Sungai Harinjing untuk kepentingan pengairan sawah dan penanggulangan bahaya banjir. Begitu juga Prasasti Kamalagyan dari tahun 1037 Masehi yang dikeluarkan oleh Airlangga menyebutkan tentang pembangunan dawuhan (pintu air) di Waringin Sapta untuk keperluan pengairan sawah.

Relief-relief pada dinding candi-candi di Jawa Timur banyak yang menggambarkan desa yang dikelilingi oleh areal persawahan. Di lingkungan desa tersebut juga terdapat sungai kecil dengan titiannya, yang mengalir ke daerah persawahan yang ada di tepian desa. Ada juga adegan yang menggambarkan penduduk desa sedang memanen padi di sawah.


Penataan Borobudur


Dengan menumpang ketenaran Borobudur, sebuah rencana ambisius dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi yang membawahi kawasan itu bermaksud membuat segala macam kegiatan di sekitar Borobudur. Kedengarannya baik, yaitu melakukan penataan lingkungan sekitar Borobudur.

Sebut saja Festival Borobudur 2004, pusat perbelanjaan Jagat Jawa, dan yang terakhir adalah penyelenggaraan Borobudur Concert (23 April 2005). Pembangunan Jagat Jawa urung dilakukan, sementara Borobudur Concert tetap jalan terus sambil menutup mata dan telinga dari serangan protes nasional dan internasional.

Kini, sebenarnya ada hal yang dilupakan oleh penata lingkungan Borobudur, yaitu mengenai keberadaan areal persawahan. Beberapa puluh tahun yang lampau, ketika Taman Purbakala Candi Borobudur belum dibangun, di daerah sekitar Borobudur masih ditemukan areal persawahan. Pada saat ini areal tersebut telah banyak berkurang. Sebagai gantinya dibuat terminal angkutan umum, pasar, dan berbagai fasilitas wisata.

Sebuah desa di sekitar Borobudur dan juga desa-desa lain dikelilingi oleh areal persawahan yang hijau ketika masih tumbuh, dan kuning ketika siap dipanen. Pemandangan seperti itu kini sudah langka. Petani yang membajak sawah dengan menggunakan kerbau sudah sulit dijumpai. Dalam usaha penataan lingkungan, pemandangan Borobudur dengan areal persawahan sebaiknya tidak dihilangkan, karena areal itu juga merupakan monumen yang juga harus dilestarikan. Dengan demikian, Candi Borobudur, desa, areal persawahan, serta sungai merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Bambang Budi Utomo Kerani Rendahan pada Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional

(Sumber: Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar