Rabu, 18 Maret 2009

Fenomena Sangiran: Warisan Dunia dalam Cengkeraman 'Raja Kecil'


Sangiran adalah satu-satunya situs manusia purba terlengkap di Indonesia yang sangat unik dan menarik, terutama dalam kaitannya mengungkap asal-usul kehidupan masa lampau. Eksistensi situs ini telah menjadikan ajang dan lahan penelitian yang dilakukan oleh para pakar/peneliti dari mancanegara maupun dalam skala nasional secara terus-menerus sampai sekarang. Permasalahan dan beda pendapat serta berbagai argumentasi tentang situs ini tampaknya sudah menjadi santapan sehari-hari dalam ‘debat ilmiah’ yang dilakukan oleh para ahli, sehingga kemudian menimbulkan polemik berkepanjangan.

Berbagai seminar, pertemuan ilmiah, kolokium dan semacamnya sudah pernah dilakukan untuk membahas persoalan tentang Situs Sangiran, namun oleh para ahli hasilnya dirasakan masih kurang memuaskan; oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila ada seorang pakar yang berkomentar bahwa Situs Sangiran ini merupakan ‘lahan penelitian tanpa akhir’.



Sangiran merupakan salah satu situs prasejarah yang tidak pernah ‘sepi’ dari kasus. ‘Kasus Sangiran’ yang sangat umum dikenal adalah ‘perdagangan fosil’ yang tampaknya sudah dimulai dan dirintis sejak masa Kolonial yang dipelopori sendiri oleh Kepala Desanya pada waktu itu. Kemudian pada sekitar pertengahan tahun 1990-an muncul ‘Kasus Tyller’ yang sangat menggegerkan dunia ilmu pengetahuan (paleoantropologi).

Polemik dan debat ilmiah tentang Situs Sangiran yang dilakukan oleh para ahli tampaknya sudah menjadi hal yang biasa, namun baru-baru ini muncul suatu ‘kasus baru’ yang sangat spektakuler sehingga sangat meresahkan para pakar dan pemerhati situs ini. ‘Kasus baru’ yang diekpose secara berlanjut oleh berbagai media cetak dan elektronik ini berkaitan dengan dibangunnya ‘menara pandang’ (untuk konsumsi pariwisata) yang berada di atas lahan situs utama (di Desa Ngebung) serta rencana ‘tempat pembuangan sampah akhir’ (di Desa Dayu) yang masih termasuk dalam kawasan “World Heritage’ dan secara nasional telah dilindungi oleh UU Cagar Budaya No.15/1992.

Secara yuridis, sangatlah jelas bahwa pembangunan tersebut telah menyalahi hukum dan melanggar undang-undang yang telah ditetapkan; namun dilain pihak hal ini menyangkut kewenangan Pemda setempat (Otonomi Daerah) dalam mengelola wilayahnya. Arogansi kekuasaan (yang ditangani oleh Bupati) di daerah inilah yang menyebabkan adanya kesan kurang enak di kalangan masyarakat dan terutama para ilmuwan, sehingga sekarang ini muncul suatu istilah atau anekdot tentang adanya ‘Raja-Raja Kecil’ yang dengan bebas memaksakan kehendaknya tanpa koordinasi dengan Pusat atau Instansi terkait lainnya.

Dan kini, Sangiran yang terkenal sebagai situs manusia purba dunia atau ‘lahan penelitian tanpa akhir’ bagi para peneliti tersebut mungkin akan mengalami ‘nasib lain’ setelah ditangani oleh Pemda setempat. Ketetapan, Keputusan, Undang-Undang dan semacamnya (baik yang bersifat nasional maupun internasional), sekarang ini mungkin hanya akan berfungsi sebagai ‘symbol’ saja dalam pelaksanaan Otonomi Daerah (Otoda). Sementara kalangan internasional menganggap situs ini sebagai salah satu warisan dunia yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya, sedangkan ‘Raja-Raja Kecil’ mungkin berpandangan lain dan menganggap situs ini tak lebih dari ‘bak sampah’. Sungguh sangat ironis dan menyedihkan! [Jatmiko]

(Sumber: indoarchaeology.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar