Sabtu, 07 Maret 2009

"Melacca Strait Dream" Merasuki Singapura


Oleh: Bambang Budi Utomo

"Barangsiapa yang dapat menguasai Selat Melaka, dialah yang memegang kendali perdagangan Venesia".

KUTIPAN di atas adalah penggalan kalimat yang bersumber dari catatan para "pengelana" Portugis tahun 1536 mengenai pentingnya Selat Melaka bagi perdagangan internasional. Pernyataan inilah yang di masa lampau menjadi impian berbagai bangsa untuk dapat menguasai selat yang penting ini.

BERMULA dari kecemasan Singapura atas keamanan Selat Melaka dari bahaya perompak laut dan infiltrasi teroris, isu menyangkut peran penting kawasan ini kembali mencuat. Kecemasan ini dapat dipahami karena telah banyak kejadian kapal yang melayari selat ini mendapat gangguan dari perompak, para lanun, dan bahkan yang terakhir sebuah kapal dan anak buah kapal (ABK)-nya disandera kelompok Gerakan Aceh Merdeka. Karena itulah negara kecil ini berniat mengundang Amerika Serikat untuk ikut serta menjaga keamanan selat.


Selat Melaka dan bandar

Membentang dari barat laut ke tenggara sepanjang 778 kilometer dan lebar 2-100 km, Selat Melaka adalah jalan utama yang menghubungkan antara Timur dan Barat. Sekitar 400 pelabuhan dan 700 kapal dari seluruh penjuru dunia pada saat ini bergantung pada selat ini, yang menjadi jalan utama sejak masa awal peradaban manusia di Nusantara.

Ramainya pelayaran dan perdagangan melalui selat ini melahirkan tempat-tempat persinggahan yang kemudian menjadi pelabuhan. Di daratan Semenanjung Tanah Melayu timbul Pelabuhan Langkasuka, Kedah (Lembah Bujang), dan Melaka, sedangkan di Sumatera lahir Pelabuhan Lamuri (Aceh), Pasai, Pidie, dan Kota Cina (Medan). Semua pelabuhan ini pernah berjaya pada sekitar abad ke-13 sampai abad ke-15 Masehi. Pasai kemudian menjadi pusat kerajaan, kemudian disusul Aceh setelah kejatuhan Melaka ke tangan Portugis.

Sejak awal tarikh Masehi, di kawasan sekitar Selat Melaka, baik yang ada di pantai timur Sumatera maupun yang ada di pantai barat Semenanjung Tanah Melayu, telah hadir pedagang-pedagang dari berbagai penjuru dunia. Di antara pedagang itu, yang kuat peranannya adalah pedagang Tamil. Prasasti-prasasti Tamil-baik yang ditemukan di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu maupun di TaƱjore (India)-menginformasikan bahwa pada sekitar abad ke-11 Masehi telah ada organisasi pedagang Tamil, misalnya Ainnuarruvar atau disebut sebagai "Yang kelima ratus dari seribu arah". Kumpulan para pedagang ini, melalui perserikatannya, menarik bermacam pajak dari anggotanya untuk diberikan sebagai upeti kepada Raja Cola. Sebagai imbalannya, Raja Cola memberikan perlindungan kepada mereka dalam menjalankan aktivitas dagangnya di seluruh penjuru dunia.

Sebagai penguasa selat, Sriwijaya merasa berhak untuk menarik pajak dari para pedagang yang melalui Selat Melaka, tidak terkecuali para pedagang Tamil. Mungkin karena pajak yang ditarik terlampau tinggi, maka para pedagang ini yang merasa telah memberikan upeti kepada Cola melaporkannya kepada Raja Cola sebagai pelindungnya. Kesewenangan penguasa Sriwijaya menimbulkan kemarahan Raja Cola sehingga ia mengirimkan tentaranya untuk menyerbu Sriwijaya. Serangan terhadap Sriwijaya dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1017 dan tahun 1025. Akibat serangan ini Sriwijaya menjadi lemah dan berbagai penguasa selat datang silih berganti.

Sriwijaya telah lama runtuh, namun pelayaran dan perdagangan yang berlalu-lalang di Selat Melaka semakin ramai. Kemudian siapa yang "berhak" atas kuasa Selat Melaka pada sekitar abad ke-15?

Pada sekitar abad ke-15, perdagangan di Asia Tenggara dikuasai oleh para pedagang Muslim. Sementara itu, para pedagang Eropa mulai menyebar ke seantero jagat untuk mencari tanah baru dan hasil bumi/tambang yang laku dijual di Eropa. Pada masa itu pusat perdagangan di Eropa yang penting adalah Venesia. Pedagang-pedagang dari Eropa ini juga melalui Selat Melaka.

Pada awal abad ke-15, di suatu tempat di pantai barat Semenanjung Tanah Melayu, timbul sebuah permukiman nelayan yang kemudian berkembang menjadi sebuah bandar penting. Permukiman baru ini di kemudian hari dikenal dengan nama Melaka. Konon, menurut Sejarah Melayu, bandar ini dibangun oleh Parameswara, seorang bangsawan wong Palembang yang datang dari Bukit Siguntang.

Parameswara yang setelah memeluk Islam (1414) bernama Mergat Iskandar Syah dan penggantinya mengeluarkan kebijakan untuk membangun Melaka. Kebijakan itu antara lain: (1) memberikan upeti kepada Siam yang pada waktu itu kedudukannya cukup kuat agar tidak menyerang Melaka dan mengimpor bahan makanan dari Siam; (2) menjalin persahabatan dengan Kaisar Yung Lo (1403-1423) yang berkuasa di China, dan China mempunyai armada laut yang kuat; (3) membuat perjanjian dengan kerajaan-kerajaan penghasil timah di sekitar Melaka agar dapat menjual timahnya melalui Melaka; (4) memberantas para lanun yang biasa beroperasi di perairan Selat Melaka agar para pelaut/pedagang merasa aman; dan (5) menciptakan Undang- Undang Melaka di mana di dalamnya juga tercantum ketentuan-ketentuan kelautan, termasuk tugas dan peranan nakhoda, tugas ABK, dan petunjuk keselamatan dalam kapal.

Melaka dapat maju karena volume perdagangan dan lalu lintas kapal di Selat Melaka memang padat. Dengan demikian, siapa yang dapat menaklukkan Melaka dia akan dapat menguasai perdagangan internasional. Ketika Portugis menguasai Melaka (1511), negara ini banyak mendapat serangan dari kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, misalnya serangan dari Aceh dan Demak yang dipimpin oleh Pati Unus. Demikian juga kedatangan Belanda yang juga bermaksud menguasai Melaka.

Di samping Melaka, ada juga kerajaan-kerajaan kecil lain di Tanah Semenanjung yang juga ikut mengamankan Selat Melaka. Akan tetapi, kekuatan mereka tidak seberapa besar sehingga kegiatan perompakan di laut masih terjadi. Kejadian ini terus berlanjut sampai datangnya Inggris di Pulau Singapura dan Pulau Pinang. Meskipun Inggris tidak menguasai Melaka, namun ia menguasai dua pulau di "mulut" selat, yaitu Singapura dan Pinang. Kapal- kapal yang hendak melalui Selat Melaka dipaksa untuk singgah di Singapura dan Pinang. Akibat tindakan Inggris ini, lama kelamaan Melaka menjadi sepi dan bangkrut. Peranannya diambil alih oleh Kerajaan Aceh di ujung baratlaut Sumatera.

Inggris-dan juga Spanyol- pada masa itu mempunyai kekuatan laut yang besar. Logikanya, mereka tentu saja dapat mengamankan Selat Melaka dengan kekuatan lautnya. Namun yang terjadi tidak demikian. Gangguan perompak lanun masih saja terjadi dan ini terus berlangsung hingga sekarang. Kalau Inggris kuat, tentunya sejak dikuasai Inggris Selat Melaka sudah aman.


Dalam konteks kekinian

Dimulai dari kejatuhan Afganistan yang diembuskan sebagai sarang teroris, kemudian kejatuhan rezim Saddam Hussein di Irak. Meskipun kedua negara tersebut telah jatuh ke Amerika Serikat dan sekutunya, namun biang keladi terorisme yang dikenal dengan nama Osama bin Laden dengan Al Qaeda-nya hingga sekarang belum tertangkap. Beberapa kemungkinan di negara mana "buronan" ini berlindung dikemukakan. Mungkin salah satu tempat yang layak untuk timbulnya terorisme adalah di negara kawasan sekitar Selat Melaka. Alasannya, di negara sekitar selat tersebut hukum dan penegakannya masih lemah.

Akibat dari pemikiran itu, Singapura merasa terancam karena Singapura adalah negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Indonesia dan Malaysia hingga saat ini tidak ada hubungan diplomatik dengan Israel. Seperti telah diketahui bahwa yang menjadi sasaran teroris adalah Israel dan negara-negara yang berhubungan dengan Israel. Dalam menyikapi ancaman ini, strategi yang mungkin akan dilakukan Singapura adalah mengundang kekuatan asing. Kalau perlu di Singapura dibangun pangkalan militer.

Masalah keamanan Selat Melaka sangat merisaukan Singapura karena mulai dari Pulau Pisang di tenggara hingga ke barat laut sudah berada di daerah perairan Malaysia dan Indonesia bukan di perairan Singapura. Singapura merasa risau karena mereka menganggap para teroris yang hendak mengacaunya dapat saja melalui Selat Melaka. Akibat dari ketidakamanan Selat Melaka, dengan sendirinya kapal yang singgah di Singapura menjadi berkurang. Tentu saja akan berdampak pada perekonomian. Sementara itu Singapura tidak dapat bertindak apa-apa karena bukan di wilayah perairannya.

Kerisauan Singapura tidak mempunyai alasan yang kuat, bahkan lebih cenderung melecehkan kekuatan laut Malaysia dan Indonesia. Kalau mau risau, mengapa Singapura tidak memikirkan keamanan perairan yang ada di sebelah timurnya, yaitu perairan Laut China Selatan. Dalam hal ini Singapura merasa perairan Selat Melaka sebagian berada di wilayahnya dan sekaligus merasa kekuatan lautnya cukup memadai untuk mengawasi perairan itu. Kalau memang ada teroris yang hendak mengacau dan mengundang kekuatan asing untuk mengamankannya, dapat saja tindakan ini malah mengundang para teroris tersebut untuk mencoba mengacau.

Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa pemecahan masalah keamanan di perairan selat harus dilakukan oleh kerajaan-kerajaan di sekitar selat itu. Tidak bisa kekuatan dari luar yang mengatasinya. Ini berarti, apabila Singapura mengundang kekuatan asing untuk mengamankan selat, maka ia sekaligus mengundang masalah yang akan jauh lebih besar daripada masalah keamanan selat itu sendiri. Pemecahan masalah ala Singapura ini mungkin dapat disamakan dengan kehadiran Kerajaan Cola di Selat Melaka, di mana pihak pengundangnya adalah para pedagang Tamil yang bergabung dalam Ainnuarruvar alias "Yang kelima ratus dari seribu arah".

Dalam upaya pengamanan Selat Melaka, marilah kita melihat ke masa lampau bagaimana para penguasa mengelola selat itu, dan kita lihat alam budaya Melayu. Ada baiknya kita mengambil dan memanfaatkan Festival Budaya Melayu yang tahun lalu mengambil tema "Revitalisasi Budaya Melayu". Revitalisasi Budaya Melayu hendak menghidupkan kembali sesuatu yang pernah ada, tetapi sudah lama dilupakan masyarakat. Upaya merevitalisasi budaya Melayu tidak lain memberi pemaknaan kembali atau mereposisi kebudayaan Melayu dalam konteks kekinian. Di sini saya melihat dalam konteksnya dengan pengamanan Selat Melaka di mana termasuk dalam lingkung budaya Melayu, berarti bahwa untuk menanggulangi keamanan selat seyogianya dilakukan dengan pendekatan ala Melayu dan dilakukan juga oleh orang- orang Melayu.

Memang suku Melayu yang sebagian besar mendiami Riau Kepulauan seolah-olah tercerai-berai oleh laut dan selat. Otto Sumarwoto dalam tulisannya di Kompas menggarisbawahi bahwa laut bukan sebagai pemisah, tetapi pandanglah sebagai pemersatu. Meskipun suku Melayu menempati pulau, tetapi mereka masih saudara serumpun, apalagi bangsa Melayu dikatakan sebagai bangsa pelaut.

Festival Melayu yang setiap tahunnya diadakan di Riau mungkin dapat dijadikan ajang mengikat tali persaudaraan di antara bangsa serumpun. Melalui diskusi yang intensif yang membahas berbagai persoalan di antara sesama bangsa serumpun, diharapkan dapat dipecahkan masalah keamanan Selat Melaka.

Diskusi tidak hanya berakhir sampai akhir seminar, tetapi hendaknya sampai diimplementasikan dalam bentuk aksi/tindakan yang positif. Perbaikan moral dan penegakan hukum perlu diutamakan. Kehadiran para birokrat di festival tersebut hendaknya dapat dijadikan jembatan untuk menelurkan suatu kebijakan yang bermanfaat dan operasional.

Bambang Budi Utomo
Kerani Rendahan pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

(Sumber: Kompas, Selasa, 31 Mei 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar