Kamis, 05 Maret 2009

Nenek Moyang Kita Lebih Arif dalam Menyikapi Lingkungan


Oleh: Bambang Budi Utomo

Hujan, banjir bandang, tanah longsor, dan tanah retak, itulah yang mewarnai Pulau Jawa pada musim ini. Hujan adalah anugerah dari Allah yang wajib kita syukuri, tetapi tiga yang lain dapat dikatakan ulah manusia yang semena-mena terhadap lingkungannya.

Masalah tersebut memang sudah lama dialami manusia. Dari pengalaman itulah mereka belajar bagaimana mengelola lingkungan dengan arif. Bagi nenek moyang kita, masalah ini bukan merupakan hal baru. Mereka mempunyai kearifan tersendiri dalam mengelola lingkungannya.

Sejumlah prasasti dan naskah kuno yang membicarakan lingkungan hidup banyak dikeluarkan oleh raja yang berkuasa pada masa itu. Prasasti pertama yang memberitakan pengelolaan lingkungan adalah Prasasti Tugu yang dikeluarkan Purnawarmman dari Tarumanagara pada abad V Masehi. Di dalam prasasti itu diberitakan penggalian dua saluran, yaitu Candrabhaga dan Gomati. Candrabhaga digali melalui keraton untuk mengalirkan air ke laut, Gomati digali melalui tempat tinggal nenek raja.

Para pakar menduga bahwa pusat pemerintahan Tarumanagara terletak di daerah Tugu, Cilincing, Jakarta Utara, saat ini. Kalau betul dugaan tersebut, tentunya keraton terletak di daerah rendah yang sering terkena banjir ketika musim hujan. Penggalian saluran dilakukan pada sekitar Februari-April, di mana pada bulan tersebut adalah bulan setelah musim hujan. Daerah rawa sedang tergenang air yang mungkin cukup dalam dan luas, serta air tidak dapat mengalir ke laut. Karena itulah, Purnawarman memerintahkan penggalian saluran.

Bukan saja Purnawarman yang dipusingkan masalah banjir. Lima abad kemudian, Raja Airlangga dari Kerajaan Kadiri juga dipusingkan masalah banjir, sebagaimana diberitakan dalam Prasasti Kamalagyan (1037 M).

Biang keladi dari masalah banjir yang selalu menimpa wilayah kerajaannya adalah Bengawan (Brantas) yang sering kali membanjiri daerah sekitarnya. Akibat dari banjir tersebut, sumber penghasilan kerajaan dari sektor pajak menjadi berkurang. Sebelumnya penduduk mungkin secara swadaya membuat tanggul-tanggul, tetapi kurang kokoh sehingga berkali-kali jebol dan banjir menggenangi daerah hilirnya. Banyak sawah dan desa yang tergenang air. Karena itulah, raja mengerahkan rakyatnya untuk kerja-bakti membuat bendungan di Waringin Sapta.

Bendungan yang dibangun secara ”nasional” itu demikian kokoh dan kuat sehingga terbendunglah aliran sungai (Brantas). Kini sungai tersebut alirannya dipecah menjadi tiga ke arah utara. Daerah-daerah sekitarnya tidak kebanjiran, hasil sawah menjadi berlipat, dan sumber penghasilan kerajaan dari sektor pajak bertambah.

Untuk menjaga kelestarian bendungan Waringin Sapta, Airlangga memerintahkan penduduk Desa Kamalagyan untuk tinggal di dekatnya dengan tugas menjaga supaya jangan ada yang menghancurkan karya besar itu. Kompensasinya, pajak yang mereka harus setorkan kepada kas kerajaan dihapus dan dialihkan untuk pemeliharaan bendungan.


Sistem waduk

Jagonya pengelolaan air di masa lampau adalah Kerajaan Majapahit. Bekas kota di kerajaan ini, sebut saja Trowulan di Mojokerto, dipenuhi oleh gorong-gorong yang dibuat dengan konstruksi bata, parit-parit, serta beberapa waduk.

Pada awalnya Majapahit memang dibangun dengan cara membuka hutan di daerah Trik oleh Raden Wijaya. Namun karena arealnya merupakan wilayah dengan musim kemarau yang panjang, jauh dari sungai besar, dan peradabannya yang tumbuh memerlukan aktivitas penggundulan hutan, maka berubahlah menjadi daerah gersang seperti sekarang ini.

Raja tidak tinggal diam. Ia membangun waduk-waduk, dam, serta kolam buatan dengan saluran dan parit-parit penghubungnya. Waduk-waduk yang masih tersisa hingga sekarang, misalnya waduk Domas di timur kota Majapahit, waduk Kumitir di sebelah selatan, dan waduk Baureno di sebelah tenggara.

Dari waduk Kumitir air dialirkan ke kolam Segaran melalui saluran yang dibuat dari bata. Kemudian, dari Segaran, air dialirkan ke arah utara yang tempatnya lebih rendah.

Segaran adalah kolam artifisial yang dindingnya dibuat dengan konstruksi bata. Di mana letaknya? Bila Anda memasuki Desa Trowulan, pada jarak sekitar dua kilometer ke arah selatan dari pertigaan jalan Mojokerto-Jombang, di tepi sebelah timur tampak kolam besar yang dindingnya dibuat dari bata. Itulah kolam yang dikenal dengan nama Segaran. Kolam ini pertama kalinya ditemukan oleh Maclaine Pont (1926), yang ketika itu sedang menekuni pencarian reruntuhan kota Majapahit. Konon, menurut cerita penduduk, kolam Segaran dipakai untuk membuang piring emas setelah raja Majapahit menjamu tamu yang diundang makan.

Desa Trowulan yang dipercaya sebagai bekas salah satu kota Majapahit, di dalam tanahnya pun banyak terdapat saluran air. Saluran ini menghubungkan dari satu kolam/waduk ke kolam/waduk lain. Di beberapa tempat terdapat semacam lubang untuk mengontrol. Hingga saat ini beberapa saluran air masih mengalirkan air dan dimanfaatkan penduduk untuk mengairi sawahnya.


Menebang pohon

Hutan, banjir, dan kekeringan saling berkaitan. Penggundulan hutan tentu saja mendatangkan bencana. Keadaan seperti ini disadari atau tidak telah menjadi pemikiran penguasa Majapahit. Pada zaman Majapahit dikenal adanya Undang-Undang Agama, yang isinya mengatur segala peri kehidupan penduduknya.

Dalam undang-undang tersebut diatur hukuman dan denda yang dikenakan kepada orang yang bersalah. Perlindungan terhadap lingkungan hidup tersirat dan tersurat dalam undang-undang itu.

Dalam Pasal 82 antara lain disebutkan: ”Barang siapa menebang kayu silunglung di luar pengetahuannya, namun tidak diambil, dendanya dua tahil. Jika hal itu terjadi di luar pengetahuannya, namun diambil, dendanya empat tahil. Barang siapa menebang kayu silunglung dengan sengaja, wajib membayar dua kali lipat harganya. Barang siapa menebang sembarangan kayu milik orang lain, dengan paksa, didenda empat tahil.”

Zaman Majapahit orang tidak boleh menebang pohon sembarangan, apalagi pohon milik kerajaan. Sebagai contoh, pada Pasal 92 antara lain disebutkan: ”Barangsiapa menebang pohon milik orang lain tanpa izin pemiliknya, dikenakan denda empat tahil oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa. Pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat.”


Konteks kekinian

Memang, kita harus banyak belajar dari kearifan nenek moyang dalam menyikapi lingkungan alam tempatnya hidup. Penebangan hutan dan pohon secara semena-mena demi mendapatkan keuntungan, pada akhirnya akan merugikan orang lain. Rupanya orang di zaman Tarumanagara (abad V), Kadiri (abad X-XI), dan Majapahit (abad XIV) jauh lebih arif dibandingkan dengan orang modern sekarang ini.

Kalau dikatakan para nenek moyang itu berbudaya, memang benar adanya. Mereka punya aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi, yang terdiri atas serangkaian model- model kognitif yang digunakan secara selektif sesuai lingkungan alam yang dihadapinya. Pemikiran ini merupakan sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, dan sesuatu yang dapat menyelamatkan atau bahkan mencelakakan. Semua ini dapat terjadi karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang bersumber pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang dimiliki oleh setiap manusia.

Kalau pada zaman lampau yang berkuasa adalah raja, maka sekarang adalah presiden, gubernur, dan bupati. Dulu, raja mempunyai kekuasaan penuh tetapi dia berpegang kepada Asta Brata, yang salah satu di dalamnya harus mengayomi rakyat. Dengan demikian, secara moral kekuasaanya ”dibatasi” oleh ajaran moral tadi. Rakyat dalam kerajaan punya etika di mana mereka masih mendengarkan apa kata junjungannya dan apa yang tertulis dalam undang-undang kerajaan. Dalam mengelola lingkungan, pada masa kini para petinggi yang pada hakikatnya memegang amanah rakyat, seharusnya mampu mencegah kerusakan hutan dan sudah seharusnya memberikan kenyamanan pada rakyat yang memberinya amanah.

Raja Purnawarmman mampu mengatasi banjir dengan cara membuat kanal. Mengapa Gubernur DKI Jakarta tidak mampu menanggulanginya?

Dalam hal perlakuan terhadap pohon (pelindung), mengapa orang dulu lebih arif dan taat menjalankan aturan kerajaan? Di Jakarta, Pemerintah DKI menebang pohon-pohon pelindung demi keperluan pembuatan jalan. Di sudut kota yang lain, seorang ketua RT di perumahan elite memerintahkan menebang pohon pelindung demi untuk membuat taman yang ditanami dengan tanaman perdu.

Kita telah mempunyai undang-undang lingkungan hidup, serta perangkat peraturan daerah mengenai penghijauan. Apakah undang-undang dan peraturan itu dibuat untuk dilanggar? Semoga kita dapat belajar dari nenek moyang dalam mengelola lingkungan hidup.

Bambang Budi Utomo Kerani
Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional

(Sumber : Kompas, Sabtu, 21 Januari 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar