Oleh: Djulianto Susantio
Hari lahir Jakarta pada 22 Juni 1527, sebagaimana yang dirayakan selama ini, didasarkan atas penelitian Prof Soekanto (Dari Djakarta ke Djajakarta, 1954). Pendapat ini kemudian disahkan oleh Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja dengan Surat Keputusan tertanggal 23 Februari 1956. Soekanto sendiri sebenarnya masih meragukan hasil tersebut.
“Sayang sekali harinya yang sungguh-sungguh, kita tidak dapat menemukannya, sedangkan tahunnya agak pasti diketahui berkat hasil penyelidikan ahli-ahli sejarah,” begitu tulisnya.
Penelitian Soekanto berlandaskan pada penafsirannya bahwa pada 21 Agustus 1522 diadakan perjanjian persahabatan antara Portugis dengan Raja Sunda untuk mendirikan benteng di Kalapa (Sunda Kelapa). Kemudian pada 1526 datang sepasukan armada Portugis untuk membangun benteng itu. Sesudah ekspedisi diselesaikan pada akhir 1526, armada Portugis berlayar ke Sunda.
Karena diterjang badai, sebagian pasukan terdampar dekat Kalapa. Pada saat bersamaan, Kalapa baru saja dikuasai tentara Muslim pimpinan Faletehan. Rupanya Faletehan menganggap armada Portugis adalah musuh besar sehingga semuanya dibunuh. Kemudian Faletehan merebut kota ini dari kekuasaan Raja Sunda, sahabat orang Portugis tersebut.
Atas dasar beberapa data sejarah itulah Soekanto mengutak-atik bahwa pembunuhan oleh Faletehan dilakukan pada awal Maret 1527. Berkat kemenangannya itu Faletehan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (=kemenangan yang sempurna).
Soekanto kemudian berupaya mencari tahu kapan peristiwa itu terjadi. Dalam analisisnya dia menggunakan penanggalan Islam, bukan penanggalan Hindu-Jawa seperti yang digunakan para pakar sebelumnya. Akhirnya berdasarkan pranatamangsa, yakni penanggalan yang ada hubungannya dengan pertanian, Soekanto menyimpulkan bahwa nama Jayakarta diberikan pada “tanggal satu mangsa kesatu”, yaitu pada 22 Juni 1527. Tanggal itu berhubungan erat dengan masa panen.
Namun pendapat Soekanto itu kemudian mendapat tentangan dari Prof Hoesein Djajadiningrat. Dalam artikelnya “Hari Lahirnja Djajakarta” (Bahasa dan Budaya, V (1), 1956:3-11), Hoesein meragukan tanggal tersebut. “Apa ‘tanggal satu mangsa kesatu’ tahun 1527 jatuh pada 22 Juni seperti tahun 1855?” begitu pendapatnya.
Menurut Hoesein, perhitungan tahun yang terdiri atas 12 mangsa untuk keperluan petani adalah berdasarkan peredaran bintang Weluku dan bintang Wuluh. Jadi “tanggal satu mangsa kesatu” harusnya paling tidak jatuh pada 12 Juli. Tepatnya menurut bintang Wuluh jatuh pada 9 Juli, sementara menurut bintang Weluku pada 17 Juli.
Kekeliruan, menurut Hoesein, juga dilakukan Soekanto terhadap mangsa panen. JLA Brandes, seperti yang dia kutip, menghitung bahwa mangsa panen berlangsung pada 12 April-11 Mei, sedangkan Tjondronegoro mengemukakan 25 Maret-17 April atau 18 April-10 Mei.
Hoesein bahkan mempertanyakan tarikh Islam yang sudah dikenal di Jawa pada 1526 atau 1527 M, seperti yang digunakan Soekanto dalam memberikan pendapat. “Bukankah tarikh Islam mulai dipakai di Jawa atas perintah Raja Mataram Sultan Agung pada 1633 M?” begitu Hoesein mengomentari Soekanto.
Hoesein kemudian menyimpulkan bahwa pergantian nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta terjadi pada hari raya Maulud 12 Rabiulawal tahun 933 H atau pada hari Senin, 17 Desember 1526.
“Perayaan Maulud pada 12 Rabiulawal dianggap baik sekali jika jatuh pada hari Senin. Sebab menurut tradisi Islam, Nabi Muhammad lahir dan wafat pada hari Senin,” demikian alasan Hoesein.
Dua pendapat besar itulah yang dikenal hingga sekarang, meskipun kemudian pendapat Soekantolah yang lebih diterima. Kedua pendapat menjadi bahan polemik karena pernah dimuat dalam publikasi ilmiah. Namun sebenarnya masih ada beberapa pendapat berbeda yang dilontarkan sejumlah pakar arkeologi Islam dan sejarah.
Dari tahun ke tahun sudah banyak temuan arkeologi dari wilayah Jakarta. Ilmu pengetahuan dan teknologi pun terus berkembang. Karena masih ada kontroversi, sudah saatnya perlu ada koreksi terhadap hari lahir Jakarta.
Penelitian pun sebisa mungkin harus disertai ekskavasi agar datanya lebih akurat terutama di lokasi-lokasi awal islamisasi Jakarta.
Apalagi kini pembangunan Jakarta begitu pesat. Sebelum tergerus arus modernisasi yang akan menghilangkan data masa lampau, tentu penelitian harus tuntas. Jangan sampai kita menyesal karena telah melecehkan sejarah kota sendiri.
Penulis adalah Arkeolog dan Penulis Lepas
(Sumber: Sinar Harapan, Kamis, 22 Juni 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar