Senin, 02 Maret 2009

Studi Kelayakan Arkeologi, Perlu dan Mutlak


Oleh: Djulianto Susantio

Memang ada yang janggal dalam pembangunan Majapahit Park atau Pusat Informasi Majapahit (PIM) di situs Trowulan, Mojokerto (Jawa Timur). Pertama, dikabarkan lokasi pembangunan sekarang bukanlah lokasi yang direkomendasikan oleh para arkeolog berdasarkan hasil penelitian mereka. Dari tayangan televisi memang jelas terlihat tiang-tiang pancang fondasi bangunan menghancurkan bata-bata merah sisa peradaban Majapahit itu. Pecahan-pecahan gerabah pun berserakan di sana-sini, terkena cangkul para pe-kerja proyek. Padahal seharusnya, ekskavasi (penggalian arkeologis) dilakukan secara halus dengan metode cermat, bukan dengan cara kasar seperti itu.

Kedua, pembangunan PIM tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagaimana aturan yang berlaku. Selain itu, pembangunan PIM tidak dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) atau Studi Kelayakan Arkeologi (SKA). Dua hal yang perlu dan mutlak dilakukan karena Trowulan merupakan situs unik dan bernilai tinggi bagi ilmu pengetahuan.

Yang ironis, perusakan justru dilakukan oleh pemerintah manakala Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya Nasional sudah disahkan. Dinyatakan dalam Pasal 15 Ayat 1, setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya. Termasuk ke dalam istilah “setiap orang” tentu saja adalah pemerintah. Dinyatakan pula, pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab pemerintah (Pasal 18 Ayat 1). Sementara masyarakat, kelompok, atau perorangan berperan serta dalam pengelolaan benda cagar budaya dan situs (Pasal 18 Ayat 2).

Majapahit merupakan salah satu kerajaan kuno terbesar yang pernah ada di bumi Nusantara dan juga menguasai mancanegara selama ratusan tahun. Tentu saja dampaknya adalah warisan-warisan yang ditinggalkan kerajaan itu sangat berlimpah. Selain berupa bangunan, artefak berupa arca, perhiasan, alat-alat rumah tangga, celengan, dan uang-uang kuno, banyak ditemukan di sana. Karena nama besar Majapahit itulah rupanya kepentingan pariwisata lebih diprioritaskan, yakni dengan mendirikan PIM. Yang disesalkan, mengapa SKA di lokasi itu terabaikan?


Contoh SKA yang Berhasil

Sejak awal abad ke-20 memang penelitian arkeologi sering dilakukan di situs Trowulan, baru bersifat parsial, bahkan tersendat-sendat karena dana begitu terbatas. Sejak dipecah dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan menjadi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, unsur pariwisatanya lebih dikedepankan. Dampak yang paling dirasakan adalah minimnya dana pemerintah untuk penelitian arkeologi itu, padahal SKA membutuhkan biaya besar dan waktu lama.

Contoh konkret penyelenggaraan SKA yang berhasil baik terlihat pada taman purbakala nasional Candi Prambanan dan Candi Borobudur, sebelum didirikannya megaproyek Taman Wisata Candi Prambanan-Borobudur-Ratu Baka. Bertahun-tahun para arkeolog melakukan penelitian di lingkungan situs-situs tersebut. Setelah dinyatakan steril, artinya tidak lagi terdapat benda-benda arkeologi di dalamnya, maka pembangunan boleh berlangsung. Waktu itu SKA berjalan baik dan sistematis karena bantuan dana yang cukup besar dari pemerintah Jepang lewat JICA (Japan International Cooperation Agency). Bisa jadi kalau mengandalkan dana dari pemerintah sendiri, pembangunan taman purbakala sekaligus taman wisata tidak akan secepat itu.

Istilah SKA pertama kali diterima sebagai salah satu jenis kegiatan yang resmi dalam arkeologi Indonesia pada tahun 1970-an. Kemungkinan besar SKA mulai diselenggarakan oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditlinbinjarah) pada 1979 atas permintaan yang cukup mendesak dari Bappenas. Pada awalnya SKA diselenggarakan dalam hubungannya dengan rencana pemugaran bangunan purbakala dan situs arkeologi.

Karena keterbatasan dana, dari sekitar 3.000 peninggalan sejarah dan purbakala berupa bangunan atau benda tidak bergerak, baru sekitar sepuluh persennya yang pernah dipelajari lewat SKA. Beberapa proyek besar dari departemen lain, juga sering meminta uluran tangan SKA. Salah satunya adalah proyek PLTA Cirata (Jawa Barat) dan PLTA Kota Panjang (Riau). Sejumlah arkeolog turut dilibatkan dalam tim amdal. Pada dasarnya tujuan akhir dari amdal dan SKA itu adalah memberikan saran kepada penentu kebijakan agar dampak negatif dapat dihilangkan atau dikurangi. Di pihak lain memberi saran-saran tertentu untuk mendorong atau meningkatkan dampak yang positif.


Kesalahan Berulang

Di negara-negara maju SKA merupakan suatu keharusan. Tanpa adanya SKA, suatu proyek pembangunan fisik tidak mungkin terlaksana. Sebagai misal, di Italia pembuatan jalur kereta api bawah tanah sering tersendat-sendat karena para pekerja hampir selalu menemukan artefak-artefak purbakala peninggalan Kerajaan Romawi. Karena sudah kewajiban maka pihak pelaksana pembangunan harus memberikan kesempatan kepada para arkeolog untuk melakukan penelitian terlebih dulu, sebelum meneruskan proyek tersebut.

Pembuatan jalan raya di AS pernah harus dibelokkan arahnya karena di sana-sini banyak ditemukan situs dan artefak arkeologi. Meskipun harus mengubah master plan, keharusan demikian benar-benar ditaati pengelola proyek. Di Inggris sebuah situs arkeologi terpaksa dibiarkan terdapat di tengah-tengah pusat perbelanjaan. Justru situs tersebut yang kemudian menjadi daya tarik pengunjung, bukan pusat perbelanjaannya.

Sebaliknya yang terjadi di Indonesia sangat ironis karena situs arkeologilah yang harus mengalah demi kepentingan pembangunan. Bahkan yang menyesakkan, para arkeolog sering dituding menjadi biang keladi penghambat pembangunan itu. Memang pembangunan fisik dan studi kelayakan sering menimbulkan konflik kepentingan. Di satu sisi, para arkeolog sedang berusaha memahami masyarakat dan kebudayaan Indonesia melalui artefak-artefak kuno. Di lain sisi, semua proyek pembangunan besar dan kecil - baik sadar maupun tidak sadar - telah merusak data arkeologi.

Sejak dibongkarnya Hotel Duta Indonesia (des Indes) menjadi Pusat Perbelanjaan Duta Merlin, dirobohkannya Gedung Societeit de Harmonie menjadi perluasan lahan parkir Gedung Sekretariat Negara, dilakukannya penggalian liar di situs Batutulis (Bogor), dicurinya harta karun dari perairan Indonesia, dan (mudah-mudahan yang terakhir) pembangunan PIM, kita selalu menjadikannya sebagai “pelajaran berharga” untuk tindakan selanjutnya. Namun, “pelajaran berharga” itu tidak pernah diambil hikmahnya sehingga kesalahan yang sama selalu berulang.

Penulis adalah seorang arkeolog, tinggal di Jakarta


(Sumber: Sinar Harapan, Senin, 2 Maret 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar