Oleh: Djulianto Susantio
Untuk kesekian kalinya koleksi museum dicuri orang. Terakhir yang menjadi korban adalah arca Buddha peninggalan Kerajaan Sriwijaya milik Museum Balaputra Dewa Palembang. Kabar terakhir menyebutkan koleksi tersebut telah ditemukan kembali. Kejadian serupa antara lain pernah menimpa Museum Radya Pustaka Solo. Pelakunya kemudian diketahui adalah orang museum sendiri, sementara pembeli barang-barang tersebut adalah seorang pengusaha beken, Hashim Djojohadikusumo. Kita masih belum tahu apakah motif pencurian di Museum Balaputra Dewa sama dengan motif pencurian di Museum Radya Pustaka ataukah berbeda.
Yang jelas, masalah yang sama selalu dan tetap berulang tanpa ada perbaikan. Para pengambil keputusan tidak ada bosan-bosannya mengatakan “akan menjadikan kasus itu sebagai pelajaran berharga”. Mengingat kebanyakan museum di Tanah Air kita adalah milik pemerintah, tentu saja pemerintah—baik pusat maupun daerah—yang harus bertanggung jawab.
Tidak dipungkiri, alasan klasik dan klise selalu diumbar-umbar pengelola museum: kurang dana dan kurang tenaga. Begitu juga alasan pemerintah: anggaran untuk bidang kebudayaan dalam APBN/APBD selalu diciutkan dari tahun ke tahun. Malah sering ditambah: prioritas sedang ditujukan untuk pembenahan dunia pendidikan. Bukankah museum juga merupakan sarana pendidikan dan pembelajaran untuk generasi kini dan generasi mendatang? Sejak lama museum selalu dicanangkan menjadi objek yang bersifat rekreatif edukatif. Artinya, selain ditujukan untuk kepentingan pariwisata, museum dijadikan sebagai etalase ilmu pengetahuan untuk segala lapisan masyarakat.
Konon, di Indonesia hanya terdapat kurang dari 400 museum. Itu pun 11 di antaranya telah tutup tahun 2008 karena masalah dana. Berapa banyak persentasenya dibandingkan dengan jumlah penduduk dan kekayaan budaya yang kita miliki, tentu kita bisa menerka-nerkanya sendiri. Bandingkan dengan Belanda, misalnya, yang mampu membangun ribuan museum. Bahkan, becak yang dikenal sebagai kendaraan tradisional di Indonesia, justru lebih gampang dijumpai di sana daripada di negara asalnya.
Lebih Baik Dibeli dan Dirawat Kolektor?
Pencurian berbagai koleksi museum memang ibarat “lingkaran setan”. Tahun 1970-an koleksi numismatic Museum Nasional pernah digondol penjahat besar Kusni Kasdut. Tahun 1980-an tujuh potong keramik antik dan langka, juga milik Museum Nasional, raib entah ke mana. Tahun 1990-an sejumlah lukisan, lagi-lagi milik Museum Nasional, tahu-tahu sudah berada di tangan kolektor Singapura. Pembahasan pun ramai. Berbagai pejabat berwenang dan sejumlah tokoh berbicara.
Terhadap kasus Museum Radya Pustaka. Peran Hashim Djojohadikusumo dan Hugo Krueger disorot. Karena apa? Hashim mengaku membeli barang-barang itu dari Krueger di luar negeri. Tentu yang menjadi persoalan adalah mengapa barang-barang curian itu bisa sampai di sana? Lemahnya mental pegawai museum dan aparat terkait sering disalahkan. Sampai-sampai ketidakcakapan pemerintah tak luput dari gunjingan.
Metafora selalu mengatakan bahwa benda-benda arkeologi adalah harta yang tidak ternilai harganya. Artinya, semua benda arkeologi tidak bisa diukur dengan uang karena nilai ilmu pengetahuannya jauh lebih penting dari itu.
Tanpa bermaksud mendukung pencurian yang melanggar hukum itu, kita terusik untuk bertanya, “Benarkah arca-arca tersebut dalam keadaan yang lebih baik dan aman jika berada di tangan museum dan pemerintah?” Seorang rekan arkeolog pernah merasa jengkel dan rada mengolok. “Kalau Museum Nasional dan Museum Sejarah Jakarta dijadikan patokan bagi kualitas museum-museum di Indonesia, maka bisa dipastikan museum adalah tempat yang mengerikan bagi warisan-warisan arkeologi. Betapa banyak koleksi museum berada dalam kondisi yang aus dan berjamur, terlihat seperti tak terawat sama sekali,” katanya.
Jika demikian keadaannya, tentu saja akan lebih baik bila koleksi-koleksi tersebut dicuri lalu dibeli oleh kolektor pribadi yang mampu merawat koleksi-koleksi itu dengan lebih baik. Pencurian benda-benda masa lampau yang dilindungi hukum memang salah. Namun, menelantarkan benda tersebut dengan alasan apa pun adalah tindakan yang lebih salah.
Pariwisata dan Pendidikan
Mungkin ada benarnya kalau orang mengatakan banyak gedung museum di negeri kita ibarat “kandang ayam”. Selain kondisi bangunannya yang terlihat gampang ambruk, situasi dalamnya pun tak ubahnya peribahasa “mati segan, hidup tak mau”. Pencahayaan selalu redup, lemari pajangan keropos di sana-sini, kotak-kotak informasi masih terlalu jadul, tembok dan lantai sangat kusam, begitulah yang sering dikeluhkan pengunjung. Ironisnya, kehidupan museum hanya tergantung dari karcis masuknya. Sudah jelas untuk biaya operasional sehari-hari saja tidak cukup.
Kalau kualitas museum di Jakarta saja masih banyak dipertanyakan, tentu kondisi museum di daerah jauh lebih buruk. Padahal, justru kekayaan budaya di daerah jauh lebih banyak daripada di Jakarta. Jadi, sudah saatnya pemerintah memperhatikan kondisi museum, jangan ditunda-tunda lagi. Museum harusnya menjadi tempat yang paling aman untuk menyimpan harta karun bangsa. Kondisi fisik harus benar-benar diperhatikan, misalnya melengkapi museum dengan kamera pengintai, alarm, dan pintu otomatis. Kondisi nonfisik pun tidak boleh ditinggalkan. Pegawai museum kan manusia, tentu memerlukan kehidupan yang layak.
Kita harus yakin, museum yang baik pasti akan dicari orang. Karena apa? Museum memiliki dua fungsi sekaligus, yakni sebagai objek pariwisata dan sebagai objek pendidikan. Yang kini terlihat sungguh membuat hati miris, museum hanya sebagai gudang peninggalan barang-barang kuno sehingga terkesan angker. Marilah kita mulai membenahi museum. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memperhatikan sejarahnya, tentu lewat museum. Lewat museum kita bisa berkaca tentang kecemerlangan bangsa Indonesia di masa lampau.
Mudah-mudahan, masyarakat dan pemerintah akan segera mampu memperlakukan museum kita, termasuk benda-benda koleksinya, secara lebih “manusiawi”. Jika sudah demikian, itulah saat yang paling pantas untuk mengutuk pencurian dan transaksi ilegal benda-benda cagar budaya milik negara. Jadi, kalau ada pertanyaan mengapa museum kita sering kebobolan, untuk sementara ini jawabnya adalah karena mental dan dana.
Penulis adalah seorang arkeolog, tinggal di Jakarta
(Sinar Harapan, Senin, 6 April 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar