Jumat, 24 April 2009

Sejarah Institusi Arkeologi di Indonesia


Jalan-jalan arah ke barat,
Bulan satu terang cahaya.
Bermula dengan batu bersurat,
Sekarang ilmu di ruang maya.

Di kalangan purbakalawan, 14 Juni diperingati sebagai Hari Purbakala karena pada tanggal tersebut di tahun 1913 lahir sebuah institusi yang bergerak di di bidang kepurbakalaan. Kini usia institusi tersebut sudah 90 tahun. Jika usia 90 tahun bagi manusia merupakan usia yang sudah lanjut dan dianggap tidak produktif lagi, lain halnya dengan sebuah institusi. Semakin tua menjadi semakin maju dan mapan. Tetapi, apa yang terjadi dengan institusi purbakala di usianya yang menginjak 90 tahun? Tragis, memang! Bukan­nya maju dan berkembang, malahan diombang-ambingkan dan “diacak-acak” oleh sistem birokrasi yang tidak jelas dan tidak mengerti akan peranan kebudayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seyogyanya institusi ini berdiri sendiri dengan tenaga arkeolog yang memadai, karena obyek yang diurusi banyak dan keberadaannya hampir di setiap pulau di wilayah Nusantara. Penelitian arkeologi, pemugaran, preservasi, dan kon­servasi bangunan purbakala memerlukan tenaga ahli di bidangnya dan tidak dapat “diotonomikan” dengan melepaskannya kepada pihak yang tidak mempunyai pendidikan khusus dan tidak paham masalah kepurbakalaan.


1. Awal Berdirinya

Kelahiran institusi purbakala tidak lepas kaitannya dengan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia yang pada waktu itu memang sangat perduli akan tinggalan budaya nenek moyang bangsa yang dijajahnya. Sebelum institusi kepurbakalaan lahir, pada tahun 1901 pemerintah Hindia Belanda membentuk sebuah komisi yang bernama Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera. Komisi ini bertugas menangani masalah-masalah kepurbakalaan yang ditemukan di Jawa dan Madura. Oleh pemerintah Hindia Belanda, Brandes diangkat sebagai Ketua Komisi dan dibantu oleh dua orang anggota, yaitu J. Knebel dan H.L. Leydie Melville. Brandes tidak lama menduduki jabatan Ketua Komisi. Pada tahun 1905, ia meninggal dunia dan jabatannya baru diisi pada tahun 1910 oleh Dr. N.J. Krom.

Pada awal menduduki jabatan sebagai Ketua Komisi, Krom menyadari bahwa tugas yang diembannya cukup berat. Karena itu harus dibentuk suatu lembaga oleh pemerintah. Atas perjuangannya, dengan surat keputusan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda No. 13 tanggal 14 Juni 1913 berdirilah Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie sebagai badan tetap yang bertugas dalam bidang kepurbakalaan. Tugas dinas ini adalah (a) menyusun, mendaftar dan mengawasi peninggalan-peninggalan purbakala yang berada dalam wilayah Hindia-Belanda, (b) membuat rencana dan tindakan penyelamatan bangunan purbakala dari keruntuhan, (c) pengukuran dan penggambaran peninggalan purbakala serta menelitinya lebih dalam. Sebagai Kepala Oudheidkundige Dienst yang pertama adalah Dr. N.J. Krom yang menduduki jabatan ini hingga tahun 1915 karena harus kembali ke Belanda.

Dengan kembalinya Krom ke Belanda, diangkat Dr. F.D.K Bosch sebagai Kepala Oudheidkundige Dienst pada tahun 1916. Bosch memimpin lembaga ini selama sekitar 20 tahun. Selama kepemimpinannya banyak hal yang dilakukan untuk kemajuan ke­arkeo­logi­an di Hindia-Belanda ke arah kedewasaan melalui pemikiran di berbagai bidang, baik prasejarah, kesenian, arsitektur, kebudayaan, maupun epigrafi sehingga arkeologi Indone­sia mulai berdiri tegak sebagai ilmu dan sejajar dengan arkeologi di negara-negara lain.

Hasil pemikiran Bosch untuk arkeologi Indonesia adalah sebagai berikut:

  1. Memberikan pemahaman mengenai pentingnya pengetahuan tentang pening­galan purbakala untuk diajarkan kepada murid-murid sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Tingkat Atas.
  2. Merintis ke arah perkembangan baru dari arkeologi Indonesia
  3. Mendekatkan institusi purbakala kepada masyarakat, terutama kepada aparat Pamong Praja. Dikenalnya tinggalan purbakala di Pasemah (Sumatra Selatan), di Jambi, dan di Bali adalah berkat peran-serta masyarakat dalam membantu pekerjaan Oudheidkundige Dienst.
  4. Memberikan dan membangkitkan motivasi masyarakat akan pentingnya pening­galan purbakala. Misalnya, atas prakarsa Ir. H. Maclaine Pont dan dengan persetujuan sepenuhnya dari Oudheidkundige Dienst didirikan Oud­heid­kundige Vereeniging Majapahit (1924) yang berkedudukan di Trowulan (Jawa Timur) dengan pekerjaannya khusus melakukan penelitian di bekas ibukota kerajaan Majapahit.
  5. Melakukan usaha rekonstruksi dan restorasi bangunan-bangunan purbakala untuk dikembalikan seperti bentuknya semula, misalnya rekonstruksi Candi Naga dan Candi Angka Tahun dari kompleks Panataran (1917), dan Candi Plumbangan (1921). Sementara itu pekerjaan rekonstruksi sedang dilakukan di Candi Ngawen, Candi Merak, dan Candi Induk Lorojonggrang.
  6. Diundangkannya Monumenten Ordonantie 1931 (Staatsblad 1931 No. 238) yang menjamin pengawasan dan perlindungan peninggalan-peninggalan pur­ba­­­kala (pada tahun 1992 peraturan ini menjadi Undang-undang No. 5 tentang Benda Cagar Budaya).


2. Masa Peralihan

Dalam perjalanan sejarahnya, Oudheidkundige Dienst mengalami pasang-surut tergantung dari pemerintah yang berkuasa, tetapi tugasnya tetap mengurusi barang-barang purbakala. Pada waktu pendudukan Jepang, Oudheidkundige Dienst namanya berubah dan lebih menjurus kepada mengurusi barang purbakala, yaitu Kantor Urusan Barang-barang Purbakala. Nama dan tugasnya berlangsung selama masa pendudukan Jepang hingga awal kemerdekaan (1942-1947).

Pada tahun 1946 terjadi dualisme instansi, satu di bawah pemerintah Indonesia yang tetap memakai nama Kantor Urusan Barang-barang Purbakala, dan satu di bawah pemerintah Belanda yang masih ingin berkuasa di Indonesia. Di bawah Belanda namanya tetap Oudheidkundige Dienst dengan dikepalai oleh Ir. J.L. van Romondt. Karena tidak mempunyai arsip sebagai akibat peperangan, van Romondt membuka kantor cabang di Makassar.

Setelah keadaan pergolakan agak mereda, pada tahun 1947 nasib kepurbakalaan Indonesia diurus oleh Oudheidkundige Dienst dengan pimpinannya Dr. A.J. Bernet Kempers. Masa tenang berlangsung hingga tahun 1950. Kemudian pada tahun ini namanya berubah lagi menjadi Bahagian Purbakala dari Jawatan Kebudayaan Republik Indonesia Serikat. Keadaan ini tidak berlangsung lama. Kemudian pada tahun 1951 organisasi sudah lebih mantap, dan namanya kembali lagi menjadi Oudheidkundige Dienst (Dinas Purba­kala). Lembaga ini dipimpin oleh Kempers hingga tahun 1953. Setelah itu digantikan oleh tenaga Indonesia, yaitu Drs. R. Soekmono yang telah lulus dari Universitas Indonesia.

Dinas Purbakala berada di bawah Jawatan Kebudayaan, Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan. Nama instansi ini di bawah kepemimpinan Drs. Soekmono terus disandang hingga tahun 1958. Setelah itu kembali diubah menjadi Dinas Purbakala dan Peninggalan Nasional (DPPN) hingga tahun 1963/1964. Pada masa ini terdapat tiga buah kantor cabang, yaitu DPPN cabang Prambanan, DPPN cabang Gianyar, dan DPPN cabang Mojokerto.


3. Lembaga Penelitian

Masih di bawah kepemimpinan Soekmono, setelah tahun 1963/1964, DPPN kembali berubah menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). Nama ini terus disandang hingga tahun 1975. Di akhhir masa jabatan Drs. Soekmono, di bawah kepemimpinan Dra. Ny. Satyawati Suleiman terjadi re-strukturisasi organisasi yang meng­akibatkan perubahan nama. Sesuai dengan tuntutan perkembangan penelitian, LPPN fung­sinya dipecah menjadi dua bagian, yaitu Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP) yang menangani masalah-masalah administratif dan perlindungan kepurbakalaan di Indonesia dan Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (Pus. P3N). Pada tahun 1975 dengan terbitnya Surat Keputuan Mendikbud No. 079/0/1975 mengenai pembentukan Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional sebagai instansi pemerintah yang memiliki tugas pokok dan fungsi menyelenggarakan penelitian arkeologi.

Perubahan nama menjadi Pus. P3N tidak berlangsung lama. Pada tahun 1978, ketika dipimpin oleh Dr. R.P. Soejono nama lembaga berubah lagi menjadi Pusat Pene­litian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Secara organisasi berada di bawah Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Identitas sebagai lembaga penelitian arkeologi menjadi lebih jelas. Pada saat itu dibuka dua Unit Pelaksana Teknis (UPT) (Balai Arkeologi Denpasar dan Balai Arkeologi Yogyakarta) dan dua laboratorium (Lab. Paleo-ekologi dan Radiometri di Bandung dan Lab. Bio-antropologi dan Paleo-antropologi di Yogyakarta). Kerjasama dengan luar negeri yang telah dirintis oleh Dra. Ny. Satyawati Suleiman lebih diperluas lagi pada masa Dr. R.P. Soejono.

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dipimpin oleh Kepala Pusat dalam jenjang eselon IIA. Sebagai pelaksana tugas dalam bidang penelitian arkeologi nasional, Puslit Arkenas, mempunyai kedudukan langsung di bawah Menteri, namun dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Kebudayaan.

Puslit Arkenas mempunyai tugas melaksanakan kegiatan dan membina penelitian dalam bidang arkeologi nasional, dan mempunyai fungsi:
  1. Merumuskan kebijakan menteri dan kebijakan teknis dalam bidang penelitian arkeologi nasional;
  2. Melaksanakan dan membina penelitian arkeologi nasional;
  3. Melaksanakan urusan tata usaha pusat.
Sementara itu, Direktorat Sejarah dan Purbakala pada tahun 1978 ketika dipim­pin oleh Drs. Uka Tjandrasasmita, nama lembaga berubah menjadi Direktorat Perlin­dungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (Ditlinbinjarah). Lembaga ini secara organisasi berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendi­dikan dan Kebudayaan. Sebelum tahun 1978 lembaga ini mempunyai UPT yang bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) di Prambanan (Jawa Tengah), Bogem (D.I. Yogyakarta), Trowulan (Jawa Timur), Gianyar (Bali), dan Makassar (Sulawesi Selatan). Kemudian pada tahun 1989 ditambah lagi dengan UPT di Banda Aceh (Nangroe Aceh Darussalam), Batusangkar (Sumatra Barat), Jambi (Jambi), dan Banten (Banten).

Sejak masa kepemimpinan Dra. Ny. Satyawati Suleiman dan dilanjutkan Dr. R.P. Soejono dilakukan kerjasama penelitian arkeologi, antara lain dengan Ecole franςaise d’Extrê-Orient (EFEO, Perancis), SEAMEO Project in Arcaheology and Fine Arts (SPAFA, Proyek kerjasama Mentri-mentri Pendidikan dan Kebudayaan Asia Tenggara di bidang arkeologi dan kesenian), Toyota Foundation, Japan Foundation, dan Ford Foundation. Melalui kerja­sama ini bidang penelitian arkeologi maju pesat. Kerjasama masih terus berlanjut sampai dengan masa kepemimpinan Dr. Hasan Muarif Ambary.

Puslit Arkenas di bawah kepemimpinan Dr. Hasan Muarif Ambari berkembang lebih luas lagi. Pada saat ini dibuka delapan UPT, yaitu Balai Arkeologi Palembang, Balai Arkeologi Medan, Balai Arkeologi Bandung (Lab, Palrad terpaksa dilikuidasi dan diga­bungkan dengan Balai), Balai Arkeologi Banjarmasin, Balai Arkeologi Manado, Balai Arkeologi Ambon, dan Balai Arkeologi Jayapura. Lab. Bio-antropologi dan Paleo-antro­pologi dilepas dan dikembalikan ke Universitas Gajah Mada.


4. Masa Sekarat

Krisis moneter yang berkepanjangan yang mengakibatkan pergolakan politik, terjadi perubahan kekuasaan dan perubahan dalam organisasi pemerintahan. Pada tahun 2000 Puslit Arkenas yang semula berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kemudian berada dalam struktur di bawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Namanya berubah menjadi Pusat Arkeologi. Sementara itu, Ditlinbinjarah yang juga berada di bawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, dan namanya berubah menjadi Direktorat Purbakala.

Pada tahun 2001 terjadi lagi perubahan kekuasaan yang disusul dengan perubah­an struktur organisasi pemerintahan. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata berubah men­­jadi Mentri Negara Kebudayaan dan Pariwisata. Pusat Arkeologi juga berubah menjadi Pusat Penelitian Arkeologi, dan Direktorat Purbakala berubah menjadi Direktorat Purba­kala dan Permuseuman. Kedua instansi tersebut berada dalam struktur Deputi Bidang Peles­tarian dan Pengembangan Kebudayaan, Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. UPT dari Direktorat Purbakala dan Permuseuman yang semula bernama Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala kemudian berubah menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.

Dimulai dengan kabar burung yang beredar pada bulan April-Mei 2003, menga­barkan bahwa akan terjadi penghapusan Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata dan digabungkan kepada Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata. Kabar burung ini ternyata menjadi kenyataan setelah turun Keputusan Presiden No. 29, 30, 31, dan 32 tertanggal 26 Mei 2003 yang isinya tentang pembubaran Badan Pengembangan Kebudaya­an dan Pariwisata dan dilebur pada Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata. Pada struktur yang baru ini nasib Pusat Penelitian Arkeologi berubah menjadi Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional dan saudaranya Direktorat Purbakala dan Permuseuman menjadi Asisten Deputi Urusan Purbakala dan Permuseuman berada di bawah Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala. Balai Arkeologi dan Balai Pelestarian Peninggalan Purba­kala merupakan UPT dari Deputi Bidang Bidang Sejarah dan Purbakala. Kata “Urusan” mengingatkan kita pada Kantor Urusan Barang-barang Purbakala ketika Zaman Jepang (1942-1947). Hanya karena negara menjelang pailit, haruskah kita kembali seperti pada Zaman Jepang?

Sebagai sebuah institusi penelitian, Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional dan Unit Pelaksana Teknisnya mempunyai tenaga peneliti yang cukup memadai sebagai­mana tercantum dalam tabel berikut ini. Peneliti-peneliti tersebut, selain berlatar belakang pendidikan arkeologi, juga ada yang berlatar belakang pendidikan geologi, biologi, sejarah, dan antropologi. Seluruhnya tersebar dalam berbagai jenjang Jabatan Fungsional, mulai dari Asisten Peneliti, Ajun Peneliti, Peneliti, dan Ahli Peneliti.

Akhirnya, dengan menyandang nama Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional, dapatkah institusi tersebut mengembangkan penelitian arkeologi sehingga dapat sejajar dengan institusi penelitian arkeologi di negara lain? Saya khawatir tidak dapat berbuat banyak, apalagi di dalam Tugas dan Fungsinya (Tupoksi) tidak ada kata “penelitian”. Kerjasama dengan institusi penelitian asing, seperti dengan EFEO (Perancis) dan SPAFA (negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN), perlu diperbarui dengan format yang baru. Sementara Bosch pada tahun 1916 telah berhasil memperkenalkan pentingnya tinggalan budaya masa lampau bagi perkembangan budaya dan jatidiri bangsa, mengapa pada saat Negara Kesatuan Republik Indonesia menghadapi rongrongan dis-integrasi, institusi penelitian arkeologi Indonesia menjadi terpuruk?

Bambang Budi Utomo
Kerani Rendahan pada
Puslitbang Arkeologi Nasional

(Sumber: indoarchaeology.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar