OLEH: DJULIANTO SUSANTIO
Salah satu koleksi yang dikagumi bangsa asing adalah benda-benda budaya Indonesia. Itu antara lain adalah benda kuno, benda etnografi, dan benda bersejarah. Benda-benda antik memang selalu menarik perhatian orang sejak lama karena nilai komersialnya yang tinggi. Hal tersebut tentu saja mendorong segelintir masyarakat untuk melakukan perbuatan negatif, seperti mencuri dari situs-situs arkeologi, mengadakan ekskavasi secara liar, menyelundupkan barang-barang itu ke luar negeri, dan memalsukan berbagai koleksi seolah-olah asli.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, mengoleksi benda-benda kuno, tidak dimungkiri, merupakan hobi bergengsi. Selain untuk menunjukkan status sosial yang bersangkutan, berkoleksi barang antik merupakan investasi untuk masa depan. Meskipun demikian, ada juga segelintir kolektor yang memiliki idealisme tinggi dan motivasi lain, yakni melestarikan kebudayaan sendiri. Umumnya mereka mempunyai museum pribadi.
Banyak negara lain juga pernah kecolongan artefak-artefak budayanya karena berbagai hal, seperti penjajahan, penjarahan, pencurian, dan perbuatan negatif lainnya. Salah satu negara yang gencar melacak harta karunnya adalah Italia. Selama bertahun-tahun barang-barang kuno dari Italia diselundupkan ke luar negeri. Konon, benda-benda asal Italia itu memiliki harga tinggi di pasar gelap sehingga sering mengundang terjadinya bisnis haram. Dari hasil pelacakan intensif diketahui, sebagian di antara barang-barang tersebut menjadi koleksi sejumlah museum di AS.
Karena peduli dan sudah memiliki apresiasi sekaligus kebanggaan negara maka Departemen Kebudayaan Italia turun tangan. Hasilnya adalah tahun 2006 lalu Metropolitan Museum of Art di New York mencapai kesepakatan dengan Departemen Kebudayaan Italia untuk mengembalikan enam artefak kuno, antara lain berupa sebuah vas Yunani purba berusia 2.500 tahun dan “harta karun Morgantina” yakni koleksi barang-barang perak buatan abad ke-3. Sebelumnya pada 2005 Museum J Paul Getty di Los Angeles juga telah mengembalikan tiga artefak kuno hasil curian di Italia.
Kamboja yang Kreatif
Pada 2002 pemerintah AS mengembalikan sejumlah peninggalan zaman Pharao ke Mesir. Diketahui bahwa benda-benda itu merupakan hasil curian tahun 1992, antara lain berupa sebuah plakat kerajaan tua tahun 2000 SM dan artefak-artefak kecil dari makam purba. Masih di tahun yang sama, cucu seorang kolektor AS yang telah meninggal, mengembalikan sejumlah benda antik Mesir yang sudah 150 tahun lamanya menghuni rumah keluarganya. Menurut dia, barang-barang itu merupakan hasil curian yang pernah dibeli oleh leluhurnya.
Pengembalian benda-benda seni juga pernah dilakukan oleh pemerintah Rusia pada 1999. Benda-benda tersebut milik Jerman yang dijarah tentara Uni Soviet pada Perang Dunia II. Demikian pula terhadap benda-benda milik Belanda, berupa sejumlah arsip milik organisasi politik, ekonomi, dan keagamaan. Arsip-arsip penting yang merupakan hasil rampasan perang tentara Uni Soviet itu, dikembalikan setahun kemudian.
Di Asia yang peduli terhadap masalah demikian umumnya adalah negara-negara Asia Timur. Negara penjarahnya tidak lain adalah Jepang. Pada 1965 pemerintah Jepang mengembalikan sekitar 1.300 artefak kuno kepada Korea Selatan. Benda-benda itu diambil secara ilegal oleh tentara Jepang saat menduduki Korea (1910-1945).
Tidak jarang, masalah benda-benda kuno hanya mampu diselesaikan lewat pengadilan, seperti yang terjadi di Austria. Pada 2002 sebuah pengadilan di sana memerintahkan penyitaan benda-benda seni yang pernah dirampas tentara Nazi dari kaum Yahudi. Salah satunya adalah koleksi seorang Yahudi-Austria yang meninggal di kamp konsentrasi Cekoslowakia. Banyaknya sekitar 800 lukisan, termasuk karya sejumlah pelukis Austria terkenal.
Salah satu negara di Asia yang warisan budayanya banyak dicuri adalah Kamboja. Pencurian tersebut dilakukan pada saat terjadi Perang Indocina 1940-an dan perang saudara 1970-an. Dalam pelacakan diketahui sejumlah benda antik Kamboja berada di negara penjajahnya, Prancis dan di negara tetangganya, Thailand. Sebagian terbesar merupakan benda-benda curian dari Candi Angkor.
Selama bertahun-tahun benda-benda kuno curian diselundupkan ke Thailand oleh para pemberontak lewat perbatasan. Bertahun-tahun kemudian barang-barang antik curian itu banyak beredar di sejumlah art gallery di mancanegara. Bahkan, ditawarkan melalui internet dan balai lelang ternama. Yang patut dipuji adalah pemerintah Kamboja mengambil langkah kreatif. Untuk melacak warisan arkeologinya yang hilang, mereka menerbitkan buku katalogus yang disebarkan ke seluruh dunia. Ternyata upaya mereka menuai hasil positif. Selang beberapa waktu, sejumlah artefak berhasil diketahui keberadaannya.
Perjanjian Wassenaar
Banyaknya benda kuno yang hilang dari sejumlah negara, mendapat perhatian serius dari segelintir kalangan di Barat. Mereka aktif menyebarkan katalogus ke berbagai negara, bahkan mereka membuat situs www.artloss.com. Aktivitas mereka juga dilengkapi dengan sejumlah tenaga detective art yang benar-benar terampil.
Sebagai negara yang pernah dijajah, seperti halnya Kamboja, tidak dimungkiri kalau benda-benda kuno Indonesia juga banyak diboyong ke mancanegara, baik secara legal maupun ilegal. Di antaranya adalah berbagai benda batu dari sejumlah candi di Jawa yang kini berada di Thailand dan Jepang. Benda-benda ter-sebut merupakan hadiah kepada Raja Siam Chulalongkorn, dari pemerintah Hindia Belanda. Sebagian lagi merupakan hadiah ulang tahun kepada Kaisar Jepang dari tentaranya di Hindia Belanda.
Sebagai bekas penjajah, tentu saja Belanda menjadi negara yang memiliki koleksi asal Indonesia terbanyak. Belum lagi di negara-negara sekutunya ketika itu. Totalnya hingga kini benda-benda budaya Indonesia masih terdapat di 30-an negara. Dengan Belanda, pada 1977 kita pernah menandatangani Perjanjian Wassenaar sehingga arca Prajnaparamita, naskah kuno Nagarakretagama, dan Gong Geusan Ulun berhasil dikembalikan ke Indonesia.
Bagaimana dengan warisan-warisan budaya lainnya? Karena sudah ada perjanjian bilateral, sebenarnya cukup mudah upaya ke arah itu. Hanya masalahnya, sejauh mana kita mampu menyediakan tempat penampungan di sini yang tentu saja berdampak pada anggaran pemeliharaan. Mudah-mudahan, dalam waktu dekat akan tersedia APBN yang memadai, sehingga masyarakat bisa menyaksikan benda-benda adikarya (masterpiece) yang justru lebih diminati masyarakat mancanegara. Kita perlu meniru langkah Korea Selatan yang sengaja membangun museum, untuk menampung warisan-warisan budaya mereka yang pernah dijarah tentara Jepang.
Penulis adalah seorang arkeolog, tinggal di Jakarta
(Sinar Harapan, Selasa, 7 Juli 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar