Oleh: H. Gunadi, MHum.
Balai Arkeologi Yogyakarta
Abstract
“Archaeology without its public is nothing”, To me, this expression reflects a challenge facing by archaeology resources’ managers especially the researchers who are working in archaeology research, i.e. to answer the question how far the results of research in archaeology could serve other sectors or interest. As reminded by Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra in a speech entitled “Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Kearifan Lokal, Tantangan Teoritis dan Metodologis” (presented before the Senate Open Meeting at the 62nd Dies Natalis of Faculty of Culture Science, Gadjah Mada University, March 3, 2008), in which he basically invites culture science researchers to unearth local wisdom of Indonesian society and conserve them for the sake of our life in the future. Although forms of local wisdom are often found in research of archaeology or ethno-archaeology, the question remains : could we, the archaeology researchers, present our research activities and results in the forms that serve public interest? Does archaeology research in Indonesia have considered other interests that beneficial for wider society?
PENDAHULUAN
Dalam sistem manajemen sumberdaya arkeologi sektor penelitian harus dapat berperan sebagai leading sector, hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No.5 Tahun 1992, tentang Benda Cagar Budaya bahwa kegiatan penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan benda cagar budaya merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Oleh karena itu harus dikerjakan secara simultan tetapi berurutan. Seperti penulis usulkan dan tertuang di buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2 tentang konsep Three in One dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi di Indonesia (Kasnowihardjo, 2004). Sebagai lembaga yang harus mengawali kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi, sektor penelitian dituntut tidak hanya bekerja secara akademik, akan tetapi harus memiliki visi dan wacana yang bersifat praktis.
Archaeology without its public is nothing, menurut hemat saya ungkapan ini merupakan satu tantangan bagi para pengelola sumberdaya arkeologi terutama para ahli arkeologi yang bekerja di sektor penelitian arkeologi. Sejauh mana hasil penelitian arkeologi dapat disajikan kepada kepentingan-kepentingan lain. Seperti diingatkan oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam pidatonya yang berjudul Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Kearifan Lokal, Tantangan Teoritis dan Metodologis (disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke 62 Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 3 Maret 2008), yang intinya mengajak kepada para peneliti ilmu budaya untuk menggali kearifan lokal masyarakat Indonesia dan melestarikannya demi kehidupan kita di masa mendatang. Bentuk-bentuk kearifan lokal sering ditemukan dalam penelitian arkeologi ataupun etnoarkeologi, pertanyaannya adalah mampukah kita mengemas bentuk-bentuk kegiatan penelitian dan hasil penelitian arkeologi tersebut untuk disajikan kepada kepentingan publik. Apakah penelitian arkeologi di Indonesia telah mempertimbangkan kepentingan-kepentingan lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas? Untuk itu, lembaga-lembaga pengelola sumberdaya arkeologi terutama lembaga penelitiannya harus dapat bermitra dengan berbagai lembaga lain dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi lembaga.
PENELITIAN ARKEOLOGI DI INDONESIA
Pada tahun 2005 saat penulis masih bertugas sebagai Kepala Balai Arkeologi di Kalimantan, mencoba mengevaluasi hasil-hasil penelitian arkeologi pada sepuluh tahun terakhir (1994 – 2004) dari tiga Balai Penelitian Arkeologi yaitu Balai Arkeologi Yogyakarta, Balai Arkeologi Makassar, dan Balai Arkeologi Banjarmasin. Hasil dari evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja sektor penelitian arkeologi masih terpaku pada kepentingan sektoral dan belum dapat dirasakan manfaatnya secara riil oleh sektor lain ataupun masyarakat luas (publik) (Gunadi, 2005). Gambaran lain yang dapat dilihat dan dibaca dari hasil evaluasi penelitian arkeologi di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir tersebut adalah bentuk kegiatan penelitian yang bersifat parsial yang disebabkan oleh keterbatasan beaya dan waktu. Apa yang akan dapat dihasilkan dengan alokasi waktu antara 10 – 12 hari kerja dalam satu kegiatan penelitian arkeologi? Seingat saya baru Balai Arkeologi Banjarmasin yang berani mematok jangka waktu penelitian selama 20 hari kerja (atas usul penulis saat menjabat sebagai Kepala Balai Arkeologi). Mengapa strategi seperti di atas tidak diikuti oleh Balai Arkeologi yang lain? Seperti di Balai Arkeologi Yogyakarta sampai dengan tahun anggaran 2008 ini masih menerapkan alokasi waktu penelitian antara 10 – 12 hari kerja.
Model-model penelitian arkeologi di Indonesia sebetulnya sudah banyak contoh yang diberikan oleh rekan-rekan peneliti baik yang datang dari Negara lain maupun teman-teman peneliti dari Indonesia. Francois Semah dan kawan-kawannya yang melakukan penelitian di Sangiran dan sekitarnya dapat menyelenggarakan satu pameran dan menerbitkan buku berjudul “Mereka Menemukan Pulau Jawa” (1990) yang menggambarkan kehidupan manusia purba beserta lingkungan, flora dan faunanya. Penelitian yang dilakukan oleh Peter Bellwood dan kawan-kawan di Maluku Utara dan Bagian Timur Indonesia lainnya, dapat memberikan gambaran kehidupan rumpun Austronesia yang tinggal di antara Asia Tenggara dan Pasifik. Michel Sazine dan National Geographic dengan penelitiannya tentang gambar cadas di sepanjang pegunungan Gergaji – Marang di Kutai Timur, Kalimantan Timur, film dokumenternya berhasil memenangkan Rolex Award. Oxis Project, sebuah penelitian protosejarah di wilayah Luwu, Sulawesi Selatan yang dibeayai oleh donator asing berhasil menerbitkan sebuah buku “Land of Iron” (2000) dan berbagai artikel baik ilmiah maupun semi populer., satu diantaranya adalah artikel yang berjudul “Pesona Tanah Luwu Abad XIV M, Kerajaan Majapahit Import Besi” (Gunadi, 2000). Harry Truman Simanjuntak dan kawan-kawan yang meneliti gua-gua prasejarah di Pegunungan Sewu, Gunung Kidul satu contoh model penelitian arkeologi yang tidak “berlarut-larut” yang dikerjakan oleh peneliti Indonesia dengan hasil seperti tertuang dalam buku yang berjudul “Prasejarah Gunung Sewu” (2002).
Memperhatikan akan “kekurangan” dari sektor penelitian arkeologi tersebut, penulispun mulai mencari terobosan-terobosan baru dalam kegiatan penelitian seperti yang pernah dilakukan di Tarakan (2003), Kutai Kartanegara (2004, 2005, 2006), Tapin (2006), serta kegiatan ilmiah yang mengangkat tentang kearifan lokal (Diskusi Ilmiah Arkeologi, IAAI Komda. Kalimantan, 2005), dan kegiatan revitalisasi kawasan Candi Agung (2006). Di wilayah kerja Balai Arkeologi Yogyakarta, mulai tahun 2008 ini saat penulis mulai dipercaya untuk memimpin tim penelitian, akan dicoba dikaitkan antara penelitian arkeologi dan kearifan lokal masyarakat yang bermukim di tepian danau. Hasil penelitian arkeologi permukiman (settlement archaeology) ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat saat ini dalam mengelola danau dan lingkungannya demi kehidupan yang lebih berkwalitas baik untuk manusia yang hidup saat ini maupun bagi generasi mendatang.
Model penelitian arkeologi di Indonesia seperti pernah digagas oleh Nurhadi dalam Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi di Bedugul, Bali tahun 2000 yang lalu perlu saya ingatkan kembali dalam forum komunikasi dan diskusi akbar seperti PIA ini. Ada dua hal penting yang harus kita (para peneliti arkeologi) perhatikan yaitu : pertama, amanat yang tertuang dalam Instruksi Presiden RI No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kerja, baik akuntabilitas akademik maupun akuntabilitas publik. Kedua, dengan memperhatikan akuntabilitas public tersebut maka hasil penelitian arkeologi akan dapat dirasakan oleh masyarakat, terutama masyarakat pemilik sumberdaya tersebut (Nurhadi, 2000).
ARKEOLOGI PUBLIK
Dalam Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2 (Gunadi, 2004), tentang arkkeologi publik ini penulis memformulasikan setidaknya mencakup tiga hal. Pertama, keberadaan sumberdaya arkeologi selalu terkait dengan kepentingan masyarakat (nilai ekonomis). Kedua, sumberdaya arkeologi penting bagi kehidupan manusia karena mengandung nilai edukatif dan rekreatif. Ketiga, sumberdaya arkeologi akan memacu munculnya ikatan emosional bagi masyarakat yang peduli akan kelestarian dan pelestariannya, dengan membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat yang bersifat nirlaba. Tiga hal inilah yang harus ditangani dan digarap oleh para manajer sumberdaya arkeologi yang berkaitan dengan arkeologi publik.
Seperti telah ditulis pada bagian pendahuluan bahwa arkeologi tanpa keterlibatan masyarakat umum adalah sia-sia. Oleh karena itu masyarakat harus tahu dan memahami apa yang dikerjakan oleh para peneliti arkeologi agar dapat mengambil intisari dari hasil penelitian tersebut dalam menjalani kehidupan saat ini ataupun bagi masyarakat dari generasi yang akan datang. Pada dasarnya arkeologi adalah untuk publik, maka dari itu semua bentuk perencanaan penelitian arkeologi semaksimal mungkin hasil laporannya dapat dikontribusikan kepada kepentingan masyarakat luas. Agar masyarakat tertarik kepada arkeologi, seperti yang dilakukan di Negara-negara maju, mereka secara periodik menyelenggarakan apa yang disebut dengan istilah Archaeology Month, di Indonesia mungkin lebih tepat memakai istilah Bulan Purbakala yang dapat diselenggarakan setiap bulan Juni selama sebulan penuh dengan melibatkan berbagai instansi purbakala dan arkeologi serta instansi terkait lainnya, maupun organisasi profesi, seperti Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) dan Asosiasi Prehistorisi Indonesia (API).
Untuk itu masyarakat harus dibekali tentang berbagai hal yang berkaitan dengan arkeologi seperti nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam sumberdaya arkeologi, apa relevansinya dengan dunia modern saat ini, siapa yang dapat diuntungkan dari sumberdaya arkeologi, dan bagaimana keuntungan tersebut dapat diperoleh, serta mengapa sering terjadi konflik yang dipicu dari keberadaan sumberdaya arkeologi. Di Negara-negara maju materi seperti tersebut di atas bahkan dapat diberikan melalui kursus-kursus yang diselenggarakan oleh organisasi profesi. Di Indonesia, dengan berdirinya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli akan pusaka budaya ataupun pusaka alam (bahkan kedua-duanya), arkeologi dapat bekerjasama dengan lembaga nirlaba tersebut. Sayang, kemitraan antara lembaga arkeologi (yang sampai saat ini masih didominasi oleh pemerintah) dan lembaga swadaya masyarakat tersebut belum dapat terjalin dengan “mesra”. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Negara-negara maju seperti di Amerika, di sana benar-benar archaeology for the public seperti yang dilakukan oleh Society for American Archaeology (SAA) dengan anggotanya yang berjumlah 7000 orang, mereka bukan arkeolog tetapi oleh organisasi tersebut dilatih untuk belajar tentang budaya manusia masa lampau berdasarkan tinggalan artefaktualnya, serta diarahkan untuk dapat berperan dalam upaya pelestarian sumberdaya arkeologi dan sumberdaya budaya pada umumnya (www.saa.org).
ANTARA PENELITIAN ARKEOLOGI DAN ARKEOLOGI PUBLIK
Kata “pengembangan” dalam kaitannya dengan nomenklatur lembaga penelitian di atas, haruslah dapat dipahami dan dijabarkan dalam persepsi yang sama di antara para peneliti Arkeologi di lingkungan lembaga penelitian Arkeologi Indonesia. Perlu saya ingatkan bahwa pengertian pengembangan ini telah dibakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan tertuang dalam Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti dan Angka Kreditnya (2005) yang menyebutkan bahwa pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru. Yang kedua, kita harus menyadari bahwa pada sektor lain dalam sistem manajemen sumberdaya Arkeologi di Indonesia seperti sektor pelestarian dan pemanfaatan juga melakukan kegiatan yang bersifat pengembangan. Oleh karena itu kita harus dapat memilah dan memilih kegiatan “pengembangan” yang bagaimana yang seharusnya kita lakukan? Pertanyaan ini bagi saya pribadi tidak mudah untuk dicarikan jawabannya.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata pengembangan berarti suatu proses, perbuatan atau cara mengembangkan sesuatu obyek. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan kegiatan penelitian Arkeologi, kegiatan pengembangan ini merupakan suatu kegiatan tahap kedua pasca penelitian agar suatu situs atau obyek Arkeologi tersebut dapat lebih bermanfaat baik bagi ilmu pengetahuan (akademis), maupun bagi masyarakat secara luas (praktis). Oleh karena itu para peneliti dituntut untuk dapat melakukan kegiatan pengembangan terutama pada situs-situs Arkeologi yang pernah dilakukan penelitian yang berulang kali. Seperti penelitian di Benteng Tabanio, Kabupaten Tanah Laut yang sudah 4-5 kali, situs Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kertanegara, situs-situs gua prasejarah di Kutai Timur, maupun situs-situs etnoarkeologi (penelitian pada etnis Dayak), sudah saatnya dilakukan kegiatan pengembangannya.
Atas dasar pemahaman kami yang cubluk akan penelitian Arkeologi (maklum saya dibesarkan di lingkungan lembaga pelestarian), sebelum ada nomenklatur baru, sejak saya diberi amanah untuk memimpin di Balai Arkeologi Banjarmasin kami sudah melakukan langkah-langkah yang mengacu pada kegiatan pengembangan. Bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara, pada tahun 2005 kami menggelar suatu seminar sehari tentang rencana revitalisasi situs Candi Agung dengan mengundang pembicara dari Direktorat Purbakala dan Departemen Pekerjaan Umum Pusat. Hasilnya mulai tahun 2006 situs tersebut mulai direvitalisasi dengan dana dari pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten setempat.
Pada suatu seminar yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Kalimantan Selatan tahun 2005 yang lalu saya mempresentasikan sebuah makalah berjudul “Budaya Banjar Dalam Perspektif Arkeologi: Satu Studi Kasus Melacak Sisa-Sisa Kerajaan Banjar”. Makalah ini secara jujur saya sampaikan kepada forum sekaligus suatu provokasi yang dapat membangun image masyarakat dan pemerintah Kalimantan Selatan tentang adanya istana atau kraton Kerajaan Banjar. Provokasi saya ternyata berhasil, awal bulan Agustus 2006 saya dipanggil Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Kalimantan Selatan untuk membicarakan tentang studi atau kajian tentang istana atau kraton Kerajaan Banjar seperti yang pernah saya lontarkan dalam seminar tersebut. Hasilnya kami diserahi sejumlah dana untuk mengerjakan kajian yang dimaksud. Bersama rekan dari Teknik Arsitektur Universitas Lambungmangkurat, kami mulai bekerja untuk mewujudkan obsesi saya dan harapan masyarakat Banjar untuk membangun kraton kerajaan Banjar. Pada bulan April 2006 yang lalu saya diminta oleh Pemerintah Kota Tarakan untuk melakukan kajian khusus tentang rencana pengembangan kawasan bersejarah dan pendirian museum kota. Kegiatan tersebut merupakan tindak lanjut dari salah satu rekomendasi yang pernah kami sampaikan kepada Pemerintah Kota Tarakan dalam Laporan Hasil Penelitian Arkeologi-Sejarah Kota Tarakan tahun 2003 yang beaya penelitiannyapun disediakan oleh Pemerintah Kota Tarakan. Untuk memenuhi permintaan di atas, maka saya mengajak Dr. Endang Sri Hardiyati Soekatno dan Drs. Yunus Arbi, MA untuk melakukan kajian-kajian dan studi sesuai permintaan Pemerintah Kota Tarakan tersebut.
Kegiatan seperti di atas menurut hemat saya merupakan salah satu contoh kegiatan pengembangan dari hasil suatu penelitian Arkeologi. Satu hal yang perlu dicatat dan diingat bahwa kegiatan pengembangan tidak dapat digeneralisir ataupun dibakukan lebih-lebih diseragamkan. Karena masing-masing situs pasti akan mempunyai karakter dan lingkungan yang berbeda satu dengan yang lain termasuk masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu dalam mewujudkan “program kerja pengembangan” ini betul-betul dibutuhkan kejelian dan kepekaan manajerial dari seorang peneliti Arkeologi. Seperti telah disinggung di atas, jangan sampai kita terjebak dengan kegiatan pengembangan sektor lain. Pada sektor pelestarianpun adapula kegiatan pengembangan yang dikenal dengan istilah studi teknis dan studi kelayakan. Dalam makalah saya berjudul “Lembaga Penelitian Arkeologi Indonesia dan Obsesi Pengembangannya” yang saya bacakan pada forum EHPA tahun 2003 yang lalu, antara lain mengingatkan kepada kita semua bahwa sektor penelitian harus dapat berperan dan menempatkan diri sebagai leading sector dalam sistem pengelolaan sumberdaya Arkeologi di Indonesia.
MITRA KERJA DALAM PENELITIAN ARKEOLOGI
Sifat ilmu arkeologi yang multi-disipliner sangat terbuka untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak dan seKtor yang berkepentingan dengan obyek penelitian arkeologi. Kemitraan dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi, dapat dibedakan menjadi dua yaitu kemitraan yang bersifat internal dan yang kedua bersifat eksternal. Kemitraan yang bersifat internal seperti diusulkan oleh penulis dalam buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi 2 (Gunadi, 2004) tentang konsep three in one yaitu terintegrasikannya antara kegiatan penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi. Konsep ini memang mudah diucapkan akan tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan, walaupun bagaimana, kita harus dapat menuju kesana. Kedua, kemitraan yang bersifat eksternal yaitu bentuk kerjasama antara bidang penelitian arkeologi dengan pihak lain (inter disipliner maupun antar lembaga).
Satu contoh dalam penelitian permukiman di lingkungan danau di wilayah Kabupaten Lumajang dan Probolinggo, Jawa Timur, kita dapat mengembangkan hasil penelitian tersebut misalnya bekerjasama dengan seKtor lain seperti lingkungan hidup, kehutanan dan seKtor lainnya yang terkait untuk merencanakan kegiatan lanjutan yang bersifat kemitraan atau kolaboratif. Seperti dijelaskan dalam Berkala Arkeologi (Gunadi, 2007) bahwa beberapa danau yang ditemukan di dua wilayah kabupaten Lumajang dan Probolinggo saat ini telah mengalami kekeringan yang disebabkan karena hilangnya nilai-nilai kearifan masyarakat terhadap lingkungannya. Untuk mengembalikan agar lingkungan danau dapat kembali seperti dahulu dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, perlu dilakukan upaya kerjasama lintas sektoral. Dengan demikian hasil penelitian arkeologi juga akan dapat diakses dan dimanfaatkan bagi kepentingan pihak-pihak lain. Apabila hal ini dapat diwujudkan, maka akan terjalin hubungan kemitraan antar lembaga ataupun antar kepentingan namun dalam koridor yang sama yaitu demi terwujudnya kualitas kehidupan manusia yang lebih baik. Dengan demikian, kemitraan ataupun kerjasama dengan pihak lain tidak terbatas pada perijinan, informasi, ataupun hal-hal lain yang terkait dengan kelancaran jalannya proses penelitian. Akan tetapi hasil penelitian arkeologi tersebut nantinya harus dapat memberikan kontribusi yang riil bagi masyarakat atau lembaga yang bersangkutan. Sesuatu yang dapat disumbangkan dari penelitian arkeologi antara lain tentang kajian-kajian kearifan lokal ataupun studi etno-arkeologi.
Ide tentang kemitraan di atas ternyata bagaikan gayung bersambut, karena beberapa waktu yang lalu datang permintaan dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA), Departemen Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mengisi Jurnal yang diterbitkan oleh lembaga tersebut, terutama hasil-hasil penelitian arkeologi yang terkait dengan konservasi sumberdaya alam. Untuk memenuhi permintaan tersebut, beberapa peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta telah mencoba mengirim artikel kepada redaktur jurnal Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Mudah-mudahan kemitraan ini dapat berjalan lancar dan bermanfaat bagi kedua pihak serta pihak-pihak terkait lainnya.
PENUTUP
Pada bagian penutup ini akan disimpulkan beberapa pokok pemikiran penulis antara lain:
- Dalam kegiatan penelitian arkeologi di Indonesia, Arkeologi Publik saat ini sudah selayaknya menjadi pertimbangan khusus dalam menentukan langkah-langkah akademisnya sejak pembuatan kerangka acuan hingga evaluasi hasil kegiatannya, utamanya yang terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal.
- Penelitian arkeologi belum dapat berperan secara nyata sebagai leading sector dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya arkeologi di Indonesia, hal ini disebabkan penelitian dari masing-masing peneliti masih terkesan parsial.
- Lembaga penelitian arkeologi yang didominasi oleh pemerintah, alokasi dana penelitian tidak mampu menangani penelitian yang berskala besar dan tematik.
Atas dasar dari tiga hal yang dapat disimpulkan tersebut, maka dapat direkomendasikan sebagai berikut :
- Penelitian arkeologi di Indonesia agar mempertimbangkan kontribusi apa yang akan diberikan kepada masyarakat, archaeology for the public.
- Untuk dapat menghasilkan kegiatan penelitian arkeologi yang berskala besar dan tematis perlu diusulkan kepada pemerintah cq. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata satu kebijakan tentang alokasi dana penelitian. Salah satu contoh dana penelitian yang tersedia dalam satu tahun anggaran cukup digunakan dalam satu atau dua kegiatan penelitian, dengan alokasi waktu yang panjang dan melibatkan banyak peneliti. Diharapkan tema-tema penelitian dapat diselesaikan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, maksudnya tidak berlarut – larut karena alasan klasik yaitu terbatasnya dana. Mungkinkah model penelitian seperti itu dapat meningkatkan kinerja lembaga penelitian arkeologi di Indonesia? Perlu dicoba.
DAFTAR BACAAN
Ahimsa-Putra, Heddy Shri, 2008. Ilmuwan Budaya Dan Revitalisasi Kearifan Lokal, Tantangan Teoritis dan Metodologis, Naskah Pidato disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke – 62 Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Senin 3 Maret 2008.
Bellwood, Peter S. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo – Malaysia (Edisi Revisi), Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Caldwell, Ian and Bulbeck, David, 2000. Land of Iron, The Historical Archaeology of Luwu and the Cenrana Valley, The Center for South-East Asian Studies, The University of Hull, United Kingdom.
Cahyono, Dwi M. dan Gunadi, 2007. Kerajaan Kutai Martadipura, Kajian Arkeologi – Sejarah, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Gunadi, 2000. “Pesona Tanah Luwu Abad XIV M, Kerajaan Majapahit Import Besi”, SKH. Pedoman Rakyat, Tahun ke 54, No. 90, Tanggal 4 Juni 2000, Kolom 1 – 4.
Gunadi, 2001. Manajemen Sumberdaya Arkeologi, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin (LEPHAS), Makassar.
Gunadi, 2003. “Lembaga Penelitian Arkeologi Indonesia dan Obsesi Pengembangannya”, Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi (EHPA), Cipanas.
Gunadi, 2004. Manajemen Sumberdaya Arkeologi – 2, diterbitkan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Komisariat Daerah Kalimantan.
Gunadi, 2005. “Model Kearifan Lokal Masyarakat Banjar”, dalam Hartatik Dkk (editor): Dinamika Kearifan Lokal Masyarakat Kalimantan, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Komisariat Daerah Kalimantan.
Gunadi, 2006. “Aspek Pengembangan dalam Penelitian Arkeologi: Sebuah Tinjauan Tugas Pokok dan Fungsi Balai Arkeologi”, Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi (EHPA), Bandung.
Gunadi, 2007. “Penelitian dan Pengembangan Situs Permukiman Lingkungan Danau di Jawa Timur : Satu Upaya Menjalin Kemitraan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi”, Berkala Arkeologi, Edisi Nopember-2007, Balai Arkeologi Yogyakarta.
Gunadi, Bani Noor M, dan Naimatul Aufa, 2006. Kajian Reka Ulang Replika Keraton Banjar di Kuin, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Kalimantan Selatan.
Nurhadi, 2000. “Penelitian Arkeologi, Dari GBHN ke GBHN”, Proceedings Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi, Jakarta.
Semah, Francois dkk. 1990. Mereka Menemukan Pulau Jawa, diterbitkan dalam tiga bahasa (Indonesia, Inggris, dan Perancis), Kerjasama antara Kedutaan Perancis untuk Indonesia dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta.
Simanjuntak, Harry T. Dkk. (editor). 2003. Prasejarah Gunung Kidul, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Jakarta.
*Makalah yang gagal dipresentasikan di forum Pertemuan Ilmiah Arkeologi th. 2008 dalam kaitannya dengan dua sektor lainnya yaitu sektor pelestarian dan sektor pemanfaatan.
(Sumber: arkeologijawa.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar