OLEH: DJULIANTO SUSANTIO
Menurut sumber-sumber kuno, Kerajaan Mataram (Hindu) dan Majapahit pernah menorehkan tinta emas dalam panggung sejarah Indonesia. Kedua kerajaan tersebut mengalami masa kecemerlangan karena selalu mendasarkan pemerintahannya kepada kitab-kitab agama. Pada masa itu kitab agama berperan sebagai kitab hukum, kitab kebijakan, dan kitab sastra. Karena itu pengertian tentang kitab agama banyak ditanamkan kepada kalangan istana. Sebelum diangkat menjadi raja, sang putra mahkota terlebih dulu harus menguasai kitab-kitab tersebut.
Karena berbagai ajaran dharmmaraja (tentang tugas dan kewajiban seorang raja) sudah dihayati seorang raja maka kepemimpinan seorang raja sangat dihormati rakyatnya. Hal ini tentu membuka jalan bagi pemerintahan yang bersih dan teratur. Ketika itu struktur pemerintahan kuno mempunyai landasan kosmogoni bahwa raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia. Sebagai seorang dewaraja maka diharapkan raja mampu mengemong dirinya dan rakyatnya, juga bertindak adil dan bijaksana.
Salah satu ajaran dari kitab-kitab kuno yang masih mempunyai relevansi dengan masa sekarang adalah ajaran astabratha (asta = delapan, bratha = perilaku). Astabratha pertama kali dikenal dalam kitab kuno Ramayana yang berasal dari India. Kitab ini ditulis dalam bahasa Sansekerta. Karena dulu kerajaan-kerajaan kuno di Jawa berciri Hindu atau Buddha (kedua agama ini berasal dari India) maka kemudian kitab Ramayana dengan astabratha-nya dibuat dalam versi Jawa Kuno. Konsep astabratha Jawa menilai seorang pemimpin antara lain harus memiliki sifat ambek adil paramarta atau watak adil merata tanpa pilih kasih.
Dalam konsep Hindu, astabratha dikaitkan dengan sifat para dewa sekaligus gejala alam. Dikatakan, di dalam diri seorang raja harus berpadu si-fat delapan dewa, yakni Indra, Yama, Surya, Soma, Wayu, Kuwera, Waruna, dan Agni.
Mengubah yang Jelek Menjadi Baik
Sebagai Indra (Dewa Hujan), diharapkan raja akan menghujankan anugerah kepada rakyatnya. Lewat hujan, yang diidentikkan dengan air, raja juga diharapkan menumpahkan rezeki sehingga rezeki tersebut selalu mengalir dinamis ibarat air. Air adalah sumber segala kehidupan karena merupakan perangkat penting dalam upacara keagamaan.
Maka raja harus pula mampu memberi penghidupan yang layak kepada rakyatnya. Sekarang justru “air” tidak mengalir dengan dinamis, banyak tersumbat oleh berbagai jenis “sampah”. Dengan demikian, banyak hambatan dalam kehidupan manusia. Korupsi adalah sampah yang paling membudaya sehingga menurunkan citra negara.
Sebagai Yama (Dewa Maut), disyaratkan raja harus menghukum para pencuri dan penjahat. Dulu di Kerajaan Mataram dan Majapahit undang-undang hukum begitu ditegakkan. Terlebih karena para penegak hukum adalah seorang pendeta sehingga pengetahuannya akan kitab sastra dan hukum adat menjadi sempurna. Kini hukum malah sering diperjualbelikan.
Bahkan, para penegak hukum sendiri banyak melakukan pelanggaran hukum. Jaksa memeras, hakim mengintimidasi, pengacara menipu, polisi menyiksa, dan para pembuat hukum menerima suap.
Sebagai Surya (Dewa Matahari), diharapkan raja menarik pajak dari rakyatnya sedikit demi sedikit sehingga tidak memberatkan. Dulu pajak merupakan penghasilan terbesar kerajaan. Petugas pajak yang disebut mangilala drawya haji adalah salah satu tokoh yang berperan penting untuk memajukan kerajaan. Kerajaan bisa maju karena banyak petugas pajak bermental jujur dan bersih. Sebaliknya di zaman modern penggunaan hasil pajak tidak sepenuhnya dinikmati masyarakat pembayarnya. Jalan-jalan raya yang masih berlubang di sana-sini merupakan salah satu contoh konkret.
Sebagai Soma (Dewa Bulan), raja harus membuat bahagia seluruh rakyatnya dengan senyumannya yang bagaikan amerta (air suci). Disyaratkan, tindak tanduk raja tidak “memabukkan” rakyatnya dan mampu mengubah sesuatu yang jelek menjadi baik sebagaimana air amerta itu. Dalam mitologi Hindu sebenarnya soma adalah sejenis minuman yang dapat memabukkan pemakainya (berkonotasi negatif). Namun, berkat Indra maka soma mampu “melapangkan pikiran” (berkonotasi positif) orang.
Masih Relevan
Sebagai Wayu (Dewa Angin), raja harus mampu menyusup ke tempat-tempat tersembunyi. Artinya raja harus senantiasa mengetahui hal-ikhwal rakyatnya dan semua gejolak di berbagai lapisan masyarakat. Banyak raja di Jawa terlebih Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit, sering melakukan perjalanan keliling ke daerah-daerah sebagaimana diberitakan Kitab Nagarakretagama. Pada zaman Hayam Wuruk inilah Majapahit mengalami masa kejayaannya. Seharusnya pemimpin sekarang pun langsung turun ke bawah, jangan hanya mendengar bisikan dari pembantunya. Dengarkan keluhan masyarakat, antisipasi yang akan terjadi, dan perbaiki yang sudah dianggap baik.
Sebagai Kuwera (Dewa Kekayaan), disyaratkan raja menikmati kekayaan duniawi, bukan kekayaan materi. Dulu berbagai kekayaan di Tanah Jawa, terutama hasil pertanian, berhasil dikelola dan dinikmati dengan baik. Selama berabad-abad Jawa mendapat sebutan gemah ripah loh jinawi. Negaranya tenteram, rakyatnya hidup makmur. Kini banyak kekayaan negara justru disedot investor luar karena kita tidak bisa mengelolanya dengan baik. Ladang emas dikuasai asing. Ladang minyak semakin tak terurus. Kita yang punya tanah dan air, mereka yang mendapat hasil.
Sebagai Waruna (Dewa Laut) yang bersenjatakan jerat, raja harus menjerat semua penjahat. Para penjahat selalu menyebabkan kemunduran negara. Dengan kitab hukum yang dijunjung tinggi ditambah para penegak hukum yang tegas dan mampu mengambil keputusan terbaik dalam pengadilan maka dulu rakyat menjadi taat hukum. Sebagai Agni (Dewa Api), raja harus membasmi semua musuhnya dengan segera. Dalam praktik kepemimpinan, api diidentikkan dengan semangat atau keberanian. Termasuk musuh raja, selain pencuri dan penjahat, adalah ketakutan, kelicikan, keragu-raguan, dan segala hal yang menghambat dinamika kehidupan bernegara.
Di masa kuno raja benar-benar berpegang teguh kepada dharmma. Raja bersikap adil, menghukum yang bersalah, memberikan anugerah kepada yang berjasa, bijaksana, tidak sewenang-wenang, waspada terhadap gejolak di masyarakat, memberikan rasa tenteram kepada rakyatnya, dan berwibawa. Bahkan, raja tidak sungkan-sungkan untuk memimpin sidang pengadilan. Padahal, menurut kitab hukum Manawadharmmasastra, raja tidak boleh menjadi hakim sendiri. Mungkin, demi rakyatlah raja terpaksa turun tangan memutus suatu perkara yang pelik. Jelas, astabratha masih mempunyai relevansi dengan masa kini.
Penulis adalah seorang arkeolog, tinggal di Jakarta
(Sinar Harapan, Selasa, 11 Agustus 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar