Selasa, 22 September 2009

Gema Masa Silam dari Gunung Marang

 
Hamparan karst Mangkalihat di Kalimantan Timur—yang terbalut oleh rimbunnya rimba belantara—tampak bagaikan padang pegunungan gamping bisu.  Menusuk  ke  dalam   hingga jantung Gunung Marang, daerah yang terletak di barat laut Sangata itu nyatanya sarat menyimpan jejak-jejak masa lalu manusia.

Di sini, sekitar 3.500 tahun lampau sebuah komunitas prasejarah telah tercipta kuat, berkiprah menaklukkan alam dengan berdiam di goa-goa kapur. Hidup mereka kembali bergema melalui penemuan sisa manusia, peralatan hidup, dan berbagai lukisan goa yang canggih. Hampir pasti, merekalah cikal bakal dari sebagian populasi Nusantara saat ini.

Data hunian goa banyak dihasilkan dari kawasan karst Beriun di Pegunungan Marang, bagian dari sistem karst raksasa Sangkulirang-Mangkalihat. Lebih dari seratus goa dengan 1.500 lukisan cadas (di dinding goa)—mayoritas berupa cap-cap tangan—telah ditemukan oleh Jean-Michel Chazine dan Luc Henri Fage sejak tahun 1994.

Lukisan cadas itu umumnya ditemukan pada dinding-dinding goa yang tinggi, yang sulit dicapai karena terletak di lokasi-lokasi terjal 100-200 meter di atas permukaan tanah. Salah satu goa, yaitu Goa Tewet, terdapat lebih 200 cap tangan beserta gambar hewan dan manusia. Separuhnya dihiasi titik, garis, atau pola lainnya, menunjukkan lebih dari 50 kombinasi. Gambar-gambar tersebut mungkin terkait upacara ritual tertentu yang hanya bisa diikuti oleh segelintir manusia.

Di Gunung Marang bagian barat, Goa Berak telah mengontribusi sekitar 35 cap tangan dan beberapa lukisan lainnya. Sementara di Goa Payau terdapat 38 cetakan tangan dan gambar-gambar geometris bermotif garis, koma, titik, lingkaran, anak panah, dan bentuk-bentuk anthromorfik.

Temuan senada juga dihasilkan dari Gunung Marang bagian timur. Di Goa Jupri terdapat panel lukisan sepanjang tiga meter, terdiri atas gambar 16 rusa, babi (1), kura-kura (2), makhluk anthropomorfik (16), dan cap tangan (5). Pada puncak ruang, ditemukan pula 18 cap tangan, beberapa di antaranya dihubungkan oleh garis-garis melengkung. Sedikitnya 15 cap tangan juga ditemukan di Goa Tembus. Sementara di Goa Sahak, ditemukan 70 cap tangan, yang warnanya telah menjadi terang karena terkikis oleh cairan atau deposisi kalsid selama musim kering.


Goa penguburan

Goa penguburan ditemukan di Goa Kaboboh ke arah hulu dari Goa Tewet. Di goa ini, yang terletak sekitar 60 meter di atas muka tanah dengan lereng yang sangat curam, telah ditemukan dua buah kubur.

Kubur pertama terletak di pintu masuk, berupa kubur individu muda. Menilik gigi-geliginya yang cukup lengkap, ini merupakan kubur anak-anak. Lebih ke dalam, ditemukan kubur yang hampir lengkap dengan posisi terlipat, yang ditaburi cangkang-cangkang siput air tawar bersama alat-alat batu dari bahan kalsedon. Tengkoraknya tidak lagi ditemukan. Kedua individu tersebut menunjukkan postur dan ukuran gigi yang ramping.

Di Liang Jon, goa yang berdekatan dengan Goa Kebaboh, ditemukan banyak alat serpih dari kalsedon. Juga tulang belulang binatang, cangkang air tawar dan laut, pecahan-pecahan gerabah, maupun oker-oker merah. Sebuah rangka manusia ditemukan membujur hanya pada kedalaman 60 cm dari permukaan tanah. Kepalanya sudah hilang, tetapi digantikan dengan segumpal batu. Situasi penguburan seperti ini mirip temuan di Teouma, Vanuatu, daerah Kaledonia Baru di Pasifik.

Jejak-jejak budaya yang melimpah di berbagai goa tersebut merupakan bukti kuat tentang hunian prasejarah di Tanjung Mangkalihat. Rangka-rangka manusia yang ditemukan adalah sang produktor budaya, yang terbaring damai di daerah sepi di pedalaman Kalimantan Timur, terpencil dari keramaian.

Untuk mencapai daerah ini butuh tidak kurang dari delapan jam perjalanan dari Kecamatan Bengalon dengan memakai perahu ketiting, perahu kecil tradisional setempat bermesin tunggal, menyusuri Sungai Bengalon dan Sungai Marang.

Sungguh luar biasa hamparan bukti kehidupan manusia masa lalu di kawasan Gunung Marang. Gambar-gambar rusa, babi, ataupun kura-kura adalah gambar magis binatang harapan dalam perburuan mereka.

Inilah salah satu religi paling tua yang tampak dalam kisah masa lalu manusia di Indonesia, yang muncul di tempat-tempat tinggi dinding goa prasejarah. Tampaknya, mereka pun memilih goa tersendiri untuk mengekspresikan ungkapan-ungkapan religi mereka.

Lukisan-lukisan dinding hanya ditemukan di goa-goa yang tidak pernah dipakai sebagai hunian manusia. Sebaliknya, goa-goa yang dihuni, tidak pernah ditemukan lukisan-lukisan cadas. Konsep ”rumah ibadah” sudah muncul sangat dini di Kalimantan Timur, setidaknya sejak 3.500 tahun yang lalu.

Siapakah mereka?

Gambar cap tangan dan juga berbagai gambar binatang banyak ditemukan pula di Sulawesi Selatan. Pertama kali ditemukan CHM Heeren- Palm di bagian dalam Leang PattaE berupa cap-cap tangan kiri berlatar belakang warna merah.

Di Leang DjariE, lukisan sejenis juga ditemukan oleh CHJ Franssen. Motif lukisan goa lainnya, seperti yang ditemukan di Leang Burung, adalah motif babi lokal (Sus celebensis) yang saat ini masih dapat dijumpai. Lukisan-lukisan dinding banyak ditemukan pula di daerah lainnya di Maros dan Pangkep, misalnya di Goa Simpang Bita.

Gambar-gambar cadas di Sulawesi tersebut tampaknya tidak dapat dipisahkan eksistensinya dari sisa-sisa manusia yang banyak dihimpun di beberapa goa, seperti Uleleba, Karassa, Leang Cadang, ataupun Bola Batu. Seluruh sisa rangka manusia yang ditemukan di berbagai goa tersebut menunjukkan ciri ras Mongolid.

Situasi temuan sisa manusia dan budaya goa di Sulawesi tersebut dapat dipakai sebagai pembuka tabir bagi keberadaan lukisan-lukisan dinding di Kalimantan Timur. Sisa-sisa rangka manusia yang ditemukan di Liang Jon dan Goa Kebaboh juga secara kuat memperlihatkan ciri-ciri Mongolid.

Dalam konteks genetis-biologis, Mongolid adalah subspesies dari Homo sapiens, sang manusia modern, yang merupakan unsur utama populasi Indonesia saat ini. Mereka adalah bagian terbesar dari para penutur bahasa Austronesia, yang berjumlah lebih dari 300 juta jiwa dan mengokupasi wilayah luas Asia-Pasifik, mulai dari Madagaskar di barat, Taiwan di utara, Kaledonia Baru di selatan, hingga daerah Pasifik di timur.

Teori persebaran para Austronesia awal, ”Out of Taiwan”, menyebutkan terjadinya migrasi bangsa ini dari Taiwan pada sekitar 6.000 tahun yang lalu, masuk Sulawesi sekitar 4.000 tahun silam, dan bergerak ke timur hingga mencapai Pasifik pada 2.000 tahun lalu. Kecepatan luar biasa migrasi manusia dari Taiwan hingga mencapai Kepulauan Polinesia di Pasifik tersebut memberikan julukan lain bagi teori ini sebagai ”Express Train to Polynesia”.

Sebaran lukisan dinding di Kalimantan Timur pun semakin jelas identitasnya. Budaya ini diciptakan oleh para migran Mongolid, seperti yang ditunjukkan beberapa sisa manusia yang ditemukan di daerah tersebut. Boleh jadi, gambar-gambar yang ditemukan di Kalimantan Timur tersebut dibuat oleh migrasi ras Mongolid yang sama dari Sulawesi.

Pasalnya, situasi geografis menunjukkan, Tanjung Mangkalihat merupakan lokasi di Kalimantan Timur yang berjarak paling dekat dengan Sulawesi. Hanya sekitar 50 kilometer jika dihitung dari Tanjung Dondo, dekat Tolitoli. Pada titik Mangkalihat-Dondo inilah penyeberangan dari Sulawesi ke Kalimantan Timur akan paling mudah dilakukan.

Alur migrasi bangsa Austronesia awal ini pun kemudian menjadi lebih gamblang untuk direkonstruksi. Dalam pergerakan dari utara ke selatan melalui jalur Taiwan-Filipina-Sulawesi sejak 6.000 tahun yang lalu, pada saat mereka sampai di Tanjung Dondo di dekat Tolitoli, ada percabangan yang bergerak dan menyeberang ke Kalimantan hingga tiba di kawasan Gunung Marang pada sekitar 3.500 tahun silam.

Di tanah baru tersebut, para migran langsung menetap di goa-goa di Sangkulirang dan Mangkalihat, antara lain dengan membuat gambar-gambar cadas di dinding-dinding goa. Di lain pihak, dari Tanjung Dondo di Sulawesi, kelompok selebihnya tetap melanjutkan perjalanan ke selatan hingga mencapai daerah Sulawesi Selatan pada sekitar 3.000 tahun yang lalu dan menetap di goa-goa hingga Maros dan Pangkep.

Merekalah moyang dari populasi Indonesia saat ini.

Harry Widianto
Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran
(Kompas, Jumat, 19 Juni 2009)

1 komentar:

  1. Wah pak Herry... isih kelingan ra untu potholanku PM-3 nang Paris biyen sing iso langsung mbok identifikasi, ... luar biasa! (ra kleru diidentifikasi untu wedushhh hehehe) Sampeyan memang sangat berbakat jadi arkeolog. Selamat makaryo pak... Temuan Gunung Marang juga penting untuk sejarah arsitektur (hunian/permukiman pra sejarah), dan ternyata manusia prasejarah Indonesia tidak tinggal di gua (seperti yang dari 4 musim). Masih suka nyanyi nirukan suara seraknya siapa itu yah penyanyi amrik jadul? Aku nembe ketemu mas Toye, pak Otik, mas Ipul, nang Trowulan. Aku penelitian ruang sakral arsitektur Trowulan. Pak Rokus wis pensiun? Tak goleki nang gua nggone wong kerdil floresiensis tapi ga ketemu. Oh iyo, pak Bambang Supriyadi (mas Pipi Undip) kae bimbinganku S3. Kapan iso ketemu yo? Blog-mu apik pak, serius... Salam. Galih W. Pangarsa (galih.wp@gmail.com / arsiteknusantara.blogspot.com)

    BalasHapus