Banyak komentar masyarakat sudah kita dengar tentang klaim Malaysia atas tari Pendet dan wayang kulit. Sebelumnya juga atas reog Ponorogo dan batik. Sebagai bangsa yang berbudaya, seharusnya kita tidak perlu risau. Ini kita maklumi karena Malaysia memang sedang berusaha mencari jati diri budayanya.
Rasanya terlalu naif bila kita meributkan kebudayaan semata sebagai aset pariwisata saja. Tentu sebagai bangsa yang matang budaya kita akan terkesan bijak kalau mengatakan bahwa kebudayaan itu bersifat dinamis, sejalan dengan upaya manusia untuk mencapai kesempurnaan hidupnya. Kebudayaan kita, sejatinya, adalah juga bagian dari kebudayaan seluruh umat manusia.
Klaim Malaysia atas budaya Indonesia harus kita lihat sebagai upaya mereka dalam mengarahkan pembangunan kebudayaannya. Ini artinya, pengakuan mereka terhadap nilai-nilai adiluhung yang terkandung dalam kebudayaan Indonesia. Unsur-unsur budaya kita ingin diadopsi bagi pengembangan budaya mereka. Semestinya kita biarkan saja, toh kebudayaan kita dulu juga berkembang karena adanya persentuhan dengan budaya-budaya India, Cina, Timur Tengah, dan Eropa.
Tapi masalahnya dalam silang budaya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat piawai dalam hal melebur, mengolah, dan mengembangkan unsur-unsur budaya. Inilah sinkretisasi, kekuatan bangsa kita.
Dalam proses itu, tentu saja, melibatkan respon-respon cerlang budaya (local genius) yang telah begitu lama tertanam kuat dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat kita. Dengan cerlang budaya tersebut, karya budaya hasil proses lebur-olah-kembang tersebut, akhirnya selalu memiliki keunggulan dibandingkan aslinya.
Pertanyaannya sekarang, apakah Malaysia cukup mempunyai cerlang budaya dalam menghadapi pengaruh budaya luar? Apakah mereka cukup piawai dalam meramu unsur-unsur asing bagi pembentukan kebudayaannya? Kita, memang benar, berasal dari satu rumpun Melayu yang sama. Tapi dalam perkembangannya, kita menjadi sangat berbeda. Pernahkah terdengar prestasi leluhur pelaut Melayu Malaysia yang sehebat leluhur pelaut Melayu Indonesia? Adakah di Malaysia, leluhur Melayunya pernah membuat candi yang sekelas dengan Borobudur? Adakah peradaban leluhur Melayu Malaysia yang sedigdaya Melayu, Sriwijaya, atau Majapahit?
Ini sesekali bukanlah sebuah pengagung-agungan terhadap masa lalu kita. Namun hanya untuk menegaskan, bahwa dalam hal berkebudayaan, kita jauh lebih berkembang dari Malaysia. Jadi, kenapa kita harus risau atas ulah mereka? Mungin bukan level-nya. Biarkan saja mereka mengarahkan kebudayaannya sendiri. Bisa jadi mereka akan berhasil. Namun tanpa akar budaya yang tertanam kuat dalam masyarakatnya, bukan tidak mungkin pula mereka malah akan mengalami gegar budaya (shock culture). Dari diskriminasi etnik yang diberlakukan secara ketat, yang seperti api dalam sekam bagi pemerintahan Malaysia, setidaknya kita dapat menilai akan ketidakarifan mereka dalam membangun kebudayaannya.
Devisa
Memang, kehebatan Malaysia dibandingkan kita adalah dalam bidang promosi pariwisata. Mereka sering menjual budaya Indonesia, dan hasilnya jauh lebih tinggi dari pada devisa yang kita dapatkan. Maka kita sebagai bangsa yang berbudaya, sudah sepatutnya menghargai budaya sendiri. Jangan justru mengagung-agungkan budaya luar. Itu yang terjadi dengan anak-anak bangsa kita saat ini. Jika tidak kita waspadai dari sekarang, lambat laun akan hilang semua budaya agung masa lalu yang kita punyai.
Mungkin juga masalah dengan Malaysia bukanlah masalah kebudayaan, tapi hanya masalah komoditi. Mereka tidak tertarik dengan kebudayaan kita, tetapi mereka tertarik dengan uang yang bisa dihasilkan dari situ. Ini bukan masalah kebudayaan ataupun jati diri bangsa, tapi masalah hak milik dan uang yang dihasilkan dengan memiliki kebudayaan atau kesenian itu. Sekali lagi, ini cuma urusan duit.
Budaya memang bukan produk setahun dua tahun. Kita tahu budaya itu terbentuk lewat proses panjang dan rumit. Kalau Malaysia mau mengaku-ngaku, biarkan saja, itu jelas menunjukkan kekerdilan dan kebodohannya saja sebagai bangsa.
Ironisnya, saat banyak perusahaan batik di negeri kita nyaris gulung tikar, Malaysia banyak mendatangkan mbok-mbok pembatik kita. Mereka diberi insentif yang menggiurkan, termasuk juga pekerja pendukung budaya reog. Nah, inilah salah satu bentuk penghargaan yang tidak dimiliki oleh bangsa kita.
Tambahan lagi, kita ini kurang promosi. Bayangkan, promosi wisata Malaysia sering muncul di TV internasional. Di India, bahkan Vietnam juga ada.
Tentu banyak orang tahu kalau penduduk Malaysia merupakan campuran empat etnis besar: Melayu, Arab, India, dan Cina. Dengan begitu menjadi jelas bahwa budaya asli Malaysia tidak pernah ada. Budaya Arab, jelas ada di jazirah Arab. Budaya India, ada di India dan Asia Selatan. Budaya Cina memang mencakup ¼ dunia. Budaya Melayu, sama seperti budaya Indonesia. Jadi satu-satunya jalan ya mengambil punya tetangga.
Truly Asia
Malaysia itu cukup cerdas, sebagaimana terlihat dari slogan destinasi wisatanya, Truly Asia. Ini artinya turis dari manapun tidak usah jauh-jauh keliling Asia, tapi cukup ke Malaysia sudah bisa lihat semua.
Bisa saja ini bukan persoalan budaya, tapi lebih ke arah fulus. Secara budaya, tentu Malaysia tidak memiliki keanekaragaman budaya seperti di Indonesia. Tapi faktanya, mereka berani mengklaim sebagai Truly Asia. Suka atau tidak suka, harus diakui bahwa strategi Malaysia itu meski terkesan licik dan tak beretika, dalam memromosikan negaranya ke seantero jagat, terbukti berhasil. Jumlah fulus yang diraup Malaysia dari sektor pariwisata setiap tahunnya terus meningkat. Jangan tanya soal angka, karena bisa mencapai 40-50 kali lipat dari penghasilan Indonesia lewat sektor wisata. Lagi pula, para pengamat budaya di dunia juga tahu kalau tari Pendet, reog Ponorogo, wayang, dan batik itu bukan milik Malaysia karena budaya Hindu tidak pernah mampir di sana.
Jelas Malaysia sangat mengerti betapa kayanya hasil budaya Indonesia sejak dulu. Itulah sebabnya mereka "iri" melihat keanekaragaman dan keunikannya. Mereka melihat pula begitu banyak produk atau hasil budaya tersebut yang "ditelantarkan" oleh pemerintah atau si penciptanya dengan cara belum dipatenkan. Kesempatan bagi mereka untuk mencoba-coba, berhasil (tidak ada protes) berarti tujuan mereka tercapai, tidak berhasil ya tinggal minta maaf. Bagi kita sebenarnya ada sisi positifnya: lebih peduli terhadap budaya sendiri dan membangunkan pemerintah dengan kementerian terkait untuk lebih aktif. Tidak semua buruk toh.
Selain kreatif, Malaysia ternyata punya kemampuan dana untuk melakukan yang baik untuk negaranya. Lihat saja dari segi ekonomi, Indonesia ketinggalan 5 tahun dari Malaysia, 10 tahun dari Korsel. Perhatikan pula, ada berapa banyak billboard raksasa yang terpasang di Jakarta untuk promosi pariwisata mereka. Tetapi apakah ada hal serupa yang kita lakukan di negara tetangga? Bukan kita tidak mau, tetapi belum mampu. Mereka kabarnya mampu menyediakan dana promosi 10 kali lipat dari yang kita anggarkan. Aneka kekayaan mereka tidak seberapa, tetapi dikemas dengan anggaran yang memadai. Kekayaan kita ruuuuuuar biasa, tetapi dikemas alakadarnya, ya kelelep.
Sesungguhnya kalau kita lihat lebih teliti iklan visit Malaysia itu, tidak ada sama sekali kata-kata yang mengklaim bahwa Pendet dan warisan budaya Indonesia lainnya sebagai milik Malaysia. Jadi sebaiknya tangguhkan dulu tuduhan bahwa Malaysia telah mengklaim warisan budaya kita. Dari perspektif strategi komunikasi periklanan, sesungguhnya Malaysia cuma pengen semua wisatawan mancanegara yang menjadi target audience promosi iklan itu untuk bisa menikmati semua kekayaan budaya Indonesia melalui pintu gerbang mereka.
Dari kacamata pariwisata, jelas tari Pendet itu warisan dunia, artinya dimiliki oleh semua orang di dunia. Hanya orang perlu tahu bahwa tari Pendet berasal dari Indonesia. Malaysia pintar mendagangkan khasanah budaya kita dan kita tidak mampu melakukannya. Lagi pula apa yang membuat orang mau datang ke Malaysia? Tidak ada apa-apanya. Makanya sejak tahun 2000 pihak terkait di sana menggagas strategi komunikasi dengan slogan Malaysia, The Truly Asia. Dengan slogan itu dia bermaksud mengundang wisman untuk datang menikmati kekayaan alam dan budaya Asia (termasuk Indonesia) melalui pintu gerbang mereka. Terbukti sekali strategi ini sukses mendongkrak devisa mereka tiga kali lebih banyak dari negara-negara yang dijualnya. Acungan jempol buat mereka dan sebuah tamparan atas kebodohan kita.
Facebook sering dipandang sebagai jejaring sosial untuk membantu seseorang terhubung dan berbagi (connect and share). Namun sesungguhnya bila didayagunakan, Facebook bisa menjadi arena diskusi yang interaktif. Banyak hal bisa dilihat atau diperoleh dari sini, sebagaimana halnya tulisan ini.***
(DJULIANTO SUSANTIO, diolah dari FB Nurman Sahid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar