Oleh: Nurhadi Rangkuti
Abstrak
Wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang kaya dengan sumberdaya arkeologi, baik di darat maupun di perairan. Daerah pantai timur Sumatera dan Kepulauan Bangka-Belitung merupakan wilayah yang padat dengan tinggalan budaya masa lalu, antara lain situs-situs hunian, dan pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir serta peninggalan bawah air berupa kepingan-kepingan kapal (shipwrecks) dan barang muatan kapal tenggelam (BMKT) banyak dijumpai di daerah tersebut. Bukti-bukti arkeologis tersebut yang didukung oleh sumber-sumber tertulis menggambarkan adanya kontak budaya antara Sumatera-Bangka Belitung dengan daerah luar sejak awal Masehi.
Peninggalan bawah air yang berada di wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang belum banyak dikaji dalam upaya merekonstruksi kebudayaan masa lampau, terutama kehidupan bahari bangsa Indonesia pada masa lalu. Sebagai contoh, wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang mengandung banyak peninggalan maritim Kerajaan Sriwijaya dari abad ke VII-XIII Masehi. Oleh karena itu penelitian arkeologi maritim (maritime archaeology) sudah saatnya dikembangkan di Indonesia.
Tulisan ini bertujuan untuk memberitakan upaya-upaya, rencana-rencana serta kendala-kendala yang dihadapi dalam mengembangkan arkeologi-maritim khususnya di Balai Arkeologi Palembang.
Kata kunci: Arkeologi-maritim, Sriwijaya, Sumatera, Bangka-Belitung
1. Pendahuluan
Daerah pantai timur Sumatera (di Jambi dan Sumsel) dan Kepulauan Bangka-Belitung merupakan wilayah yang padat dengan tinggalan budaya masa lalu. Situs-situs permukiman dan pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir serta peninggalan bawah air berupa kepingan-kepingan kapal (shipwrecks) dan barang muatan kapal tenggelam (BMKT) banyak dijumpai di daerah tersebut. Bukti-bukti arkeologis tersebut yang didukung oleh sumber-sumber tertulis menggambarkan adanya kontak budaya antara Sumatera-Bangka Belitung dengan daerah luar sejak awal Masehi.
Peninggalan bawah air yang berada di wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang belum banyak dikaji dalam upaya merekonstruksi kebudayaan masa lampau, terutama kehidupan bahari bangsa Indonesia pada masa lalu. Sebagai contoh, wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang mengandung banyak peninggalan maritim Kerajaan Sriwijaya dari abad ke VII-XIII Masehi. Oleh karena itu penelitian arkeologi maritim (maritime archaeology) sudah saatnya dikembangkan di Indonesia.
Tulisan ini bertujuan untuk memberitakan upaya-upaya mengembangkan arkeologi-maritim khususnya di Balai Arkeologi Palembang. Salah satu upaya pengembangan tersebut antara lain diselenggarakannya kegiatan Ekspedisi Sriwijaya pada tanggal 6-10 Oktober 2009 oleh Balai Arkeologi Palembang dan Direktorat Peninggalan Bawah Air, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
2. Arkeologi Maritim
Peninggalan bawah air berupa sisa-sisa kapal kuno dan barang muatannya merupakan bagian dari sumberdaya arkeologi (archaeological resources). Sebagaimana sumberdaya arkeologi yang terdapat di darat, peninggalan bawah air merupakan data arkeologi yang perlu dikaji oleh arkeologi sebagai disiplin ilmu. Cabang disiplin arkeologi yang menangani peninggalan bawah air di Indonesia dikenal dengan istilah arkeologi bawah air (underwater archaeology). Selain arkeologi bawah air ada beberapa istilah dari cabang disiplin arkeologi untuk menggambarkan lingkup kajian peninggalan bawah air, antara lain marine archaeology, maritime archaeology, nautical archaeology.
Jeremy Green (2004) menggunakan istilah arkeologi-maritim (maritime archaeology). Menurut Green (2004:4) arkeologi- maritim berkenaan dengan aspek-aspek arkeologi dan teknik-teknik yang digunakan untuk menangani arkeologi dalam lingkungan bawah air. Istilah arkeologi maritim digunakan untuk menangani peninggalan arkeologi yang berhubungan dengan kebudayaan maritim baik peninggalan arkeologi di darat (misalnya penemuan sisa-sisa perahu di darat) maupun peninggalan arkeologi di bawah air. Istilah arkeologi bawah air (underwater archaeology) digunakan semata-mata untuk penyederhanaan istilah dari arkeologi-maritim.
Penelitian arkeologi maritim di bawah air memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan kegiatan di darat. Diperlukan rencana yang matang meliputi studi arsip, persiapan lapangan, penyusunan tim, perlengkapan dan logistik, dan keselamatan dalam pelaksanaan. Diakui penelitian secara sistematis pada peninggalan bawah air yang meliputi survey, ekskavasi, perekaman data, penggambaran temuan, dan analisis temuan, terbentur oleh kendala keterbatasan alat dan teknologi, tenaga professional dan dana. Penelitian arkeologi bawah air merupakan penelitian interdisipliner sehingga memerlukan kerjasama dengan berbagai fihak yang terkait. Oleh karena itu proposal-proposal penelitian arkeologi maritim perlu disusun bersama dan diperlukan sharing alat, tenaga profesional dan dana.
Pada tahap integrasi dan sintesa data diperlukan studi eksperimen dan analogi etnografi. Eksperimen arkeologi antara lain berupa pembuatan replika kapal kuno berdasarkan hasil penelitian yang memerlukan tenaga-tenaga ahli dan dana yang memadai. Pembuata replika kapal kuno dianggap penting karena salah satu bentuk publikasi arkeologi-maritim kepada masyarakat.
Studi etnografi pada suku-suku laut (sea nomad) perlu dilakukan untuk menjelaskan teknologi dan cara hidup masyarakat maritim pada masa lalu. Dampak pembangunan modern menyebabkan banyak perahu dan teknologi tradisional yang telah punah, serta perubahan cara hidup pada masyarakat lokal. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam studi etnografi untuk memahami kehidupan masyarakat maritim masa lampau.
3. Ekspedisi Sriwijaya
Ekspedisi Sriwijaya merupakan satu kegiatan arkeologi-maritim yang berupaya mengintegrasikan peninggalan-peninggalan arkeologi di bawah perairan dan peninggalan arkeologi di darat dalam konteks budaya maritim. Peserta ekspedisi terdiri dari para arkeolog, antropolog, ahli kelautan, penyelam, polisi air dan wartawan.
Ekspedisi Sriwijaya bertujuan untuk menelusuri jalur pelayaran masa lampau dari Situs Kota Kapur (Bangka) menuju Palembang melalui Air Sugihan, Sungai Upang dan Sungai Musi dengan naik perahu kayu. Rute ekspedisi dipilih dengan mempertimbangkan data prasasti masa Sriwijaya, serta data persebaran situs arkeologi di Kota Kapur, Air Sugihan dan di Palembang. Prasasti yang menjadi acuan adalah Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Kedukan Bukit yang berbahasa Melayu Kuna, ditulis dengan huruf Pallawa. Kedua prasasti tersebut dibuat pada masa pemerintahan Dapunta Hiyan Sri Jayanasa, raja Sriwijaya pada abad VII Masehi.
Situs Kota Kapur yang terletak di Desa Kota Kapur, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung, adalah tempat ditemukannya prasasti batu berbentuk tugu pada tahun 1892. Prasasti setinggi 177 cm dan lebar 32 cm itu diterbitkan pada 28 Februari 686 Masehi, memuat kutukan bagi siapa saja yang tidak setia dan berkhianat kepada Kedatuan Sriwijaya. Pembuatan prasasti berlangsung pada saat bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang Bumi Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya.
Empat tahun sebelum Prasasti Kota Kapur ditulis, Dapunta Hiyan datang ke Palembang bersama dua puluh ribu serdadu naik perahu menyusuri Sungai Musi dengan perbekalan 200 peti. Rombongan yang berjalan kaki 1.312 tentara. Mereka berangkat dari suatu tempat yang bernama Minanga melakukan perjalanan menuju Mukha Upang selama 29 hari. Sampai di tempat tujuan, Dapunta Hiyan kemudian membangun kampung (wanua). Sang raja menyebut ekspedisi itu sebagai jaya siddayatra, yaitu perjalanan suci untuk kejayaan Sriwijaya. Boechari (1993), ahli epigrafi, menyatakan wanua yang dibangun Dapunta Hiyan kemudian berkembang jadi pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang.
Kisah ekspedisi itu terukir dalam prasasti batu yang ditemukan oleh seorang bangsa Belanda tahun 1920 di Desa Kedukan Bukit di bagian barat Kota Palembang. Prasasti Kedukan Bukit dipahat pada tanggal 16 Juni 682 Masehi.
3.1. Metode dan teknik
Dalam kegiatan ekspedisi dilakukan pengumpulan data arkeologis, keadaan lingkungan dan kondisi sosial-budaya pada tempat-tempat yang disinggahi dalam ekspedisi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara survey dan wawancara. Kegiatan arkeologi bawah air dilakukan di perairan Selat Bangka tepatnya di sekitar Pulau Pelepas yang terletak di sebelah selatan Situs Kota Kapur. Dalam kegiatan tersebut dilakukan survey dan penyelaman untuk mengidentifikasi tinggalan arkeologis di bawah air.
Posisi (situs dan obyek lainnya) dan jalur ekspedisi dilakukan dengan menggunakan Global Position System (GPS). Data yang direkam dengan GPS itu kemudian dipetakan dengan aplikasi Geographic Information System (GIS) dengan program Arc view 3.2. Pemetaan menggunakan peta digital (basemap) yang diterbitkan oleh Bakosurtanal. Hasil ekspedisi berupa jalur pelayaran masa lamapu dikaji dengan memperhatikan data arkeologi dan sumber-sumber sejarah.
3.2 Hasil Kegiatan
Di Situs Kota Kapur, tim ekspedisi mengadakan survey arkeologi, lingkungan dan pengamatan sosial budaya. Berdasarkan pengamatan lingkungan, Situs Kota Kapur mulai terancam oleh aktivitas penambang timah yang areanya mendekati zona inti situs.
Pada hari yang sama tim arkeologi bawah air melakukan survey laut dengan perahu dari Dermaga Kota Kapur menuju pulau-pulau kecil (Pulau Pelepas, Pulau Pegadung dan Pulau Nangka), dekat Tanjung Tedung yang berada di selatan Kota Kapur. Sebuah mercusuar Belanda masih berdiri kokoh di Pulau Pelepas. Mercusuar yang pernah dipugar oleh Ratu Wilhelmina pada tahun 1893 itu digunakan sebagai pemandu navigasi kapal-kapal yang ramai melintasi perairan Bangka-Belitung.
Nelayan setempat menunjukkan di sebelah barat Pulau Pelepas terdapat bangkai kapal tenggelam di dasar laut. Penyelaman arkeologi bawah air pun di lakukan pada saat permukaan laut tenang, namun arus di bawahnya sangat kencang dan jarak pandang hanya 1 – 3 meter. Sebuah kapal perang Belanda ditemukan terbenam di dasar laut pada kedalaman 17-25 meter. Kapal besi berukuran panjang 70 meter itu tenggelam dalam kondisi terbelah dua.
Di sekitar Selat Bangka dan perarian Kepulauan Bangka-Belitung memang banyak ditemukan bangkai kapal tenggelam (shipwrecks) oleh karena banyaknya gosong karang di perairan ini. Namun perahu-perahu kayu zaman Sriwijaya malah seringkali ditemukan di rawa-rawa. Di Situs Kota Kapur ditemukan kepingan-kepingan papan perahu kuna dari dasar rawa pada saat penelitian tahun 2007 (Rangkuti 2007). Teknik rancang bangun perahu dibuat dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed technique). Sisa-sisa perahu dari teknik pembuatan dan masa yang sama ditemukan pula di rawa-rawa Mariana dan Sungai Buah (Palembang), Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir), Situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin) dan di Lambur (Jambi).
Setelah melakukan survey dan penyelaman selama dua hari di Bangka, tim kemudian menyeberangi selat Bangka dengan speedboat kayu yang ditempuh dalam waktu tiga puluh menit. Sampai di muara Air Sugihan tim langsung menelusuri Air Sugihan yang semakin ke hulu semakin sempit dan hutan mangrove pun semakin berkurang. Di belakang hutan mangrove, terbentang lahan-lahan transmigrasi yang disekat oleh jalur-jalur irigasi sekaligus untuk jalur transportasi air. Sebagian daerah lahan basah itu direklamasi untuk kawasan transmigrasi.
Speedboat masuk ke Jalur 27 dan merapat di dermaga Desa Kertamukti, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir . Desa ini kaya dengan tinggalan arkeologis berupa manik-manik berbahan kaca dan batuan, fragmen-fragmen tembikar dan keramik kuno, benda-benda emas dan logam lainnnya, serta sisa tiang rumah kuno dari batang pohon nibung (oncosperma filamentosa). Tim mengunjungi Situs Kertamukti 1 yang pernah diteliti melalui ekskavasi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Situs berada pada lahan bekas sungai kecil (alur) dan rawa yang kini telah direklamasi untuk lahan transmigrasi. Dalam ekskavasi ditemukan sisa-sisa bangunan rumah panggung bertiang nibung. Selain itu ditemukan pula tali ijuk (arrenga pinnata), pecahan-pecahan tembikar dan keramik Cina, manik-manik, sudip dari kayu dan fosil kayu. Di kawasan Air Sugihan keramik dari Cina yang paling banyak ditemukan berasal dari abad IX-X Masehi dari Dinasti Tang.
Esok paginya tim berangkat ke Palembang dengan kembali menelusuri Air Sugihan. Untuk masuk ke Sungai Musi, speedboat melewati Jalur 21. Jalur itu menghubungkan Air Sugihan dengan Sungai Saleh kemudian melewati satu jalur lainnya yang menghubungkan Sungai Saleh dengan Sungai Upang. Pada masa sekarang, sulit sekali mencari cabang dan anak sungai alamiah yang dulu menghubungkan Air Sugihan, Sungai Saleh dan Sungai Upang yang akhirnya bertemu dengan Sungai Musi di Delta Upang. Sungai-sungai alam itu telah hilang, digantikan oleh jalur-jalur irigasi.
Tim mampir di Desa Upang, Kecamatan Makarti Jaya, Kabupaten Banyuasin, yang terletak di Delta Upang. Desa ini menjadi terkenal di kalangan ahli-ahli Sriwijaya, ketika Boechari (1993) mengidentikasi lokasi Desa Upang ini pernah dikunjungi oleh Dapunta Hiyan dan ribuan tentara dengan naik perahu. Mukha Upang yang teridentifikasi dalam Prasasti Kedukan Bukit disamakan dengan Upang, desa yang terdapat di Delta Upang.
Perjalan dari Desa Upang ke Palembang menempuh waktu sekitar satu jam. Di Palembang, tim merapat di Benteng Kuto Besak. Jalur ekspedisi berakhir di tempat itu. Rute Ekspedisi Sriwijaya 2009 dapat dilihat pada gambar 1.
3.3 Pembahasan
Pada zaman dahulu para pelaut asing yang berlayar dari Selat Malaka dan Laut China Selatan ketika memasuki Selat Bangka mendapat petunjuk tentang Pulau Bangka dari tanda-tanda geografis: bukit, tanjung dan pulau kecil.
Bukit Menumbing, yang terletak di Pulau Bangka telah dikenal oleh para pelaut asing sebagai pedoman untuk masuk menuju ibukota kerajaan di Palembang. Bukit ini letaknya berhadapan dengan mulut Sungai Musi, jalur transportasi ke ibukota Sriwijaya. Pada abad XV-XVI Masehi pelaut-pelaut China menyebut Bukit Menumbing dengan nama Peng-chia shan (Peng-chia = Bangka, shan = gunung) menurut penafsiran OW Wolters (Bambang Budi utomo, 2003:65).
Para pelaut Portugis menggunakan Roteiros (Buku Panduan Laut) dari masa-masa yang sama untuk melayari Selat Bangka. Bukit Menumbing disebut sebagai Monopim. “Berlayar dari baratlaut ke tenggara, setelah melihat Monopim di Bangka, kapal-kapal mendekati Sumatera sampai garis hijau rendah hutan-hutan bakau kelihatan. Di sebelah barat Monopim pelayaran harus mengitari sebuah tanjung berkarang yang menjorok ke laut”. (P.Y. Manguin 1984:18).
Ada beberapa jalan masuk ke kota Palembang dari Selat Bangka . Berhadapan dengan Pulau Bangka terdapat muara-muara sungai, yaitu Sungai Banyuasin, Sungai Musi (Sungsang), Sungai Upang (bertemu dengan Musi di Delta Upang), Sungai Saleh dan Air (sungai) Sugihan. Berita China Shun-feng hsiang-sung (abad XV Masehi) memberi petunjuk tentang jalan yang benar ke ibukota kerajaan :
- “Ketika buritan kapal diarahkan ke Niu-t’ui-ch’in (pusat bukit pada rangkaian perbukitan Menumbing), anda dapat terus berlayar memasuki Terusan Lama (= Musi). Garis daratan di hadapan Bangka terdapat tiga buah terusan. Terusan yang di tengah (Terusan Lama) adalah jalan yang benar. Di situ ada sebuah pulau kecil” (Wolters tanpa tahun dalam Bambang Budi Utomo, 2003:65).
Ekspedisi Sriwijaya 2009 memilih jalur Air Sugihan dalam perjalanan menuju Palembang dari Situs Kota Kapur di Pulau Bangka. Selain lebih dekat, di daerah aliran Air Sugihan para arkeolog menemukan situs-situs arkeologi dari masa pra Sriwijaya sampai abad XVI Masehi. Balai Arkeologi Palembang mencatat 26 lokasi situs di kawasan tersebut.
Jalur ekspedisi yang dipilih itu antara lain untuk menjajaki kemungkinan adanya hubungan antara Situs Kota Kapur dan situs-situs yang tersebar di kawasan Air Sugihan. Sebelum Dapunta Hiyan dan bala tentaranya mengadakan ekspedisi ke Kota Kapur, kawasan itu merupakan daerah bermukim komuniti yang menganut agama Hindu. Ditemukannya arca Wisnu dari abad V-VI Masehi di Situs Kota Kapur merupakan bukti arkeologis yang terbantahkan. Berhadapan dengan Kota Kapur yang dipisahkan oleh Selat Bangka, terdapat permukiman masyarakat pantai timur Sumatera dari masa awal abad-abad Masehi hingga abad XVI Masehi, terutama terkonsentrasi di Kawasan Air Sugihan.
Rute Kota Kapur - Air Sugihan masih dimanfaatkan pada masa-masa berikutnya. Pada zaman Sriwijaya Bukit Besar di Kota kapur, Pulau Nangka dan tanjung-tanjung di pantai Sumatera dan Bangka-Belitung menjadi pedoman navigasi pelayaran. Pada abad XIX Masehi Belanda membangun mercusuar di Pulau Pelepas juga untuk pedoman pelayaran. Pada masa sekarang jalur Bangka – Air Sugihan masih digunakan untuk membawa penumpang dan barang dengan speedboat kayu dan tongkang.
Sementara itu jalur dari Air Sugihan – Palembang pada masa sekarang harus melalui kanal-kanal buatan yang menghubungkan Sungai Musi, Sungai Saleh dan Air Sugihan. Dalam ekspedisi tidak dapat dilacak jalur alamiah yang menghubungkan Palembang – Air Sugihan pada masa lampau. Banyak sungai-sungai yang telah hilang karena adanya reklamasi dan pengendapan material sungai.
4. Penutup
Penelitian arkeologi-maritim merupakan penelitian interdisipliner yang memerlukan berbagai tenaga ahli di bidang maritim dan arkeologi. Diperlukan peralatan dan teknologi yang memadai dalam kegiatan penyelaman, ekskavasi bawah air, dan perekaman data. Semua itu mengharuskan perencanaan dan rancangan penelitian arkeologi maritim yang jelas dan berkesinambungan didukung sumber dana yang memadai. Oleh karena itu pengembangan arkeologi-maritim di Indonesia memerlukan kolaborasi dengan berbagai fihak.
Dalam lingkup yang lebih luas, pengembangan arkeologi-maritim tidak semata di bidang penelitian saja tetapi juga ditindaklanjuti oleh kegiatan pelestarian dan pemanfaatan peninggalan bawah air. Ekspedisi Sriwijaya yang diselenggarakan oleh Balai Arkeologi Palembang dan Direktorat Peninggalan Bawah Air berupaya untuk mengintegrasikan kegiatan penelitian, pelestarian dan pemanfaatan dalam konsep dan pelaksanaannya. Diharapkan di masa mendatang dapat disusun kebijakan menteri dalam pengelolaan peninggalan arkeologi bawah air yang meliputi bidang penelitian, pelestarian dan pemanfaatan.
Daftar Pustaka
Bambang Budi Utomo, 2003, Masalah Sekitar Penaklukan Sriwijaya Atas Bumi Jawa, dalam Siddhayatra vol 8 No 2 November 2003. Palembang: Balai Arkeologi
Bowens, Amanda (ed), 2009, Underwater Archaeology. The NAS Guide to Principles and Practice. Nautical Archaeology Society ISBN: 978-1-405-17592-0.
Budi Wiyana, 2008, Laporan Pelatihan Arkeologi Bawah Air di Selat Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Palembang: Balai Arkeologi.
Green, Jeremy, 2004, Maritime Archaeology. A Technical Handbook. Elsevier Academic Press.
Manguin, P.Y., 1984, “Garis Pantai di Selat Bangka: Sebuah bukti baru tentang keadaan yang permanen pada masa sejarah” dalam Amerta 8, hal. 17-24. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi.
Rangkuti, Nurhadi, 2007, Jejak Bahari Kota Kapur, Kompas tanggal 5 November 2007.
salam...
BalasHapus