Sabtu, 06 Maret 2010

Dicari: Ahli Baca Prasasti


Oleh: DJULIANTO SUSANTIO



swasti sakawarsatita 824 posa masa tithi dasami kresnapaksa. tunglai. kaliwuan. soma wara. daksinastha jaista naksatra. mitra dewata. sukarmma yoga...

Apa arti tulisan di atas? Sudah dialihaksarakan ke dalam aksara Latin saja, banyak yang tidak paham. Apalagi kalau masih tertulis dalam aksara aslinya, lebih tidak tahu. Tidak dimungkiri, sebagian besar masyarakat Indonesia masih merasa awam terhadap tulisan di atas. Nah, bagaimana kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata, seperti berikut:

Selamat! Tahun Saka telah berlangsung 824 tahun, bulan Posa, tanggal 10 paro gelap, pada hari tunglai, kaliwuan dan hari senin, kedudukan planet di selatan, bintang Jaista: dewa Mitra, yoga...
(Sumber: Tiga Prasasti dari Masa Balitung, 1982)

Memang kata-kata itu masih agak sulit dimengerti. Jangankan masyarakat awam, pakar bahasa pun mungkin merasa “kewalahan” dengan terjemahan seperti itu. Karena aksara dan bahasanya berasal dari belasan abad yang lampau, tentu berbagai kendala dihadapi para peneliti zaman sekarang.

Penggalan baris pertama dari puluhan baris yang ada pada Prasasti Panggumulan itu memang masih terasa asing di telinga kita. Tidak sembarang orang mampu mengalihaksarakan dan membacanya. Apalagi menerjemahkan dan menafsirkannya sekaligus ke dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Hanya segelintir orang yang mampu melakukannya, yakni para arkeolog. Itupun tidak seluruh arkeolog, melainkan mereka yang mendalami bidang epigrafi. Epigrafi adalah subdisiplin dari arkeologi yang memelajari segala aksara dan bahasa kuna beserta seluk-beluknya. Berdasarkan hasil kajian para epigraflah, maka penulisan sejarah kuno Indonesia seperti yang dikenal sekarang, bisa tersusun dengan baik.

Kalau tidak ada epigraf, kita tidak mungkin mengenal Kerajaan Majapahit dengan Rajanya Hayam Wuruk dan Patihnya Gajah Mada. Kita pun mungkin tidak tahu akan kebesaran tokoh Jayabaya, Airlangga, dan Ken Arok atau Kerajaan Tarumanagara, Sriwijaya, dan Singhasari. Tentu tak terbayangkan jadinya bila sejarah kuno Indonesia begitu gelap. Dari mana kita akan berkaca, kalau tidak mempunyai masa lampau yang cemerlang?


Akhir prasejarah

Ditemukannya prasasti tertua pada sejumlah situs arkeologi, dianggap menandai berakhirnya masa prasejarah, yakni babakan dalam sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tradisi tulisan. Kata prasasti sendiri berasal dari bahasa Sansekerta. Arti sebenarnya adalah pujian. Namun kemudian diangggap sebagai “piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang, dan tulisan”. Di kalangan ilmuwan, prasasti disebut inskripsi. Sementara orang awam mengenalnya sebagai batu bertulis atau batu bersurat.

Meskipun berarti pujian, tidak semua prasasti mengandung puji-pujian kepada raja. Sebagian besar prasasti justru diketahui memuat keputusan mengenai penetapan sebuah desa atau daerah menjadi perdikan atau sima (tanah yang dilindungi). Sebagian lagi berupa keputusan pengadilan tentang perkara-perkara perdata (disebut prasasti jayapattra atau jayasong), sebagai tanda kemenangan (jayacikna), tentang utang-piutang (suddhapattra), dan kutukan atau sumpah.

Prasasti tertua Indonesia yang pernah ditemukan bertarikh abad ke-5 M. Periode terbanyak pengeluaran prasasti terjadi pada abad ke-8 hingga ke-14 M, ketika yang berkuasa di Nusantara adalah kerajaan-kerajaan bercorak Hindu dan Buddha (dikenal sebagai masa klasik), seperti Mataram Hindu, Sriwijaya, Singhasari, dan Majapahit.

Selain kerajaan Hindu dan Buddha, di negara kita juga pernah berkuasa kerajaan atau kesultanan Islam, seperti Samudra Pasai, Demak, Gresik, dan Cirebon. Prasasti dari periode Islam pun cukup banyak tersebar di Nusantara. Begitu pula prasasti dari masa pendudukan (kolonial).

Sesuai etnisitas atau pengaruh kebudayaan, tentu saja aksara dan bahasa yang digunakan dalam prasasti amat beragam. Pada masa klasik, yang terbanyak adalah Sansekerta atau Jawa kuno, kemudian Melayu kuno, Sunda kuno, dan Bali kuno. Pada masa selanjutnya aksara-aksara ini berkembang menjadi Jawa tengahan dan Jawa baru.

Pada masa Islam digunakan aksara dan bahasa Tamil (India) dan Arab. Prasasti-prasasti dari masa ini umumnya berupa tulisan pada batu nisan yang memuat keterangan tentang nama, tanggal wafat seseorang, kutipan ayat suci Al-Qur’an, serta berkenaan dengan pendirian masjid, kraton, dan gapura.

Prasasti-prasasti dari masa kolonial relatif lebih mudah dibaca karena beraksara Latin. Bahasa yang digunakan antara lain Portugis, Belanda, dan Inggris. Prasasti Latin umumnya dijumpai pada batu makam, tugu peringatan, gereja, rumah tinggal, benteng, dan pergudangan. Selain itu, ada pula prasasti-prasasti beraksara dan berbahasa Mandarin yang sebagian terbesar terdapat pada batu makam.

Uniknya, di negara kita pernah ditemukan sejumlah prasasti yang menggunakan dua bahasa sekaligus. Mungkin ini karena di kerajaan tersebut bermukim dua komunitas besar. Prasasti-prasasti dwibahasa itu antara lain Kayumwungan atau Karangtengah (824 M) yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dan Jawa kuno serta Amogaphasa (1286 M) dengan bahasa Melayu kuno dan Jawa kuno.


Bahan

Budaya tulis rupanya sudah dikenal sejak lama. Namun sarana menulis bukanlah tinta dan kertas, melainkan batu dan pahat. Batu merupakan bahan yang mudah didapat, sekaligus tahan lama. Selain andesit, yang digunakan sebagai sarana penulisan prasasti adalah batu kapur atau basalt. Di kalangan arkeologi, prasasti batu disebut upala prasasti.

Namun sesungguhnya di luar batu ada juga bahan yang tak kalah awetnya, yakni logam. Prasasti berbahan tembaga atau perunggu disebut tamra prasasti. Selain itu ada ripta prasasti, yakni prasasti yang ditulis di atas lontar atau daun tal. Prasasti logam dan lontar juga relatif banyak ditemukan di Nusantara.

Yang sedikit jumlahnya tapi tergolong unik adalah prasasti berbahan tanah liat atau tablet. Isi tablet adalah mantra-mantra agama Buddha. Sebenarnya, ada juga prasasti yang dituliskan di atas lembaran perak atau emas. Namun jumlahnya tidak banyak dan itu pun lebih cenderung menunjukkan nama orang/raja.

Di antara sekian jenis prasasti, rupanya hanya prasasti batu yang memiliki berbagai variasi bentuk. Mungkin disesuaikan dengan batu yang ada atau karena keterampilan sang pemahat. Yang terbanyak adalah berbentuk balok (segiempat), lingga (bulat panjang), dan yupa (tiang batu). Prasasti berbentuk stele, dengan bagian atas bulat atau lancip, juga banyak ditemukan. Demikian halnya dengan prasasti berbentuk wadah (jambangan, gentong, peti batu, lumbung) dan alamiah (batu alam). Sejumlah prasasti malah dipahatkan pada bagian candi dan badan arca (Hari Untoro Drajat, 1992).

Dari berbagai bentuk itu, ada yang polos dan ada yang berhiasan, termasuk ukiran, simbol kerajaan, dan simbol keagamaan. Salah satu prasasti yang tergolong megah dan unik adalah Prasasti Telaga Batu dari masa Kerajaan Sriwijaya. Bentuk fisik prasasti tersebut sangat istimewa. Bagian atas prasasti itu dihias dengan tujuh kepala ular kobra berbentuk pipih dengan mahkota berupa permata bulat, sementara leher ularnya mengembang dengan hiasan kalung.

Di antara berbagai sumber sejarah kuno Indonesia, seperti naskah dan berita asing, prasasti dipandang merupakan sumber terpenting karena mampu memberikan kronologis suatu peristiwa. Ada banyak hal yang membuat prasasti sangat menguntungkan dunia penelitian masa lampau. Selain mengandung unsur penanggalan, prasasti juga mengungkapkan sejumlah nama dan alasan mengapa prasasti tersebut dikeluarkan.

Hingga kini prasasti telah banyak membantu penyusunan buku-buku teks sejarah. Berbagai atribut negara pun, seperti bendera merah putih dan lambang burung garuda, digali berdasarkan data dari prasasti.

Disayangkan, masih banyak data belum muncul karena berbagai masalah, seperti huruf pada prasasti sudah aus, batunya pecah-pecah, sebagian tulisan hilang, dan belum terbaca karena tenaga ahlinya (pakar epigrafi atau epigraf) masih langka. Di seluruh Indonesia, mungkin kita hanya memiliki belasan pakar epigrafi yang tersisa. Itu pun sebagian besar sudah berstatus pensiunan. Bahkan ada beberapa yang sudah meninggal.

Karena kita hidup di masa kini, tentunya kita tidak bisa mengingkari masa lampau. Sebagai cermin untuk masa kini dan masa mendatang, sudah sepatutnya kita memberi perhatian kepada prasasti karena prasasti ibarat ensiklopedia tentang masa lampau kecemerlangan bangsa Indonesia.

(Naskah asli. Dimuat dalam majalah Intisari, Maret 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar