Oleh DJULIANTO SUSANTIO
Pada 2005 lalu BBC melaporkan bahwa dengan menggunakan sinar laser berteknologi tinggi pada Stonehenge (bangunan purbakala di Inggris), ditemukan dua benda berukiran yang semula tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Sebenarnya, pada 1950-an di sana juga pernah ditemukan benda ukiran yang mirip. Namun waktu itu menurut para arkeolog, “Sangat sulit untuk dilihat karena telah terkorosi”.
Arkeolog Tom Goskar menyatakan bahwa pemindaian (scanning) laser telah membuka cakrawala baru untuk melihat Stonehenge. “Dengan menggunakan teknologi itu kita tidak hanya menemukan semakin banyak benda ukiran, tetapi melihat kontur dengan jelas dan membantu orang-orang memahami bangunan purbakala itu,” demikian Goskar.
Teknologi, memang telah banyak membantu pekerjaan arkeologi sejak lama. Pekerjaan yang tadinya terasa sangat berat bahkan terkesan “tidak mungkin bisa dianalisis”, ternyata menjadi semakin ringan dengan digunakan atau ditemukannya teknologi modern.
Dulu, ketika arkeolog menemukan sisa-sisa makanan, hasil kajian yang diperoleh sangat sedikit. Namun dengan bantuan mikroskop, maka informasi yang diperoleh semakin banyak. Misalnya penelitian di Skara Brae, Skotlandia, terhadap beberapa rumah batu zaman Neolitikum yang berasal dari masa 3000 SM. Di sana, bersama batu-batuan dan mangkuk-mangkuk cangkang, juga ditemukan sisa-sisa makanan.
Dari hasil analisis mikroskopik diketahui sisa-sisa makanan itu berupa susu dan produk biji-bijian. Jadi tidak hanya sekadar “sisa-sisa makanan”. Sisa-sisa tadi tentu menunjukkan susunan makanan orang-orang yang hidup pada saat itu. Selain itu ditemukan zat pewarna merah (oker), yang diduga untuk melakukan aktivitas ritual (Arkeologi, Paul Devereux, 2003). Dengan menghasilkan informasi yang lebih detil, maka arkeologi mampu lebih banyak menghasilkan penafsiran.
Ditemukannya teknik baru DNA (Deoxyribonucleic Acid), juga semakin mudah mengungkapkan pemecahan kasus-kasus arkeologi. Kalau pada awalnya pemeriksaan DNA hanya berhubungan dengan tindakan kriminal, namun lambat-laun penelitian-penelitian arkeologi sering menggunakan teknik baru ini.
DNA dipandang merupakan cetak biru kehidupan bagi semua makhluk dan kode rahasia instruksi khusus yang membuat setiap makhluk hidup berbeda satu sama lain. Penelitian DNA, seperti yang dilakukan di Cuddle Springs (Australia), pernah membuahkan hasil menakjubkan. Penelitian itu difokuskan pada sebuah alat batu yang berusia 30.000 tahun.
Setelah dianalisis dengan mikroskop elektron, ternyata pada artefak tersebut ditemukan jejak darah dan rambut. Melalui analisis DNA kemudian diketahui bahwa jejak tersebut berasal dari seekor kanguru. Dari sanalah disimpulkan bahwa pada saat itu, orang-orang primitif sudah dapat berburu binatang-binatang besar.
Metallografik
Berbagai jenis logam yang ditemukan para arkeolog dalam ekskavasinya, tentulah sangat menguntungkan berbagai penelitian selanjutnya. Ini karena logam termasuk bahan yang dapat bertahan lama. Namun kendalanya, banyak jenis logam sudah aus termakan karat. Hal itulah yang menyulitkan para pakar arkeometalurgi (pengetahuan tentang logam kuno) untuk mengungkapkan segala informasi dari artefak tersebut.
Untunglah, kemudian berkembang pengujian metallografik dengan alat canggih. Teknik ini memakai zat kimia untuk mengupas bagian yang dipoles dari sebuah artefak logam guna mengetahui struktur logam di bawahnya. Daerah itu kemudian dipelajari menggunakan mikroskop.
Salah satu artefak yang pernah diuji secara demikian, sebagaimana tulis Arkeologi, adalah kapak perunggu yang dipakai untuk upacara, berasal dari Pulau Kreta di Yunani. Artefak itu dibuat sekitar tahun 3000 SM. Tujuan pengujian adalah untuk mencari tahu metode yang dipakai untuk membuat artefak itu. Setelah dilakukan penelitian mendalam, ditafsirkan bahwa alat besi itu dipanaskan terlebih dulu di atas arang untuk mendapatkan ujung yang keras dan tajam.***
DJULIANTO SUSANTIO
Arkeolog, Tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar