Oleh: Hariani Santiko
Sejak diberitakan adanya perusakan sisa-sisa Majapahit di Trowulan (Kompas, 4/1/2009), protes bermunculan. ”Mengapa para arkeolog diam saja dengan rencana Trowulan Information Centre yang merusak situs Majapahit?”
Sebagai arkeolog, saya pernah menganjurkan para arkeolog agar membuat pameran tetap yang dapat memberi informasi kepada masyarakat luas tentang kerajaan Majapahit. Pameran itu dapat menjelaskan informasi ibu kota (jika betul di Trowulan), kehidupan sehari-hari yang banyak dipahat sebagai relief maupun pada relief candi. Dengan pameran, diharapkan tindak perusakan atau penghancuran bata, sisa keramik, dan peninggalan lain dapat dikurangi. Usul diterima. Salah seorang arkeolog tersenyum mendengar usul saya, mungkin mengira saya mendukung pembuatan Trowulan Information Centre yang ternyata saat itu sedang dikerjakan. Dugaan itu keliru.
Perusakan situs Trowulan harus dihentikan. Jika tidak, Majapahit akan tinggal dongeng. Majapahit adalah kerajaan besar, didirikan oleh Raden Wijaya tahun 1294 Masehi di hutan Trik, yang diperkirakan di situs Trowulan kini. Hegemoni Majapahit tercapai saat Raja Hayam Wuruk bergelar Rajasanagara memerintah Majapahit 1350-1389.
Majapahit adalah kerajaan agro-maritim yang multikultural. Perdagangan terjadi, baik lokal, antarpulau, atau internasional, melibatkan pedagang dari berbagai daerah. Hal ini menciptakan kondisi multikultural di Majapahit yang menjadi situs pertemuan dan percampuran aneka unsur budaya ”pendatang” dan lokal.
Kondisi multikultural ini terjalin dengan proses-proses politik di Majapahit, sejalan dengan ”proyek politik Nusantara” Gajahmada untuk memperluas dan menyatukan wilayah Majapahit, yang dicetuskan sebagai ”Sumpah Palapa’ di hadapan Ratu Tribhuwanotunggadewi, ibu Raja Hayam Wuruk. Dinamika politik-budaya ini dipertahankan, khususnya oleh Raja Hayam Wuruk yang mempertahankan hegemoni Majapahit meski harus bekerja sendiri selama 25 tahun tanpa dampingan Gajahmada yang meninggal tahun 1364.
Menghargai multiagama
Dengan wafatnya Hayam Wuruk tahun 1389, kerajaan Majapahit memudar karena ada konflik internal, perebutan kekuasaan. Meski demikian, kondisi multikultural tetap dipertahankan, khususnya dalam bidang agama. Hayam Wuruk dan raja-raja Majapahit lainnya amat menghargai multiagama yang berkembang saat itu.
Dalam Nagarakrtagama, kitab kakawin gubahan Mpu Prapanca, disebut empat macam agamawan yang disebut caturdwija, yaitu para rsi (pertapa), saiwa (pendeta Siwa), sogata (pendeta Buddha), dan mahabrahmana (pendeta Saiwa, ahli Weda yang datang dari India dan bergelar Brahmaraja). Mereka dihargai. Para rsi diperkenankan mendirikan pusat-pusat pendidikan agama yang dikenal sebagai mandala atau kadewaguruan, terletak jauh dari pusat keramaian.
Jumlah kadewaguruan kian banyak setelah masa Hayam Wuruk dan menjadi pusat percampuran budaya India dan budaya lokal. Banyak mitos tentang dewa-dewi yang tidak pernah didengar di India dijumpai di Jawa. Orang Majapahit dengan sadar menciptakan dewa-dewi baru, dan dalam karya sastra bernama Tantu Panggelaran secara implisit disebut perubahan terjadi karena ”dewa-dewa Jambhudwipa telah menjadi dewa-dewa Jawa”, karena puncak Gunung Mahameru dipindah ke Pulau Jawa.
Ini mengakibatkan muncul budaya Majapahit yang amat unik. Candi-candi berstruktur ”kaki berundak teras” tiruan Mahameru muncul di mana-mana, antara lain Candi Jago, Candi Jawi, Candi Panataran, dan candi-candi para rsi di lereng-lereng gunung. Relief rasaksi Durga Ranini yang bertaring, berambut gimbal, wujud kutukan suaminya, Bhatara Guru, kepada Uma yang selingkuh (di India Uma adalah contoh istri setia). Karya sastra kakawin, kakawin Arjunawijaya, kakawin Sutasoma dengan ”bhinneka tunggal ika”-nya, kakawin Siwaratrikalpa, sastra Kidung, sastra prosa di antaranya cerita Calon Arang yang amat dikenal di Bali, dan lainnya.
Banyak hal bisa diungkap dari budaya Majapahit, budaya keraton dan luar keraton. Bagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat Majapahit menarik diungkap dan itu semua amat membanggakan bangsa Indonesia. Data budaya Majapahit yang unik itu amat jarang dan penting guna merekonstruksi kehidupan kerajaan besar Majapahit.
Sayang, data itu banyak yang telah dihancurkan oleh orang- orang Indonesia. Bagi mereka yang melakukan perusakan karena ketidakmengertian atau tuntutan ekonomi, mungkin bisa dimaafkan dan dengan informasi yang tepat diharapkan menghentikan perusakan. Namun, bagaimana dengan mereka yang tahu pentingnya situs Trowulan, tetapi tetap merusak?
Hariani Santiko Guru Besar Ilmu Arkeologi FIB, Universitas Indonesia
(Sumber: Kompas, 14 Januari 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar