Jumat, 06 Februari 2009

Munculnya Situs Joho


Oleh: Nurhadi Rangkuti


HARI Minggu, 8 Juli 2001, Pak Adul (45) seperti biasa menambang batu untuk bahan bangunan. Tempat mencari nafkahnya itu memang kaya dengan batu andesit berukuran besar, baik yang terdapat di permukaan maupun di bawahnya.

Tiba-tiba, hampir saja Adul menghantam sebongkah batu dengan palu. Untunglah penambang batu warga Dusun Joho, Kelurahan Condong Catur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, itu melihat batu andesit itu memiliki ciri-ciri bekas dibentuk manusia. Pada permukaan luar batu itu tampak bekas pengakasan kasar yang membentuk batu itu seperti lumpang, berukuran lebar 100 cm, panjang 115 cm, dan tinggi 40 cm. Pada bagian atas batu terdapat cekungan sedalam 15 cm, dan permukaannya telah aus, bekas gerusan yang menggunakan alat penggiling.

Benar saja, dekat dengan benda itu, ditemukan pula sebuah alat penggiling, juga dari batu andesit berbentuk lonjong, panjang 40 cm dengan garis tengah 24 cm. Pasangan kedua batu dikenal juga dengan nama pipisan (grinding stone) dengan alat penggilingnya, yang disebut gandik.

Sekitar 90 meter di sebelah utara dari kedua temuan itu, teronggok di sawah sebuah benda batu pula bentuknya mirip dengan temuan yang pertama, panjang sekitar 90 cm, lebar 75 cm, dan tebal tepian sekitar 8 cm. Pada bagian tengah cekungannya, terdapat sebuah lubang persegi berukuran 15 x 15 cm dengan kedalaman sekitar 20 cm.

"Batu ini sudah lama muncul di permukaan, bahkan sejak saya masih kecil, batu ini sudah ada," tutur seorang lelaki tua berusia 70 tahun, penggarap sawah. Kiranya temuan itu luput dari pengamatan arkeologi. Bukan itu saja, beberapa waktu yang lalu, penduduk juga menemukan batu berukir, tampaknya unsur bangunan candi, ketika sedang membuat kolam pemancingan yang letaknya tidak jauh dari tempat itu.

Tak pelak, tempat penemuan benda-benda itu telah menambah satu lagi aset Yogyakarta dalam hal situs arkeologi. Situs Joho yang belum dikenal kalangan arkeologi itu, menempati lahan tegalan tanah kas milik Dusun Joho, letaknya di belakang asrama militer Kentungan, Sleman, Yogyakarta. Melalui Global Positioning System (GPS), situs berada pada posisi 7 derajat 44' 54,7" Lintang Selatan-110 derajat 23' 27,1" Bujur Timur.


Peninggalan Mataram Kuna

Keingintahuan orang awam terhadap situs arkeologi, sering kali diawali oleh pertanyaan yang mendasar, namun jawabannya memerlukan penelitian yang mendalam, yaitu apa, bilamana, dan bagaimana riwayatnya. Macam temuan-temuan di Situs Joho ini, sulit untuk memastikan bentuk dan fungsi artefak-artefak dari batu tadi, serta zaman dan riwayat situs itu didiami hingga akhirnya ditinggalkan.

Artefak penemuan Adul, dilihat dari bentuk memang menyerupai pipisan dan gandik. Alat itu berfungsi untuk menggiling rempah-rempah jamu, hal yang sering dijumpai pada tempat-tempat produksi jamu tradisional pada masa sekarang. Pada situs-situs arkeologi di Jawa, pipisan dan gandik sering kali ditemukan dalam konteks hunian masa Hindu-Buddha sampai masa pengaruh Islam di Jawa abad 15-17 Masehi. Kedua artefak tersebut juga biasa ditemukan di lingkungan percandian, sebagai bagian dari aktivitas pengelola upacara-upacara di candi.

Pipisan dan gandik dari Situs Joho ini telah memecahkan rekor untuk ukurannya. Inilah alat pembuat jamu yang terbesar yang pernah ditemukan di Jawa. Untuk menggunakan alat penggiling besar itu mungkin perlu dua orang sekaligus, atau bergantian. Apakah situs ini tempat produksi jamu atau ramu-ramuan untuk kebutuhan orang banyak pada masa itu.

"Batu itu tempat minum kuda," kata Pak Adul meyakinkan. Lelaki yang juga memiliki pengalaman paranormal itu sering melihat pada malam hari kuda-kuda yang berkeliaran di sekitar situs. Sejumlah penduduk juga mempercayai adanya kuda-kuda gaib itu dari cerita orang-orang tua dulu.

Bentuk artefak batu dengan lubang persegi, belum jelas benar fungsinya. Lumpang batu atau tempat minum kuda, atau wadah untuk keperluan upacara tertentu. Lain halnya dengan sebuah batu berukir, yang kemungkinan salah satu unsur bangunan candi. Kemungkinan itu membuka harapan tentang adanya bangunan suci dari agama Hindu dan Buddha pada masa Kerajaan Mataram Kuna abad 9-10 Masehi yang masih terpendam di Situs Joho.

Prof Dr Mundardjito (1993) dalam disertasinya telah mengumpulkan 218 situs arkeologi masa Mataram Kuna di wilayah DIY, termasuk 181 situs yang berada di Kabupaten Sleman. Situs Joho belum tercatat dalam penelitiannya.

Diamati dari persebaran dan lingkungan situs, boleh jadi Situs Joho merupakan bagian dari sistem permukiman masa Mataram Kuna. Sistem permukiman kuna yang berbasis pertanian yang menempati lembah-lembah dan dataran gunung berapi Sindoro, Sumbing, dan Merapi.


Tertimbun lava Gunung Merapi

Situs itu berada pada dataran fluvio vulkanik dari Gunung Merapi. Topografi situs datar hingga landai ke arah selatan yang diapit oleh dua sungai kecil di barat dan timur yang mengalir dari utara ke selatan. Sungai kecil di bagian timur merupakan cabang dari Sungai Gajahwong yang mengalir sekitar 200 meter di sebelah timur situs.

Sungai kecil di bagian barat, yaitu Sungai Buntung, merupakan sungai yang terdekat dengan situs, jaraknya sekitar 30 meter. Lembah sungai ini berteras, dan situs menempati teras yang lebih tinggi dari dataran banjir yang terletak di tepi Sungai Buntung yang ada sekarang.

Bentuk lahan situs adalah endapan sungai, yang terdiri atas material pasir, kerikil kerakal, serta bongkah-bongkah batu andesit berukuran besar. Material-material itu berasal dari erupsi Gunung Merapi yang sangat hebat. Sejarah mencatat tahun 1006 terjadi letusan Merapi yang besar, yang telah membenamkan sebagian besar wilayah Kerajaan Mataram Kuna di daerah Yogyakarta. Dari peristiwa itu, arkeologi memiliki teori, tentang perpindahan Kerajaan Mataram Kuna dari Jawa Tengah di Jawa Timur.

Bukti-bukti arkeologi memperkuat bencana yang melumpuhkan kehidupan masa Mataram Kuna itu. Banyak situs-situs yang terkubur endapan lava. Misalnya, Candi Sambisari di Kecamatan Kalasan, Sleman, atau Wonoboyo, di daerah Klaten, muncul dari timbunan lahar Gunung Merapi.

Situs Joho yang berada pada wilayah jaringan sungai-sungai yang berhulu di lereng Gunung Merapi, merupakan lokasi yang rentan terhadap bencana alam itu. Batu-batu besar yang dimuntahkan gunung berapi menggelinding melalui sungai-sungai menghantam apa saja yang dilewatinya.

Pipisan batu terbesar yang ditemukan Pak Adul, bisa jadi petunjuk adanya aktivitas yang padat dan kompleks di Situs Joho dulu. Tidak mustahil temuan penting lainnya masih terkubur di situ. Perlu penggalian arkeologis untuk menguaknya. Atau, menunggu keberuntungan para penambang batu yang terus membongkar situs. Siapa tahu ketemu peninggalan lagi.

"Dalam pandangan batin saya, ada tujuh buah benda batu yang sama di Situs Joho. Mudah-mudahan bisa saya temukan lagi," kata Pak Adul, yang hari-hari terakhir ini semakin bersemangat menambang batu dan malam hari tidur di situs.

Tinggal tunggu saja. Mungkin hanya itu yang bisa diharapkan untuk mengungkap tabir Mataram Kuna, apabila para arkeolog yang memiliki otoritas untuk itu, kesulitan mencari dana untuk penggalian arkeologi secara sistematis dan ilmiah.

Nurhadi Rangkuti,
staf peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta

(Sumber: Kompas, Sabtu, 11 Agustus 2001)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar