Jumat, 06 Februari 2009

Pak Guru dan Tempayan Kubur


Oleh: Nurhadi Rangkuti

PESAN layanan singkat atau SMS masuk memberi kabar yang mengagetkan dari seorang arkeolog yang berada di lapangan. ”Pak, 2 bh priuk kecil hilang diambil org”. Pesan itu segera diteruskan kepada Basnuh Ismail (47), yang baru saja selesai membantu mengurus izin penelitian di kantor camat.Rata Penuh



Basnuh Ismail dan tempayan kubur. (DOK NURHADI RANGKUTI)






Kepala Sekolah Dasar (SD) Sentang di daerah terpencil itu terlihat gusar. Telepon selulernya langsung dicabut dari sakunya. Berkali-kali ia mengontak orang-orang dengan suara lantang.

”Saya minta barang itu kembali hari ini juga!” teriak Basnuh sebelum menutup pembicaraan. Sejurus kemudian ia kepada ketua tim peneliti arkeologi yang bingung memikirkan dua periuk kuno di dalam lubang gali raib. ”Tenang saja, tim saya sedang mengusut siapa yang mengambil guci-guci itu,” ujarnya

Saat itu, bulan April lalu, tim peneliti dari Balai Arkeologi Palembang tengah melaksanakan penggalian arkeologis di Situs Sentang. Lokasinya terletak di Dusun Sentang, Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.

Pada hari pertama penggalian, tanda-tanda akan menemukan benda-benda yang dicari sudah tampak. Sekeping bibir periuk retak dari tanah liat bakar sudah muncul dari kedalaman sekitar 100 cm dari permukaan tanah. Ditelusuri lebih dalam lagi, muncullah tempayan-tempayan yang berasosiasi dengan beberapa periuk kecil. Sebilah mata tombak dari besi penuh karat ditemukan tertancap ke tanah di samping tempayan.

Penggalian lubang berukuran 2 meter x 2 meter itu menemukan dua tempayan ganda (double jar burial) dan satu tempayan tunggal pada kedalaman mulai 150 cm sampai 250 cm dari permukaan tanah. Dimaksud tempayan ganda adalah tempayan yang mulutnya ditutup oleh tempayan pula di atasnya. Dalam tempayan yang dipenuhi tanah itu ditemukan sisa-sisa tulang manusia dan manik-manik dari kaca.


Budaya prasejarah

Tempayan kubur dikenal sebagai budaya prasejarah. Para arkeolog mengenal dua jenis penguburan masa prasejarah, yaitu penguburan primer dan penguburan sekunder.

Penguburan primer merupakan penguburan langsung, biasanya jenazah dikelilingi oleh benda-benda miliknya sebagai bekal kubur. Tempayan kubur merupakan penguburan sekunder. Tulang-tulang dan rangka manusia yang telah dikubur dimasukkan ke dalam wadah berupa tempayan atau guci. Wadah kemudian dikubur bersama bekal kubur.

Selama ini situs-situs tempayan kubur di Sumatera bagian selatan banyak ditemukan di dataran yang lebih tinggi, seperti di Kerinci dan Merangin (Jambi), Lahat, Empat Lawang, Pagaralam (Sumatera Selatan), dan Rejang Lebong (Bengkulu). Penemuan tempayan kubur di Situs Sentang boleh dibilang temuan yang ditunggu-tunggu oleh tim peneliti arkeologi untuk memahami pola hidup komunitas kuno di daerah lahan basah (wetland) alias daerah berawa-rawa.

Situs Sentang tampak seperti pulau mini yang dikelilingi rawa lebak dari limpasan banjir Sungai Medak, Sungai Sentang, dan Sungai Putot. Sungai-sungai itu merupakan daerah aliran Sungai Lalan. Rawa-rawa yang terdapat di DAS Lalan terdiri atas dua jenis rawa, yaitu rawa pasang surut (tidal swamp) di daerah hilir mendekati pantai dan rawa lebak (backswamp) di bagian hulu Sungai Lalan. Situs Sentang berada pada jarak sekitar 85 kilometer dari garis pantai terdekat.

Daerah lahan basah yang mencakup pantai timur Sumatera bagian selatan ternyata padat dengan sebaran situs arkeologi, terutama di wilayah Jambi dan Sumatera Selatan. Verstappen (1956), seorang geomorfolog Belanda, menyebut daerah itu adalah tanah dataran baru yang berupa rawa-rawa, berbatasan dengan laut. ”Daerah kontinental” ini berdampingan dengan Pulau Bangka dan Belitung di timur Sumatera.

Daerah lahan basah itu dulu divonis oleh Obdeyn (1941), seorang geolog, pada permulaan abad-abad pertama masih berupa laut. Pada awal masa Sriwijaya abad VII Masehi diperkirakan Kota Palembang dan Jambi terletak pada tanjung dan teluk yang berbatasan dengan laut.

Bukti arkeologis membantah anggapan itu. Serangkaian penelitian arkeologis membuktikan, pada awal tarikh Masehi di daerah pantai timur ditemukan sisa-sisa kebudayaan manusia berupa situs dan artefak. Situs-situs tertua di pantai timur Sumatera Selatan sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya adalah Situs Karang Agung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin) dan Situs Air Sugihan (Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ilir).

Situs Karang Agung Tengah berasal dari sekitar abad IV (220-440 dan 320-560 Masehi), itu berdasarkan analisis radio karbon pada sampel tiang kayu rumah yang ditemukan dalam penggalian tahun 2000. Selain sisa bangunan, ditemukan pula kemudi perahu dari kayu, tembikar, manik-manik batu dan kaca, anting, gelang kaca, batu asah, cincin dan anting emas, serta liontin perunggu. Sementara di kawasan Situs Air Sugihan terus berlanjut dihuni sampai abad XI.

Kajian awal terhadap situs dan artefak yang ditinggalkan komunitas pra-Sriwijaya di daerah lahan basah menunjukkan bahwa mereka bertahan hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di lingkungannya dan melakukan kontak dagang dengan luar. Mata pencarian mereka adalah penghasil bahan makanan dan bahan baku dari hutan rawa.

Sampai sejauh ini belum ditemukan artefak-artefak keagamaan di Situs Karang Agung Tengah dan Situs Air Sugihan. Diperkirakan komunitas pra-Sriwijaya itu masih menganut kepercayaan yang bersifat animistik. Ditemukannya tempayan kubur di Situs Sentang menjadi petunjuk kuat bahwa tradisi prasejarah digunakan dalam ritual-ritual penguburan.


Penggalian liar

”Dua guci yang hilang sudah kembali. Lokasi dalam keadaan aman terkendali,” kata Basnuh lega setelah menerima informasi dari lapangan.

Mobil segera meluncur ke lokasi penggalian arkeologis. Memasuki Dusun Sentang, jalan yang berawa-rawa sebagian sudah diperkeras dengan batu-batu dan kini sedang diaspal. Tahun lalu mobil sulit sekali menembus Dusun Sentang.

”Kami sudah berjuang jalan aspal itu dibangun sampai ujung Dusun Sentang, jangan sampai batas desa tetangga saja. Apalagi ditemukannya situs tempayan kubur, Sentang bisa jadi obyek wisata. Bupati bisa lihat,” ujar Basnuh.

Basnuh Ismail memang akrab dengan dusun itu. Lelaki kecil dari Komering itu merintis usaha pendidikan di Dusun Sentang sejak tahun 1980-an sampai diangkat menjadi PNS dan kepala SD di daerah terpencil. Pak Guru, demikian ia sering dipanggil oleh warga, berjuang menghapus kebodohan di Sentang melalui jalur pendidikan. Ia dan beberapa warga membuat pondok untuk sekolah anak-anak.

Menurut Husin (65), seorang penduduk, permukiman di Sentang mulai muncul setelah tahun 1958. Penduduk Sentang umumnya pendatang dari Palembang dan Komering. Pada saat itu, hingga tahun 1985, Sentang masih berupa hutan yang ditumbuhi pohon kayu keras, seperti bulian, merawan, meranti, tembesu, petaling, dan puna.

Kegiatan berkayu mencapai puncaknya pada tahun 1990-an. Daerah Bayung Lincir bagaikan kota yang tidak pernah tidur. Malam terang benderang karena kegiatan menebang dan mengolah kayu (sawmill).

Kayu mulai habis, Sentang masih menyimpan kekayaan lain. Secara tidak disengaja penduduk menemukan guci-guci dari dalam tanah ketika membangun rumah. Penggalian liar situs purbakala di Sentang marak pada tahun 1983 sampai harus dihentikan oleh polisi. Baru tahun ini tim arkeologi berhasil menggali secara ilmiah dan menemukan tempayan kubur berkat bantuan Basnuh dan tiga kawan dekatnya.

Dua guci atau periuk dengan motif jala yang sempat hilang itu tampak sudah bersih dicuci. Menurut Basnuh, salah seorang penduduk yang tiap hari melihat penggalian arkeologis itu yang mengambil dua artefak di lubang gali pada tengah malam. Ia penasaran isi dari periuk yang dipenuhi oleh tanah itu.

”Guci-guci dan tempayan itu bukan wadah harta yang disembunyikan oleh Si Karun. Itu tempayan kubur nenek moyang kita. Jangan diganggu,” kata Basnuh.

Ucapan itu sering diucapkan kepada penduduk yang menonton penggalian, apalagi setelah kasus hilangnya dua periuk. Basnuh tak ingin setelah kayu habis, giliran guci-guci di dalam bumi Sentang yang dieksploitasi.

Nurhadi Rangkuti,
Arkeolog, Saat Ini Kepala Balai Arkeologi Palembang

(
Sumber: Kompas, Sabtu, 7 Juni 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar