Sabtu, 07 Maret 2009

Kalau Gunung Itu Meletus...


Oleh: Bambang Budi Utomo

"Hijrat Nabi saw. 1230 pada hari Selasa waktu subuh sehari bulan Jumadilawal tatkala tanah Bima datang takdir Allah melakukan kodrat iradat atas hamba-Nya. Maka gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu, kemudian maka berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang, kemudian maka turun lahar segala batu dan abu seperti dituang, lamanya dua tiga hari dua malam... Demikianlah adanya, yaitu pecah gunung Tambora menjadi habis mati orang Tambora dan Pekat pada masa Raja Tambora bernama Abdul Gafur dan Raja Pekat bernama Muhammad".

Demikianlah gambaran peristiwa meletusnya Gunung Tambora seperti yang ditulis dalam Syair Kerajaan Bima ditulis oleh Khatib Lukman, seorang pemuka agama dari Kerajaan Bima tahun 1830. Gambaran seperti ini bisa saja terjadi pada gunung api lainnya. Tidak terkecuali Gunung Merapi yang kini sedang jadi pusat perhatian kita.

Bulan April-Mei tahun ini memang tidak dapat dimungkiri adalah bulan-bulan pembicaraan gunung api di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan di beberapa pulau kecil di Nusantara. Memang, kita harus menerima kenyataan bahwa kita "ditempatkan" di suatu wilayah yang kaya akan gunung api, tetapi kita harus dapat mensyukuri anugerah itu. Kita tidak dapat melawan "kehendak" alam, tetapi apa hendak dikata manusia hanya dapat menghindar semampu tenaganya menjauh dari kemurkaan alam.

Dalam dua pekan ini perhatian kita diarahkan pada aktivitas Gunung Merapi yang kian hari kian memuncak. Peringatan dari status Siaga Merapi menjadi Awas Merapi. Penyebaran awan panas yang disebut wedhus gembel sudah cukup jauh dari sumbernya.

Meskipun cukup membahayakan kehidupan masyarakat sekitarnya, beberapa kelompok masyarakat tidak juga mau beranjak dari kampung halamannya. Seorang tokoh yang menjadi panutan mereka, Mbah Maridjan, bahkan tidak mau pindah. Seolah-olah dia sudah mengerti tabiat gunung yang jadi "momongan"-nya itu. Mungkin sepanjang ingatannya Gunung Merapi sudah beberapa kali meletus dengan berbagai tingkat variasi kekuatan daya rusaknya sehingga dia hafal betul apa yang akan terjadi nantinya.


"Mahapralaya"

Masyarakat di zaman kerajaan menyebutkan suatu bencana alam sebagai mahapralaya, atau kira-kira artinya "kiamat". Mahapralaya biasanya dikaitkan dengan bencana alam letusan gunung api yang diakibatkan oleh gonjang-ganjing politik kerajaan. Bisa karena perebutan takhta kerajaan, atau serbuan kerajaan lain. Pralaya atau mahapralaya (penghancuran dunia) pada masa lampau terjadi setiap seratus tahun ketika keadaan dunia sudah hancur-hancuran.

Kerajaan yang ada di daerah Jawa Tengah pada sekitar abad VIII-X Masehi adalah Kerajaan Medang atau biasa disebut Kerajaan Mataram Kuno. Kerajaan ini menempati wilayah yang subur di lembah Sungai Progo dan Elo yang diapit oleh rangkaian gunung api, Merapi-Merbabu dan Sumbing-Sindoro.

Namun, di balik kesuburan tanah, wilayah kerajaan ini juga rentan terhadap bencana letusan gunung api. Catatan sejarah dan bukti-bukti arkeologis yang sampai kepada kita menyebutkan, bencana yang pernah terjadi sebagai akibat meletusnya Gunung Sumbing (3.371 m) dan Gunung Merapi (2.914 m).

Bencana alam letusan gunung api yang tercatat dalam prasasti adalah meletusnya Gunung Sumbing di wilayah Kabupaten Temanggung. Menurut Prasasti Rukam (bertarikh 19 Oktober 907) yang ditemukan di daerah kaki Gunung Sumbing menyebutkan, beberapa desa hancur sebagai akibat meletusnya Gunung Sumbing pada sekitar awal abad X Masehi.

Prasasti tersebut menyebut perintah raja yang menetapkan Desa Rukam yang masuk wilayah kerajaan bagi Rakryan Sanjiwana Nini Haji menjadi sima (tanah yang bebas pajak) karena desa tersebut pernah hancur sebagai akibat letusan gunung.

Kerajaan Mataram Kuno merupakan sebuah kerajaan yang sebagian besar masyarakatnya hidup dari tanah-tanah pertanian yang subur. Pada masa kejayaannya, sekitar abad VIII-IX Masehi, kerajaan ini banyak membangun candi dan stupa.

Suksesi penguasa kerajaan dapat dikatakan berjalan lancar sampai masa pemerintahan Rakai Sumba Dyah Wawa pada sekitar tahun 920-an. Masa pemerintahan Dyah Wawa ini berakhir dengan tiba-tiba.

Menurut Boechari, seorang ahli epigrafi, hancurnya Kerajaan Mataram Kuno disebabkan letusan Gunung Merapi.

Dugaan ini didukung oleh Van Bemmelen, seorang ahli geologi yang memperkirakan letusan itu demikian hebatnya sampai sepertiga dari puncaknya hilang. Terjadi pergeseran tanah ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan yang antara lain membentuk Gunung Gendol karena gerakan tanah itu terbentur pada lempengan Pegunungan Menoreh.

Sudah barang tentu letusan itu dibarengi dengan gempa bumi yang hebat, hujan abu, dan batu-batuan yang sangat hebat. Bencana alam ini mungkin merusak ibu kota Kerajaan Mataram (Medang) serta merusak permukiman di Jawa Tengah sehingga oleh rakyat dirasakan sebagai pralaya atau kehancuran dunia.

Gambaran mahapralaya Merapi pada kala itu mungkin tidak jauh berbeda dengan letusan Tambora tahun 1815, sebagaimana diberitakan dalam Syair Kerajaan Bima: "Hujan abu selama dua hari tiga malam, disusul bunyi meriam yang rupanya menandai keruntuhan kawah, disusul lagi hujan pasir dan empoh laut." Tentu kita semua tidak berharap kejadian meletusnya Merapi seperti meletusnya Tambora, atau Merapi pada sekitar abad X Masehi.

Dampak letusan Merapi kala itu demikian luasnya. Banyak bangunan candi yang tertimbun pasir dan material yang dilontarkan oleh Gunung Merapi ketika meletus. Boleh jadi letusannya tidak seperti erupsi yang sekarang ini sedang terjadi, keluarnya awan panas yang disebut wedhus gembel dan disusul dengan hujan abu. Salah satu bangunan candi yang turut menjadi korban Merapi adalah Candi Sambisari.

Candi Sambisari merupakan sebuah kompleks bangunan candi Hindu yang bangunan induknya menghadap ke arah barat. Dibangun pada sekitar tahun 819-838 Masehi oleh Sri Maharaja Rakay Garung, salah seorang Raja Mataram Kuno. Letaknya sekarang sekitar dua kilometer di sebelah utara jalan Yogyakarta-Solo, dekat Bandara Adisucipto. Dari Merapi jaraknya sekitar 18 km menuju arah selatan. Ketika Merapi meletus pada abad X Masehi, arah letusannya ke selatan. Akibatnya, candi ini tertimpa material yang dimuntahkan Merapi.

Pada waktu Merapi meletus, diduga pusat pemerintahan Mataram berlokasi di sekitar Merapi. Karena dekat dengan sumber bencana, tentu saja sebagian besar kotanya turut hancur. Di ibu kota kerajaan tinggal raja dan kerabatnya, petinggi kerajaan, dan rakyat. Tentu saja mereka mengungsi ke arah timur, karena gempa yang terhebat tentunya melanda daerah sebelah barat daya gunung Merapi.

Di sebelah timur (Jawa Timur sekarang) merupakan tempat yang aman, dan di situ pula ada penguasa daerah yang tunduk kepada Mataram. Di situlah pada perempat abad X Masehi, Sindok (Raja Mataram) membangun ibu kotanya yang baru, Kerajaan Kadiri. Sesuai dengan landasan kosmologis kerajaan, maka kerajaan yang baru itu dianggap sebagai dunia baru, dengan tempat-tempat pemujaan yang baru, dan diperintah oleh wangsa yang baru.

Masyarakat di sekitar Merapi dapat dikatakan sudah akrab dengan Merapi. Namun, agaknya semakin hari menjadi semakin berkurang perhatiannya terhadap lingkungan alam. Akhir- akhir ini masyarakat seolah-olah terbuai oleh arah letusan ke barat-barat daya, sehingga yang tinggal di selatan dan arah lain tenang-tenang saja.

Sejarah telah membuktikan bahwa pada sekitar abad X Masehi, hasil erupsi Merapi pernah ke arah selatan. Di daerah ini banyak bangunan-bangunan yang terkubur material hasil erupsi. Sebagai contoh Candi Sambisari. Bahkan, beberapa waktu yang lalu ditemukan Candi Kedulan, tidak jauh dari Sambisari ke arah timur. Candi ini juga dibangun dan hancur pada sekitar abad IX-X Masehi.

Bambang Budi Utomo
Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional


(Sumber: Kompas, Senin, 22 Mei 2006)

1 komentar:

  1. Kalu situs Liyangan itu terkubur krn letusan Sumbing atau Sindoro?

    BalasHapus