Sabtu, 07 Maret 2009

Kompleks Percandian Muara Jambi


Oleh: Bambang Budi Utomo

Kampung Muara Jambi di tepi Sungai Batanghari, Jambi, adalah sebuah kampung tua. Pada kawasan seluas sekitar 12 kilometer persegi di kampung tua itu terdapat sekurang-kurangnya 30 buah runtuhan bangunan bata sisa peninggalan sejarah masa lalu.

Bangunan tersebut ada yang mengelompok dibatasi dengan tembok pagar keliling dan parit kelilingnya, dan ada pula yang berdiri sendiri. "Sejak dulu nenek kami menyebutnya bangunan candi," ujar seorang penduduk kampung menjawab pertanyaan tentang bangunan apa yang runtuhannya ada di belakang kampungnya.

Untuk mencapai lokasi situs dapat dipakai kendaraan bermotor roda empat dari Kota Jambi melalui Solok Sipin, menyeberangi jembatan Batanghari, sebelum sampai di kampung Muara Jambi. Jalan lain dapat ditempuh selama dua jam perjalanan dengan menggunakan perahu kelotok, atau selama setengah jam perjalanan dengan speed boat melayari Sungai Batanghari menuju ke hilir. Kalau ada waktu luang, lebih menarik apabila perjalanan ditempuh dengan kendaraan air, khususnya perahu kelotok.


Dewi Pengetahuan

Perhatian terhadap kepurbakalaan yang terdapat di Muara Jambi sudah dimulai sejak tahun 1820 oleh Kapten SC Crooke, seorang perwira kehormatan bangsa Inggris. Kemudian oleh Adam, tahun 1920, dan ia menyimpulkan bahwa Muara Jambi merupakan sebuah ibu kota dengan bangunan-bangunan yang dibuat dari bata/batu. Dugaan Adam ini disetujui oleh Schnitger yang berkunjung pada tahun 1936 dan melakukan penggalian di Candi Gumpung.

Sebagian dari bangunan-bangunan bata tersebut mengelompok di suatu tempat yang dikelilingi tembok pagar keliling. Sebutlah seperti Candi Teluk (di seberang selatan Sungai Batanghari), Kembarbatu, Gedong, Gumpung, Tinggi, Kota Mahligai, dan Kedaton. Sebagian lagi merupakan suatu bangunan tersendiri, yang letaknya terpisah-pisah, misalnya Candi Astano, Manapo Melayu, dan beberapa manapo (gundukan tanah) kecil lainnya.

Pada tahun 1978, ketika dilakukan pekerjaan pengupasan pada Candi Gumpung, ditemukan sebuah arca tanpa kepala dan kedua lengan. Melihat jenis kelamin dan sikap tangannya (mudra), arca ini jelas merupakan arca Prajnaparamita, Dewi Pengetahuan dalam sistem pantheon Buddha. Dibuat oleh seniman lokal, tetapi mempunyai gaya Singasari pada sekitar abad ke-13 Masehi. Kelokalannya terletak pada penggambarannya yang langsing.

Pada waktu dilakukan pembongkaran terhadap bagian dasar bangunan Candi Gumpung, di bagian tengahnya ditemukan 13 lubang yang berdenah bujur sangkar. Di dalamnya berisi barang-barang berupa lempengan emas, batu mulia, serta lempengan emas bertulisan aksara Jawa kuno, dan cepuk emas.

Konstelasi lubang-lubang ini menuruti delapan penjuru mata angin. Tulisan pada lempengan emas tersebut menyebutkan mantra-mantra agama Buddha sesuai dengan penempatan pada arah mata angin. Berdasarkan paleografinya, tulisan tersebut berasal dari sekitar abad IX-X Masehi.

Di halaman Candi Kedaton ditemukan sebuah kuali yang dibuat dari bahan perunggu. Ukurannya cukup besar, bergaris tengah sekitar satu meter dan tinggi satu meter. Di bagian tepinya terdapat kupingan untuk menggantungkannya pada sebatang balok kayu. Kuali ini agaknya dipakai untuk memasak ketika ada upacara.

Sebagaimana halnya candi-candi di Jawa, halaman candi di Muara Jambi agaknya ditempatkan sepasang arca dwarapala. Di dekat pintu masuk halaman Candi Gedong ditemukan sebuah arca dwarapala yang dibuat dari batu. Arca dwarapala ini tidak digambarkan menyeramkan.


Kerajaan Melayu Kuno

Temuan-temuan lain dari kompleks percandian Muara Jambi yang cukup menarik adalah berbagai bentuk perhiasan dari bahan emas dan batu-batu mulia. Temuan ini sebagian besar ditemukan di halaman bangunan candi.

Sebuah atau sekelompok bangunan suci tentunya dibangun tidak jauh dari permukiman masyarakat pendukungnya. Atau setidak-tidaknya dekat dengan pemelihara bangunan tersebut.

Sisa permukiman di Muara Jambi ditemukan di daerah sepanjang tepian Batanghari. Dari tempat ini ditemukan petunjuk permukiman kuno berupa pecahan-pecahan keramik dan tembikar. Barang-barang tersebut merupakan barang yang biasa dipakai untuk keperluan sehari-hari, misalnya untuk memasak dan makan. Pecahan-pecahan keramik Tiongkok sebagian besar berasal dari masa Dinasti Song-Yuan (abad XI-XIV Masehi). Namun, ada juga pecahan keramik yang lebih tua, yaitu dari masa Dinasti T’ang (abad VIII-IX Masehi).

Mengenai percandian Muara Jambi, para pakar sepakat bahwa percandian tersebut dihubungkan dengan Kerajaan Melayu yang lokasinya ada di sekitar Sungai Batanghari. Kerajaan ini telah menjalin persahabatan dengan kerajaan lain.

Berita Tionghoa menuliskan tentang utusan dari Mo-lo-yeu yang datang ke Tiongkok pada tahun 644 dan 645. Selanjutnya, berita yang lain menyebutkan bahwa pada tahun 672 Masehi, dalam perjalanannya dari Kanton ke India, I-tsing singgah di Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) selama enam bulan untuk belajar tata bahasa Sanskerta. Kemudian ia singgah di Mo-lo-yeu selama dua bulan, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke India.

Pada tahun 692 Masehi, ketika untuk kedua kalinya I-tsing datang ke Mo-lo-yeu, dikatakan bahwa Mo-lo-yeu sudah menjadi negeri Shih-li-fo-shih. Sebuah berita Arab dari zaman Kekhalifahan Muawiyah (661-681) menyebutkan Pelabuhan Zabag sebagai pelabuhan terbesar di Batanghari untuk pengapalan lada.


Obyek wisata

Kompleks percandian Muara Jambi merupakan suatu kompleks percandian bagi pemeluk agama Buddha. Hal ini tampak dari banyaknya arca atau atribut pemujaan agama Buddha. Pada saat ini areal yang luasnya sekitar 12 kilometer persegi dan dikelilingi hutan hujan tropis sekunder tersebut telah ditata dengan baik. Beberapa bangunan telah selesai direstorasi dan beberapa buah sudah berhasil ditampakkan kembali setelah berabad-abad tertimbun tanah.

Pada waktu-waktu tertentu, kompleks percandian ini dimanfaatkan oleh masyarakat pemeluk agama Buddha untuk melakukan upacara agama, misalnya pada hari raya Waisak. Di samping upacara yang utama, ada juga upacara yang dilakukan pada hari-hari tertentu.

Muara Jambi, kampung yang dulunya sepi tidak ada orang luar yang berkunjung, kini ramai oleh kunjungan para peneliti lokal maupun asing, wisatawan, dan umat Buddha untuk melakukan upacara. Usaha yang dilakukan oleh Balai Penyelamatan Peninggalan Purbakala Jambi bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jambi dan Kabupaten Muara Jambi untuk melakukan penataan lingkungan percandian Muara Jambi patut dihargai, termasuk kegiatan pameran tentang Muara Jambi di Bentara Budaya Jakarta saat ini.

Bambang Budi Utomo
Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional,
Peneliti Situs Muara Jambi

(Sumber: Kompas, Sabtu, 11 November 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar