Oleh: Bambang Budi Utomo
"Usaha kami ini perlu bantuan modal, tetapi bantuan modal kebanyakan diberikan pada pengusaha yang besar, sedangkan kami sulit untuk mendapatkannya".
Demikianlah keluhan yang dilontarkan Awaludin dan Edi, perajin lakuer di Lorong Antik, Pasar Kuto, Palembang. Mereka bekerja di sebuah ruangan sempit berukuran sekitar 12 meter persegi, pada sebuah rumah di lorong sempit, persis di belakang deretan ruko di Pasar Kuto. Untuk menemukannya juga sulit karena tidak ada papan nama lorong.
Pada sekitar akhir tahun 1980-an untuk mencarinya tidaklah sulit. Hampir semua orang Palembang yang ditanya "di mana perajin lakuer", akan menjawab: Lorong Antik! Untuk mencarinya di Jalan Pasar Kuto cukup melihat deretan ruko sebagai ruang pamer (show room) yang menjual barang-barang tersebut. Di antara ruang pamer itulah ada sebuah lorong sempit menuju ke tempat perajinnya.
Apabila kita bertandang ke satu keluarga di Palembang, atau ke rumah keluarga Palembang di Jakarta atau di tempat lain, kita akan melihat suatu perabotan (lemari, meja, kursi) atau wadah yang dibuat dari kayu berwarna dasar merah, hitam, dan kuning emas. Biasanya terdapat hiasan sulur-sulur daun dan hiasan fauna. Orang Palembang menamakan barang tersebut dengan nama lakuer.
Hasil kerajinan lakuer sangat populer di Palembang dan sekitarnya, tetapi belum dikenal luas oleh masyarakat di Nusantara. Di pasaran banyak dijual barang barang lakuer, tetapi barang barang itu berasal dari luar Indonesia (Jepang dan Thailand). Baru setelah Pameran Produksi Indonesia tahun 1980-an, dan salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta menjualnya, orang mulai mengenal bahwa barang barang lakuer juga diproduksi di Indonesia, khususnya Palembang
Asal "lakuer"
Kata lakuer (bahasa Inggris: lacquer) berasal dari kata lac, yaitu nama bahan damar yang dihasilkan oleh sejenis serangga yang bernama Laccifer lacca. Tumbuhan tempat bertenggernya serangga ini banyak ditemukan di Jepang, Tiongkok, dan di daerah Pegunungan Himalaya. Orang Jepang menyadapnya dari pohon tersebut sekali dalam 10 tahun. Di Sumatera Selatan pohon tersebut dikenal dengan nama pohon kemalo.
Lakuer atau pengerjaan lakuer untuk pertama kalinya dilakukan di Tiongkok, tetapi kemudian diproduksi secara besar-besaran di Jepang. Menurut sumber Tionghoa pada masa Dinasti Ming (1368-1643 M), lakuer awalnya dipakai untuk menulis pada batang bambu. Pada masa Dinasti Chou (1027-256 SM), tempat-tempat makanan pada mulanya dibuat dari lakuer. Pada masa berikutnya lakuer dipakai untuk menghias tandu dan kereta kecil. Motif hias yang dipakai orang Tionghoa adalah motif hias flora dan fauna (naga, burung hong, dan kura-kura).
Ada sebuah berita Tionghoa yang ditulis oleh Chau Ju kua dari masa Dinasti Song (960-1279 M). Di dalam berita itu disebutkan negeri-negeri yang dikunjungi oleh para saudagar Tionghoa, termasuk di dalamnya negeri-negeri di Asia Tenggara, dan hasil produksi dari negeri-negeri tersebut.
Catatan Chau Ju kua menyebutkan sebuah negeri bernama Tonkin yang menghasilkan antara lain lakuer. Selanjutnya disebutkan negara-negara yang memperdagangkan barang-barang lakuer, misalnya Annam, Beranang (Malaysia), Hainan, Brunei, dan Jawa.
Di Annam para pedagang memperdagangkan kayu cendana, kamper, timah hitam, timah, samshu, gula, musk, dan barang lakuer. Penduduk asli Beranang menghasilkan su dan chan (sejenis kayu gaharu), kayu laka, kayu cendana, dan gading gajah. Para pedagang asing di negeri itu menukarkannya dengan emas, perak, porselen, besi, barang lakuer, samshu, beras, gula, dan terigu. Jung-jung Tiongkok yang datang ke Hainan dari Tsuan chou untuk berdagang, antara lain, memuat wadah-wadah lakuer.
Meskipun hubungan ekonomi dan agama dengan Tiongkok sudah berlangsung cukup lama, masuknya kemahiran mengerjakan lakuer di Palembang belum dapat diketahui dengan pasti. Berdasarkan berita Tionghoa, hubungan perdagangan dan agama antara Tiongkok dan Sriwijaya sudah berlangsung sejak sekitar abad ke-7 Masehi. Bermacam-macam komoditas, baik hasil hutan maupun hasil bumi, pada masa itu diperdagangkan. Namun, dalam berita itu tidak disebutkan barang lakuer, baik sebagai barang komoditas maupun sebagai barang persembahan (upeti).
Ada kabar burung bahwa kerajinan membuat lakuer berasal dari negeri Siam. Pada mulanya hanyalah merupakan upeti dari para saudagar Siam untuk penguasa setempat. Tujuannya agar saudagar yang memberikan upeti tersebut diperkenankan oleh penguasa setempat untuk masuk dan berdagang bahkan mengharap agar diperkenankan menetap di wilayah kekuasaannya.
Keterangan itu kurang kuat meskipun Thailand juga menghasilkan barang-barang lakuer, yang biasanya mempunyai ciri khas menggambarkan makhluk kayangan (kinara dan kinari) dengan mahkota khas Thai yang meruncing ke atas. Dugaan yang lebih masuk akal adalah berasal dari negeri Tiongkok karena ragam hias lakuer Palembang mirip dengan ragam hias lakuer Tiongkok.
Karena banyaknya barang tersebut dan juga bentuknya yang cukup menarik, akhirnya barang lakuer mulai ditiru oleh orang-orang terampil. Dalam peniruan barang lakuer banyak diciptakan kreasi baru.
Dalam waktu relatif singkat peniru telah dapat memproduksi barang lakuer dalam jumlah banyak. Dengan masuknya agama Islam di Palembang, ragam hias pada barang lakuer juga bernapaskan Islam, terutama untuk barang pesanan para kerabat sultan dan kaum bangsawan.
Cara membuatnya
Dengan mesin bubut, sebongkah kayu dibentuk bulat atau silindris. Untuk bentuk kotak atau membuat dinding pemisah (sketsel) tidak diperlukan pembubutan, cukup dengan membentuknya dari bilah-bilah papan.
Permukaannya dihaluskan dengan amplas halus, warna dasar dengan oker, dijemur hingga kering. Bagian yang berlubang didempul dan kembali diampelas. Dilukis dengan tinta china dengan hiasan flora dan fauna yang mengambil motif binatang (naga berbadan singa dengan sisik dan duri di badannya), burung bangau, burung hong, dan ayam.
Ragam hias yang telah dilukis biasanya diwarnai merah kesumba, merah darah, hitam, dan kuning emas (prada). Warna dasar yang digunakan hitam dan merah kesumba. Terakhir dilakukan bal, yaitu memoles agar permukaannya berkilauan. Agar tahan lama dan cemerlang, dilapisi cairan serlak (vernis), fungsinya sebagai coating, dan dijemur kembali.
Dalam membuat sebuah lemari khas Palembang, perajin memerlukan waktu sekitar 20 hari, mulai dari membentuk lemari, mengukir daun pintu dan mahkota (bagian atas lemari), menggambar, sampai menghaluskan. Kayu yang terbaik untuk bahan bakunya adalah kayu mahoni.
Pelestarian
Palembang dikenal sebagai tempat memproduksi tenunan songket, namun Palembang juga dikenal sebagai tempat membuat barang-barang lakuer. Kalau kain tenun songket dihasilkan juga di beberapa tempat di Nusantara, seperti Pande Sikek (Sumatera Barat) dan Sambas (Kalimantan Barat), maka barang-barang lakuer hanya dihasilkan di Palembang. Dengan kata lain, lakuer dari Indonesia dihasilkan di Palembang.
Akhir-akhir ini perajin lakuer semakin berkurang jumlahnya. Mungkin disebabkan kalah dengan produksi barang-barang keramik, atau bahkan barang-barang plastik.
Apabila kita berbicara tentang pelestarian, maka yang akan menyangkut di benak kita adalah pelestarian alam, pelestarian benda purbakala, dan pelestarian budaya. Pelestarian yang lebih spesifik lagi, seperti kerajinan lakuer, hampir diabaikan. Sudah saatnya kerajinan membuat barang lakuer dilestarikan karena tahun demi tahun perajinnya mulai berkurang. Salah satu penyebabnya adalah kekurangan modal kerja. Dalam usaha pelestariannya, kelihatan kurangnya perhatian pemerintah daerah. Terbukti dari banyaknya perajin lakuer yang beralih profesi serta menyusutnya perajin lakuer di Lorong Antik.
Barang-barang lakuer bisa menjadi barang komoditas ekspor nonmigas. Ini sesuai dengan ajakan pemerintah untuk menggalakkan ekspor nonmigas. Pembinaan dan penyuluhan kepada para perajin barang-barang lakuer sebaiknya terus dilakukan dengan intensif, juga pemerintah sebaiknya memberi jalan untuk memasarkannya ke luar negeri.
Barang-barang lakuer di pasaran internasional sebagian besar dikuasai Jepang dan Thailand. Sesungguhnya, barang-barang lakuer dari Palembang bisa masuk ke pasaran internasional karena barang itu mempunyai ciri khas. Namun, untuk bisa masuk ke pasaran internasional sangat tergantung pada niat baik pemerintah dalam membina dan menyuluh para perajin barang lakuer.
Bambang Budi Utomo
Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional
Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional
(Sumber: Kompas, 16 Agustus 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar