Kamis, 05 Maret 2009

Naga-naga Blitar


Oleh: Nurhadi Rangkuti

Bagi orang yang memuja selera makan, Blitar terkenal dengan singkong gorengnya yang empuk. Daerah yang berada di sebelah selatan Gunung Kelud di Jawa Timur ini juga termasyhur sebagai tempat kelahiran sekaligus tempat peristirahatan terakhir Bung Karno, presiden pertama RI.

Namun, hanya sedikit orang yang tahu, ternyata Blitar menyimpan sejumlah naga. Makhluk mitologi yang berkaitan dengan penciptaan alam semesta, penguasa air, lambang kesuburan dan legitimasi kekuasaan politik penguasa.

Sejarah mencatat sejak zaman Majapahit, Blitar menjadi tempat ziarah penguasa di pusat. Ziarah ke tempat-tempat naga untuk tujuan keagamaan dan politik.

Di bagian selatan Blitar, terdapat sisa-sisa bangunan candi yang dianggap penting oleh purbakalawan karena dikaitkan dengan tokoh pendiri dinasti Majapahit: Raden Wijaya alias Krtarajasa Jayawarddhana yang memerintah tahun 1293-1309 M. Sisa-sisa bangunan itu berada di sebuah tempat yang bernama Simping. Dulu di tempat ini terdapat sebuah arca setinggi 2 meter, yang sekarang berada di Museum Nasional Jakarta.

Menurut Bernet Kempers (1959), ahli arkeologi dari Belanda, arca itu merupakan arca perwujudan Krtarajasa sebagai Dewa Siwa. Dalam kakawin Nagarakretagama disebutkan, Krtarajasa meninggal pada tahun Saka 1231 (1309 M) di-dharma-kan di Simping dengan sifat Siwaitis dan di Antapura dengan sifat Budhistis.

Sisa-sisa bangunan suci yang masih tampak di Simping adalah struktur bagian bawah bangunan. Dulu bangunan suci ini juga rusak, saat Raja Hayam Wuruk (1350-1389) mengunjungi makam leluhurnya itu pada tahun Saka 1283 (1361 M). Dalam Nagarakretagama disebutkan, menara candi itu miring sehingga sang baginda memerintahkan untuk menegakkannya kembali. Hayam Wuruk berkunjung kembali ke Simping pada tahun Saka 1285 (1363 M) untuk memindahkan candi makam Krtarajasa.

Di tengah struktur candi terdapat sebuah batu segi empat. Bagian atas batu terukir lukisan yang menggambarkan seekor kura-kura sedang membawa gunung di tengah punggungnya. Ular-ular naga membelit gunung tersebut. Lukisan itu melambangkan kisah Amertamanthana dari kitab Mahabharata (India). Amertamanthana menceritakan tentang terjadinya dunia ini melalui pengadukan laut susu untuk mendapatkan amerta, air kehidupan para dewa.

Selain kisah Amertamanthana, di Jawa juga dikenal kisah serupa dengan versi lain. Dalam kitab Tantu Panggelaran, ada cerita pemindahan Gunung Mahameru (Meru) dari India ke Jawa atas perintah Batara Guru dengan menggunakan kura-kura sebagai alas dan ular sebagai tali. Gunung Mandara dalam kisah Amertamanthana disamakan dengan Gunung Mahameru, gunung suci bersemayamnya para dewa, juga sebagai lambang dunia ini. Pada masa itu Pulau Jawa goncang karena terapung di lautan. Para dewa berhasil mengangkat puncak Mahameru, sedangkan Dewa Wisnu menjelma menjadi ular besar untuk membelit Gunung Mahameru dan ditaruh di atas punggung kura-kura.


Candi Naga

Sebelum mengunjungi Simping pada tahun Saka 1283 (1361 M), Raja Hayam Wuruk juga mengunjungi beberapa tempat suci di daerah Blitar. Adalah Candi Palah (sekarang orang menyebutnya Candi Penataran) yang dikunjungi raja terbesar Majapahit itu. Bangunan suci ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter di atas permukaan air laut. Candi yang telah dipugar tahun 1917-1918 itu sebelumnya terbenam oleh material erupsi Gunung Kelud.

Gugusan candi kerajaan ini terdiri atas tiga halaman, yang memanjang barat-timur, dan candi induk terdapat di bagian timur atau di belakang, paling dekat dengan Gunung Kelud. Bernet Kempers menyatakan, Candi Penataran mencakup masa 250 tahun, dari tahun 1197 (masa Kerajaan Kadiri) hingga 1454 Masehi. Gugusan candi ini ditujukan untuk memuja Dewa Siwa sebagai Dewa Gunung.

Ada dua bangunan yang dibelit naga-naga dari belasan bangunan yang berada di dalam gugusan Candi Penataran, yaitu Candi Naga dan bangunan batur pendopo. Candi Naga, sesuai dengan namanya, tubuhnya dililit naga-naga. Sembilan arca tokoh yang membawa genta upacara dipahatkan tengah mendukung naga-naga itu. Candi Naga semacam ini di Bali disebut kehen, untuk menjaga harta milik dewa.

Bernet Kempers menyatakan, ada pula orang yang menghubungkan Candi Naga dengan Gunung Meru karena tubuhnya dililit naga. Candi Naga sangat mungkin sebagai tempat meditasi raja sebagai inkarnasi dewa.

Hayam Wuruk sebagai inkarnasi dewa gunung mengunjungi tempat ini dalam rangka berziarah sambil menguatkan legitimasinya pula. Konon, dia juga bersembah bakti ke hadapan Hyang Acalapati, memohon keselamatan semua makhluk dari bencana letusan Gunung Kelud.


Naga mencaplok Majapahit

Pada tahun 2000 ditemukan sebuah pahatan naga dengan adegan yang sarat makna. Relief candi itu ditemukan sewaktu penggalian arkeologis di Situs Candi Sawentar II, di Desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro, oleh Balai Arkeologi Yogyakarta. Candi ini dimunculkan setelah ratusan tahun terbenam material lava Gunung Kelud, dan penggalian masih dilanjutkan tahun ini. Hayam Wuruk pasti belum melihat Candi Sawentar II karena bangunan ini berdiri hampir setengah abad setelah ia mangkat. Candi ini memiliki angka tahun Saka 1358 (1436 M) semasa Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Suhita (1429-1447 M).

Relief menggambarkan naga bermahkota tengah menggigit matahari, dalam bahasa Jawa Kuno, nagaraja anahut surya. Adegan itu melambangkan angka tahun (sengkalan lamba), yaitu tahun Saka 1318 (1396 M).

Drs Baskoro (2000), ketua tim penelitian, menafsirkan adegan itu sebagai sebuah peringatan peristiwa Perang Paregreg, 40 tahun sebelumnya. Perang Paregreg dikenal sebagai perang saudara antarpenguasa Majapahit, yaitu perebutan takhta antara Wirabhumi dan Wikramawardhana, yang akhirnya Bhre Wirabhumi terbunuh pada tahun Saka 1328 (1406 M). Bangunan Candi Sawentar II boleh jadi sebagai monumen peringatan peristiwa Perang Paregreg yang didirikan oleh Suhita, putri Wikramawardhana.

Lebih jauh, Baskoro memberi makna terhadap relief naga itu. Pahatan matahari atau surya khas Majapahit biasanya ditafsirkan sebagai lambang Kerajaan Majapahit. Dalam adegan digambarkan sebagian lambang negara itu sudah dicaplok naga. Menurut Baskoro, makna yang dalam pahatan itu melambangkan proses runtuhnya Kerajaan Majapahit akibat kemelut politik yang tidak berkesudahan sejak Perang Paregreg.

Blitar tidak hanya tempat bersembunyi naga-naga zaman kuno, tetapi juga melahirkan naga zaman modern dengan makna baru. Sebut saja Bung Karno, bolehlah dijuluki ”naga dunia” karena kiprah dan kepiawaian politiknya diakui dunia.

Presiden RI saat ini pun tidak lepas dari pengaruh ”alam” Blitar. Restu ibundanya yang bermukim di Blitar sewaktu pemilihan presiden, siapa tahu akan melahirkan naga baru. Mengharap SBY menjadi ”naga Indonesia” mestinya tidak dilarang. Maksudnya, mengharap sang naga mampu membangkitkan ekonomi yang masih terpuruk dan menyatukan kembali bangsa ini. Siapa tahu.

Nurhadi Rangkuti
Peneliti di Balai Arkeologi Yogyakarta

(Sumber : Kompas, Sabtu, 23 Juli 2005)

1 komentar: