Kamis, 05 Maret 2009

Candi di Rawa Kalimantan


Oleh: Nurhadi Rangkuti

Tiga anak Sungai Barito bertemu di Margasari: Sungai Nagara, Sungai Tapin, dan Sungai Bahan. Permukaan airnya dipenuhi oleh eceng gondok yang lalu lalang dibawa arus dan pasang surut.

Inilah lokasi kuno yang pernah dikunjungi oleh seorang warga bangsa Eropa bernama S Muller pada abad ke-19 Masehi. Ia melaporkan bahwa di tepi Sungai Nagara terdapat peninggalan orang Kling beragama Hindu yang berasal dari Coromandel.

Tempat pertama yang dikunjungi Muller adalah lokasi yang disebut oleh penduduk pada masa itu Batu Babi. Tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah tempat yang disebut Tanah Tinggi. Lokasi ketiga disebut Candi oleh penduduk setempat.

Di tempat itu Muller menemukan sejumlah besar benda bernilai, seperti batu mulia, benda-benda dari emas, dan manik-manik kaca. Pecahan-pecahan benda logam tersebar di permukaan tanah. Kunjungannya ke daerah berawa itu dipublikasikan dalam Verhandelingen over de Naturlijke Geschiedens der Nederlandsche Overzeesche Bezittingen door de Leden der Natuurkundige Commissie in Indie en Undere Schrijvers, Lund-en Volkenkunde terbitan tahun 1839-1844.

Menurut tradisi lokal, demikian laporan Muller, di tempat itu pernah berdiri bangunan berbentuk kubah dari bata dan di bawahnya terpendam sejumlah guci berisi emas yang sengaja disembunyikan. Penduduk setempat telah menggali tempat itu untuk mencari harta karun tersebut. Muller menyaksikan lubang-lubang galian yang lebarnya 6-8 meter dengan kedalaman sampai 3 meter. Banyak ditemukan bata-bata yang padat. Di antara reruntuhan struktur bata, Muller menemukan tiang pendek yang terbuat dari jenis batu warna abu-abu, sejenis basal.

Rupanya kunjungan Muller ke lokasi itu berdasarkan keterangan dari naskah Hikayat Banjar. Dalam hikayat itu tersebutlah seorang yang bernama Ampu Jatmika yang berlayar meninggalkan negaranya, Kling, untuk mencari tanah baru yang makmur. Sampai di Borneo, ia menyusuri Sungai Marabahan ke arah hulu sampai ke tempat yang dinamakan Candi Laras. Di daerah baru ini didirikan permukiman penduduk, dan Ampu Jatmika menobatkan diri sebagai raja. Setelah itu ia pergi mencari tanah baru lagi yang terletak lebih ke hulu, yang dinamakan Candi Agung.


Situs di atas rawa

Lokasi kepurbakalaan yang dikunjungi Muller sebelum tahun 1839 itu sekarang masuk wilayah Kecamatan Candi Laras Selatan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Tim peneliti Balai Arkeologi Banjarmasin sejak tahun 1997 secara intensif menyelidiki lokasi hunian kuno yang ditunjukkan Muller. Tanah Tinggi kini disebut situs Candi Laras yang berada pada posisi koordinat 2 52-2,6 Lintang Selatan dan 114 56-0,7 Bujur Timur. Yang dinamakan Candi dipastikan adalah situs Pematang Bata yang berada pada posisi koordinat 2 52-3,6 Lintang Selatan, 114-6, Bujur Timur.

Entah mengapa Ampu Jatmika memilih lokasi permukiman di daerah rawa Sungai Negara, cabang Sungai Barito yang mengalir di sebelah barat Pegunungan Meratus. Daerah rawa Sungai Negara meliputi luas sekitar 6.000 kilometer persegi yang berupa tanah datar dengan ketinggian hanya 3-4 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar daerah ini tergenang air sehingga disebut daerah lahan basah (wetland). Vegetasi khas daerah rawa adalah hutan ripauan, hutan rawa yang ditumbuhi pohon gelam yang dominan dengan jenis Melaluece cajuputi.

Lokasi kedua situs terletak di pertemuan Sungai Negara dan Sungai Tapin. Untuk mencapai ke lokasi situs dapat ditempuh dengan jalan kaki atau naik sampan. Jalan kaki sungguh berat karena harus melewati rawa dengan tinggi air sampai selutut. Apabila naik sampan, seseorang harus menunggu air pasang karena melalui sungai kecil yang dangkal. Di wilayah sekitar situs memang banyak anak sungai yang bermuara ke Sungai Negara dan Sungai Tapin. Situs Candi Laras dan situs Pematang Bata terletak dekat dengan anak-anak sungai. Jika hendak ke situs Candi Laras, kita dapat menempuhnya melalui Sungai Amas, sedangkan ke situs Pematang Bata melalui Sungai Bata. Di dekat Sungai Amas, tidak jauh dari situs Candi Laras, terdapat tonggak-tonggak kayu ulin kuno, merupakan sisa bangunan yang berhubungan dengan situs Candi Laras.

Ternyata Ampu Jatmika tidak sembarang memilih tempat. Situs Candi Laras dan situs Pematang Bata berada pada lahan yang lebih tinggi daripada lahan sekitarnya sehingga tidak terendam air pada saat air pasang.


Konstruksi kalang-sunduk

Ditilik dari namanya, Candi Laras mestinya bangunan candi dengan konstruksi batu atau bata yang biasa dijumpai pada candi-candi di Jawa. Di tempat ini memang ditemukan bata-bata kuno yang telah remuk terendam air selama berabad-abad. Tetapi yang membingungkan adanya tonggak-tonggak kayu yang menggunakan kayu besi (eusidexylon zwageri teijm) yang dikenal dengan nama kayu ulin. Sedikitnya ada tujuh tiang kayu yang sebagian menyembul ke permukaan tanah. Tiang terbesar memiliki garis tengah 55 cm, sedangkan tiang terkecil berdiameter 20 cm.

Penggalian arkeologis menemukan konstruksi fondasi dari kayu ulin. Sebuah kayu ulin sepanjang 14 meter membujur sejajar tanah. Kayu itu diapit oleh dua tonggak kayu ulin yang berukuran lebih kecil. Konstruksi ini dikenal dengan nama kalang-sunduk (kalang = penahan, sunduk = kunci), yaitu konstruksi fondasi rumah panggung yang didirikan di atas rawa atau di atas sungai. Di situs Candi Laras kalang-sunduk diletakkan di atas tanah yang dipadatkan oleh remukan bata untuk memadatkan tanah rawa yang basah.

Konstruksi bangunan bertiang kayu yang menggunakan struktur fondasi kalang-sunduk umumnya adalah bangunan rumah tinggal, arsitektur khas daerah Kalimantan Selatan. Apabila bangunan di situs Candi Laras adalah bangunan tempat tinggal, tetapi artefak-artefak yang mencerminkan aktivitas rumah tangga sehari-hari ditemukan sangat sedikit dibandingkan luas dan besar bangunan.

Masa berfungsinya bangunan di situs Candi Laras tidak diketahui secara pasti. Tim peneliti Balai Arkeologi Banjarmasin mengambil sampel kayu ulin untuk analisis radiocarbon dating C-14 di Batan Yogyakarta. Hasil analisis laboratoris menunjukkan usia kayu keras itu 800-1.000 tahun yang lalu, atau sekitar awal abad ke-11 sampai abad ke-13 Masehi.

Kayu ulin tidak tumbuh di daerah sekitar situs, tentu didatangkan dari luar. Mungkin dari daerah Pegunungan Meratus yang terletak di sebelah timur wilayah Candi Laras. Kebanyakan permukiman penduduk sekarang menggunakan kayu gelam, jenis kayu yang banyak terdapat di daerah hinterland wilayah Candi Laras.


Kubangan babi

Tempat yang bernama Candi yang pernah dikunjungi Muller lebih dari 150 tahun yang lalu merupakan hutan kecil yang ditakuti oleh penduduk sekarang karena angker. Bekas-bekas penggalian harta karun yang disaksikan Muller dulu masih dapat dijumpai berupa gundukan-gundukan tanah dan cekungan-cekungan yang berisi air pada musim hujan. Lubang-lubang galian itu sekarang menjadi kubangan babi yang banyak berkeliaran pada malam hari.

Benda-benda yang ditemukan Muller di tempat ini sekarang menjadi koleksi Museum Negeri Lambung Mangkurat, Provinsi Kalimantan Selatan. Tiang pendek dari batu yang disebutkan dalam laporan Muller adalah lingga semu dengan tinggi 33 cm dan garis tengah 34 cm.

Penggalian arkeologis di situs Pematang pada tahun 1994 dilakukan pada gundukan bekas galian penduduk dulu. Hasilnya berupa pecahan-pecahan bata yang tidak tersusun karena bekas digali penduduk. Penelitian belum memberi petunjuk lebih jauh tentang karakteristik situs, terutama informasi mengenai bentuk bangunan dari bata dan batas-batasnya yang pernah berdiri di situs Pematang Bata.

Pecahan-pecahan besar bata banyak ditemukan dalam penggalian arkeologis tahun 1998. Sebuah bata yang masih utuh berukuran 30,5 cm x 17,5 cm x 5,5 cm relatif sama dengan bata yang diukur oleh Muller yang mengunjungi tempat itu pada pertengahan abad ke-19. Bata ini dan juga memiliki ukuran yang relatif sama dengan bata-bata candi Jawa Timur, khususnya candi-candi masa Majapahit.

Jelas, bangunan di situs Pematang Bata adalah bangunan dengan konstruksi bata yang didirikan di atas tanah. Bata-bata yang ditemukan dalam keadaan pecah dan teraduk dalam posisi silang-siur di kotak-kotak penggalian menunjukkan bata-bata tersebut telah digali penduduk sewaktu Muller mengunjungi Pematang Bata. Sebaran bata terkonsentrasi pada gundukan-gundukan tanah yang luasnya kurang lebih 1.600 meter persegi.

Selain Candi Agung di Amuntai, ternyata di Pematang Bata, Kalimantan Selatan, juga terdapat sebuah candi lagi. Sayang, bangunan langka itu sekarang jadi kubangan babi. Hanya legendanya yang masih lestari.

Nurhadi Rangkuti,
Peneliti pada Balai Arkeologi Yogyakarta

(Sumber: Kompas, 21 September 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar