Oleh: Bambang Budi Utomo
Sejak kecil kita didendangkan dan diajarkan lagu ”Nenek Moyangku Orang Pelaut”. Mestinya, dalam konteks kekinian, ditambahkan lagi dengan kalimat: ”itu dulu, sekarang bukan lagi pelaut”. Dalam kenyataannya memang demikian.
Sebagian besar bangsa bahari ini menyatakan dirinya bangsa agraris. Kecuali masyarakat pantai yang betul-betul hidup sebagai nelayan, seluruhnya menganggap dirinya kelompok masyarakat agraris. Apa betul pernyataan itu?
Siapa sebenarnya nenek moyang bangsa bahari yang mendiami Nusantara ini? Sebagian pakar beranggapan bahwa orang-orang yang bertutur bahasa Austronesia-lah nenek moyangnya. Austronesia adalah istilah yang dipakai pakar linguistik untuk keluarga bahasa yang berkembang di Taiwan pada 5.000-7.000 tahun lampau.
Di Taiwan, orang-orang ini mengembangkan teknik-teknik pertanian dari daratan Tiongkok Selatan, beradaptasi dengan lingkungan pulau, dan ”belajar” menyeberangi selat. Sejak sekitar milenium ke-3 sebelum Masehi, mereka mengembara ke arah selatan menuju Filipina.
Di tempat ini mereka membawa dan mengembangkan teknik perladangan berpindah, pembuatan perahu/kapal, dan pembuatan barang-barang tembikar. Pada akhirnya mereka membentuk subrumpun bahasa Melayu-Polynesia.
Menjelang milenium pertama sebelum Masehi, para penutur rumpun bahasa Melayu-Polynesia barat sudah mencapai pesisir Indochina (Champa, Vietnam sekarang), Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Sumatera. Pada periode berikutnya, secara bersinambungan mereka sudah berlayar jauh hingga ke Madagaskar di pantai timur Afrika. Akibat berhubungan secara bersinambungan, kemudian tumbuh budaya Melayu-Polynesia Barat (Malagasi) dan berkembang secara mandiri.
Kelompok penutur yang menyebar ke arah timur membentuk rumpun bahasa Melayu-Polynesia Timur. Perkembangannya di daerah pantai- pantai kawasan timur Nusantara, seperti Halmahera dan pantai utara Irian. Dari tempat ini kemudian diteruskan sampai ke seluruh penjuru Pasifik, Tonga, Samoa, Hawaii, dan yang terjauh Selandia Baru.
Populasi orang-orang penutur bahasa Austronesia menempati wilayah dari Madagaskar di barat hingga Easter Island di timur, dan dari Taiwan/Mikronesia di utara hingga Selandia Baru di selatan. Benang merah yang menyatukan mereka adalah teknik bercocok tanam, teknik pembuatan perahu/kapal, dan teknik pembuatan tembikar. Itulah nenek moyang bangsa bahari dengan kemahirannya ”menyerang” lautan.
Nasib nelayan
Di negara kepulauan yang kini bernama Indonesia, hidup dua kelompok masyarakat yang saling membutuhkan: petani dan nelayan.
Petani di lahan pertanian yang subur di lereng dan kaki gunung api asyik dengan bajak dan cangkulnya. Setelah itu mereka menanam padi, memberi pupuk, dan menyiangi tanaman padinya dari rumput-rumput liar, tidak lupa memberikan air secukupnya. Seluruh rangkaian kegiatan itu, mulai dari menanam sampai mendapatkan hasil, memerlukan modal yang cukup besar.
Sementara itu, saudaranya, yang hidup sebagai nelayan di pantai dan laut berjuang mati-matian melawan arus dan gelombang laut yang sedang mengganas. Nelayan yang di darat menjemur ikan yang tidak laku dijual untuk menjadi ikan asin. Ada juga yang mengolah udang menjadi belacan atau terasi. Kegiatan yang dilakukan nelayan relatif tidak memerlukan modal usaha yang besar. Paling-paling modal untuk mendapatkan minyak solar untuk mesin kapalnya.
Dua macam kehidupan tersebut tampak bertolak belakang. Petani di darat, meskipun tidak terlalu kaya, hidupnya ”tenteram”. Sambil menunggu panen atau menunggu masa tanam berikutnya, banyak waktu luang untuk mencari penghasilan tambahan. Sementara itu, nelayan di pesisir terus berjuang untuk hidup dengan kemiskinan yang selalu melilit. Pergi melaut dilakukan setiap hari. Tidak melaut berarti tidak ada penghasilan.
Tidak miskin
Sebagai bangsa bahari, kelompok masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan itu seharusnya tidak miskin dan tidak perlu berjuang mati-matian demi menyangga hidup. Laut luas yang menempati dua pertiga wilayah negara kepulauan ini menjanjikan sumber daya alam yang melimpah.
Namun, belum pernah ada ceritanya nelayan memberi makan ikan di laut lepas, sekaligus belum pernah ada ceritanya bahwa nelayan itu hidupnya cukup. Untuk bisa menyekolahkan anak-anak mereka pun sulit sehingga banyak anak nelayan yang putus sekolah di tingkat sekolah dasar.
Keterpurukan kehidupan nelayan menjadi semakin parah akhir-akhir ini. Ketika harga minyak naik, kehidupan nelayan semakin terjepit. Tak ada uang untuk beli minyak, tak ada perahu motor yang melaut. Tak ada perahu motor yang melaut, berarti tak ada makanan yang mengganjal nelayan dan keluarganya.
Memang, nasib baik tidak pernah berpihak kepada nelayan. Sejalan dengan naiknya harga minyak, ombak pun naik dan angin pun bertambah kuat. Nelayan tidak bisa melaut lagi.
Lebih ironis lagi, para calon anggota legislatif dan calon kepala daerah dalam bualannya tidak pernah mengatakan, ”Apabila saya terpilih, saya akan meningkatkan taraf hidup nelayan.” Sekalipun sekadar bualan kampanye, nelayan ”tidak pernah dibohongi”, apalagi diwujudkan dalam bentuk aksi yang positif. Itulah nasib nelayan yang selalu miskin terlilit utang bak anak ayam mati di lumbung padi.
Ribuan tahun sudah bangsa bahari ini tinggal di Nusantara. Lima puluh tahun sudah kita menyatakan diri sebagai negara kepulauan. Namun, setelah mengalami perjalanan sejarah yang cukup panjang, kita tidak menyadari bahwa di dalam tubuh kita mengalir darah bahari.
Berapa banyak masyarakat kita yang menyadari akan kebahariannya. Berapa banyak orang yang mengaku terpelajar, calon dan pemimpin bangsa, tahu apa dan mengapa setiap tanggal 14 Desember disebut dan (seyogianya) diperingati sebagai Hari Nusantara?
Bambang Budi Utomo
Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional
Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional
(Sumber: Kompas,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar