Kamis, 05 Maret 2009

Mari Bersahabat dengan Menapaki Jejak Peradaban


Oleh Bambang Budi Utomo

“Akibat dari hubungan perdagangan pada bangsa-bangsa di Asia Tenggara sangat luas. Ia tidak terbatas pada hegemoni politik saja, tetapi juga tukar-menukar kebudayaan,” ujar seorang dosen pakar sejarah kuna Asia Tenggara di depan kelas. Gambaran seperti itulah yang terjadi di masa lampau di kawasan Asia Tenggara.

Pada tanggal 28 Agustus 2006, Pemerintah Indonesia memprakarsai suatu bentuk persahabatan dengan sebagian negara-negara anggota ASEAN (Indonesia, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam), yang memiliki tinggalan sejarah beragama Buddha, dengan menelurkan Deklarasi Borobudur.

Dasar pemikirannya adalah latar belakang kesejarahan dan beberapa kesamaan budaya. Isi Deklarasi Borobudur adalah komitmen bersama untuk mengembangkan pariwisata melalui pengelolaan dan promosi warisan budaya bersama dalam wujud kerja sama wisata ziarah dan wisata budaya.

Disadari atau tidak, eratnya persahabatan antardua bangsa atau lebih biasanya dimulai dari kebudayaan. Apalagi kedua bangsa itu mempunyai latar belakang budaya yang mempunyai banyak kesamaan, sekalipun di masa lampau sejarahnya tidak begitu baik. Tepat apa yang dirintis oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika kunjungan kenegaraan ke Kamboja dan Myanmar, yaitu kunjungan wisata dengan obyek bangunan stupa Buddha. Ide persamaan peradaban tersebut dapat dirangkai menjadi obyek budaya yang baik.


Hubungan kesejajaran

Sejak awal milenium pertama tarikh Masehi, bangsa-bangsa di Asia Tenggara telah menjalin hubungan. Dimulai dari hubungan perdagangan, disusul hubungan keagamaan dan politik antarkerajaan-kerajaan. Adakalanya hubungan antarkerajaan mengalami sandungan-sandungan. Namun, itu semua tidak berlangsung lama karena ambisi politik seorang penguasa dalam kerajaan itu. Sementara itu, bangsanya (rakyat) tidak
bermusuhan.

Adanya hubungan antarsamudra dan antarbenua ternyata telah menimbulkan kesejajaran di dalam pertumbuhan sejarah kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara.

Sebagai akibat perkembangan pelayaran dan perdagangan, pada kurun abad VII-IX Masehi telah timbul pusat-pusat kekuasaan dengan kerajaan-kerajaan seperti Sriwijaya dan Mataram (Indonesia), Tchen-la (Kamboja dan Vietnam), dan Pagan (Myanmar). Kemudian, pada abad X-XI Masehi, pasangan kesejajaran ini meliputi Pagan (Myanmar), Angkor (Kamboja), Campa (Vietnam), Sriwijaya, Mataram, dan Kadiri (Indonesia). Demikianlah seterusnya, pasangan kesejajaran ini berubah-ubah sampai kedatangan kolonialisme Barat.

Pada waktu Tchen-la mencapai puncak kejayaannya, kerajaan ini menguasai jalur-jalur pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara, khususnya di Laut Tiongkok Selatan. Kapal-kapal dagangnya banyak menyinggahi pelabuhan-pelabuhan di Nusantara dan pesisir Asia Tenggara daratan.

Namun keadaan ini tidak berlangsung lama. Menurut kronik Vietnam dan Berita Tionghoa, pada tahun 767, ketika Campa diperintah oleh Prthiwindrawarman, daerah delta Semenanjung Indocina diserbu oleh pasukan yang datang dari Jawa dengan menaiki kapal. Diduga, raja Jawa yang menyerang adalah Rakai Panamkaran dari Mataram. Penyerbuan ini diulangi lagi pada tahun 774 dan 787. Berita mengenai serangan dari selatan ini juga terdapat dalam prasasti yang ditemukan di kawasan yang sekarang termasuk Kamboja.

Ketika Tchen-la menguasai Asia Tenggara daratan, seorang bangsawan dari Kamboja berhasil meloloskan diri ke Jawa. Setelah dididik dan matang di Jawa, pada tahun 790 bangsawan ini kembali ke Kamboja. Ketika kembali ke negeri asalnya, kerajaan di Jawa sedang guncang dan Tchen-la sudah terpecah-pecah. Pada akhir abad VIII itulah ia menyatukan seluruh Kamboja, mendirikan Kerajaan Angkor, dan mengangkat dirinya sebagai raja dengan gelar Jayawarman II (802-850 Masehi).

Prasasti Yang Tikuh yang dikeluarkan oleh Raja Indrawarman pada tahun 799 Masehi menyebutkan tentang selesainya pemugaran kuil Bhadradhipatiswara, yang pada tahun 787 Masehi telah diserang dan dibakar oleh satu pasukan yang datang naik kapal dari Jawa. Pada tahun 774 Masehi, Campa juga pernah mendapat serangan dari orang-orang yang datang dari Jawa.

Menjelang akhir abad IX Masehi, sebuah dinasti baru memerintah di Campa dengan pusat pemerintahannya di Indrapura (sekarang bernamaQuang-nam, Vietnam). Pendiri dinasti adalah Indrawarman I (877-889 Masehi). Raja ini dikenal sebagai seorang penganut agama Buddha Mahayana yang taat.

Selama pemerintahannya ia berjasa membangun kompleks Dong-duong. Diketahui pula bahwa raja ini dan para penggantinya telah menjalin hubungan persahabatan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara (Indonesia). Karena itulah banyak arsitektur Campa yang dipengaruhi oleh gaya arsitektur bangunan candi Jawa Tengah.

Pada akhir abad VIII dan awal abad IX, Jawa telah dapat menanamkan pengaruhnya di Kamboja hingga beberapa waktu lamanya. Akibat dari pengaruh budaya itu terdapat pula perubahan gaya seni pada bangunan, misalnya bangunan-bangunan di Phnom Kulen.

Sekalipun pengaruh budaya Jawa telah “tertanam” di Asia Tenggara daratan, namun secara politis ada usaha untuk melepaskan diri dari pengaruh Jawa. Sebuah upacara sakral dilakukan oleh Jayawarman II dengan cara menobatkan dirinya sebagai “raja gunung” dan penguasa universal di Mahendraparwata (Phnom Kulen). Dengan upacara dasar tersebut ia menjadi seorang penguasa yang universal dan tidak lagi tergantung pada Jawa.


Agama Buddha

Agama Buddha meluas pemeluknya pada abad VII-X Masehi. Pada waktu itu sebuah kerajaan yang kuat dan berpengaruh di Asia Tenggara adalah Sriwijaya. Kerajaan ini selain dikenal sebagai kerajaan maritim, juga dikenal sebagai kerajaan yang andilnya cukup besar dalam perkembangan agama Buddha.

Pendeta Buddha dari berbagai bangsa datang ke Sriwijaya untuk mempelajari tata bahasa Sansekerta sebelum melanjutkan pelajarannya ke Nalanda di India. Bahkan, Atisa—seorang pendeta Buddha dari Tibet—menyempatkan diri untuk memperdalam agama Buddha di Sriwijaya.

Pada sekitar tahun 775 Masehi, Rakai Panamkaran dari Dinasti Sailendra yang dikenal dengan julukan “Pembunuh musuh-musuh yang gagah berani” mendirikan Trisamaya Caitya untuk pemujaan kepada Padmapani, Sakyamuni, dan Wajrapani di Ligor (Thailand Selatan). Pengaruh Sriwijaya di Thailand Selatan cukup kuat, tampak pada gaya seni arca yang ditemukan di kawasan ini. Banyak arca Buddha dan Bodhisattwa yang dikatakan berlanggam Sailendra, Sriwijaya, atau kadang-kadang disebut berlanggam Semenanjung.

Ketika di belahan barat Nusantara berkembang agama Buddha Mahayana (abad VII-IX Masehi), di Asia Tenggara daratan sebagian besar masyarakatnya memeluk agama Hindu aliran Siwa. Agama Buddha mulai berkembang pada sekitar abad XI Masehi. Ketika itu di Burma terdapat Kerajaan Dwarawati dengan rajanya Anoratha. Raja ini memerintahkan pembangunan kompleks pagoda di Pagan untuk agama Buddha Theravada. Di kompleks itu tinggal para biksu dan biksuni.

Di Kerajaan Angkor, ketika diperintah oleh Suryawarman I (1002-1050 Masehi; seorang Pangeran Ligor, Dwarawati), pintu perkembangan agama Buddha Mahayana terbuka lebar. Secara pribadi ia pemeluk agama Siwa yang melanjutkan kultus dewaraja seperti para pendahulunya. Pada masa pemerintahannya agama Buddha berkembang secara luas di Asia Tenggara daratan.

Dalam konteks kekinian, konflik di kawasan tersebut terjadi karena tidak tercapainya saling mengerti dan saling menghargai di antara berbagai kebudayaan.

Berkaca pada kejadian-kejadian sejarah masa lampau, sudah saatnya Deklarasi Borobudur diimplementasikan untuk tujuan perdamaian melalui diplomasi kebudayaan dan kunjungan wisata ziarah agama Buddha dan wisata budaya. Sekaligus membuktikan bahwa Indonesia juga memfasilitasi agama lain yang berdasarkan jumlah penganutnya termasuk minoritas.

(Sumber: Kompas, 27 September 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar