Minggu, 12 April 2009

Mitos Arca-arca Candi Borobudur


Oleh: DJULIANTO SUSANTIO



Serat Centhini ternyata bukan hanya menginformasikan berbagai masakan Jawa atau cara membina hubungan keluarga. Sebenarnya banyak informasi kesejarahan terdapat di dalam ensiklopedia Jawa itu. Karena dinilai bermanfaat, kini Serat Centhini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Lalu adakah hubungan antara Serat Centhini dengan Candi Borobudur?

Apa yang dilihat orang di Candi Borobudur? Sebagian orang akan menikmati ukiran pada relief candi. Sebagian lagi mungkin mengagumi arca atau ornamen lainnya. Namun kalau Anda ke sana, jangan lupa melihat dua arca yang penuh mitos.

Tidak dimungkiri memang sering kali tujuan utama para pengunjung Candi Borobudur adalah ingin meraba-raba atau menyentuh sebuah arca yang terletak hampir di bagian puncak candi, tepatnya di kuadran timur laut. Di mulut rakyat arca tersebut dikenal sebagai Kunta Bima.

Di mata arkeolog sendiri, arca Kunta Bima adalah arca Buddha biasa, seperti arca-arca lainnya yang terdapat di dalam stupa. Bagi sementara orang memang tidaklah lengkap rasanya kalau belum melihat atau menyentuh arca itu. Konon, arca Kunta Bima memiliki “nilai lebih” karena dianggap bertuah.

Sejak lama wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara kerap termakan isu akan “kehebatan” arca Kunta Bima itu. Begitu pula tamu-tamu negara yang berkunjung ke Candi Borobudur. Akibatnya kini lapik tempat arca itu berada semakin aus karena tergesek-gesek oleh jutaan alas kaki pengunjung selama puluhan tahun.

Diperkirakan, mitos tentang arca Kunta Bima muncul sekurang-kurangnya sejak 1950. A.J. Bernet Kempers dalam sebuah bukunya menulis demikian, “Banyak sekali pengunjung Borobudur yang tujuan utamanya susah payah mendaki candi itu bukan tempat suci di pusat, bukan ketenangan di atas batur-batur bundar, dan bukan pula pemandangan yang sangat indah. Tujuannya ialah sebuah arca Buddha dalam salah satu stupa yang terawang”. Ya, itulah arca Kunta Bima.

Konon, penduduk lokal percaya bahwa barang siapa yang bisa menyentuh bagian tertentu arca ini, boleh mengucapkan doa untuk memohon rezeki, berkah, jodoh, karir, dsb. Untuk para pria, dia harus bisa menyentuh tumit arca, sementara para wanitanya harus bisa menyentuh jari kaki. Ada pula yang berpendapat setiap pengunjung, baik pria maupun wanita, harus bisa menyentuh lutut arca. Sedangkan menurut Kempers, pengunjung yang ingin memperoleh rezeki harus bisa menyentuh tangan kanan arca.

Sepengetahuan arkeolog R. Soekmono—yang selama 1950-an hingga 1970-an sering mengurusi Candi Borobudur—mitos arca Kunta Bima sebenarnya hanya akal-akalan petugas candi pada 1950-an. Waktu itu di atas pangkuan arca ditaburkan bunga dan uang recehan. Dengan demikian memberi kesan seolah-olah arca tersebut sakral. Tanpa diduga, banyak pengunjung ikut-ikutan melemparkan uang recehan. Alhasil, setiap sore sang petugas mampu mengantongi berkah yang lumayan.


Stupa Induk

Selain arca Kunta Bima, arca lain yang menarik perhatian pengunjung adalah sebuah arca Buddha berujud jelek. Arca Buddha ini pernah ditempatkan di bawah pohon kenari selama puluhan tahun. Seusai purnapugar Candi Borobudur, arca tersebut diletakkan di areal taman wisata, tak jauh dari lokasi prasasti peresmiannya.

Di kalangan ilmuwan, timbul beragam penafsiran terhadap arca itu. Namun intinya adalah apakah arca itu berasal dari stupa induk Candi Borobudur? Stupa induk adalah stupa terbesar yang terletak di puncak candi.

Menurut catatan-catatan bangsa Belanda, arca itu ditemukan di dalam stupa induk ketika Th. Van Erp melaksanakan pemugaran pada 1907-1911. Namun selesai pemugaran, arca itu tidak dikembalikan ke tempatnya semula, melainkan ditaruh saja di luar candi. Tindakan tersebut konon didasarkan “atas perintah atasan” yang sangat meragukan keaslian tempatnya.

Sejak dikenalnya kembali Candi Borobudur pada 1814, rupa-rupanya tidak ada sedikit pun berita akurat mengenai arca tersebut. Akibatnya N.J. Krom menolak arca itu sebagai arca asli penghuni stupa induk. Alasannya, arca tersebut lebih mirip arca yang tidak terpakai atau barang apkiran.

Soekmono (1993) mengatakan sebelum 1853 tidak ada berita sama sekali tentang adanya arca di dalam stupa induk. Hal ini dipertegas dalam buku karya Raffles, History of Java. Di dalam buku itu terlihat gambar irisan yang dibuat berdasarkan laporan Cornelius, menampilkan stupa induk dalam keadaan kosong.

Begitu pula berita dari Crawford bahwa dalam stupa induk, satu-satunya bagian yang ada biliknya, sama sekali tidak terdapatkan arca. Bahkan landasan untuk penempatannya pun tidak ada. Informasi senada juga tergambar dari laporan Residen Yogya, Valck. Setelah berkunjung ke Borobudur pada 1840 dia mengatakan bahwa Dewa Utama yang menjadi penghuni stupa induk sudah hilang sehingga tidak diketahui lagi dewa siapa yang menjadi sasaran pemujaan.

Sebaliknya van Hoevell yang juga mengunjungi Borobudur pada 1840 menyatakan, “Mungkin di dalam stupa induk itu dulunya ada sebuah arca Buddha besar sekali, sesuai dengan ruangannya”.

Sayang, ketika Hartmann melakukan penelitian pada 1835-1842, dia tidak sedikit pun meninggalkan catatan tentang pekerjaan apa saja yang pernah dilakukannya. Juru gambar Borobudur, Wilsen (1849-1853) justru melaporkan adanya arca Buddha di dalam stupa induk.

Namun setahun kemudian Friedrich mengatakan sebaliknya, yakni di dalam stupa induk tidak pernah ditemukan arca Buddha. Dia pun bertanya-tanya, “Mungkinkah ada orang yang memasukkan arca itu ke dalam stupa?” Selanjutnya ada keterangan dari Brumund bahwa memang ada sebuah arca Buddha di dalam stupa induk yang kedua tangannya diletakkan di depan (dhyanimudra).

Pada 1864 Hoepermans, berdasarkan cerita dari penduduk setempat, mengatakan bahwa Residen Kedu, Hartmann, pernah mengambil suatu benda yang segera dia bungkus dengan saputangan. Setelah itu dia tidak lagi melepaskannya dari pangkuannya dalam perjalanan pulang ke Magelang naik kereta. Diduga, temuan itu adalah arca emas yang berasal dari stupa induk.

Maka untuk menutupi peristiwa itu Bupati Magelang memerintahkan anak buahnya untuk menempatkan sebuah arca Buddha dari batu ke dalam stupa. Arca itu diambil dari bawah, dari sekumpulan arca lepas (Soekmono, hal. 12).


Serat Centhini

Pembahasan yang amat filosofis pernah dilakukan oleh W.F. Stutterheim. Berdasarkan kitab Jawa kuno Sang Hyang Kamahayanikan, yaitu kitab tentang Buddha Mahayana, dia menyimpulkan bahwa jumlah arca Buddha pada Candi Borobudur seharusnya 505 buah. Sedangkan arca yang ada sekarang berjumlah 504 buah. Jadi karena kurang satu, maka arca yang kurang sempurna itulah sebagai pelengkapnya. Dia, menurut Stutterheim, menggambarkan manifestasi dari Sang Bhatara Buddha.

Pada 1970-an arkeolog Belanda, van Lohuizen de Leeuw, meneliti kembali naskah yang disusun oleh Sieburgh, seorang pelukis yang pernah tinggal di Borobudur pada 1837-1839. Ternyata, dalam naskah tersebut Sieburgh melaporkan bahwa di dalam stupa besar di puncak Candi Borobudur terdapat sebuah arca batu yang belum selesai.

Keterangan menarik lainnya pernah diperoleh Soekmono dari Serat Centhini yang disusun kira-kira pada 1814-1830. Dalam pupuh 105, hal. 59-60, Jilid II, Serat Centhini Latin dikatakan demikian, “Tampaklah sangkar batu yang dikerjakan halus dan rumit. Sangkar itu berisi satu buah arca besar, tetapi pengerjaannya kira-kira belum selesai...”.

Soekmono yakin kalau uraian Serat Centhini tentang Candi Borobudur menggambarkan keadaan candi itu sebelum diusik oleh Hartmann pertama kalinya. Dengan demikian arca yang kurang sempurna itu tentunya berasal dari stupa induk.

Dari ketiga pendapat, yakni pada stupa induk pernah terdapat arca emas, pada stupa induk pernah terdapat arca berbentuk kurang sempurna, dan pada stupa induk tidak pernah terdapat arca, manakah yang paling benar? Mitos tentang arca-arca di Candi Borobudur memang menarik. Ya untuk didengar, ya untuk diteliti.***

DJULIANTO SUSANTIO
Arkeolog, tinggal di Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar