Minggu, 12 April 2009

Penamaan Candi, Dari Nama Desa dan Binatang Hingga “Plesetan”


Oleh: DJULIANTO SUSANTIO



Apalah arti sebuah nama, begitulah kata-kata bersayap yang pernah dilontarkan oleh sastrawan Inggris terkenal, Shakespeare, dalam kisah legendaris Romeo dan Juliet. Sampai sekarang kata-kata itu masih tetap fenomenal.

Bagi kita, nama tentu saja begitu penting. Selain sebagai jati diri yang spesifik, adanya nama memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengenali seseorang atau sesuatu.

Demikian halnya dengan candi-candi di Indonesia. Sejak penemuannya yang pertama kali pada abad ke-18, berbagai candi berhasil dikenali dan diingat karena namanya. Uniknya, yang memberikan nama kepada candi pada umumnya adalah mereka yang bukan arkeolog atau sejarawan, tetapi justru masyarakat yang tinggal di lingkungan sekitar candi baru tersebut.

Sebagai misal, untuk gampangnya mereka sering memberi nama candi berdasarkan nama desa tempat candi itu berlokasi. Hal itu memang cara yang paling mudah. Tidak disangkal, kalau Candi Plaosan terletak di Desa Plaosan atau Candi Sambisari terletak di Desa Sambisari. Belum lagi berbagai candi lainnya.

Lalu bagaimana bila di satu desa terdapat lebih dari satu candi? Sejak lama, misalnya, di Desa Plaosan terdapat dua candi. Karena itu warga menamakan yang terletak di utara sebagai Candi Plaosan Lor (Bahasa Jawa, lor = utara) dan yang di selatan dinamakan Candi Plaosan Kidul (kidul = selatan). Gitu aja kok repot.

Begitupun bila terdapat banyak candi di kompleks yang sama. Bagi warga hal ini pun bukanlah masalah besar. Contohnya adalah candi-candi di Gunung Penanggungan, Jawa Timur. Karena jumlahnya banyak maka diberi nama dengan nomor urut I sampai lebih dari LXXX. Jadi jangan heran kalau mendengar nama Candi I, Candi II, dst. Barulah pada masa kemudian namanya diganti sesuai dengan bentuk candi itu, misalnya Candi Genuk atau Gentong karena berbentuk seperti gentong (tempat menampung air).

Cara termudah memberi nama candi memang bersumber dari apa-apa yang ada di sekitar kita. Yang paling penting adalah mudah diidentifikasi, seperti halnya nama binatang. Di antara sekian banyak candi, yang paling populer adalah Candi Tikus di Jawa Timur. Nama ini diberikan oleh masyarakat Trowulan, karena dulunya di sela-sela tumpukan batu candi yang masih berantakan, banyak dijumpai sarang tikus.

Candi lain yang juga cukup dikenal adalah Candi Asu (Bahasa Jawa, asu = anjing), tak jauh letaknya dari Candi Prambanan. Disebut demikian karena puluhan tahun yang lalu banyak anjing sering berkeliaran di sekitar serakan batu candi.

Uniknya, nama Candi Asu juga ada di lokasi lain. Berbeda dari yang pertama, yang ini merupakan kekeliruan penyebutan oleh penduduk setempat. Konon dulu di dekat candi tidak dikenal itu, terdapat arca Nandi, yakni arca berujud lembu. Karena penduduk masih awam, mereka menganggap arca itu berujud anjing. Meskipun demikian Candi Asu salah kaprah itu, tetap populer sampai sekarang.

Nama-nama yang berbau “plesetan” juga sering diberikan oleh penduduk, misalnya terhadap Candi Batu Miring. Konon sewaktu ditemukan batu-batu candinya berada dalam kondisi miring hampir roboh. Begitu juga Candi Watu Gudhig, karena batu-batunya terkena lumut sehingga warnanya berbintik-bintik seperti orang terkena penyakit kulit (Bahasa Jawa, watu = batu dan gudhig = sejenis penyakit kulit).

Penduduk juga yang menamakan Candi Pawon (= dapur) karena bagian dalam candi menyerupai dapur; Candi Lumbung karena dulunya dikira tempat penyimpanan padi (= lumbung); Candi Sari karena banyak dihiasi arca berbentuk molek (= sari); dan Candi Bubrah (= rusak atau berantakan) karena bangunan yang tersisa hanya berupa serakan batu.


Cerita Rakyat

Sejumlah cerita rakyat juga banyak mewarnai penamaan candi. Yang paling terkenal adalah legenda Bandung Bondowoso. Alkisah, suatu hari Raden Bandung Bondowoso berniat mengawini Puteri Loro Jonggrang, anak Prabu Ratuboko, seorang raja yang istananya terletak tidak jauh dari Prambanan.

Namun Loro Jonggrang mengajukan syarat bahwa terlebih dulu Bandung Bondowoso harus dapat membuatkan sebuah istana yang berisi seribu arca dalam waktu semalaman. Bandung Bondowoso pun bekerja keras sehingga menjelang pagi hanya tersisa satu arca yang belum selesai. Karena diperdaya, maka tiba-tiba ayam berkokok menandakan hari sudah pagi. Dengan kesal Bandung Bondowoso kemudian menenung Loro Jonggrang menjadi sebuah batu. Arca Loro Jonggrang itulah yang dianggap sebagai pelengkap arca yang kurang satu.

Sebenarnya, arca Loro Jonggrang yang menjadi ornamen Candi Prambanan sekarang melukiskan Dewi Durga, isteri Dewa Siwa. Arca ini memiliki ukiran yang artistik sehingga menarik perhatian penduduk sekitar. Dari legenda ini pula terlahir nama Candi Ratuboko, yang berlokasi beberapa kilometer dari Candi Prambanan.

Itulah sebabnya di mata penduduk setempat nama Loro Jonggrang lebih dikenal daripada nama Prambanan. Padahal, para wisatawan lebih memahami nama Prambanan karena terletak di Desa Prambanan dan juga merupakan nama formal dalam peta-peta kepariwisataan. Sampai kini Candi Prambanan merupakan sedikit dari sekian banyak candi yang memiliki nama ganda.

Lain dari itu, penamaan candi sering berdasarkan atribut utama yang terdapat pada candi. Misalnya Candi Siwa karena di dalamnya berisi arca Dewa Siwa. Begitu pula nama Candi Brahma, Candi Wisnu, dan Candi Garuda di kompleks Prambanan.

Candi juga sering dinamakan sesuai dengan apa yang disebutkan dalam prasasti atau sumber tertulis lainnya. Contohnya Prasasti Kalasan yang pada bagian intinya menyebutkan Desa Kalasa. Agar lebih enak didengar, lagi pula untuk menyebutkan tempat, maka kemudian ditambahkan huruf n. Jadi bukan Kalasa, melainkan Kalasan.

Di antara sejumlah bangunan purbakala yang disebutkan dalam kitab kuno Nagarakretagama (berasal dari abad ke-14), ada beberapa nama yang dipandang bersesuaian dengan keadaan masa sekarang. Karena itu bangunan suci Jajawa disesuaikan menjadi Candi Jawi dan Jajaghu menjadi Candi Jago.

Di antara sekian banyak candi, hingga kini nama yang masih diperdebatkan adalah Candi Borobudur. Di mata penduduk setempat, Borobudur bermakna “arca di Desa Budur”. Konon, dulu setiap hari penduduk selalu melihat banyak boro (= arca) di Desa Budur itu. Cerita lain mengatakan, nama Borobudur berasal dari pohon budur (pohon bodhi atau pohon kehidupan) yang pernah tumbuh subur di sana.

Dari kacamata ilmiah, J.L. Moens mengartikan istilah budur dengan kota Buddha karena dalam kitab kuno Nagarakretagama penyebutan budur sudah ada. Menurut pakar lain, Poerbatjaraka, nama Borobudur berasal dari kata biara (tempat suci) dan bidur (tempat tinggi), yang kemudian “diplesetkan” menjadi borobudur.

Disayangkan. sampai sekarang masih belum ada nama candi yang menggunakan nama orang, baik penemunya ataupun peneliti pertamanya. Siapa tahu nama Anda akan diabadikan.***

DJULIANTO SUSANTIO
Arkeolog, tinggal di Jakarta

1 komentar:

  1. Artikelnya menarik Pak, jadi tahu seluk-beluk nama candi. Sekali-kali mainlah ke situs saya di http://wijna.web.id.

    Salam Kenal

    BalasHapus