Menara Babel, salah satu peninggalan kuno yang tersisa di Babylon, Irak
Kawasan antara Sungai Euphrat dan Tigris telah menjadi pusat peradaban, ketika umat manusia di Eropa dan Amerika Utara masih tinggal di dalam gua.
Kekayaan arkeologi Irak ini, menarik perhatian para ilmuwan di seluruh dunia untuk menilitinya. Sejak invasi tentara Amerika Serikat, semua usaha ini terhenti sama sekali. Terjadi penjarahan besar-besaran di museum nasional Irak, setelah Bagdad direbut. Dan terus bermunculan laporan dilakukannya penggalian tanpa ijin dan benda benda antik diseludupkan keluar negeri.
Tentara Amerika Serikat tidak peduli dengan tempat-tempat arkeologi dan peninggalan sejarah. Dengan demikian mengancam keberadaannya. Margarethe van Ess, pakar Irak dari Lembaga Arkeologi Jerman mencemaskan keadaan tersebut.
“Saya pikir masalahnya menyangkut keperluan militer. Dan ini selalu merupakan diskusi di seluruh dunia. Ini berlaku di seluruh negara yang mengalami, perang saudara atau sesuatu, yang mengakibatkan benda-benda budaya menjadi korban. Hal ini sangat mudah terjadi, karena jarang sekali pihak yang berwenang diberi informasi atau ditanyai. Dan dari orang-orang awam, dalam hal ini pihak militer, tidak diharapkan dapat mengetahui apa yang mereka lakukan.“
Setelah melakukan invasi, tentara Amerika Serikat ditempatkan di tengah kota antik Babylon, dan tentu saja ini menimbulkan kerugian dan kerusakan. Tidak hanya akibat tindakan yang semborono, melainkan juga akibat guncangan yang ditimbulkan oleh kendaraan truk dan panser.
Pejabat Irak mengumumkan sebuah peraturan yang menyatakan kawasan Mesopotamia dengan radius satu sampai dua kilometer, sebagai kota bersejarah, dan melarang dilakukan aksi militer di kawasan itu. Tapi kerusakan tetap terjadi. Margarethe von Ess mengatakan:
“Di dekat Ur, pembangunan pangkalan udara militer menimbulkan kerusakan dikawasan bersejarah dan juga dikawasan pinggirannya.”
Pangkalan udara itu merupakan yang terbesar di kawasan Timur Tengah. Karena merupakan daerah militer yang terlarang, pihak dari Jawatan Arkeologi Irak tidak dapat memasuki kawasan ini. Juga situasi keamanan di Irak merintangi para arkeolog asing untuk mengunjunginya.
Meskipun demikian, pakar Irak dari British Museum, John Curtis, tahun lalu mengunjungi kawasan Ur. Ia memang tidak dapat bertemu dengan rekan-rekanya dari Irak, tapi dapat menuliskan kerusakan yang terjadi akibat penggalian dan pembuatan jalan.
Selain itu John Curtis mengungkapkan satu kabar yang menggembirakan, bahwa tempat bersejarah dan cagar budaya terletak dalam wilayah militer yang terlarang. Dengan demikian dapat dilindungi dari aksi penjarahan.
Margarethe van Ess menyerukan kepada pihak Amerika Serikat untuk melindunginya, dan melakukan serta meningkatkan kerjasama dengan pihak berwenang Irak. Selain itu ia juga mengharapkan agar situasi di Irak segera membaik, agar pakar internasional dapat kembali melakukan penelitian dan risetnya di Irak. (ar)
(Sumber: Deutsche Welle)
Kawasan antara Sungai Euphrat dan Tigris telah menjadi pusat peradaban, ketika umat manusia di Eropa dan Amerika Utara masih tinggal di dalam gua.
Kekayaan arkeologi Irak ini, menarik perhatian para ilmuwan di seluruh dunia untuk menilitinya. Sejak invasi tentara Amerika Serikat, semua usaha ini terhenti sama sekali. Terjadi penjarahan besar-besaran di museum nasional Irak, setelah Bagdad direbut. Dan terus bermunculan laporan dilakukannya penggalian tanpa ijin dan benda benda antik diseludupkan keluar negeri.
Tentara Amerika Serikat tidak peduli dengan tempat-tempat arkeologi dan peninggalan sejarah. Dengan demikian mengancam keberadaannya. Margarethe van Ess, pakar Irak dari Lembaga Arkeologi Jerman mencemaskan keadaan tersebut.
“Saya pikir masalahnya menyangkut keperluan militer. Dan ini selalu merupakan diskusi di seluruh dunia. Ini berlaku di seluruh negara yang mengalami, perang saudara atau sesuatu, yang mengakibatkan benda-benda budaya menjadi korban. Hal ini sangat mudah terjadi, karena jarang sekali pihak yang berwenang diberi informasi atau ditanyai. Dan dari orang-orang awam, dalam hal ini pihak militer, tidak diharapkan dapat mengetahui apa yang mereka lakukan.“
Setelah melakukan invasi, tentara Amerika Serikat ditempatkan di tengah kota antik Babylon, dan tentu saja ini menimbulkan kerugian dan kerusakan. Tidak hanya akibat tindakan yang semborono, melainkan juga akibat guncangan yang ditimbulkan oleh kendaraan truk dan panser.
Pejabat Irak mengumumkan sebuah peraturan yang menyatakan kawasan Mesopotamia dengan radius satu sampai dua kilometer, sebagai kota bersejarah, dan melarang dilakukan aksi militer di kawasan itu. Tapi kerusakan tetap terjadi. Margarethe von Ess mengatakan:
“Di dekat Ur, pembangunan pangkalan udara militer menimbulkan kerusakan dikawasan bersejarah dan juga dikawasan pinggirannya.”
Pangkalan udara itu merupakan yang terbesar di kawasan Timur Tengah. Karena merupakan daerah militer yang terlarang, pihak dari Jawatan Arkeologi Irak tidak dapat memasuki kawasan ini. Juga situasi keamanan di Irak merintangi para arkeolog asing untuk mengunjunginya.
Meskipun demikian, pakar Irak dari British Museum, John Curtis, tahun lalu mengunjungi kawasan Ur. Ia memang tidak dapat bertemu dengan rekan-rekanya dari Irak, tapi dapat menuliskan kerusakan yang terjadi akibat penggalian dan pembuatan jalan.
Selain itu John Curtis mengungkapkan satu kabar yang menggembirakan, bahwa tempat bersejarah dan cagar budaya terletak dalam wilayah militer yang terlarang. Dengan demikian dapat dilindungi dari aksi penjarahan.
Margarethe van Ess menyerukan kepada pihak Amerika Serikat untuk melindunginya, dan melakukan serta meningkatkan kerjasama dengan pihak berwenang Irak. Selain itu ia juga mengharapkan agar situasi di Irak segera membaik, agar pakar internasional dapat kembali melakukan penelitian dan risetnya di Irak. (ar)
(Sumber: Deutsche Welle)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar