Views
Oleh Djulianto Susantio
Satu setengah abad lalu, tepatnya pada 4 Juni 1851, berdiri Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie (KITLV). Pemrakarsa KITLV adalah negarawan Jean Chretien Baud, guru besar bahasa-bahasa Asia Taco Roorda, dan pakar ilmu alam Gerrit Simons. Kota kelahiran KITLV adalah Delft. Pada awalnya tujuan pendirian KITLV adalah memajukan ilmu bahasa, budaya, dan sejarah Hindia Belanda dalam arti yang seluas-luasnya.
Pada 1865 anggaran dasar KITLV diubah, sehingga bidang yang ditangani KITLV diperluas sampai meliputi semua daerah jajahan Kerajaan Belanda. Tiga tahun kemudian, 1868, KITLV berpindah dari Delft ke Den Haag.
Akibat Perang Dunia ke-2, setelah 1945 terjadi perubahan mendasar. Banyak negara mulai melepaskan diri dari penjajahan. Begitu pula kekuasaan Belanda atas daerah-daerah jajahan berakhir. Dengan demikian perhatian Belanda terhadap daerah-daerah bekas jajahannya menurun.
Sebaliknya di luar negeri tumbuh perhatian terhadap daerah-daerah itu, termasuk di Asia Tenggara, ka-wasan Pasifik, dan kawasan Karibia. Perkembangan ini mengakibatkan KITLV mengambil posisi lebih bersifat internasional. Untuk itu sejak 1949 KITLV melepaskan pembatasan regional di dalam namanya dengan menghilangkan kata Nederlandsch-Indie.
Pada 1966 KITLV pindah ke Leiden, menempati salah satu ruangan di Universitas Leiden. Universitas Leiden sejak lama dikenal sebagai salah satu perguruan tinggi ternama di dunia. Di tempat ini para mahasiswa yang memanfaatkan jasa dan koleksi KITLV semakin banyak. Begitu juga para peneliti Belanda dan peneliti mancanegara. Dalam perkembangan selanjutnya, KITLV antara lain berhasil mendirikan bagian dokumentasi mengenai Indonesia dan kawasan Karibia. Kalau pada awal pendiriannya (1851), jumlah anggota KITLV hanya 100, seratus tahun kemudian (1951) menjadi 400. Pada akhir 2001 jumlah anggota KITLV sekitar 2.500 orang, 1.000 di antaranya tersebar di berbagai negara. Di Indonesia sendiri jumlah anggota KITLV merupakan mayoritas, yakni sekitar 500 orang.
Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai arkeolog, sejarawan, antropolog, politikus, wartawan, ahli bahasa, sosiolog, dsb.
Publikasi
Nama resmi KITLV dalam bahasa Inggris adalah Royal Institute of Linguistics and Anthropology (tahun 2004 berubah menjadi Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) sementara dalam bahasa Indonesia adalah Lembaga Bahasa, Budaya, dan Sejarah. KITLV membuka perwakilan di Indonesia pada 1969 dan berkedudukan di Jakarta.
Aktivitas KITLV di Indonesia, bekerja sama dengan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), umumnya berkaitan dengan kegiatan ilmiah. Pada pokoknya KITLV mempunyai enam tugas. Pertama, pengadaan literatur. Kedua, pembuatan uraian judul (katalogisasi) dan pendokumentasian lewat sistem kata kunci. Ketiga, perekaman bahan-bahan yang telah diperoleh di atas mikrofilm dan mikrofis. Keempat, penerjemahan dan penerbitan karya ilmiah Belanda ke dalam bahasa Indonesia. Kelima, pelayanan kepada para anggota KITLV di Indonesia. Keenam, penyebaran terbitan KITLV dan berbagai literatur di Indonesia Anggota KITLV di Indonesia dikenakan iuran tahunan sebesar Rp 50.000, sementara negara-negara lain sekitar Rp 200.000.
Para anggota Indonesia sekaligus menjadi pelanggan majalah KITLV, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde yang lebih populer disebut Bijdragen atau BK1. Para anggota pun berhak mendapat potongan harga 25% atas pembelian satu eksemplar terbitan KITLV-Press. Majalah BKI terbit empat kali setahun. Meskipun namanya berbau Belanda, namun sebagian besar karangan ditulis dalam bahasa Inggris.
Sejak 1986 kedudukan KITLV sebagai pusat kajian Indonesia di Eropa ditingkatkan. Mulai 1988 diterbitkan Newsletter of Southeast Asian Studies secara berkala. Pada 1992 didirikan European Association for Southeast Asian Studies.
Kegiatan KITLV yang tertua adalah penerbitan. Publikasi KITLV dan majalah KITLV pertama mulai muncul tahun 1852. Hingga kini KITLV telah menerbitkan ratusan majalah dan buku. Yang paling terkenal adalah majalah BKI. Penerbitan lain adalah Verhandelingen van het Koninklijk Instituut (VK1) atau Verhandelingen dan Bibliographical Series (BS). VKI merupakan buku monografi dari berbagai ilmu dan BS berisi informasi bibliografis mengenai bahasa, sejarah, antropologi, dan informasi tentang daerah tertentu.
Kemudian ada lagi Translation Series (karya-karya terjemahan), Bibliotheca Indonesica (terbitan kritis dari naskah), Reprints on Indonesia (terbitan ulang buku-buku lama), dan Excerpta Indonesica (sari karangan mengenai Indonesia). Penerbitan lain adalah Kertas Kerja (hasil penelitian), Proceedings (hasil pertemuan ilmiah KITLV), berbagai katalog, dan Proyek Kamus (kamus bahasa daerah/Indonesia-Belanda/Inggris/Jerman). Sejak beberapa tahun lalu KITLV melakukan kerja sama penerbitan dengan sejumlah penerbit Indonesia.
Buku yang pernah diterbitkan antara lain Belanda di Irian Jaya (bekerja sama dengan Penerbit Garba Budaya, 2001), Kenang-kenangan Pangrehpraja Belanda 1920-1942 (Penerbit Djambatan, 2001), Mohammad Hatta (Penerbit Djambatan, 2002), dan Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962 (Pustaka Sinar Harapan, 2004).
Koleksi
Koleksi terbanyak yang dimiliki KITLV berupa buku dan terbitan berkala. Jumlahnya mencapai ratusan ribu jilid. Diperkirakan 65% dari koleksi bertalian dengan Indonesia. Perpustakaan KITLV sudah bergabung dengan jaringan perpustakaan Belanda Perpustakaan KITLV pun memiliki lebih dari 20.000 judul dalam bentuk mikrofilm dan mikrofis. Selain itu KITLV memiliki koleksi berupa peta sebanyak 10.000 lembar, foto- foto tentang Indonesia hingga 1950 sebanyak 100.000 lembar, gambar—termasuk sketsa dan lukisan—sebanyak 2.500 dokumen, naskah-naskah Barat sebanyak 1.200 tulisan tangan, dan naskah-naskah Timur sebanyak 600 nomor tulisan tangan.
Seluruh koleksi KITLV tersimpan rapi dan terpelihara baik di Belanda. Sejauh ini koleksi KITLV selalu dimanfaatkan para mahasiswa dan sarjana Indonesia yang mengambil program lanjutan. Kehadiran KITLV, baik di Indonesia maupun di Belanda, dinilai amat membantu peningkatan kualitas kaum intelektual Indonesia.
Mudah-mudahan golongan terpelajar dan golongan kaya di Indonesia bisa tergerak hatinya dengan mendirikan lembaga semacam itu. Dengan demikian untuk mencari data tentang bangsa sendiri, kita tidak perlu jauh-jauh ke Belanda, tetapi cukup di dalam negeri. Bukan hanya mendirikan. Kita pun harus bisa memeliharamya hingga berumur panjang seperti KITLV.
Penulis adalah seorang arkeolog
(Sumber: Sinar Harapan, Rabu, 9 Juni 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar