Views
Oleh: DJULIANTO SUSANTIO
PENEMUAN benda-benda arkeologi dari dalam tanah selalu menarik perhatian masyarakat. Penemuan fosil manusia purba bertubuh kerdil Homo Floresiensis baru-baru ini dari situs Liang Bua, Flores, telah mengisi gegap gempita pemberitaan pers lokal dan internasional.
Di Indonesia pers mengupasnya dalam berbagai sudut pandang. Adanya konflik kepentingan antara Indonesia yang punya situs dengan Australia yang punya duit, menjadi ladang berita hangat. Mengapa pakar Australia yang mengemukakan hasil penelitian, bukan pakar Indonesia, digarap besar-besaran.
Beberapa tahun lalu penemuan benda-benda emas kuno di situs Wonoboyo pernah pula menjadi perhatian pers. Bahkan cerita-cerita berbau mistik mewarnai berbagai tulisan tersebut.
Sesungguhnya bukan hanya penemuan yang mendapat porsi besar di mata pers. Pemugaran Candi Borobudur tahun 1970-an pernah mengisi halaman-halaman utama media cetak. Demikian pula masalah pencurian keramik langka dan antik dari Museum Nasional, pencurian arca dari berbagai candi yang kemudian arca-arcanya muncul di mancanegara, dan penjarahan harta karun laut dari perairan Indonesia oleh sindikat asing.
Kasus penggalian liar di areal situs Batutulis, Bogor, Agustus 2002 lalu, semakin menambah panjang deretan bulan-bulanan pers Indonesia. Berita itu dipandang mempunyai ”nilai jual” karena berhubungan de-ngan seorang menteri yang mendapat bisikan dari seorang paranormal. Apalagi konon seluruh harta karun yang masih terpendam itu, bisa dipakai untuk melunasi seluruh utang luar negeri Indonesia.
Spektakuler
Sejak lama banyak karangan tentang arkeologi, umumnya memuat penonjolan informasi yang berlebihan tentang penemuan baru. Pers sering menggambarkan penemuan-penemuan itu secara mengagumkan, serba unik, eksotik, fantastik, dramatik, dan spektakuler.
Tanpa disadari karangan semacam itu telah membentuk opini masyarakat bahwa arkeologi hanya berkenaan dengan hal-hal menakjubkan. Karena itu penemuan pecahan-pecahan keramik atau fondasi-fondasi bangunan kurang mendapat tempat layak di halaman pers. Padahal kenyataannya, penemuan atau kegiatan yang serba ”wah” atau ”syur” semacam itu amat jarang terjadi. Banyak arkeolog yang bekerja keras sepanjang karier profesionalnya, jarang sekali bahkan tidak pernah menemukan benda-benda arkeologi yang tergolong kelas mempesona atau mengagumkan.
Meskipun tanpa temuan yang spektakuler, para arkeolog tetap tidak akan berhenti bekerja. Masalahnya, motivasi seorang arkeolog bukanlah nilai kekaguman, ekonomis, atau keindahan, tetapi memperoleh sebanyak mungkin informasi dari warisan budaya masa lalu itu. Di mata arkeolog warisan budaya masa lalu memiliki banyak dimensi.
Arkeolog menggarap data temuan dari aspek politik, budaya, sosial, dan ekonomi. Arkeolog memperhatikan kegiatan para penguasa kerajaan dan rakyat biasa. Arkeolog meneliti keraton-keraton megah dan puing-puing permukiman penduduk.
Arkeolog bukan hanya menangani candi-candi besar, tetapi juga pecahan-pecahan keramik. Meskipun bendanya tidak agung dan tidak indah, arkeolog tetap ingin memeras informasi yang tuntas dari pecahan-pecahan keramik tersebut. Arkeolog bukan hanya menganalisis peralatan hidup, tetapi juga berbagai komponen lingkungan hidup masyarakat.
Tujuan arkeologi pun bukan hanya menemukan benda, tetapi mengungkapkan segala keterangan mengenai tingkah laku manusia yang mencakup sistem ideologi, sistem sosial, dan sistem teknologi. Ilmu arkeologi sendiri mempunyai tiga tujuan pokok, yakni merekonstruksi sejarah kebudayaan, merekonstruksi cara-cara hidup masyarakat masa lalu, dan menggambarkan proses-proses budaya. Dalam melaksanakan ketiga tujuan pokok tersebut arkeolog berusaha menemukan, mengenali, melukiskan, dan menganalisis benda-benda arkeologi yang ditemukan secara utuh maupun pecahan.
Dengan demikian para arkeolog, sebagaimana diungkapkan Prof. Dr. Mundardjito, dapat menyusun perkembangan kebudayaan dalam dimensi bentuk-ruang-waktu dan aspek fungsi dari peninggalan budaya tersebut. Selain itu para arkeolog mampu menekankan perhatiannya bukan hanya pada pertanyaan apa, di mana, dan bilamana, tetapi juga bagaimana dan mengapa.
Menyusun Sejarah
Tak dipungkiri kalau selama ini sebagian besar masyarakat kurang berapresiasi terhadap peninggalan yang sama sekali tidak bagus. Berbagai kerusakan peninggalan-peninggalan purbakala oleh masyarakat masa kini antara lain disebabkan mereka tidak sadar dan tidak memahami betul bahwa data arkeologi sangat penting bagi usaha untuk menyusun kembali sejarah masyarakat masa lalu. Kerusakan peninggalan purbakala dan situsnya dapat menimbulkan kesulitan besar bagi usaha para arkeolog untuk menyusun sejarah bangsa.
Kerusakan besar antara lain pernah menimpa situs Trowulan, yang diduga bekas ibu kota Kerajaan Majapahit. Banyak batu bata candi diambili penduduk untuk dijadikan semen merah. Banyak bagian bangunan diboyongi masyarakat sekitar untuk dibuat bagian rumah. Banyak arca dicongkeli maling untuk dijual kepada penadah barang antik. Demikian contoh kecil.
Sejak lama tulisan-tulisan kepurbakalaan di media cetak umumnya berkenaan dengan masalah penemuan, pencurian, dan perusakan. Tulisan mengenai kegiatan ekskavasi atau pemugaran, sangat sedikit jumlahnya. Justru pers Indonesia malah cenderung menulis hal-hal sensasional dan membesar-besarkan masalah nonarkeologi. Tampaknya ada semacam keengganan untuk membuat tulisan arkeologi murni dengan segala aspeknya karena dipandang terlalu berat bobot ilmiahnya.
Sebenarnya sejumlah data arkeologi merupakan komoditas informasi yang layak jual. Banyak bangunan arkeologi, seperti candi, masjid, gereja, dan keraton, sering ditulis orang untuk konsumsi dunia pariwisata. Masalah kehidupan manusia purba, pembuatan peralatan kuno, pembangunan candi, dan teknik menempa besi, sering dibicarakan orang dalam rubrik sains atau iptek.
Selama ini orang tahu pers mempunyai beberapa fungsi, yakni informasi, komunikasi, rekreasi, dan edukasi. Karena itu permasalahan dalam arkeologi cukup ”basah” untuk memenuhi fungsi-fungsi tersebut.
Siapa sih yang tidak tertarik dengan kehidupan manusia purba, macam manusia kerdil dari Flores? Ilmuwan mana sih yang tidak kagum dengan teknologi pembuatan candi? Pelajar mana sih yang tidak ingin mengetahui kebesaran Kerajaan Kutai, Sriwijaya, atau Majapahit?
Masalah penyelewengan pajak atau hukum pidana masa purba, bisa diceritakan lewat penelusuran prasasti. Masalah teknologi kuno bisa dijejaki lewat kajian naskah dan relief candi. Demikian pula sejarah anjing sebagai hewan peliharaan, pers yang paling kuno, dan cara kerja wartawan zaman dulu, semuanya terekam dalam bentuk data arkeologi.
Peran Pers
Salah satu fungsi pers yang paling penting dari kacamata arkeologi adalah sebagai sarana informasi. Informasi yang kontinu bisa memperkecil bahkan menghilangkan jumlah kejahatan terhadap peninggalan arkeologi, seperti pencurian benda kuno, penggalian liar, corat-coret, dan penyelundupan barang antik.
Sayangnya, pemberitaan pers Indonesia tentang arkeologi masih sedikit jumlahnya. Apalagi bila dibandingkan dengan masalah politik dan ekonomi. Menurut Berthold DH Sinaulan, arkeolog yang juga wartawan dalam salah satu makalahnya, sedikitnya jumlah pemberitaan arkeologi merupakan indikasi betapa kurang pentingnya masalah kepurbakalaan di mata pers.
Sulit bagi arkeologi untuk mengharapkan para wartawan menulis hal-ihwal kepurbakalaan secara lengkap. Wartawan yang sehari-harinya sudah ditumpuki tugas dan dikejar deadline, tidak mungkin sempat bersibuk diri membolak-balik literatur di sana-sini. Kalaupun menulis, wartawan sering keliru dengar atau salah kutip karena sebagian besar dari mereka bukan sarjana atau peminat serius masalah kepurbakalaan. Banyak wartawan juga kurang memahami bedanya penggalian kabel telepon atau pipa ledeng dengan penggalian arkeologi yang disebut ekskavasi. Demikian salah satu keluhan yang pernah dilontarkan Rudi D. Badil, seorang wartawan yang berlatar antropologi.
Sebaliknya para arkeolog yang kebanyakan birokrat, selalu bersikap off the record terhadap masalah pencurian, penemuan, dan kebijakan terhadap pers. Mereka yang mampu mengeluarkan suara berbobot pun masih membingungkan para wartawan karena terlalu banyaknya instansi arkeologi.
Tentunya dari sini arkeologi dan pers perlu bekerja sama sebaik-baiknya. Percuma saja ada temuan besar kalau tidak diberitakan oleh pers. Sungguh rugi pula kalau pers tidak memberitakan penemuan besar itu. Sungguh bijak apabila pers mau menyediakan rubrik arkeologi secara periodik, taruhlah setiap minggu.
Kalangan arkeologi pun harus berani menulis, karena menulis di media cetak tidak akan menurunkan derajat seorang ilmuwan. Justru dengan menulis para arkeolog bisa menuangkan gagasan atau memberi masukan sehingga bermanfaat bagi pakar-pakar lain.
Mari kita jadikan kasus Homo Floresiensis sebagai pelajaran berharga bagi semua pihak, terutama arkeologi dan pers.***
Penulis adalah seorang arkeolog
(Sumber: Sinar Harapan, 6 November 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar