Views
Oleh: Djulianto Susantio
Masa prasejarah di Jakarta berakhir pada abad ke-5 M, sejak ditemukannya prasasti Tugu di daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Prasasti Tugu ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta.
Saat ini prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta. Prasasti Tugu yang membuka lembaran sejarah Jakarta, dikeluarkan oleh raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanagara. Prasasti itu merupakan salah satu dari tujuh prasasti raja Purnawarman yang tersebar di wilayah Bogor dan Banten. Karena ditemukan di wilayah Jakarta, tentulah keberadaan prasasti Tugu penting untuk merekonstruksi sejarah Jakarta. Sangat boleh jadi, nama Kampung Tugu sekarang berasal dari prasasti batu tersebut.
Karena berbentuk kerucut bundar (curvelinear), enteng saja penduduk menyebutnya “tugu”. Kampung Tugu dikenal sebagai perkampungan orang-orang keturunan Portugis.
Jadinya, ciri-ciri kunonya masih mudah ditelusuri. Di kampung ini masih dapat dijumpai bangunan tua Gereja Tugu yang berasal dari pertengahan abad ke-17 dan kesenian lama keroncong Tugu.
Nama Kampung Batu Tumbuh yang masih ada sekarang, mungkin juga diberikan orang bersumber dari batu bersejarah itu. Pada mulanya, batu itu hampir tidak kelihatan karena tertimbun tanah. Lama-kelamaan karena erosi, batu itu muncul sedikit demi sedikit, mirip tanaman yang sedang tumbuh. Kira-kira begitulah asal mula nama Batu Tumbuh, sebagaimana dikemukakan arkeolog Dirman Surachmat (1980).
Dari keseluruhan isi prasasti Tugu, ada beberapa persoalan yang menarik untuk diselidiki. Pertama, mengenai dibuatnya dua buah sungai atau saluran air yang bernama Candrabhaga dan Gomati dalam waktu 21 hari. Sungai-sungai apakah itu dan di manakah lokasinya sehingga menimbulkan banyak perdebatan?
Kedua, tentang kraton sang raja. Sungai Candrabhaga mengalir melalui kraton sebelum mengalir ke laut, sementara sungai Gomati mengalir melalui tanah milik nenek sang raja. Di manakah letak kraton tersebut dan mengapa tidak ada sisa-sisanya yang bisa dilihat?
Bhagasasi, Lalu Bekasi
Saat ini, para penduduk masih mengenal sebuah kali yang bernama Kali Tugu. Beberapa puluh tahun yang lalu kali tersebut masih dapat dilayari perahu. Mungkin kali itu telah mengalami pendangkalan dan penyempitan selama ratusan tahun sehingga sekarang tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya.
Apakah Kali Tugu itu dulunya bernama Candrabhaga atau Gomati, masih belum teridentifikasi dengan sempurna. Prof Poerbatjaraka hanya pernah menafsirkan bahwa Candrabhaga adalah Kali Bekasi sekarang. Dasarnya adalah toponim Candrabhaga berubah menjadi Bhagasasi, lalu Bekasi.
Dengan demikian kraton raja Purnawarman, katanya, haruslah dicari di daerah Bekasi. Ataukah mungkin Chandrabhaga adalah Kali Cakung sebagaimana dugaan penulis buku-buku mengenai Jakarta, Adolf Heuken, juga perlu diteliti lebih lanjut.
Mengenai kata Gomati, informasi penting diperoleh dari J. Ph. Vogel. Dia mengatakan kata Gomati berarti “banyak atau kaya akan sapi”. Kemungkinan, kata itu ada hubungannya dengan nama tempat Kandang Sampi sekarang. Sementara NJ Krom berpendapat, kedua sungai yang disebut dalam prasasti Tugu adalah sungai Citarum dan Ciliwung (Dirman Surachmat, hal 36).
Penelitian arkeologi di sekitar daerah-daerah itu bahkan sampai ke wilayah Buni (Bekasi Utara) dilakukan mulai 1971, saat terbentuknya “Team Penelitian Sejarah dan Lokasi Kerajaan Tarumanagara”. Beberapa temuan yang teridentifikasi selama ekskavasi awal antara lain gerabah, keramik, terakota, pecahan botol, pipa “gouda”, tulang, batu kali, genteng, kerang, dan batu karang.
Benda-benda tersebut ditemukan pada kedalamanan 50 cm – 120 cm dari permukaan tanah. Menurut penelitian, artefak-artefak tersebut lebih cenderung berfungsi untuk upacara keagamaan dan berasal dari masa kolonial. Tujuan utama ekskavasi padahal adalah untuk menemukan situs pemukiman penduduk sekitar abad ke-5. Jadinya, upaya untuk melacak identifikasi saluran Candrabhaga dan Gomati kurang memuaskan.
Karena anggaran yang terbatas, penelitian arkeologi yang terlaksana baru mencapai taraf permulaan. Sangat jauh kalau dikatakan penelitian intensif atau ekskavasi menyeluruh.
Akibat lama ditelantarkan, maka lapisan tanah pada situs-situs penggalian yang sudah dipilih, telah teraduk-aduk oleh tangan manusia. Selama bertahun-tahun, saat kekosongan penelitian, masyarakat memanfaatkannya untuk penggarapan pertanian.
Tinggal Angan-angan
Di era 1970-an itu penelitian situs Tugu harus berpacu melawan pesatnya pembangunan fisik di kota Jakarta. Pembangunan perumahan oleh penduduk, pembangunan tempat-tempat perdagangan, perkantoran, dan real estate, serta pembangunan jalan semakin tak terkendali.
Akibatnya, SK Gubernur tahun 1970 tentang penetapan wilayah Tugu dan situs-situs lain sebagai daerah yang dilindungi Undang-Undang Kepurbakalaan (Monumenten Ordonnantie), tidak mampu dipertahankan lagi. Dengan demikian, situs-situs yang berkenaan dengan masa awal perkembangan sejarah Jakarta itu pun telantar, bahkan rusak dan hilang.
Rencana semula untuk menjadikan wilayah Tugu sebagai “Suaka Budaya Sejarah” tinggal angan-angan. Beberapa situs yang tadinya akan diekskavasi, terpaksa diurungkan karena lokasinya sudah keburu terbelah oleh pembangunan jalan. Bahkan radius 600 meter dari gereja Tugu yang akan dibiarkan kosong, dilanggar pengambil keputusan sendiri (pemerintah) dengan melakukan pembangunan di sana.
Penggalian penyelamatan sebagai usaha konservasi peninggalan terpendam hanya pernah dua kali dilakukan. Begitu pula, konservasi lingkungan seni budayanya.
Kini, situs Tugu tinggal namanya saja. Itu pun hanya bisa dijumpai di gedung arsip dan museum. Situs tersebut belum sempat diteliti secara mendalam. Usaha para arkeolog untuk menyelamatkan benda-benda yang tersisa, menjadi sia-sia karena keburu lenyap oleh pembangunan. Apakah ada rasa sesal di benak pengambil keputusan, entahlah.
Tidak dimungkiri, Jakarta telah mengorbankan warisan berharga untuk generasi-generasi mendatang. Dengan dalih “demi kepentingan ekonomi”, berbagai peninggalan masa lampau itu begitu mudahnya tergusur oleh pembangunan. Juga dengan mengabaikan undang-undang perlindungan situs-situs kuno yang sudah dibuat jauh sebelumnya oleh pemerintah Indonesia sendiri maupun UNESCO (badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan).
Harga yang harus dibayar mahal sekarang adalah kita tidak mungkin lagi bisa mengetahui lokasi yang tepat dari kerajaan Tarumanagara atau di mana letak kraton raja Purnawarman. Belum lagi, masa-masa yang jauh sebelumnya. Sungguh disayangkan, Jakarta telah begitu mencederai masa lampaunya. “Kota tanpa masa lampau adalah Kota Gila,” begitu kata sejumlah pengamat arsitektur dan warisan budaya kota.
Penulis adalah arkeolog, tinggal di Jakarta.
(Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 11 November 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar