Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net
Tampilkan postingan dengan label Bambang Budi Utomo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bambang Budi Utomo. Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 November 2009

Islam di Nusantara pada Kurun Abad Ke-10 Masehi Sebagaimana Tercermin dalam Tinggalan Budaya


Oleh: Bambang Budi Utomo*

Jikalau engkau ingati sungguh,
Angin yang keras menjadi teduh,
Tambahan selalu tetap yang cabuh,
Selamat engkau ke pulau itu berlabuh.
(Hamzah Fansuri, Syair Perahu).


Abstrak:

Sejak abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi, kawasan Asia Tenggara mulai berkenalanan dengan “tradisi” Islam, meskipun frekuensinya tidak terlalu besar. Pengenalan ini berlangsung sejalan dengan munculnya para saudagar Muslim di beberapa tempat di Asia Tenggara. Bukti tertua adanya “komunitas” Muslim di Asia Tenggara adalah dua buah makam yang bertarikh sekitar abad ke-5 Hijriah/ke-11 Masehi di Pandurangga (kini Panrang, Viet Nam) dan di Leran (Gresik, Indonesia).

Kehadiran Islam secara lebih nyata di Indonesia terjadi pada sekitar abad ke-13 Masehi, yaitu dengan adanya makam dari Sultan Malik as-Saleh yang mangkat pada bulan Ramadhan 696 Hijriah/1297 Masehi. Ini berarti bahwa pada abad ke-13 Masehi di Nusantara sudah ada institusi kerajaan yang bercorak Islam.

Para saudagar Muslim sudah melakukan aktivitas dagangnya sejak abad ke-7 Masehi. Beberapa kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara sudah melakukan hubungan dagang dan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Bukti-bukti arkeologis yang mendukung ke arah itu ditemukan di Laut Jawa dekat Cirebon. Di antara komoditi perdagangan yang asalnya dari Timur Tengah ditemukan indikator “keislaman” yang berupa sebuah cetakan tangkup (mould) yang bertulisan asma’ul husnah.

Meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia menganut paham Sunni, namun pada prakteknya saat ini di Sumatra dan Jawa menganut paham Syi’ah. Data arkeologis menunjukkan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia melalui Gujarat, kemudian dibawa oleh para saudagar ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Semenanjung Tanah Melayu.
Kata kunci: Perdagangan, Persia, kufik, Syi’ah, tradisi Syi’ah


Pengantar

Berbicara tentang Islamisasi di Nusantara, pertanyaan kita adalah bilamana Islam masuk ke Nusantara dan siapa yang membawa atau menyebarkannya. Pertanyaan kemudian, Islam seperti apa yang masuk dan bagaimana bentuknya yang sekarang? Pertanyaan pertama dan kedua dapat dijawab secara teoritis melalui bukti-bukti arkeologi mutakhir yang sampai kepada kita, sedangkan pertanyaan berikutnya dapat dijawab melalui kacamata budaya yang masih dapat disaksikan di beberapa tempat di Nusantara.

Hingga saat ini tidak ada satupun bukti tertulis yang secara tersurat menyatakan bahwa Islam masuk di Nusantara pada tahun atau abad sekian dan yang membawa masuk adalah si Nasruddin (misalnya). Kajian mengenai dugaan masuknya Islam di Nusantara hingga saat ini baru didasarkan atas bukti tertulis dari nisan kubur serta beberapa naskah yang menuliskan para pedagang Islam yang ditemukan di beberapa tempat di Nusantara, seperti di Aceh, Barus (pantai barat Sumatra Utara) dan Gresik (Jawa Timur).

Islamisasi di Nusantara erat kaitannya dengan sejarah Islam yang hingga kini penulisannya belum “lengkap” dan sifatnya masih parsial. Keadaan seperti ini jauh-jauh hari sudah disinyalir oleh Presiden Soekarno yang menyatakan bahwa sikap ulama Indonesia kurang atau bahkan tidak memiliki pengertian perlunya penulisan sejarah. Di samping sikap ulama Indonesia tersebut, masih ada kendala lain untuk menuliskan sejarah. Kendala itu antara lain kurangnya data atau sumber-sumber tertulis, serta luasnya geografis Indonesia sehingga untuk mengintegrasikan data dari berbagai daerah juga sulit.

Mengenai darimana Islam masuk Nusantara, ada beberapa pendapat dengan argumennya masing-masing. Ada yang berteori bahwa Islam datang dari Arab, Persia, India, bahkan ada yang menyatakan dari Tiongkok. Meskipun pendapat mengenai asalnya Islam berbeda-beda, namun ada kesamaan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui “perantaraan” kaum saudagar. Mereka berniaga sambil menyebarkan syi’ar Islam. Hal ini sesuai dengan Hadist: “Sampaikanlah dari saya ini walau hanya satu ayat”. Kemudian sesampainya di Nusantara, barulah disebarkan oleh ulama-ulama lokal atau para wali seperti di Tanah Jawa ada Wali Songo.

Tidak ada satupun pendapat yang pasti mengenai kapan masuknya Islam di Nusantara jika mengingat hubungan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan Timur Tengah, Persia, India, dan Tiongkok sudah berlangsung lama. Para saudagar dari tempat-tempat tersebut membawa dan mengambil komoditi perdagangan dari dan ke Nusantara. Dari Nusantara mereka membawa hasil-hasil hutan yang laku dijual di pasaran, seperti kapur barus, kemenyan, dan rempah-rempah. Dari tempat asalnya mereka membawa barang-barang kaca, keramik, kain sutra/brokat, batu-batu mulia dan barang-barang perunggu. Sebelum Islam ada, para pedagang, pendeta, dan bhiksu menyebarkan budaya India di Nusantara, termasuk penyebaran agama Hindu dan Buddha. Pada masa abad ke-7-10 Masehi, Śrīwijaya pernah menjadi pusat pengajaran agama Buddha. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa Islam masuk ke Nusantara juga dibawa oleh para saudagar.

Baru-baru ini, sektar tahun 2004 di perairan laut Jawa sebelah utara Cirebon ditemukan runtuhan sebuah kapal yang diduga tenggelam karena kelebihan muatan. Berdasarkan pertanggalan keramik dan teknologi pembuatannya, kapal yang tenggelam tersebut berasal dari sekitar abad ke-10 Masehi. Muatannya bermacam-macam yang berasal dari berbagai tempat di luar Nusantara. Berdasarkan ciri-ciri fisiknya, dapat diduga bahwa barang-barang muatan kapal tersebut berasal dari daerah Timur Tengah, India, dan Tiongkok. Sebagian besar merupakan barang dagangan, dan sebagaian lagi merupakan barang-barang untuk upacara keagamaan atau benda-benda keagamaan.

Dalam tulisan singkat ini, saya hendak mengungkapkan tentang salah satu cara masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara pada satu kurun waktu sekitar abad ke-10 Masehi. Data untuk bahan kajian berasal dari artefak-artefak yang ditemukan dari kapal yang tenggelam di perairan Cirebon serta data lain yang ditemukan dari hasil penelitian arkeologi. Dari data tersebut kemudian akan ditarik pada budaya Islam di Nusantara dalam konteks kekinian. Timbul dan berkembangnya suatu aliran atau mazhab tertentu dapat tergantung darimana asalnya aliran tersebut. Pada masa kini, sebagian masyarakat yang beragama Islam di Indonesia menganut tradisi Suni. Namun tidak tertutup kemungkinan ada juga yang menganut tradisi Syi’ah. Kedua tradisi tersebut bermazhab Syafi’i.


1. Pelayaran dan Perdagangan

Sumber-sumber tertulis (sejarah) yang merupakan catatan harian dari orang-orang Tionghoa, Arab, India, dan Persia menginformasikan pada kita bahwa tumbuh dan berkembangnya pelayaran dan perdagangan melalui laut antara Teluk Persia dengan Tiongkok sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah, disebabkan karena dorongan pertumbuhan dan perkembangan imporium-imporium besar di ujung barat dan ujung timur benua Asia. Di ujung barat terdapat emporium Muslim di bawah kekuasaan Khalifah Bani Umayyah (660-749 Masehi) kemudian Bani Abbasiyah (750-870 Masehi). Di ujung timur Asia terdapat kekaisaran Tiongkok di bawah kekuasaan Dinasti T’ang (618-907 Masehi). Kedua emporium itu mungkin yang mendorong majunya pelayaran dan perdagangan Asia, tetapi jangan dilupakan peranan Śrīwijaya sebagai sebuah emporium yang menguasai Selat Melaka pada abad ke-7-11 Masehi. Emporium ini merupakan kerajaan maritim yang menitik beratkan pada pengembangan pelayaran dan perdagangan.

Nama Persia yang sekarang disebut Iran, menurut catatan harian Tionghoa adalah Po-sse atau Po-ssu yang biasa diidentifikasikan atau dikaitkan dengan kapal-kapal Persia, dan sering pula diceriterakan sama-sama dengan sebutan Ta-shih atau Ta-shih K’uo yang biasa diidentifikasikan dengan Arab. Po-sse dapat juga dimaksudkan dengan orang-orang Persia yaitu orang-orang Zoroaster yang berbicara dalam bahasa Persi –orang-orang Muslim asli Iran—yang dapat pula digolongkan pada orang-orang yang disebut Ta-shih atau orang-orang Arab. Orang Zoroaster dikenal oleh orang Arab sebagai orang Majus yang merupakan mayoritas penduduk Iran setelah pengislaman.

Kehadiran orang-orang Po-ssu bersama-sama dengan orang-orang Ta-shih di bandar-bandar sepanjang tepian Selat Melaka, pantai barat Sumatera, dan pantai timur Semenanjung Tanah Melayu sampai ke pesisir Laut Tiongkok Selatan diketahui sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah. Mereka dikenal sebagai pedagang dan pelaut ulung. Sebuah catatan harian Tionghoa yang menceriterakan perjalanan pendeta Buddha I-tsing tahun 671 Masehi dengan menumpang kapal Po-sse dari Kanton ke arah selatan, yaitu ke Fo-shih (Śrīwijaya). Catatan harian itu mengindikasikan kehadiran orang-orang Persia di bandar-bandar di pesisir laut Tiongkok Selatan dan Nusantara. Kemudian pada tahun 717 Masehi diberitakan pula tentang kapal-kapal India yang berlayar dari Srilanka ke Śrīwijaya dengan diiringi 35 kapal Po-sse. Tetapi pada tahun 720 Masehi kembali lagi ke Kanton karena kebanyakan dari kapal-kapal tersebut mengalami kerusakan.

Hubungan pelayaran dan perdagangan antara bangsa Arab, Persia, dan Śrīwijaya rupa-rupanya dibarengi dengan hubungan persahabatan di antara kerajaan-kerajaan di kawasan yang berhubungan dagang. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya beberapa surat dari Mahārāja Śrīwijaya yang dikirimkan melalui utusan kepada Khalifah Umar ibn ‘Abd. Al-Aziz (717-720 Masehi). Isi surat tersebut antara lain tentang pemberian hadiah sebagai tanda persahabatan.

Bukti-bukti arkeologis yang mengindikasikan kehadiran pedagang Po-sse di Nusantara (Śrīwijaya dan Mālayu) adalah ditemukannya artefak dari gelas dan kaca berbentuk vas, botol, jambangan dll di Situs Barus (pantai barat Sumatera Utara) dan situs-situs di pantai timur Jambi (Muara Jambi, Muara Sabak, Lambur). Barang-barang tersebut merupakan komoditi penting yang didatangkan dari Persia atau Timur Tengah dengan pelabuhan-pelabuhannya antara lain Siraf, Musqat, Basra, Kufah, Wasit, al-Ubulla, Kish, dan Oman. Dari Nusantara para pedagang tersebut membawa hasil bumi dan hasil hutan. Hasil hutan yang sangat digemari pada masa itu adalah kemenyan dan kapur barus.

Hubungan pelayaran dan perdagangan yang kemudian dilanjutkan dengan hubungan politik, pada masa yang kemudian menimbulkan proses islamisasi. Dari proses islamisasi ini pada abad ke-13 Masehi kemudian muncul kerajaan Islam Samudera Pasai dengan sultannya yang pertama adalah Malik as-Saleh yang mangkat pada tahun 1297 Masehi. Menurut kitab Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, dan catatan harian Marco Polo yang singgah di Peurlak tahun 1292 Masehi, Samudera Pasai bukan hanya kerajaan Islam pertama di Nusantara, tetapi juga di Asia Tenggara. Kehadiran kerajaan Islam ini semakin mempererat hubungan antara Sumatera dan negara-negara di Arab dan Persia.

Pada pertengahan abad ke-14 Masehi Ibn Batuta singgah di Pasai yang pada waktu itu diperintah oleh Sultan Malik al-Zahir. Dalam catatan hariannya disebutkan bahwa Sultan adalah seorang penganut Islam yang taat dan ia dikelilingi oleh para ulama dan dua orang Persia yang terkenal, yaitu Qadi Sharif Amir Sayyid dari Shiraz dan Taj ad-Din dari Isfahan. Ahli-ahli tasawwuf atau kaum sufi yang datang ke Samudera Pasai dan juga ke Melaka dimana para sultan menyukai ajaran “manusia sempurna/Insan al-Kamil” mungkin sekali dari Persia.

Beberapa ratus tahun sebelum Kesultanan Samudera Pasai, di wilayah Aceh sudah ada kerajaan yang bercorak Islam, yaitu Kerajaan Peurlak. Kerajaan ini berdiri pada tahun 225 Hijriah atau 845 Masehi dengan rajanya Sultan Sayid Maulana Abdal-Aziz Syah keturunan Arab-Quraisy yang berpaham Syi’ah.

Tingginya intensitas hubungan perdagangan antara Persia dan kerajaan di Nusantara demikian tinggi. Tidak mustahil di beberapa tempat yang dikunjungi pedagang Persia, tinggal dan menetap pula orang-orang Persia. Di tempat ini timbul juga kontak budaya antar dua budaya yang berbeda, dan tidak mustahil ada juga penganut Islam Syi’ah. Hal ini dapat dideteksi dari adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan oleh kaum Syi’ah.


2. Tinggalan Budaya

Pada sekitar abad ke-7 Masehi para pedagang Muslim dari Timur Tengah dan Persia giat melakukan aktivitas perdagangan. Berdasarkan suatu keyakinan bahwa setiap insan dalam pandangan Islam termasuk pedagang Muslim mempunyai kewajiban untuk menyampaikan ajaran Islam kepada siapapun sesuai dengan cara yang baik dan persuasif, sejalan dengan urusan perdagangan menyebar pula agama Islam. Berawal dari pengislaman daerah pesisir Anak Benua India, kemudian memicu/merangsang bukan saja hubungan dagang tetapi juga berbagai bentuk hubungan dan pertukaran keagamaan, sosial, politik, dan kebudayaan. Sebenarnya sejak abad-abad pertama terjadinya perdagangan internasional melalui laut, bukan hubungan perdagangan semata, tetapi juga hubungan politik dan kebudayaan.

Meskipun menganut mazhab yang berbeda dengan mayoritas penduduk Indonesia (Sunnah wal Jamaah mazhab Syafi’i), bangsa Persia sedikit banyak telah berjasa dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Nusantara. Hal ini terbukti dengan tinggalan budayanya baik yang berupa kebendaan (tangible), maupun yang bukan (intangible). Tinggalan budaya tersebut masih dapat ditemukan di berbagai tempat di Nusantara, terutama di nusantara sebelah barat, seperti di Sumatera dan Jawa.


2.1 Kargo Cirebon

Di antara runtuhan kapal yang tenggelam di perairan Cirebon, ada beberapa jenis benda yang mungkin tidak termasuk dalam barang komoditi. Beberapa jenis barang tersebut adalah sebuah benda berbentuk tanduk yang dibuat dari logam berlapis emas, sebuah benda berbentuk cumi-cumi (sotong) dari kristal, cetakan tangkup (mould) dari batu sabun (soapstone), serta benda-benda perunggu yang berfungsi sebagai alat-alat upacara agama Buddha/Hindu.

Orang-orang di dalam sebuah kapal merupakan satu komunitas tersendiri, ada nakhoda, kelasi, dan penumpang. Semuanya itu dipimpin oleh seorang nakhoda. Dialah yang memegang kendali di kapal. Demikian juga penumpang kapal yang terdiri dari bermacam status sosial dan profesi. Ada golongan pedagang, mungkin ada bangsawan dan pendeta/bhiksu, dan ada juga penumpang biasa. Semua itu dapat diketahui dari benda-benda yang disandangnya.

Ibn Khordadhbeh, seorang pejabat yang dilantik khalifah Dinasti Abassiyah pada sekitar abad ke-9 Masehi, adalah seorang pedagang yang pernah berkunjung ke Zabag (Śrīwijaya). Dia menulis sebuah buku yang berjudul Kitab al-masalik wa-l-mamalik (Buku tentang Jalan-jalan dan Kerajan-kerajaan). Buku ini berisi tentang semua pos-pos pergantian dan jumlah pajak di setiap tempat yang dikunjunginya. Sebagai seorang pejabat yang dilantik oleh Khalifah tentunya mempunyai tanda legitimasi dan atribut lain yang dibawa dan disandangnya.

Cetakan tangkup yang dibuat dari batusabun (soapstone) berbentuk empat persegi panjang (4,2 x 6,7 cm). Pada salah satu sisinya terdapat kalimat yang ditulis dalam aksara Arab bergaya kufik: “al-malk lillah; al-wahid; al-qahhar” yang berarti “Semua kekuasaan itu milik Allah yang Maha Esa dan Maha Perkasa” dalam dua buah bingkai empat persegi. Kalau diterjemahkan secara harfiah, maka kalimat itu mengandung asma’ul husna, tepatnya merupakan sifat yang dimiliki mausuf (Allah) yang memiliki kekuasan.

Melihat gaya tulisan kufik yang dipakai tampaknya masih kaku jika dibandingkan dengan gaya tulisan kufik pada batu nisan Malik as-Saleh (wafat 1297 Masehi) dari Samudra Pasai (Aceh). Bentuk tulisan ini diduga berasal dari sekitar abad ke-9-10 Masehi yang dikembangkan di daerah Kufah pada masa pemerintahan kekhalifahan Bani Abassiyah (750-870 Masehi).

Sebuah cetakan (mould) dengan ciri-ciri antara lain tulisan digoreskan pada bidang segi empat dalam bentuk negatif. Bidang segi empat yang bertulisan tersebut ada dua buah dibentuk dengan cara “dikorek” sedalam kurang dari 0,5 mm. Dari bagian sisi bawah (dilihat dari bentuk tulisan/aksara) dari bidang segi empat tersebut terdapat garis yang bertemu pada satu titik. Pada titik pertemuan kemudian melebar membentuk corong. Garis berpotongan tersebut mempunyai ukuran lebar 1 mm. dan dalam kurang dari 0,5 mm. Bagian yang membentuk corong berukuran lebar 1-3 mm. Di bagian bawah bidang empat persegi, terdapat dua buah tonjolan yang bergaristengah sekitar 5 mm. dan tinggi sekitar 3 mm. Di bagian atas bidang segiempat terdapat garis yang dibentuk dengan cara dikorek, kemudian permukaan lainnya lebih tinggi dari permukaan atas dua bidang segiempat.

Apabila diperhatikan dengan seksama, benda ini merupakan semacam cetakan untuk logam mulia, seperti emas dan perak. Seharusnya ada sepasang yang saling menangkup, tetapi bagian yang satunya tidak ditemukan. Dua tonjolan bulat yang ada pada permukaan benda tersebut, merupakan semacam pasak pengunci agar tidak bergerak ketika proses pengecoran. Bagian yang berlubangnya seharusnya terdapat pada bagian tangkupan yang hilang. Garis-garis yang bersilang dan bertemu pada satu bentuk corong merupakan tempat mengalirnya cairan logam yang memenuhi bidang segiempat. Tempat memasukan cairan pada bagian yang membentuk corong.

Hasil dari logam yang dicor tersebut berupa lempengan tipis dengan kalimat-kalimat asma’ul husna yang timbul. Kalimat-kalimat tersebut dikelilingi bingkai empat persegi dengan hiasan titik-titik seperti umumnya terdapat pada mata-uang logam. Bagian yang memanjang, dapat dipotong dan dapat pula tidak. Saya belum dapat memastikan fungsi dari benda yang dicetak tersebut. Berdasarkan perbandingan yang diketahui, benda semacam ini berfungsi sebagai jimat dengan tulisan asma’ul husna. Memang dalam keyakinan Islam tidak dikenal jimat, tetapi dalam kenyataannya sebagian umat Islam memandangnya sebagai jimat yang bertulisan asma’ul husna.

Kalau ditelaah dari stempel yang beraksara Arab tersebut, kapal asing yang tenggelam bersama kargonya di perairan Cirebon, diduga kapal yang berasal dari pelabuhan Kufah atau Basra yang sekarang termasuk wilayah Republik Irak. Ini berarti bahwa kapal bersama kargonya berasal dari sekitar abad ke-10 Masehi. Dalam pelayarannya ke arah timur (mungkin ke Kambangputih, Tuban) di perairan Cirebon tertimpa musibah dan tenggelam bersama kargonya. Dilihat dari posisinya di dasar laut, kapal ini tenggelam karena kelebihan muatan. Bagian ruang nakhoda masih tampak utuh (tidak terlalu porak poranda).

Artefak yang berbentuk tanduk pada bagian yang lurus berukuran panjang sekitar 10 cm. Bagian pangkalnya berbentuk segi delapan dengan garis tengah 4 cm. Bagian yang melengkung diberi hiasan berupa ukir-ukiran sulur daun. Bagian pangkalnya berbentuk helaian teratai. Berdasarkan perbandingan dengan benda yang sama dan menjadi koleksi Museum Nasional, benda tersebut merupakan hulu sebuah pedang. Hulu pedang koleksi Museum Nasional tersebut ditemukan di Cirebon dan berasal dari sekitar abad ke-8-9 Masehi.

Ada kemungkinan lain artefak ini berfungsi sebagai hulu pedang (pendek). Cirinya tampak pada sebuah lubang empat persegi panjang pada bagian pangkalnya. Lubang empat persegi panjang ini berfungsi sebagai tempat untuk memasukan bilah senjata tajam pada pegangan. Apabila difungsikan sebagaimana layaknya pedang, pegangan ini terasa tidak nyaman. Mungkin saja senjata tajam dengan gagangnya dari emas berhiasan ukiran ini berfungsi sebagai simbol status dari pemiliknya.

Benda lain yang diduga merupakan hulu pisau atau senjata tajam adalah benda dari kristal yang berbentuk seperti cumi-cumi (sotong). Bagian untuk memasukan bilah senjata berdenah bulat panjang. Pada foto tampak samar-samar lubang yang memanjang dari ujung ke bagian tengah. Bagian atas (lihat foto) ditempatkan melekat pada telapak tangan, sedangkan bagian bawah melekat pada jari-jari tangan.

Hampir seluruh artefak yang diangkut tersebut bukan produk salah satu kerajaan di Nusantara. Ada yang berasal dari Timur Tengah dan India, dan ada pula yang berasal dari Tiongkok. Meskipun demikian, artefak tersebut manfaatnya sangat besar bagi sejarah kebudayaan Indonesia, khususnya sejarah masuknya Islam di Indonesia. Berdasarkan sumber-sumber tertulis para sejarahwan berteori bahwa masuknya Islam di Indonesia dibawa oleh kaum pedagang Islam. Dengan ditemukannya artefak-artefak yang berasal dari negeri-negeri yang beragama Islam dalam konteksnya dengan barang dagangan, teori tersebut semakin mendekati kebenaran. Cetakan beraksara Arab dengan menyebutkan nama-nama Allah, merupakan bukti kuat bahwa Islam masuk melalui “perantara” para pedagang Islam.


2.2 Jejak Persia

Hubungan perdagangan antara Persia dan Nusantara (pada waktu itu dengan Śrīwijaya) berlangsung pada sekitar abad ke-7 Masehi. Pada waktu itu komoditi perdagangan dari Persia berupa barang-barang yang terbuat dari kaca atau gelas yang dikenal dengan sebutan Persian Glass. Benda-benda ini berbentuk vas, karaf, piala, dan mangkuk. Dari Śrīwijaya yang salah satu pelabuhannya adalah Barus (Fansur), para pedagang Persia dan Timur Tengah membawa kapur barus, kemenyan, dan getah damar. Komoditi perdagangan ini sangat digemari di Timur Tengah, Persia, dan India sebagai bahan wangi-wangian.

Persian Glass ditemukan di situs-situs arkeologi yang diduga merupakan bekas pelabuhan kuna. Sebuah penelitian arkeologis di Situs Labo Tua, Barus berhasil menemukan sejumlah besar temuan barang-barang kaca Persia dalam bentuk pecahan dan utuhan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, benda-benda itu mungkin sekarang di tempat asalnya sudah tidak diproduksi lagi. Pelabuhan tempat barang tersebut dikapalkan antara lain dari Siraf yang letaknya di pantai timur teluk Persia.

Masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara melahirkan kerajaan yang bercorak Islam. Salah satu di antaranya adalah Kesultanan Samudera Pasai yang lahir pada sekitar abad ke-13 Masehi dengan sultannya yang pertama adalah Sultan Malik as-Saleh (mangkat 1297 Masehi). Jejak adanya kerajaan ini dapat ditelusuri dari tinggalan budayanya yang berupa batu nisan Sultan Malik as-Saleh. Ada dua hal yang dapat dicermati pada batu nisan ini dan merupakan indikator Persia. Aksara yang dipahatkan pada batu nisan merupakan aksara shulus yang cirinya berbentuk segitiga pada bagian ujung. Gaya aksara jenis ini berkembang di Persia sebagai suatu karyaseni kaligrafi. Kalimat yang dipahatkan bernafaskan sufi, misalnya “Sesungguhnya dunia ini fana, dunia ini tidaklah kekal, sesungguhnya dunia ini ibarat sarang laba-laba”.

Indikator Persia lain ditemukan pada batu nisan Na’ina Husam al-Din berupa kutipan syair yang ditulis penyair kenamaan Persia, Syaikh Muslih al-din Sa’di (1193-1292 Masehi). Ditulis dalam bahasa Persia dengan aksara Arab, merupakan satu-satunya syair bahasa Persia yang ditemukan di Asia Tenggara. Batu nisan ini bentuknya indah dengan hiasan pohon yang distilir (disamarkan) dan hiasan-hiasan kaligrafi yang berisikan kutipan syair Persia dan kutipan al’Quran II: 256 ayat Kursi.


b. Wali Sanga dan Tasawwuf

Wali Sanga di tanah Jawa dikenal sebagai sembilan orang Wali-Ullah yang dianggap sebagai penyiar-penyiar terkemuka agama Islam. Mereka ini sengaja dengan giat menyebarkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam. Waktu penduduk tanah Jawa masih berkepercayaan lama yang percaya dengan hal-hal gaib, para wali tersebut dipercaya mempunyai kekuatan gaib, mempunyai kekuatan batin yang berlebih, dan mempunyai ilmu yang tinggi. Karena itulah mereka itu dipercaya sebagai pembawa dan penyiar agama Islam ahli dalam tasawwuf.

Wali Sanga jumlahnya ada sembilan orang, yaitu Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Syekh Siti Jenar. Kebanyakan dari gelar-gelar ini diambil dari nama tempat mereka dimakamkan, misalnya Gunung Jati di dekat Cirebon, Drajat dekat Tuban, Muria di lereng Gunung Muria, Kudus di Kudus dsb.

Dalam masa hidupnya mereka menyebarkan agama Islam di daerah tempatnya bermukim. Di wilayahnya itu mereka juga membangun masjid sebagai tempat beribadah. Di daerah sekitar kaki selatan Gunung Muria, banyak ditemukan tinggalan makam para Wali dan masjid tinggalannya, yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus. Masjid yang dibangun adalah Masjid Demak dan Masjid Kudus.


c. Tradisi

Walaupun di Indonesia dikenal mazhab Syafi’i dan menganut Sunnah wal Jamaah, namun di kalangan masyarakat di beberapa tempat di Nusantara masih ditemukan jejak-jejak Syi’ah yang semula dikenal pusatnya di Persia (Iran). Di Timur Tengah dan di Persia, penganut Sunnah wal Jamaah dan penganut Syi’ah tidak sepaham, terutama dalam hal sumber hukum Islam (ijma= kesepakatan para alim ulama). Dalam aliran ini sudah dimulai politisasi agama, terutama pada dasar hukum ijma. Kaum Syi’ah menganggap bahwa yang berhak menjadi Khalifah adalah yang masih keturunan Nabi Muhammad SAW. Dengan adanya Ijma, dimungkinkan yang bukan keturunan Nabi Muhammad SAW dapat menjadi Khalifah. Karena itulah yang kaum Syi’ah menganggap al-Qur’an dan Hadist saja yang menjadi dasar hukum agama Islam, sedangkan Ijma dan Qiyash (= perumpamaan) tidak perlu.

Runtuhnya kesultanan Syi’ah tidak menyurutkan ajaran yang “terlanjur” berkembang di masyarakat. Berbagai ritual Syi'ah menjelma menjadi tradisi yang masih ditemukan di beberapa daerah di Nusatara. Di Indonesia penganut Syi’ah jumlahnya tidak banyak (sekitar 1 juta), namun di beberapa tempat tradisi yang biasa dilakukan umat Syi’ah masih dapat ditemukan, dan secara kontinyu dilakukan oleh kelompok masyarakat tersebut.

Dapat dikemukakan sebagai contoh tentang tradisi Syi’ah, misalnya:

Perayaan Tabot, peringatan Hari Arbain atau hari wafatnya Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad) oleh kaum Syiah dalam bentuk perayaan tabot (tabut). Tabot dibuat dari batang pisang yang dihiasi bunga aneka warna, diarak ke pantai, diiringi teriakan “Hayya Husein hayya Husein” yang artinya “Hidup Husein, hidup Husein”. Pada akhir upacara tabot ini kemudian dilarung di laut lepas. Benda yang disebut tabot melambangkan keranda mayat. Perayaan Tabot masih dilakukan masyarakat pada setiap tanggal 10 Muharram di Bengkulu, Pariaman, dan Aceh.

Asyura di Jawa dalam sistem pertanggalan Jawa berubah menjadi bulan Suro, sebutan untuk bulan Muharram (bulan wafatnya Husein). Peringatan Asyura belakangan dikenal dengan istilah “Kasan Kusen”. Di Aceh, Asyura diistilahkan dengan Bulan Asan Usen. Di Makassar Asyura dimaknai sebagai perayaan kemenangan Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW, sehingga masyarakat merayakannya dengan sukacita. Mereka membuat bubur tujuh warna dari warna dasar merah, putih, dan hitam.

Peringatan Hari Arbain dirayakan juga di Desa Marga Mukti, Pengalengan, Jawa Barat. Ratusan umat Islam Syi’ah memenuhi Masjid al-Amanah untuk melakukan nasyid, doa persembahan kepada Imam Husein, dan ziarah Arbain, doa untuk keluarga Ali bin Abi Thalib.

Debus. Adalah pertunjukan yang hubungannya erat dengan tarekat Rifa’iyah. Tarekat ini didirikan oleh Ahmad al-Rifa’i yang wafat pada tahun 1182 Masehi. Tarekat ini pandangannya lebih fanatik dengan ciri-ciri melakukan penyiksaan diri, mukjizat-mukjizat seperti makan beling, berjalan di atas bara api, menyiramkan air keras (HCl) ke tubuhnya, dan menusuk-nusuk tubuh dengan benda tajam. Penganut Rifa’iyah dengan debus-nya terdapat di Aceh, Kedah, Perak, Banten, Cirebon, dan Maluku bahkan sampai masyarakat Melayu di Tanjung Harapan Afrika Selatan.


d. Kesusasteraan dan Bahasa

Karya-karya sastra bentuk prosa dari Persia sampai pula pengaruhnya kepada kesusasteraan Indonesia, misalnya kitab Menak yang ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa yang semula ceritera dari Persia. Dalam bahasa Melayu menjadi Hikayat Amir Hamzah. Kitab Menak pada dasarnya serupa dengan kitab Panji, perbedaannya terletak pada tokoh-tokoh pemerannya. Ceritera-ceritera Menak dalam arti Hikayat Amir Hamzah, biasanya ditampilkan pula dalam pertunjukan wayang golek yang konon diciptakan oleh Sunan Kudus, wayang kulit diciptakan oleh Sunan Kalijaga, dan wayang gedog diciptakan oleh Sunan Giri. Ceritera Menak jumlahnya tidak sedikit, misalnya kitab Rengganis yang banyak digemari oleh masyarakat Sasak di Lombok dan Palembang.

Hasil kesusastraan lain yang mendapat pengaruh Syi’ah adalah:
Kissah Muhammad Hanafiah, mengisahkan pertempuran Hassan dan Husein, anak-anak Khalifah Ali, di medan perang Karbala. Ditulis dan diterjemahkan dalam bahasa Melayu pada sekitar abad ke-15 Masehi.

Hikayat Amir Hamzah, merupakan kisah roman melegenda berdasarkan tokoh Hamza ibn Abd. Al-Mutalib, paman Nabi Muhammad S.A.W. Kisah roman ini ditulis oleh Hamzah Fansuri, seorang ulama Melayu penganut tasawwuf.

Mir’at al-Mu’minin (Cerminan jiwa insan setia) yang ditulis oleh Shamsuddin as-Sumatrani, seorang penasehat spiritual Sultan Iskandar Muda, murid dan penerus Hamzah Fansuri.

Hamzah Fansuri adalah tokoh terpenting dalam perkembangan Islam dan tasawwuf di Nusantara. Ia adalah orang pertama yang menuliskan seluruh aspek fundamental doktrin sufi ke dalam bahasa Melayu. Ia juga berjasa dalam membawa bahasa dan sastra Melayu ke tingkat baru yang lebih maju.

Bayan Budiman, cerita yang didongengkan oleh seekor burung nuri ini berasal dari ceritera India Śukasaptati, yang isinya memuat pula dongeng-dongeng dari pañcatantra. Di Persia ceritera itu menjadi Tuti-namĕ, dan di Nusantara disadur menjadi Hikayat Bayan Budiman.

Pengaruh Persia dalam hal bahasa juga ada. Beberapa kosa kata, terutama yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan berasal dari kata-kata Persia, misalnya nakhoda, bandar, shahbandar, dan gelar penguasa (raja atau sultan) dengan sebutan Shah atau Syah.


Penutup

Hubungan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan Persia (Iran) diduga sudah berlangsung sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah. Dari hubungan perdagangan ini, kemudian berdampak pada pemikiran keagamaan terutama sufisme atau tasawwuf dengan tarekat-tarekatnya. Selain itu berdampak juga pada unsur-unsur kebudayaan. Beberapa tradisi Syi’ah dan tarekatnya masih tetap dipelihara oleh kelompok masyarakat tertentu di Indonesia. Dalam susastra dan bahasa beberapa karya sastra yang berbau Sufi dan kosa kata Persia diadopsi pada karya sastra Melayu dan kosa kata dalam bahasa Indonesia.

Mungkin masih banyak lagi unsur kebudayaan lainnya yang belum terekam dalam kehidupan bangsa Indonesia yang mendapat pengaruh Persia. Semua ini memerlukan penelitian dari berbagai disiplin ilmu-ilmu humaniora dan sosial, seperti arkeologi dan sejarah, antropologi, sosiologi, agama, linguistik, dan kesusasteraan.

Ada satu hal yang patut kita syukuri dalam kehidupan beragama di Tanah Air Indonesia. Di Tanah Air umat Islam dari berbagai aliran dapat hidup rukun. Keadaan seperti ini sudah “tercipta” sejak masa awal kedatangan Islam di Nusantara. Para penyiar agama melakukan penyampaian dengan cara persuasif dan menyesuaikan dengan budaya setempat, misalnya Wali Sanga menyampaikan syiar Islam dengan cara menggunakan sarana wayang. Tidak ada sedikitpun unsur pemaksaan. Sementara itu di belahan dunia lain, kita lihat bagaimana Libanon, Irak, dan Afghanistan sampai hancur-hancuran sebagai akibat pertikaian sesama umat Islam yang mungkin disebabkan karena adu domba pihak lain.

--------------
*Kerani rendahan pada
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional

Read More......

Rabu, 21 Oktober 2009

Swarnnadwipa Zaman Lampau


Sumatera merupakan salah satu pulau dari enam buah pulau terbesar di dunia dengan luas daratannya sekitar 474.000 kilometer persegi (termasuk kepulauan di sebelah barat dan timur Sumatera). Merupakan pulau besar di bagian barat Nusantara yang dibagi miring oleh garis khatulistiwa. Keadaan ini disebabkan karena pulau ini membentang dari baratlaut ke tenggara yang dibagi dua bagian yang nyaris sama. Ujung baratlaut di wilayah Nangroe Aceh-Darussalam terletak pada garis lintang 5º35’ LU, dan ujung tenggara di wilayah Provinsi Lampung terletak pada garis lintang 5º56’ LS.

Seperti juga Semenanjung Tanah Melayu, keletakkan Sumatera sangat strategis karena terletak di tepi jalur lintas perdagangan antara Persia, India, dan Tiongkok. Meskipun sama strategisnya, namun Sumatera mempunyai kelebihan dalam sumberdaya alam yang menjadi komoditas penting pada kala purba, yaitu kapur barus dan emas.


Bumi Sumatra

Rupabumi pulau Sumatera terdiri dari dataran rendah aluvial yang sebagian besar membentang di sebelah timurlaut, dan rangkaian pegunungan Bukit Barisan membentang di sebelah baratdaya. Pada dataran aluvial mengalir beberapa sungai besar dan kecil yang dapat dilayari hingga pedalaman, misalnya Sungai Barumun, Rokan, Kampar, Batang Kuantan, Batanghari, Musi, dan Sekampung. Sebagian besar sungai-sungai tersebut bermata-air di Bukit Barisan dan bermuara di Selat Melaka, Selat Karimata, dan Selat Bangka. Beberapa batang sungai di antaranya, dipakai sebagai jalur lalulintas air yang “menghidupi” kota-kota besar.

Rangkaian Pergunungan Bukit Barisan yang panjangnya lebih dari 1.600 km., membentang dari Dataran Tinggi Gayo di baratlaut hingga ke Teluk Semangko di tenggara pulau. Rangkaian pegunungan ini terbentuk pada awal zaman Pliosen (60 juta tahun yang lampau), tetapi pada kala Oligosen/Miosen (25 juta tahun yang lampau), telah terjadi sedikit penurunan (Jazanul Anwar et al. 1984: 9). Pada rangkaian pegunungan ini terdapat lebih dari 50 gunung api yang tingginya bervariasi antara 1.600 hingga 3.800 meter d.p.l. antara lain Gunung Talakmau, Kerinci, Singgalang, Merapi, dan Gunung Dempo.

Patahan Semangko memungkinkan material dari dalam bumi terinterusi keluar pada permukaan bumi. Tekanan hebat dari dalam bumi mengakibatkan tonjolan-tonjolan pada permukaannya. Tonjolan yang dikenali dalam geologi sebagai Tumor Batak mempunyai ukuran panjang +275 km. dan lebar +150 km., membentang di antara Sungai Wampu dan Barumun. Ketika Tumor Batak ini meletus sehebat-hebatnya pada 75.000 tahun yang lampau, meterial yang dikeluarkannya menutupi kawasan seluas 20.000—30.000 kilometer persegi.

Daerah di sekitar pusat letusan tertutup material tufa mencapai ketebalan 600 meter. Akibat dari letusan dahsyat tersebut, terbentuk dasar Danau Toba tetapi belum mencapai bentuknya yang seperti sekarang ini. Dasar Danau Toba purba merupakan kepundan sebuah gunung api. Serentetan letusan yang lebih kecil membentuk suatu gunung api baru di bagian dalam kepundan besar tersebut. Ketika gunung api yang baru ini meletus juga dan kemudian runtuh, gunung ini terbelah menjadi dua bagian. Bagian barat membentuk “tanjung” Samosir, dan bagian timur membentuk “tanjung” Porsea.


Sumberdaya Alam

Salah satu daya tarik Sumatera untuk dikunjungi saudagar asing adalah sumberdaya alamnya. Karena sumberdaya alam inilah sekelompok pemukiman dapat berkembang menjadi sebuah kota kerajaan. Sumber-sumber tertulis Arab dan Tionghoa, menginformasikan kepada kita mengenai sumberdaya alam yang dijadikan komoditi oleh kerajaan-kerajaan di Sumatera (Hirth & Rockhill 1911).

Berita asing banyak menginformasikan mengenai perdagangan emas dan hasil hutan yang diambil dari bumi Sumatera. Komoditi ini dikapalkan melalui pelabuhan-pelabuhan di tepi sungai-sungai besar pantai timurlaut Sumatera atau di tepi teluk pantai barat. Ada indikasi maju dan mundurnya sebuah pelabuhan dapat tergantung dari sumberdaya alam yang dipasarkan melalui pelabuhan tersebut. Sebuah kota sekaligus pelabuhan sungai atau pantai laut, biasanya mengambil lokasi di tempat yang strategis, dekat dengan sumberdaya alam atau mempunyai akses dengan sumberdaya alam, misalnya pelabuhan Palembang (Po-lin-fong, Ku-kang), Jambi (Chan-pi, Pi chan), Kota Cina, dan Barus (Fansur, Po-li, Barosai).

Komoditi yang cukup populer pada millenium pertama Masehi antara lain kapur barus, damar, storax (bahan dasar untuk membuat minyak wangi), myrobalan, candu, dan benzoin (Groeneveldt 1960; Wheatley 1961: 315-316). Kapur barus merupakan produk alamiah dalam bentuk kristal yang dihasilkan dari sejenis pohon yang tumbuh di hutan tropis Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Tanah Melayu. Pelabuhan tempat pengapalannya ada di Barus, pantai baratdaya Sumatera.

Damar dan storax juga merupakan komoditi perdagangan yang banyak digemari oleh para pedagang asing (Marsden 2008: 147). Damar adalah semacam terpentin dari spesies pohon pinus dan yang diperdagangkan ada dua jenis, yaitu damar biasa (Agatis alga) dan damar wangi (Araucaria cunninghamii).

Hasil hutan lainnya adalah kemenyan yang berasal dari getah pohon kemenyan (Astyrax benzoin). Kemenyan banyak dihasilkan di daerah sebelah utara khatulistiwa di Tanah Batak, tetapi di sebelah selatan khatulistiwa juga ditemukan dalam jumlah yang terbatas (Marsden 2008: 144).

Dalam sejarah perdagangan Asia, barang logam yang digemari para saudagar dan menjadi komoditi penting dari Sumatera adalah emas (Marsden 2008: 153-159). Karena logam inilah maka Sumatera dikenal juga dengan nama Swarnnadwīpa (= Pulau Emas) atau Swarnnabhūmi (= Tanah Emas). Di samping emas, mineral lain termasuk perak, timah hitam, tembaga, seng, besi, dan air raksa ditambang di Sumatera sebelum abad ke-16 (sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropah (van Bemmelen 1944 (2): 103, 105, 164, 210). Bukti penambangan logam sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropah di Nusantara, ditemukan di daerah pegunungan dekat dengan pantai barat Sumatera, tetapi pekerjaan penambangan tertua ditemukan di daerah Aceh dan Lampung (Miksic 1979: 85).

Beberapa logam lain juga ditemukan di Sumatera seperti perak, plumbum, tembaga, zink, besi, dan air raksa (van Bemmelen 1944: 210; Miksic 1979: 263). Jenis logam tersebut telah lama ditambang jauh sebelum abad ke-16 Masehi, yaitu ketika para penguasa barat melakukan penambangan secara besar-besaran di bumi Sumatera (Miksic 1979: 262). Air raksa banyak ditemukan di Lebong dan cinnabar, satu jenis logam yang mengandung air raksa, telah ditambang di daerah Jambi jauh sebelum kedatangan orang Barat (Miksic 1979: 262; Tobler 1919: 463-464). Cinnabar, plumbum, zink, besi, dan tembaga juga ditambang di Muara Sipongi, Kabupaten Tapanuli Selatan (Sumatera Utara) (van Bemmelen 1944: 210).

Logam lain yang ditemukan belakangan adalah timah. Logam ini ditemukan di Pulau Bangka secara tidak sengaja. Menurut Marsden dalam History of Sumatra (1740), disebutkan bahwa timah ditemukan ketika salah sebuah rumah penduduk Tionghoa terbakar (Marsden 2008: 159). Karena panasnya api, maka bijih timah yang terkandung di bawah lantai rumah mencair. Sejak saat itulah bangsa barat dengan memanfaatkan tenaga setempat, menambang timah secara besar-besaran. Pada masa pemerintahan Kesultanan Palembang, timah dari Bangka dan Belitung menjadi barang komoditi utama.


Bangsa Bahari

Apabila ditelusuri sampai jauh ke belakang ketika orang-orang penutur bahasa Austronesia menyebar, pada hakekatkan bangsa Indonesia adalah Bangsa Bahari. Hidup matinya kerajaan-kerajaan besar di Sumatera selain tergantung dari sumberdaya alamnya, juga tergantung dari peranan kebaharian masyarakatnya. Kalau ingin menguasai Selat Melaka, maka kerajaan yang ada di sekitarnya haruslah mempunyai kekuatan laut.

Śrīwijaya dan Mālayu dikenal sebagai kerajaan bahari. Sepanjang kelangsungan hidupnya, kerajaan ini menguasai perairan sekitar Selat Melaka dan perairan sebelah barat Nusantara. Sebuah berita Tionghoa menceriterakan bahwa rakyat Śrīwijaya mahir berperang di darat maupun di laut (Groeneveldt 1960: 73). Ada ketentuan bahwa para saudagar asing yang berniaga di Nusantara harus memakai kapal Śrīwijaya. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan kapal yang tenggelam di perairan Nusantara sekitar abad ke-9 Masehi, adalah kapal yang dibuat dengan teknologi Asia Tenggara. Barang-barang muatannya berasal dari berbagai tempat di Asia.

Di bidang penguasaan laut, terutama di perairan barat Nusantara, pelaut-pelaut Melayu menunjukkan kemahirannya. Buku panduan laut bangsa Portugis, antara lain dibuat berdasarkan petunjuk pelaut Melayu. Dalam menghadapi perompak-perompak di laut, pada masa kesultanan angkatan laut kesultanan yang memberikan jaminan keamanan. Angkatan Laut Kerajaan Aceh menjamin keamanan di wilayah teritorialnya di Selat Melaka. Kesultanan Siak pernah memberikan jaminan keamanan dalam pengiriman emas dari Sumatera ke Johor.


Awal Hunian

Pulau Sumatera telah lama dihuni manusia. Berdasarkan sisa-sisa sampah dapur berupa cangkang kerang (kjökkenmöddiger) yang ditemukan dengan kapak genggam (pebble) di Sumatera Timur, hunian di tempat tersebut sudah ada sejak 11.000 tahun yang lampau, pada sekitar awal Holosen. Beberapa pakar menduga bahwa permukiman di daerah ini dihuni oleh manusia Papua-Melanesoid pada rumah-kolong yang dibangun di tepi pantai. Mereka menggunakan alat-alat batu, dan makanan utamanya siput laut.

Kelompok manusia Papua-Melanesoid yang lain tinggal di gua-gua dan ceruk-ceruk pada dinding batu. Di Sumatera sisa-sisa hunian dalam gua ditemukan di Jambi (Gua Tiangko Panjang), dan di Sumatera Selatan (Gua Silabe, Gua Pandan, Gua Karang Pelaluan, Gua Karang Beringin, dan Gua Harimau). Dari dalam gua ditemukan alat-alat batu dan kayu yang pertanggalannya 5700--9000 tahun yang lampau. Khusus pada Gua Harimau pada dindingnya terdapat lukisan dari bahan okker. Alat-alat batu dari gua-gua tersebut melihat teknologinya berasal dari masa preneolitik – neolitik. Di samping itu ditemukan juga alat dari logam perunggu dan barang-barang tembikar.

Di daerah kaki Gunung Dempo, di Pagaralam banyak ditemukan tinggalan megalitik yang berupa arca batu dan bilik batu. Ketika ditemukan bilik batu tersebut dalam keadaan tertimbun tanah. Sebagai tanda pada permukaan “pintu” yang tertimbun terdapat sebongkah batu. Beberapa di antara bilik batu yang sudah terbuka, pada bagian dindingnya terdapat lukisan yang dibuat dari bahan okker.

Sebuah kompleks megalit ditemukan di Situs Tinggihari berupa batu-batu menhir. Batu-batu menhir yang jumlahnya 9 buah ini diberi bentuk manusia dan binatang. Didirikan di sepanjang jalan mendaki ke puncak bukit yang tingginya antara +700—1.000 meter d.p.l. Adanya arca-arca ini di kalangan penduduk berkembang ceritera Si Pahit Lidah, ceritera tentang seseorang kalau berucap maka yang diucapkannya menjadi batu.

Seluruh tinggalan budaya dari masa prasejarah tersebut memberikan informasi bahwa pada masa lampau, di daerah hulu Musi sudah terdapat hunian manusia. Hunian awal ini mengambil lokasi di daerah tepian-tepian sungai pada bidang tanah yang tinggi. Hunian yang sedikit lebih maju ditemukan di daerah kaki Gunung Dempo di sekitar kota Pagaralam sekarang. Dari tempat ini banyak ditemukan arca megalit dan bilik batu yang berhiaskan lukisan dari bahan oker.


Kerajaan Pengaruh India

Sebagai pulau yang menempati posisi strategis dan banyak dikunjungi saudagar asing, sudah barang tentu unsur budaya asing mudah berkembang. Ramainya perdagangan dengan India, Persia, dan Tiongkok, lama kelamaan di Sumatera muncul kerajaan-kerajaan yang kemudian berkembang menjadi suatu imporium. Berita-berita asing mencatat beberapa kerajaan yang mendapat pengaruh budaya India, seperti Tulangbawang, Mālayu, Śrīwijaya, dan Pane. Kerajaan Mālayu dan Śrīwijaya merupakan dua kerajaan besar yang dominasinya di Sumatera saling bergatian.

Kerajaan besar pertama yang ada di Sumatera adalah Mālayu. Menurut Berita Tionghoa, Hasan Djafar (1992: 77) membagi kerajaan ini dalam tiga fase, yaitu:


Fase IFase Awal, sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi
Fase IIFase Pendudukan oleh Śrīwijaya, sekitar tahun 680 sampai
sekitar pertengahan abad ke-11 Masehi
Fase IIIFase Akhir, sekitar pertengahan abad ke-11 sampai
sekitar akhir abad ke-14 Masehi


Awalnya lokasi kerajaan ini diduga di sekitar Sungai Musi, atau tepatnya di sekitar kota Palembang sekarang. Sebelum “kelahiran” Śrīwijaya dan menjadikan Palembang sebagai ibukotanya, kota Mālayu merupakan sebuah pelabuhan penting. Menurut berita Tionghoa, pada tahun 644/645 kerajaan ini mengirim utusan ke Tiongkok (Pelliot 1904: 324 dan 334). Selanjutnya disebutkan bahwa di Mālayu banyak tinggal penganut ajaran Hīnayāna dan hanya sedikit Mahāyāna. Arca Buddha Śākyamuṇi dari Bukit Siguntang merupakan arca tertua (abad ke-6 Masehi) yang diduga berasal dari masa kerajaan Mālayu awal.

Setidak-tidaknya sampai dengan kedatangan I-tsing yang pertama tahun 671, Mālayu masih negara/pelabuhan bebas. Ketika itu lokasi Fo-shih atau Shih-li-fo-shih (Śrīwijaya) berada di antara Guangzhou dan Mo-lo-yeu (Mālayu). Boleh jadi waku itu Śrīwijaya masih berada di sekitar delta Batanghari sebagaimana diberitakan saudagar Arab (661-681 Masehi) mengenai negeri Zābag (Śrīwijaya) sebagai bandar lada terbesar di Sumatera. Namun ketika I-tsing kembali dari Tamralipti tahun 687 dan singgah di Mālayu, ia menulis: “Mālayu sekarang adalah ibukota Śrīwijaya” (Fukami 2001).

Kota Śrīwijaya dibangun di Mālayu (Palembang) pada tanggal 16 Juni 682. Setelah membangun kota, Dapunta Hiyaŋ Śrī Jayanāśa membangun taman Śrīksetra pada 23 Maret 684. Berdasarkan prasasti-prasasti yang dikeluarkannya, Dātu Śrīwijaya banyak melakukan persumpahan pada daerah-daerah yang berhasil ditaklukannya. Prasasti Telaga Batu merupakan batu persumpahan terpenting, karena di dalamnya memuat nama para pejabat sampai pegawai rendahan yang tinggal di ibukota mulai dari putra mahkota sampai tukang dobi. Wilayah kekuasaan kadātuan Śrīwijaya pada sekitar abad ke-7 meliputi Batanghari (Karangberahi), Bangka (Kota Kapur), Lampung (Palas Pasemah dan Bungkuk), dan sekitar perairan Selat Melaka (Boechari 1979: 18-40; Cœdès 1989: 1-135).

Śrīwijaya dikenal sebagai kerajaan bahari. Sebagian besar dari kehidupan rakyatnya dari pelayaran dan perdagangan. Bandar-bandar penting pada masa kejayaannya adalah Barus di pantai baratdaya Sumatera, Lamuri, Kota Cina, dan Jambi di pantai timurlaut. Dari bandar-bandar ini dikapalkan hasil-hasil bumi Sumatera dan tempat-tempat lain di Nusantara--misalnya rempah-rempah dari Ternate (Maluku)-- ke Tiongkok, India, Persia dan Arab. Sebagai bandar besar, saudagar dari berbagai bangsa dan corak budaya datang dari berbagai tempat.

Kehadiran orang-orang Po-ssu (Persia) bersama-sama dengan orang-orang Ta-shih (Arab) di bandar-bandar sepanjang tepian Selat Melaka dan pantai baratdaya Sumatera, diketahui sejak abad ke-7 Masehi. Mereka dikenal sebagai pedagang dan pelaut ulung. Sebuah catatan harian Tionghoa yang menceriterakan perjalanan pendeta Buddha I-tsing tahun 671 Masehi dengan menumpang kapal Po-sse dari Guangzhou ke Fo-shih (Śrīwijaya). Kemudian pada tahun 717 Masehi diberitakan pula tentang kapal-kapal India yang berlayar dari Srilanka ke Śrīwijaya dengan diiringi 35 kapal Po-sse (Poerbatjaraka 1952: 31-32).

Bukti-bukti arkeologis yang mengindikasikan kehadiran pedagang Persia di Śrīwijaya dan Mālayu adalah ditemukannya artefak dari gelas dan kaca berbentuk vas, botol, jambangan dll di Situs Barus (pantai barat Sumatera Utara) (Guillot & Sonny Wibisono 2002: 179-198) dan situs-situs di pantai timur Jambi (Muara Jambi, Muara Sabak, Lambur). Barang-barang tersebut merupakan komoditi penting yang didatangkan dari Persia atau Timur Tengah dengan pelabuhan-pelabuhannya antara lain Siraf, Musqat, Basra, Kufah, Wasit, al-Ubulla, Kish, dan Oman. Dari Nusantara para saudagar tersebut membawa kemenyan dan kapur barus.

Kerajaan Śrīwijaya juga mengadakan hubungan politik dan agama dengan kerajaan lain. Beberapa surat dari Mahārāja Śrīwijaya yang dikirimkan melalui utusan kepada Khalifah Umar ibn ‘Abd. Al-Aziz (717-720 Masehi), menyebutkan tentang pemberian hadiah sebagai tanda persahabatan dan permohonan agar dikirim mubaligh ke Śrīwijaya (Azyumardi 1994: 41-42). Prasasti Nālanda (abad ke-8 Masehi) menyebutkan pembangunan asrama untuk para pelajar di Nālanda (India Utara), Prasasti Ligor A (15 April 775) menyebutkan Mahārāja Śrīwijaya membangun trisamaya caitya untuk Padmapāni, Wajrapāni, dan Śākyamuni di Thailand Selatan (Cœdès 1989: 1-135). Dalam prasasti yang disimpan di Leiden (Belanda) disebutkan bahwa raja Mārawijayottuńgawarman dengan bantuan raja Cōla Rājakeśariwarman Rājarāja I mendirikan sebuah kuil Buddha di Nāgipattana (Nālanda) yang diberi nama Cūdāmaniwarmawihāra.

Berita Tionghoa yang berasal dari masa Dinasti Song (960-1279 Masehi) menyebutkan sebuah kerajaan di Sumatera yang bernama San-fo-t'si (Śrīwijaya). Diuraikan bahwa kerajaan itu terletak di Laut Selatan di antara Chen-la (=Kamboja) dan She-po (=Jawa). Ibukota kerajaan di mana raja bersemayam terletak di Chan-pi (Jambi) (Groeneveldt 1960: 61; Hirth dan Rockhill 1967: 62). Berita tersebut mengindikasikan bahwa ibukota Śrīwijaya yang semula berada di Palembang, pada sekitar abad ke-11 telah dipindahkan ke Jambi. Ketika sudah berada di Jambi, Śrīwijaya masih menjalin persahabatan dengan Tiongkok. Sebuah prasasti yang ditemukan di Guangzhou menyebutkan bahwa Mahārāja Śrīwijaya tahun 1079 memerintahkan pembangunan kembali kuil Tao yang bernama Tien Qing yang telah dibakar habis oleh peyerbu (Yamin 1962). Para pekerjanya didatangkan dari Śrīwijaya.

Kadātuan Śrīwijaya mulai menunjukkan kemundurannya ketika diserang oleh Kerajaan Cōla dari India Selatan. Prasasti Rājarāja I dari Tañjore (1030/31 Masehi) menyebutkan penaklukan Cōla atas Śrīwijaya dan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Selat Melaka. Śrīwijaya berhasil ditaklukkan dan rajanya Śaṅgrāmawijayottuṅgawarman ditawan (Nilakanta Sastri 1932: 315).

Setelah Śrīwijaya runtuh, Mālayu menggantikannya sebagai penguasa Sumatera. Kitab Nāgarakṛtāgama menyebutkan Mālayu lebih dahulu dan menyebutkan sebagai sebuah negara terpenting dari seluruh negara bawahan Majapahit (Pigeaud vol. 1 1960). Wilayah kekuasaannya meliputi seluruh Sumatera, dari ujung baratlaut hingga ujung tenggara. Beberapa daerah yang merupakan "bawahan" Mālayu seperti misalnya Jāmbi, Dharmmāśraya, Kaṇdis, dan Manaṅkabwa berlokasi di daerah Sungai Batanghari.

Kerajaan Mālayu tetap diperhitungkan sebagai sebuah kerajaan yang memegang peranan penting. Karena itulah ketika Kṛtanagara dari Siŋhasāri sedang menghadapi ancaman Mongol, perlu menjalin persahabatan dengan Mālayu. Besarnya perhatian Kṛtanagara kepada Mālayu membuktikan bahwa pada abad ke-13 Masehi, Mālayu merupakan negara utama di Sumatera. Sebagai tanda persahabatan Kṛtanagara mengirimkan arca Amoghapāśa.

Prasasti Dharmmaśraya menyebutkan bahwa pada tahun 1286 Masehi sebuah arca Amoghapāśa dengan keempatbelas pengiringnya dan saptaratna dibawa dari Bhūmijawa ke Swarnnabhūmi untuk ditempatkan di Dharmmāśraya sebagai punya Śrī Wiswarupakumara. Seluruh rakyat Mālayu dari keempat kasta bersukacita, terutama rajanya, ialah Śrīmat Tribhuwanarāja Mauliwarmmadewa (Hasan Djafar 1992: 56--8). Menurut prasasti ini jelas bahwa ekspedisi Pamālayu bukan merupakan pendudukan Siŋhasāri atas Mālayu, tetapi lebih ke arah persahabatan.

Prasasti pada bagian punggung arca Amoghapāśa yang ditemukan di Rambahan pada sekitar tahun 1800-an (Krom 1912: 48) memberikan petunjuk, bahwa pada tahun 1347 yang berkuasa di Mālayu adalah Śrī Mahārājā Ādityawarmman Disebutkan juga upacara yang bercorak tantrik, pendirian sebuah arca Buddha, dan pemujaan kepada Jina. Besar dugaan bahwa tahun 1347 merupakan tahun awal pemerintahan Ādityawarmman di Mālayu.

Berdasarkan data arkeologi dan prasasti-prasasti masa Mālayu, dapat diduga bahwa pusat pemerintahan kerajaan ini mengalami tiga kali perpindahan. Ibukota yang awal ada di hilir Batanghari di sekitar kota Jambi, kemudian bergeser ke Dharmmāśraya, dan akhirnya ke Pagarruyung. Raja Mālayu yang memindahkan ke Pagarruyung adalah Akarendrawarman pendahulu Ādityawarmman (de Casparis 1989 dan 1992).

Pada sekitar tahun 1340-an, di daerah Pagarruyung memerintah seorang raja yang bernama Ādityawarmman. Pada prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah tersebut, misalnya Prasasti Kuburajo I dikatakan bahwa Ādityawarmman memerintah di kaṇakamedinīndra (=raja pulau emas) (Kern 1917: 219). Dalam Prasasti Amoghapāśa (1347 Masehi) disebutkan bahwa Ādityawarmman mengangkat dirinya menjadi seorang mahārājādhirāja dengan gelar Śrī Udayādityawarmman atau Ādityawarmodaya Pratāpaparākramarājendra Mauliwarmadewa (Kern 1917: 163-175).

De Casparis (1992) menduga bahwa Mālayu pada masa Ādityawarmman mendapat ancaman dari kerajaan Islam di Samudra Pasai. Namun bukan ini sebab perpindahannya, melainkan untuk penguasaan sumber emas yang banyak terdapat di daerah pedalaman (Bambang Budi Utomo 1992). Di samping itu, secara geografis daerah pedalaman di Batusangkar dan Pagarruyung dekat dengan jalan air yang lain menuju Selat Melaka, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Indragiri. Emas dari daerah pedalaman kemudian dipasarkan keluar Mālayu melalui sungai-sungai ini (Dobbin 1977: 1-38).


Lahirnya Kesultanan

Sejak awal millenium kedua tarikh Masehi, para saudagar Islam banyak melakukan aktivitas niaga di sekitar Selat Melaka. Bersamaan dengan aktivias niaga, masuk pula agama Islam di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu. Melalui gerbang ini para saudagar dari Gujarat, Bengal, India Selatan, Pegu, Siam, dan Burma bertemu dengan saudagar dari Tiongkok, Arab, Persia, dan Jawa. Melalui para saudagar Arab dan Persia agama Islam disiarkan ke Nusantara.

Pasai yang letaknya di pantai timur ujung baratlaut Sumatera, merupakan pelabuhan yang paling ramai tempat bertemunya saudagar dari berbagai bangsa. Antara tahun 1290 dan 1520 Kesultanan Pasai tidak hanya menjadi kota dagang terpenting di Selat Melaka, tetapi juga pusat perkembangan Islam dan bahasa sastra Melayu (Tjandrasasmita 1988: 67-82). Menurut kitab Hikayat Raja-raja Pasai, raja Pasai pertama yang memeluk Islam adalah Meurah Silau dengan gelar Sultan Mālik al-Sāleh.

Sultan Mālik al-Sāleh mangkat pada tahun 1297 dan diganti oleh putranya, Sultan Muhammad yang memerintah sampai tahun 1326. Batu nisannya dihias dengan kaligrafi Arab gaya Kufik yang berisi syair tentang kehidupan di dunia yang fana. Sultan Muhammad lebih dikenal dengan nama Sultan Mālik al-Ṭāhir yang setelah mangkat digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Ahmad. Sultan ini juga memakai nama ayahnya Mālik al-Ṭāhir. Dalam masa pemerintahannya, Samudra Pasai mendapat kunjungan Ibn Baṭṭuta, seorang utusan Sultan Delhi. Ia singgah di Pasai dalam perjalanannya dari India - Tiongkok - India pada tahun 1345.

Hingga tahun berapa Sultan Ahmad Mālik al-Ṭāhir ini memerintah tidak diketahui. Demikian juga penggantinya yang bernama Sultan Zain al-Abidin tidak diketahui. Data keberadaan sultan-sultan tersebut hanya dari batu nisan makamnya.

Kerajaan Samudra Pasai mulai kehilangan kekuasaan perdagangan atas Selat Melaka pada pertengahan abad ke-15. Penyebabnya antara lain karena perebutan kekuasaan di lingkungan elite keraton, berkembangnya bandar Melaka, dan juga masuknya Portugis di Selat Melaka. Pada akhirnya kekuasaan Samudra Pasai jatuh ke tangan Kerajaan Aceh yang muncul tahun 1520-an.

Sejak pertengahan abad ke-15, Melaka ramai dikunjungi saudagar dari berbagai tempat. Sejak saat itu Melaka menjadi pusat perdagangan di jalur selat. Namun setelah Melaka jatuh ke tangan Portugis, para saudagar memindahkan aktivitasnya di Aceh. Akibatnya timbul suatu kerajaan di Aceh yang melepaskan diri dari Pidie.

Kerajaan Aceh mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Kerajaan ini mempunyai tentera laut dan darat yang kuat. Dengan kekuatan militernya Aceh berhasil menguasai hampir separuh daratan Sumatera hingga ke Bengkulu, pantai barat, dan pantai timur hingga Kampar (Alfian 2005).

Sultan Iskandar Muda digantikan oleh menantunya, Iskandar Tani. Di bawah pemerintahannya Aceh maju dengan pesat. Akan tetapi setelah raja ini mangkat, Aceh mengalami kemunduran. Berbagai daerah, seperti Minangkabau dan Kampar berhasil membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan Aceh. Penyebabnya tidak lain karena perselisihan di antara elite keraton.

Setelah Kesultanan Aceh, pada masa-masa berikutnya di Sumatera muncul kesultanan-kesultanan lain. Di Sumatera Utara muncul Kesultanan Deli, Serdang Bedagai, Siak Sri Indrapura, Langkat; di kepulauan Riau muncul Kesultanan Riau-Lingga, dan di Sumatera Selatan muncul Kesultanan Jambi dan Kerajaan Palembang yang akhirnya menjadi Kesultanan Palembang-Darussalam.

Kelahiran Kesultanan Deli tidak lepas kaitannya dengan Kesultanan Aceh (Luckman Sinar 2005). Sebuah sumber menyebutkan bahwa salah seorang Laksamana dari Kesultanan Aceh yang berhasil menaklukan pantai baratdaya dan timurlaut Sumatera, kawin dengan adik Raja Urung Sugal (penguasa Batak-Karo yang sudah Islam). Karena perkawinan ini kemudian pada tahun 1630 ia ditabalkan menjadi raja di Deli. Setelah Laksamana Aceh yang dirajakan di Deli ini mangkat, penggantinya yang bergelar Tuanku Panglima Perunggit Deli memutuskan hubungan dengan Aceh, dan pada tahun 1669 Deli menjadi kerajaan yang merdeka.

Berbeda dengan kelahiran kerajaan/kesultanan Islam di Sumatera bagian utara dan Riau kepulauan yang mengambil zuriat dari Aceh, maka kelahiran kerajaan/kesultanan Islam di Palembang mengambil zuriat dari Kesultanan Demak/Mataram di Jawa. Bermula dari perebutan tahta di Kerajaan Demak yang dimenangkan oleh Pangeran Hadiwijaya. Dalam peperangan itu Pangeran Arya Penangsang tewas. Para pengikutnya yang setia, di antaranya Arya Jipang, terpaksa melarikan diri ke Palembang. Pelarian yang dipimpin oleh Ki Gede ing Suro (1547) ke Palembang paling tidak untuk merebut pewarisan dari Ki Mas Palembang yang ada di Palembang (Djohan Hanafiah 1989). Kemudian Ki Gede ing Suro membangun Kerajaan Palembang yang bernuansa Islam.

Kerajaan/kesultanan yang bernuansa Islam di Palembang (1552-1825) mengalami tiga kali perpindahan keraton (Hanafiah 1989). Keraton pertama Kuto Gawang (1552-1659) terletak di daerah 1 dan 2 Ilir. Karena dihancurkan VOC Belanda tahun 1659, ahli warisnya (Ki Mas Hindi) yang ditabalkan dengan gelar Sultan Abdurrahman memindahkan keraton ke arah hulu di Beringin Janggut (1660).

Entah sampai kapan pusat pemerintahan Kesultanan Palembang di Beringin Janggut, pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I pada 29 September 1737 diresmikan Keraton Kuto Tengkuruk. Keraton ini letaknya di sebelah barat Beringin Janggut. Tidak sampai 50 tahun Kuto Tengkuruk berdiri, pada tahun 1780 di sebelah barat Kuto Tengkuruk Sultan Muhamad Bahauddin membangun Keraton/benteng Kuto Besak. Akhirnya Kesultanan Palembang-Darussalam dihapuskan Belanda pada tahun 1825. Sultan terakhir yang melawan Belanda, Mahmud Badaruddin II ditangkap dan diasingkan ke Ternate.


Budaya Asing yang Tertinggal

Pulau Sumatera secara alami terletak di jalan persimpangan antara dua pusat kebudayaan dunia Tiongkok di timur serta India dan Persia di barat. Hasil hutan dan tambang yang menjadi daya tarik saudagar dari Tiongkok, India, dan Persia menjadikannya Sumatera tempat persinggahan. Belum lagi budaya dari tempat lain di Jawa yang saudagarnya juga datang ke Sumatera, menambah marak lagi budaya yang berkembang di Sumatera.

Ketika intensitas niaga dengan India cukup tinggi, di Sumatera berkembang ajaran Hindu dan Buddha. Perkembangannya lebih luas Buddha daripada Hindu. Tinggalan budaya materi yang masih tersisa adalah arca-arca Buddha berlanggam Amarāwati, Cōla, dan Tamil Nadu Pedesaan (McKinnon 1994: 53-79). Hubungannya dengan Jawa (Kerajaan Mdaŋ, Matarām) pada abad ke-8-9 Masehi, meninggalkan jejak arca-arca Hindu dan Buddha berlanggam Śailendra.

Kehadiran Perserikatan Dagang Tamil (Subbarayalu 2002: 17-26) dengan saudagarnya di Sumatera bagian utara, “menyisakan” komunitas Tamil di beberapa tempat di pantai timurlaut Sumatera Utara mulai dari Banda Aceh hingga Medan. Pada waktu tertentu mereka membuat upacara Hindu di kuil dan dalam bentuk festival, misalnya festival pada Hari Thaipusam. Hari Thaipusam merupakan hari menunaikan nazar dan menebus dosa atau memohon ampun di atas dosa-dosa yang telah dilakukan selama ini. Salah satu cara memohon ampun adalah dengan menyiksa diri.

Agama Islam masuk dan berkembang di Sumatera di antaranya dibawa oleh para saudagar Persia pada masa Kekhalifahan Abbassiyah (750-870 Masehi) (Hourani 1951: 61-62). Mereka banyak melakukan aktivitas niaga di sepanjang pantai baratdaya Sumatera mulai dari Banda Aceh hingga Bengkulu. Unsur budaya yang tertinggal adalah peringatan 10 Muharram dengan arak-arakan tabot, dan paham Islam Tarekat pada penduduknya.

Palembang yang merupakan bekas kota Mālayu dan Śrīwijaya pernah juga dihuni oleh komunitas Tionghoa dalam kurun waktu yang lama. Pada masa Kesultanan Palembang-Darussalam orang-orang Tionghoa pernah didatangkan sebagai tenaga kerja, khususnya kuli bangunan. Pada waktu senggang komunitas tersebut mengembangkan seni kriya lakuer yang sudah ada di tempat asalnya Tiongkok. Hingga kini satu-satunya tempat di Indonesia yang memproduksi barang-barang lakuer hanya di Palembang.

Bambang Budi Utomo
Kerani Rendahan pada
Puslitbang Arkeologi Nasional

(Sumber: Treasures of Sumatra, Museum Nasional, 8 Juni - 8 September 2009)


Read More......

Selasa, 13 Oktober 2009

Pengaruh Asing pada Masyarakat dan Kebudayaan di Sumatera


Pulau Sumatera merupakan sebuah pulau besar ketiga di Nusantara setelah Irian dan Kalimantan. Di pulau yang secara administratif dibagi dalam sembilan provinsi ini tinggal sekurang-kurangnya 80 suku-bangsa (Melalatoa, 1995). Mereka tinggal di Pulau Sumatera, Kep. Riau – Lingga, Kep. Bangka-Belitung, Kep. Enggano, Kep. Mentawai, Kep. Nias, dan pulau-pulau kecil di sekitar Sumatera.

Siapa sebenarnya nenek moyang suku-suku-bangsa yang tinggal di Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya? Untuk menjawab pertanyaan ini ada dua teori yang berbeda berdasarkan pendekatannya, tetapi mengarah pada asal-usul yang sama. Teori pertama berdasarkan pendekatan artefaktual menyatakan bahwa nenek-moyang orang Sumatera berasal dari pedalaman Asia Tenggara daratan (sekitar Vietnam) yang kemudian bermigrasi ke Sumatera melalui Thailand dan Semenanjung Tanah Melayu.

Di daerah pesisir timur laut Sumatera, di antara Langsa dan Medan ditemukan sampah dapur berupa timbunan kerang yang membukit (kjökkenmöddinger). Di antara timbunan kerang tersebut ditemukan alat-alat batu yang bentuknya sangat sederhana. Penelitian arkeologis yang dilakukan oleh van Stein Callenfels (1927:129-133) di situs dekat Medan berhasil mengidentifikasikan bahwa alat batu tersebut berupa kapak genggam. Kapak genggam ini bentuknya berbeda dengan chopper (kapak genggam Paleolith). Pada kapak genggam yang kemudian disebut dengan istilah pebble atau disebut juga Kapak Sumatera, bagian yang mempunyai tajaman hanya pada salah satu sisi, sedangkan sisi lainnya dibiarkan halus.

Sementara di pesisir timur laut Sumatera ditemukan pebble, di daerah pedalaman Vietnam, di Pegunungan Bacson dan Hoabinh ditemukan alat-alat batu dan tulang. Alat-alat batu tersebut ada yang sama seperti pebble dari Sumatera dan berasal dari masa Mesolithikum. Penelitian yang dilakukan oleh Madeleine Colani (1927) menyimpulkan bahwa Bacson-Hoabinh merupakan pusat atau asal dari kebudayaan Mesolithikum Asia Tenggara. Dari tempat ini manusia pendukung budaya kapak gengam Sumatera tersebut kemudian menyebar ke Sumatera melalui Thailand, Semenanjung Tanah Melayu, dan akhirnya menyeberangi Selat Melaka menuju Sumatera.

Teori lainya berdasarkan pendekatan linguistik menyatakan bahwa orang-orang yang bertutur bahasa Austronesia-lah nenek moyangnya. Austronesia adalah istilah yang dipakai oleh pakar linguistik untuk keluarga bahasa yang berkembang di Taiwan antara 5000-7000 tahun yang lampau (Collins, 2005).

Di Taiwan orang-orang ini mengembangkan teknik-teknik pertanian dari Tiongkok Selatan, beradaptasi dengan lingkungan pulau, dan “belajar” menyeberangi selat. Sejak sekitar millenium ke-3 Sebelum Masehi, mereka mengembara ke arah selatan menuju Filipina. Di tempat ini mereka membawa dan mengembangkan teknik perladangan berpindah, pembuatan perahu/kapal, dan pembuatan barang-barang tembikar. Pada akhirnya mereka membentuk sub-rumpun bahasa Melayu-Polynesia (Bambang Budi Utomo (ed) 2007:1-18).

Menjelang millenium pertama Sebelum Masehi, para penutur rumpun bahasa Melayu-Polynesia barat sudah mencapai pesisir Indocina (Champa), Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Sumatera. Pada periode berikutnya, secara bersinambungan mereka sudah berlayar jauh hingga ke Madagaskar di pantai timur Afrika. Akibat berhubungan secara bersinambungan, kemudian tumbuh budaya Melayu-Polynesia Barat (Malagasy) dan berkembang secara mandiri.

Kelompok penutur yang menyebar ke arah timur membentuk rumpun bahasa Melayu-Polynesia Timur. Perkembangannya di daerah pantai-pantai kawasan timur Nusantara, seperti Halmahera dan pantai utara Irian. Dari tempat ini kemudian diteruskan sampai ke seluruh penjuru Pasifik, Tonga, Samoa, Hawaii, dan yang terjauh Selandia Baru.

Populasi orang-orang penutur bahasa Austronesia menempati wilayah dari Madagaskar di barat hingga Easter Island di timur, dan dari Taiwan/Micronesia di utara hingga Selandia Baru di selatan. Benang merah yang menyatukan mereka adalah teknik bercocok-tanam, teknik pembuatan perahu/kapal, dan teknik pembuatan tembikar. Itulah nenek moyang bangsa bahari.


Puak Melayu

Melayu dalam perwujudannya mempunyai tiga konsep yang masing-masing mengacu pada bentuk yang berbeda, yakni ras sebagai suatu ciri-ciri fisik secara biologi yang membedakannya dengan ras lain dengan ciri-ciri fisik dari kelompok lain; suku-bangsa sebagai suatu jati diri yang lebih mengacu pada ciri-ciri fisik, gaya bicara yang pada akhirnya sebagai perwujudan dalam tingkat sosial dengan dasar askriptif; dan kemudian kebudayaan yang mengacu pada model-model dan cara memahami serta menginterpretasi lingkungan yang kemudian dipakai untuk mendorong terwujudnya kelakuan dan benda-benda budaya.

Ketiga konsep ini menjadi satu dalam memahami apa yang disebut sebagai orang Melayu, dan tentunya penjabaran masing-masing konsep serta keterkaitannya satu dengan lainnya akan sangat berbeda-beda keluasannya. Bila bicara Melayu secara ras, maka yang terjadi akan melewati areal kesukubangsaan Melayu itu sendiri karena melibatkan suku-suku-bangsa lainnya seperti Minangkabau, Batak, sebagai paparan daerah ras. Bila berbicara Melayu secara suku-bangsa maka yang terdeteksi adalah adanya pengelompokan-pengelompokan jati diri Melayu ini yang didasari pada informasi yang didapat dari interaksi kelompok-kelompok tersebut dengan suku-bangsa lainnya, seperti adanya suku-bangsa Melayu di Jambi, Sumatera Barat, Riau, dll. Kesemua informasi tersebut didapat dari serentetan hubungan dengan suku-bangsa lainnya di daerah-daerah setempat. Apabila berbicara Melayu secara kebudayaan maka akan tampak perbedaan-perbedaan yang besar antara satu kelompok Melayu dengan kelompok Melayu lainnya, karena masing-masing kelompok berada dan hidup dalam lingkungan alam, sosial dan binaan yang berbeda-beda. Kelompok Melayu yang tinggal di tepian sungai besar dan pesisir, umumnya hidup dari berdagang dan nelayan, sedangkan yang hidup di pegunungan bermata-pencaharian sebagai petani dan peladang.

Kelompok Melayu yang berada di daerah Jambi, lebih banyak bersentuhan dengan kelompok Kubu, sehingga mempunyai model-model yang berbeda dengan kelompok-kelompok Melayu yang bersentuhan dengan kelompok Sakai, atau kelompok Minangkabau, dsb. Akan tetapi secara garis besar, pada umumnya kelompok-kelompok Melayu ini dimana pun mereka tinggal akan selalu diidentikkan dengan Islam. Seperti Melayu sama dengan Islam di daerah Sakai, atau Islam sama dengan Melayu di daerah Kubu, dan Melayu sama dengan Islam di Barus (pantai barat Sumatera Utara).

Bila ditelusuri persebaran orang Melayu secara suku-bangsa maka akan dapat dilihat dari model-model mitologi yang menyertainya yang dapat dijadikan acuan kesukubangsaan tentang penguasaan wilayah dimana kelompok tersebut menetap dan tinggal. Dari mitologi yang ada maka bisa tergambarkan kapan dan sampai dimana batas-batas kesukubangsaan Melayu tersebut ada dan kelompok mana yang menjadi ‘tetangga’nya. Mitos dan kosmos merupakan fokus dalam suatu kegiatan ritus yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, bagaimana cara manusia memahami diri mereka, keberadaannya sebagai anggota masyarakat dan di dunia sebagai satu kesatuan. Hasil pemahaman manusia terhadap alam sekitarnya dimanifestasikan ke dalam kehidupan sosial dan berusaha menjelaskan dan menciptakan pembenaran keadaannya sebagai masyarakat, baik bentuk asal maupun cara kehidupannya. Hasil pemahaman tersebut biasanya dimanifestasikan dalam bentuk cerita yang diinformasikan dari orang ke orang.


Kesukubangsaan

Seiring dengan perjalanan waktu, akibat dari semakin kerapnya terjadi perkawinan antarsuku, bangsa, dan ras, ciri-ciri rasial suku-suku-bangsa penduduk Sumatera kian memudar. Namun, pada sebagian dari mereka ciri-ciri ras yang dominan masih dapat terlihat cukup nyata.

Dilihat dari sudut pandang antropologi fisik, sebagian besar suku-suku-bangsa Sumatera yang utama berasal dari golongan ras Deutromelayu atau Melayu Muda. Suku-suku dengan ciri dominan ras tersebut termasuk suku Aceh, Melayu-Minangkabau, Melayu-Pesisir Sumatera, Rejang-Lebong, dan Lampung.

Dua suku ras Melayu Muda yang ada di Sumatera bagian utara adalah Suku Aceh dan Suku Melayu-Pesisir. Orang Aceh merupakan penduduk utama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, meski sebagian dari mereka juga ada yang berkampung halaman di desa-desa di kawasan pesisir Provinsi Sumatera Utara. Sementara itu, Suku Melayu-Pesisir, atau yang biasa disebut dengan Orang Melayu saja memiliki kampung halaman di sepanjang pesisir pantai timur Provinsi Sumatera Utara.

Suku Melayu-Minangkabau, atau yang lebih umum disebut sebagai Orang Minangkabau, adalah penduduk asli pedalaman/pegunungan di Kabupaten Tanah Data, Limapulueh Koto, dan Agam (Provinsi Sumatera Barat). Meski kini banyak di antara mereka yang bermukim di daerah pesisirnya, daerah-daerah pedalaman yang bergunung-gunung merupakan kawasan induk yang menjadi lokasi dari permukiman-permukiman yang paling tua dan secara kultural paling bersejarah bagi Suku Minangkabau.

Dalam mitos disebutkan bahwa dari Gunung Merapi, di Paryangan turun seorang raja nenek moyang bangsa Minangkabau. Rajo di Rajo ini membagikan kekuasaan pada tiga anak buahnya yang kawin dengan anaknya, yaitu Kucing Siam, Harimau Campo, dan Kambing. Pada awalnya kekuasaan dibagi menjadi tiga luhak (yang artinya ”kurang”), yaitu luhak Tanah Data, luhak Limapulueh Koto, dan luhak Agam (Junus 2004:248-265). Pada akhirnya ditambah luhak Kubung Tigobaleh (Solok). Luhak Kubung Tigobaleh sebenarnya tidak termasuk luhak inti, karena letaknya di daerah pinggiran dekat pesisir sekitar Solok dengan batasnya Durian Ditakluk Rajo.

Dua di antara suku-suku Melayu Muda yang hidup di Sumatera bagian selatan adalah suku Rejang-Lebong dan Lampung. Orang Rejang-Lebong, yang secara kultural masih berkaitan dengan suku Melayu-Minangkabau dan Melayu-Pesisir, merupakan suku penduduk asli Provinsi Bengkulu. Sementara itu, Suku Lampung merupakan suku penduduk asli daerah atau Lampung, di ujung paling tenggara Sumatera. Juga termasuk ras Melayu Muda adalah suku Melayu-Riau, baik Riau Daratan dan Riau Kepulauan, Suku Jambi, serta Suku Melayu-Palembang dan sub-sub kelompok etniknya yang tinggal di wilayah Provinsi Sumatera Selatan.

Suku-suku utama di Sumatera yang memiliki ciri fisik dominan ras Protomelayu atau Melayu Tua adalah Suku Batak dan Gayo. Suku Batak adalah suku yang sebagian besar warganya tinggal daerah pegunungan di pedalaman Provinsi Sumatera Utara; sementara Suku Gayo tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, di daerah Gayo yang bertetangga dengan Tapanuli, daerah asal Suku Batak.

Ciri-ciri yang sama juga terdapat pada sejumlah suku yang tergolong minoritas. Mereka adalah Suku Nias, penduduk Pulau Nias di lepas pantai barat Provinsi Sumatera Utara; Suku atau Orang Laut yang tinggal di beberapa pulau di perairan Riau dan Bangka-Belitung; Suku Sakai, Talang, Utan, dan Rawar di Riau Daratan; serta Suku Mamak, Kubu, dan Luwu, penghuni hutan-hutan di pedalaman Jambi dan Sumatera Selatan.

Ras Weddoid dan Negrito juga masih memiliki perwakilan di antara suku-suku minoritas lain di Sumatera. Ciri-ciri dominan ras Weddoid misalnya dimiliki warga suku Mentawai, penduduk asli Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat, serta Suku Enggano, penghuni Pulau Enggano di lepas pantai Bengkulu. Sementara itu, Suku Akit yang hidup di daerah aliran Sungai Mandau, Riau, mungkin merupakan satu-satunya suku-bangsa pemilik karakter fisik dominan dari ras Negrito yang masih tersisa di Sumatera.


Budaya India dan Timur Tengah

Tiga peradaban dunia, yakni India, Timur Tengah, dan Eropa, yang pengaruhnya pada kebudayaan penduduk Pulau Sumatera, merupakan pengaruh-pengaruh asing yang digunakan untuk memahami sejarah berbagai kebudayaan Nusantara secara umum. Namun, dalam konteks masyarakat dan kebudayaan Sumatera, sebuah pengaruh asing lain, yang tidak didasarkan atas ajaran agama tertentu mungkin perlu ditambahkan. Pengaruh asing itu adalah pengaruh kebudayaan tradisional India, yang tak bisa dipungkiri telah ikut memberi warna pada berbagai masyarakat dan kebudayaan Sumatera. Hal ini karena berbagai unsur kebudayaan India telah ikut masuk ke Sumatera bersama masuknya agama Hindu-Buddha dan Islam, dua dari tiga agama dan peradaban dunia yang pengaruhnya pernah atau masih sangat besar di antara beragam masyarakat dan kebudayaan yang hidup di pulau tesebut.

Menurut seorang pengamat kebudayaan Sumatera, kebudayaan India, khusus bahasa dan aksaranya, sudah dikenal di Sumatera setidaknya sejak abad ke-7 Masehi. Prasasti-prasasti dari masa Śrīwijaya yang ditemukan di berbagai tempat di sana banyak yang ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta. Mulai abad ke-7 itu, aksara Pallawa juga makin sering digunakan oleh berbagi suku-bangsa di Sumatera untuk menulis dalam bahasa lokal mereka, yang juga mengandung banyak kata pinjaman dari bahasa Sanskerta dan Tamil.

Sampai saat ini, kitab-kitab warisan kuno yang masih sering digunakan Suku Lampung dan Batak juga ditulis dengan turunan aksara Pallawa, yang dipelajari nenek moyang mereka melalui interaksi dengan kaum pendatang India. Aksara Batak merupakan aksara yang terbentuk dan berkembang melalui penggubahan radikal dari bentuk aksara yang khas seperti bentuk aksara pada prasasti-prasasti beraksara Pallawa. (McGlynn 2002:14).

Pengaruh bahasa Tamil dari India Selatan juga terlihat dalam bahasa Minangkabau. Menurut seorang ahli linguistik, kata-kata seperti ’gudang’, ’kuli’, ’suasa’, ’kodi’, ’kolam’, ’peti’, ’niaga’, ’bedil’, dan ’tembaga’ berasal dari bahasa Tamil. Demikian pula nama-nama kue khas Minangkabau, seperti talam, onde-onde, apam, dan serabi.

Ramainya saudagar Arab yang berniaga sambil menyebarkan Islam di Sumatera, membawa suatu perubahan besar dalam urusan baca-tulis pada penduduk lokal. Para saudagar ini mengalami kesulitan dalam berkomunikasi karena yang mereka jumpai adalah bahasa Melayu. Mau tidak mau bahasa Melayu harus dipelajari. Sementara itu penduduk lokal tidak dapat baca-tulis. Melalui mubaligh yang turut dalam rombongan saudagar, penduduk yang berbahasa Melayu belajar menulis aksara Arab. Pada akhirnya, di tangan orang Melayu aksara Arab diubah dan aksara khusus diciptakan untuk bunyi yang tidak ditemukan dalam bahasa Arab (McGlynn 2002: 74). Tulisan Arab-Melayu dikenal sebagai tulisan Jawi atau sekarang dikenal dengan istilah ”Arab gundul”.

Di bidang seni pertunjukan, pengaruh budaya India misalnya dapat dilihat pada seni teater Mendu yang dikenal dalam masyarakat Melayu. Konon, bentuk kesenian ini berasal dari seni wayang Parsi, yang kemudian pada tahun 1870-an dibawa oleh kaum imigran India ke Pulau Penang (Semenanjung Tanah Melayu) dan Singapura. Meski lakon-lakon yang ditampilkan adalah lakon-lakon dari Persia, namun Mendu dipertunjukkan dengan memakai bahasa Tamil. Kesenian Mendu masih populer hingga saat ini di daerah Riau.

Masakan rendang daging yang selama ini disangka khas Melayu Minangkabau ternyata merupakan masakan yang sangat dipengaruhi oleh tradisi dapur dan budaya kuliner India. Berbagai bumbu dan rempah-rempah yang digunakan dalam memasak rendang, seperti kapulaga, ketumbar, bawang putih, bawang merah, cabai merah, jahe, lengkuas, sereh, daun salam, hingga asam dan kunyit, jelas merupakan racikan bumbu yang berasal dari dapur India. Pengaruh seni kuliner India juga dapat dilihat dari seringnya digunakan jinten, kunyit, dan ketumbar sebagai bumbu dalam berbagai hidangan Minangkabau dan suku-suku-bangsa Sumatera lainnya.

Masyarakat rumpun Borbor yang tinggal di daerah Toba atau Dairi di Sumatera Utara, memiliki adat membakar jenazah warga yang meninggal dunia dan sisa-sisa tulangnya dihanyutkan di sungai. Adat ini pun pun dikenal dalam lingkungan Marga Sembiring. Ada dugaan bahwa Orang Batak-Karo dari marga induk Sembiring merupakan kaum keturunan Suku Tamil (McKinnon 1994:59). Banyak nama marga dan submarga rumpun Sembiring yang diduga berasal dari kosa kata bahasa Tamil, seperti Pandia, Meliala, dan Chola. Seperti juga banyak cerita dan mitologi rakyat Batak, kalender Batak, dan sejumlah adat kebiasaan lain, adat penanganan jenazah ini juga diduga berasal dari kebudayaan India.


Budaya Tionghoa

Berdasarkan sumber-sumber tertulis yang dibuat oleh saudagar, pendeta, dan juru tulis Tionghoa, diketahui bahwa orang-orang Tionghoa melalui aktivitas perdaganganya sudah sejak abad ke-7 Masehi ada di Sumatera (Groeneveld 1960:60-100). Mereka menjalankan aktivitas niaga dengan kerajaan-kerajaan di Sumatera. Ketika Sumatera (Palembang) sedang tidak ada penguasa, ada kawanan lanun yang berasal dari Kuang tung (Tiongkok) tinggal di Palembang sampai akhirnya pada tahun 1405 ditangkap oleh Chêng Ho (Mills 1970: 99-100).

Pada awal abad ke-15 ketika kekaisaran Tiongkok diperintah oleh Yung Lo, kaisar memerintahkan semacam ekspedisi kebudayaan ke seluruh penjuru dunia. Salah satu ekspedisi yang terkenal di bawah pimpinan Laksamana Chêng Ho. Di Nusantara tempat-tempat yang disinggahi ekspedisi yang melibatkan ratusan kapal ini adalah Palembang, Aru, Nakur, Lambri (sekarang Banda Aceh), dan Samudra Pasai. Tentu saja di tempat-tempat ini tinggal komunitas Tionghoa. Di Lambri, Chêng Ho menghadiahkan sebuah lonceng besar dari perunggu yang sekarang dikenal dengan nama lonceng Cakradonya.

Orang-orang Tionghoa yang datang ke Sumatera bukan berasal dari satu tempat saja, melainkan dari beberapa tempat berbeda dengan suku dengan dialek dan bahasa yang berbeda pula (Vasanty 2004: 353). Demikian juga keahlian masing-masing sesuai dari tempat asalnya. Orang-orang ini berasal dari Provinsi Kuang tung dan Provinsi Fukien. Berdasarkan dialek bahasanya, di Sumatera terdapat kelompok Tionghoa Hokkien, Teo-chiu, Hakka, dan Kanton. Orang-orang Hokkien dikenal sebagai saudagar yang ulet dan menetap di daerah pantai barat daya Sumatera; orang Teo-chiu, Hakka, dan Kanton dikenal sebagai kuli perkebunan dan pertambangan yang menetap di pantai timur laut Sumatera, Bangka, dan Belitung. Kebanyakan orang dari Kanton, datang ke Nusantara membawa modal yang besar dan mempunyai keahlian bertukang. Kebanyakan mereka tinggal di Sumatera Tengah dan Pulau Bangka. Tidak jarang di antaranya ada yang menjadi pemilik tambang timah.

Seperti juga bangsa-bangsa lain yang merantau ke Sumatera, orang-orang Tionghoa juga membawa budaya dari tempat asalnya di Tiongkok. Lamanya mereka tinggal menetap di Sumatera secara tidak langsung mempengaruhi budaya penduduk asli Sumatera. Sebagai contoh, kerajinan menenun songket yang hampir di seluruh dunia Melayu mengenalnya. Motif dan warna songket mengingatkan kita akan warna-warna pada wihara Tionghoa yang hampir di setiap lingkungan pecinan ditemukan.

Masyarakat di Minangkabau mengenal sulaman pada kain yang dipakai kaum perempuan dan hiasan pada pelaminan. Kain yang dipakai sebagai bahan dasar sulaman adalah kain sutra dan satin. Kain sutra atau satin yang disulam ini mendapat pengaruh budaya Tionghoa. Secara nyata tampak pada hiasan flora, warna, dan teknik menyulamnya (Sutan Aswar 1999: 425-435). Meskipun sulaman kain mendapat pengaruh Tionghoa, namun setelan pakaian mempelai pria pada upacara pernikahan mendapat pengaruh Portugis.

Entah sejak kapan orang Tionghoa datang dan menetap di Pulau Bangka. Sebetulnya tambang timah di Bangka ditemukan secara tidak sengaja. Menurut Marsden, timah di Bangka ditemukan tahun 1710 ketika sebuah rumah keluarga Tionghoa terbakar (Marsden 2008: 159) Akibat kebakaran tersebut, dari lantai tanah rumah yang terbakar itu tampak lelehan timah. Belakangan orang-orang Tionghoa yang mempunyai keahlian dalam penambangan timah berdatangan ke Bangka. Sementara itu, penduduk asli Bangka belum mengenal logam timah. Kepandaian inilah yang kemudian ditularkan kepada penduduk asli Bangka.

Pengaruh budaya Tionghoa juga tampak pada bentuk-bentuk atap bangunan rumah tinggal dan masjid di Palembang. Pada bubungan atap bangunan terdapat hiasan seperti tanduk kambing. Masjid Agung Palembang yang dibangun pada abad ke-18, selain bentuk hiasan atapnya, bentuk menara masjid mirip dengan bentuk menara pada bangunan wihara orang Tionghoa.


Budaya Eropa

Sumatera sudah dikenal lama oleh bangsa-bangsa di dunia. Berbagai sumber tertulis menginformasikan tentang Sumatera sebagai pulau penghasil emas. Kitab/peta pertama yang dikaji adalah Periplous tès Erythras thalassès. Kitab ini dibuat oleh nakhoda kapal dagang berbangsa Yunani-Mesir pada sekitar abad pertama tarikh Masehi (Wheatley 1961: 129 cat 1). Isinya pedoman untuk berlayar di lautan Erythras (Samudra Indonesia). Nakhoda yang membuat kitab ini biasa melakukan pelayaran antara Asia Barat dan India.

Keterangan mengenai geografi sebelah timur India memang kurang lengkap, tetapi keterangan mengenai sistem perdagangannya cukup bernilai (Wheatley 1961: 129-131). Dalam kitab Periplous terdapat keterangan mengenai perdagangan antara India dengan suatu daerah yang bernama Chrysè yang berarti “emas”. Nama ini mengingatkan kita pada Swarnnabhūmi dan Swarnnadwīpa yang mengacu pada Sumatera. Pulau ini dikenal sebagai penghasil emas dan hasil hutan yang banyak digemari oleh para pedagang asing seperti kapur barus dan kemenyan.

Kehadiran orang Yunani di Sumatera dicatat oleh orang Arab dalam kunjungannya ke Fansur (Barus). Karya ‘Ahbar... dan Ibn al-Fāqih dari abad ke-9 dan 10 Masehi menceriterakan tentang burung-burung beo dari Zābaj (Śrīwijaya) yang salah satu kemahirannya ialah dapat berbahasa Yunani (Kèvonian 2002: 61). Burung beo dapat berbicara apabila ia secara kontinyu mendengarkan pembicaraan manusia dalam bahasa yang dipakai sehari-hari. Apabila dikatakan banyak burung beo yang dapat berbahasa Yunani, ini mengindikasikan keberadaan orang-orang Yunani atau sekurang-kurangnya orang yang berbahasa Yunani yang tinggal menetap di Zābaj.

Keberadaan orang-orang Yunani di Sumatera “tidak sempat” mengembangkan budaya dari tanah asalnya. Boleh jadi mereka hanya tinggal untuk sementara waktu. Karena itu jejak keberadaannya sulit untuk ditelusuri kembali. Demikian juga ketika Marco Polo singgah di Samudra Pasai pada 1292.

Antara 1492-1511, sekelompok armada Portugis di bawah pimpinan Kapten de Pinto berlabuh di Kuala Daya, Lamno (pantai barat laut Aceh, Kabupaten Aceh Jaya). Di tempat ini mereka melakukan aktivitas dagang. Pada saat itu Lamno di bawah kekuasaan Raja Mereuhoem. Dari Lamno sebagian dari mereka melanjutkan pelayarannya ke Melaka. Namun, tidak semua pelaut/saudagar tersebut ikut ke Melaka. Sebagian dari mereka ada yang tinggal menetap dan beranak pinak membentuk suatu komunitas. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental. Umumnya mereka sudah membaur dengan penduduk asli dan memeluk agama Islam.

Selain di Aceh pengaruh budaya Portugis juga ditemukan di daerah Medan. Di Medan-Deli pengaruh Portugis tampak melekat pada kesenian musik dan tari. Akan tetapi pengaruh yang muncul sudah terdistorsi karena tidak langsung dari orang Portugis, tetapi datang dari Melaka yang letaknya agak berseberangan (da França 2000: 41). Boleh jadi pengaruh budaya Portugis juga ditemukan di daerah-daerah sepanjang pantai timur laut Sumatera bagian utara.

Budaya Eropa lain yang jejaknya dapat ditelusuri melalui tinggalannya adalah ketika bangsa Belanda menduduki Sumatera. Jejak budayanya dapat dilihat dari teknologi bangunan (tangible) dan agama (intangible). Dalam hal teknologi bangunan, sebelum kedatangan bangsa Eropa bangunan-bangunan rumah tinggal (termasuk istana) di Sumatera dibuat dari bahan kayu dan bambu. Atapnya dibuat dari bahan rumbia, ijuk, dan daun kelapa. Bangunan-bangunan seperti inilah yang menjadi ciri khas rumah orang Melayu. Bangunan-bangunan permanen yang dibuat dari bata hanya diperuntukan bagi bangunan-bangunan suci Hindu maupun Buddha.

Bangunan-bangunan batu yang dibangun berdasarkan pengetahuan dari Eropa adalah bangunan istana dan benteng-benteng pertahanan. Selain itu, teknologi bangunan dipakai juga pada bangunan-bangunan agama, seperti masjid dan gereja. Istana Maimoon dari Kesultanan Deli dibangun dengan arsitektur campuran antara Timur Tengah dan Eropa. Arsitektur Timur Tengah tampak pada lengkung-lengkung akulade pada jendela dan pintu, sedangkan pengaruh Eropa diserap pada teknik sipil bangunan. Demikian juga pada bangunan-bangunan istana Kesultanan Siak Sri Indrapura, bangunan-bangunan tinggalan Kesultanan Riau-Penyengat.

Pada waktu menduduki Sumatera, bangsa Eropa banyak membangun benteng pertahanan dari bahan batu, sebagai contoh misalnya benteng Belanda di Muntok (Pulau Bangka), benteng di Aceh, benteng di Pulau Cingkuk, Fort de Kock, Fort van der Cappellen (Sumatera Barat), dan benteng Inggris Fort Marlborough (Bengkulu). Beberapa benteng tersebut masih berdiri kokoh dan telah direnovasi.

Bangunan benteng yang dibangun dalam satu sistem pertahanan, mengispirasi bangsa Melayu untuk membangun benteng pertahanan yang kokoh dan berdiri pada satu sistem pertahanan. Satu-satunya benteng pertahanan di Sumatera yang dibangun oleh bangsa Melayu dengan mengadopsi teknologi perbentengan Eropa adalah Benteng Kuto Besak di Palembang (Hanafiah 1989: 25-27). Benteng ini tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari sistem pertahanan sungai hingga ke Selat Bangka (Mead Earle 1962: 41-43). Dengan demikian, musuh tidak dapat dengan mudah menduduki Palembang karena harus berhadapan dengan benteng-benteng lain di sepanjang Musi.

Salah satu budaya tangible yang berhasil dikembangkan oleh bangsa Eropa di Sumatera adalah agama Kristen. Keberadaan agama ini di Sumatera diduga jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa, yaitu ketika para saudagar Persia berdagang di Barus (pantai barat daya Sumatera bagian utara). Agama Kristen yang ada di tempat ini diduga dari mazhab Nestorian, Kristen yang berkembang di Persia pada sekitar abad ke-7-8 Masehi. Namun bukti keberadaan mazhab ini di Barus sulit dibuktikan. Penyebaran Kristen secara “resmi” baru dilakukan ketika Belanda sudah “mapan” di Sumatera.

Masuknya Kristen di Tapanuli bermula dari penelitian Frans Junghuhn (peneliti bangsa Jerman) di tanah Batak pada tahun 1842. Laporan hasil penelitiannya kemudian diterbitkan di Eropa dan dibaca oleh orang-orang dari Lembaga Alkitab di Belanda. Setelah itu, diutuslah van der Tuuk --seorang ahli bahasa--untuk melakukan penelitian bahasa Batak dan tinggal di Barus pada 1851-1857. Setelah lama tinggal di Batak dan menetap di tepi danau Toba, ia menganjurkan pada pemerintahnya untuk mengirimkan penginjil-penginjil ke Tapanuli sebelum seluruh daerah itu diislamkan. Sejak itu banyak penginjil yang datang ke Tapanuli dan menetap di Sipirok dan Angkola.

Pekabar Injil terkenal dan mengakar di masyarakat Tapanuli adalah Ludwig Ingwer Nommensen (1834-1918), seorang penginjil bangsa Jerman. Pada tahun 1862 ia tiba di Padang, dan pada 23 Juni 1862 ia tiba di Barus. Namun, karena Barus dipandang sebagai daerah pinggiran Batak, ia minta izin pada Residen Tapanuli untuk tinggal di pedalaman Batak, dan akhirnya tinggal di Silindung (van den End 1989: 173-175). Keberhasilannya di Silindung ia mendirikan Sekolah Guru Zending, dan pada 27 Agustus 1865 ia membaptis Raja Pontas Lumbantobing (kepala suku di Silindung/Tarutung). Sampai akhir hayatnya ia berhasil mengkristenkan lebih dari 180.000 orang. Hingga kini umat Kristen Lutherian di Tapanuli tergabung dalam organisasi Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di bawah pimpinan seorang ephorus.

Demikianlah gambaran budaya Sumatera sebagai tempat bertemunya orang-orang dari berbagai bangsa dan budaya yang berbeda. Ada yang tetap bertahan dengan budayanya, dan ada pula yang sudah membaur menjadi suatu bentuk budaya yang berbeda dari budaya aslinya. Pendatang dari India ada yang tetap mempertahankan budayanya, misalnya dalam hal upacara keagamaannya. Demikian juga orang-orang Tionghoa dengan ketaatannya dalam menjalankan ajaran Kong Hu Chu dan Tao dengan wihara-wiharanya di daerah pecinan.

Bambang Budi Utomo
Mulyawan Karim


Kepustakaan

Bambang Budi Utomo (ed), 2007, Pandanglah Laut Sebagai Pemersatu Nusantara. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Colani, M., 1927, “L’ Age de la pierre dans la Province de Hoabinh, Tonkin”, dalam Memoirs Service Geologie d’Indo-Chine 14. Hanoi.

Collins, James T., 2005, Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta

Daldjoeni, N., 1992, Geografi Kesejarahan (Jilid II, Indonesia), Bandung: Penerbit Alumni.

de França, Antonio Pinto, 2000, Pengaruh Portugis di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Geertz, Hildred, 1981, Aneka Budaya dan Komunitas Indonesia, terjemahan Indonesian Cultures and Communities (1963), Seri Bacaan Wajib No. 42 FIS UI, Jakarta: Pulsar/Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.

Groeneveldt, W.P., 1960, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Djakarta: Bhratara.

Hanafiah, Djohan, 1989, Kuto Besak: Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan. Jakarta: CV Haji Masagung.

Hasibuan, Waty, 1975, “Batak Toba”, dalam Berita Antropologi No 19, Tahun VII, Jakarta: Yayasan Perpustakaan Nasional.

Kèram Kèvonian, 2002, “Suatu catatan perjalanan di Laut Cina dalam Bahasa Armenia”, dalam Lobu Tua: Sejarah Awal Barus (Claude Guillot, ed.), hlm. 61. Jakarta: EFEO.

Koentjaraningrat, 1971, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat, 1969, Atlas Etnografi Sedunia, Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.

Koentjaraningrat (penyunting), 1993, Masyarakat Terasing di Indonesia, Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional untuk Kesejahteraan Sosial/Gramedia.

Marsden, William, 2008, Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu.

McGlynn, John H., 2002, “Bahasa dan Sastra” dalam Indonesian Herritage vol. 10. Jakarta: Buku Antar Bangsa.

McKinnon, E. Edwards, 1994, “Arca-arca Tamil di Kota Cina”, dalam Kalpataru 10. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Mead Earle, Edward, 1962, Penjusun-penjusun Strategi Perang Modern. Djakarta: Bhratara.

Melalatoa, Junus, 1995, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (2 jilid). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI

Mills, J.V.G., 1970, Ma Huan. Ying-yai Sheng-lan. ‘The Overall Survey of the Ocean’s Shore’ (1433). [translated from the Chinese text edited by Feng Ch’eng-Chün with introduction, notes and appendices by JVG Mills]. Cambridge: University Press for the Hakluyt Society.

Nooteboom, C., 1971, Sumatera dan Pelayaran di Samudera Hindia, Seri Terjemahan Karangan-karangan Belanda LIPI-KITLV, Jakarta: Penerbit Bhratara.

Puspa Vasanty, 2004, “Kebudayaan orang Tionghoa di Indonesia”, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (ed. Koentjaraningrat), hlm. 353-373. Jakarta: Djambatan.

Reid, Anthony, 1992, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 (Jilid I: Tanah di Bawah Angin), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

van den End, Dr. Th., 1989, Ragi Carita Jilid 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Stein Callenfels, P. V van, 1927, “Rapport over een dienstreis door een deel van Sumatera”, dalam Oudheidkundig Verslag, Bij. K, hlm. 127-133.

Sutan Aswar, Sativa, 1999, “Pengaruh Budaya Tionghoa dalam Sulaman Minangkabau”, dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard (ed. Henry Chambert Loir & Hasan Muarif Ambary), hlm. 425-435. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sutton, R. Anderson, 2008, Music of Indonesia, New York: The Festival of Indonesia Foundation.

Tjandrasasmita, Uka, 1976, “Masuknya Islam ke Indonesia dan Pertumbuhan Kota-kota Pesisir Bercorak Islam”, dalam Bulletin Yaperna No. 11 Tahun III, Jakarta: Yasasan Perpustakaan Nasional.

Vollenhoven, C. van, 1987, Penemuan Hukum Adat, terjemhan De Ontdekking van het Adatrecht (1928, Leiden: E.J. Brill), Jakarta: Djambatan.

Wheatley, Paul, 1961, The Golden Chersonese. Kuala Lumpur: University of Malaya Press, hlm. 129-131.

Whitten, Anthony J., Sengli J Damanik, Jazanul Anwar, dan Nazaruddin Hisyam, 1987, The Ecology of Sumatra, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Winick, Charles, 1970, Dictionary of Anthropology, New Jersey: Littlefield, Adams & Co.

(Sumber: Treasures of Sumatra, Museum Nasional, 8 Juni-8 September 2009)


Read More......

Sabtu, 07 Maret 2009

"Melacca Strait Dream" Merasuki Singapura


Oleh: Bambang Budi Utomo

"Barangsiapa yang dapat menguasai Selat Melaka, dialah yang memegang kendali perdagangan Venesia".

KUTIPAN di atas adalah penggalan kalimat yang bersumber dari catatan para "pengelana" Portugis tahun 1536 mengenai pentingnya Selat Melaka bagi perdagangan internasional. Pernyataan inilah yang di masa lampau menjadi impian berbagai bangsa untuk dapat menguasai selat yang penting ini.

BERMULA dari kecemasan Singapura atas keamanan Selat Melaka dari bahaya perompak laut dan infiltrasi teroris, isu menyangkut peran penting kawasan ini kembali mencuat. Kecemasan ini dapat dipahami karena telah banyak kejadian kapal yang melayari selat ini mendapat gangguan dari perompak, para lanun, dan bahkan yang terakhir sebuah kapal dan anak buah kapal (ABK)-nya disandera kelompok Gerakan Aceh Merdeka. Karena itulah negara kecil ini berniat mengundang Amerika Serikat untuk ikut serta menjaga keamanan selat.


Selat Melaka dan bandar

Membentang dari barat laut ke tenggara sepanjang 778 kilometer dan lebar 2-100 km, Selat Melaka adalah jalan utama yang menghubungkan antara Timur dan Barat. Sekitar 400 pelabuhan dan 700 kapal dari seluruh penjuru dunia pada saat ini bergantung pada selat ini, yang menjadi jalan utama sejak masa awal peradaban manusia di Nusantara.

Ramainya pelayaran dan perdagangan melalui selat ini melahirkan tempat-tempat persinggahan yang kemudian menjadi pelabuhan. Di daratan Semenanjung Tanah Melayu timbul Pelabuhan Langkasuka, Kedah (Lembah Bujang), dan Melaka, sedangkan di Sumatera lahir Pelabuhan Lamuri (Aceh), Pasai, Pidie, dan Kota Cina (Medan). Semua pelabuhan ini pernah berjaya pada sekitar abad ke-13 sampai abad ke-15 Masehi. Pasai kemudian menjadi pusat kerajaan, kemudian disusul Aceh setelah kejatuhan Melaka ke tangan Portugis.

Sejak awal tarikh Masehi, di kawasan sekitar Selat Melaka, baik yang ada di pantai timur Sumatera maupun yang ada di pantai barat Semenanjung Tanah Melayu, telah hadir pedagang-pedagang dari berbagai penjuru dunia. Di antara pedagang itu, yang kuat peranannya adalah pedagang Tamil. Prasasti-prasasti Tamil-baik yang ditemukan di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu maupun di Tañjore (India)-menginformasikan bahwa pada sekitar abad ke-11 Masehi telah ada organisasi pedagang Tamil, misalnya Ainnuarruvar atau disebut sebagai "Yang kelima ratus dari seribu arah". Kumpulan para pedagang ini, melalui perserikatannya, menarik bermacam pajak dari anggotanya untuk diberikan sebagai upeti kepada Raja Cola. Sebagai imbalannya, Raja Cola memberikan perlindungan kepada mereka dalam menjalankan aktivitas dagangnya di seluruh penjuru dunia.

Sebagai penguasa selat, Sriwijaya merasa berhak untuk menarik pajak dari para pedagang yang melalui Selat Melaka, tidak terkecuali para pedagang Tamil. Mungkin karena pajak yang ditarik terlampau tinggi, maka para pedagang ini yang merasa telah memberikan upeti kepada Cola melaporkannya kepada Raja Cola sebagai pelindungnya. Kesewenangan penguasa Sriwijaya menimbulkan kemarahan Raja Cola sehingga ia mengirimkan tentaranya untuk menyerbu Sriwijaya. Serangan terhadap Sriwijaya dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1017 dan tahun 1025. Akibat serangan ini Sriwijaya menjadi lemah dan berbagai penguasa selat datang silih berganti.

Sriwijaya telah lama runtuh, namun pelayaran dan perdagangan yang berlalu-lalang di Selat Melaka semakin ramai. Kemudian siapa yang "berhak" atas kuasa Selat Melaka pada sekitar abad ke-15?

Pada sekitar abad ke-15, perdagangan di Asia Tenggara dikuasai oleh para pedagang Muslim. Sementara itu, para pedagang Eropa mulai menyebar ke seantero jagat untuk mencari tanah baru dan hasil bumi/tambang yang laku dijual di Eropa. Pada masa itu pusat perdagangan di Eropa yang penting adalah Venesia. Pedagang-pedagang dari Eropa ini juga melalui Selat Melaka.

Pada awal abad ke-15, di suatu tempat di pantai barat Semenanjung Tanah Melayu, timbul sebuah permukiman nelayan yang kemudian berkembang menjadi sebuah bandar penting. Permukiman baru ini di kemudian hari dikenal dengan nama Melaka. Konon, menurut Sejarah Melayu, bandar ini dibangun oleh Parameswara, seorang bangsawan wong Palembang yang datang dari Bukit Siguntang.

Parameswara yang setelah memeluk Islam (1414) bernama Mergat Iskandar Syah dan penggantinya mengeluarkan kebijakan untuk membangun Melaka. Kebijakan itu antara lain: (1) memberikan upeti kepada Siam yang pada waktu itu kedudukannya cukup kuat agar tidak menyerang Melaka dan mengimpor bahan makanan dari Siam; (2) menjalin persahabatan dengan Kaisar Yung Lo (1403-1423) yang berkuasa di China, dan China mempunyai armada laut yang kuat; (3) membuat perjanjian dengan kerajaan-kerajaan penghasil timah di sekitar Melaka agar dapat menjual timahnya melalui Melaka; (4) memberantas para lanun yang biasa beroperasi di perairan Selat Melaka agar para pelaut/pedagang merasa aman; dan (5) menciptakan Undang- Undang Melaka di mana di dalamnya juga tercantum ketentuan-ketentuan kelautan, termasuk tugas dan peranan nakhoda, tugas ABK, dan petunjuk keselamatan dalam kapal.

Melaka dapat maju karena volume perdagangan dan lalu lintas kapal di Selat Melaka memang padat. Dengan demikian, siapa yang dapat menaklukkan Melaka dia akan dapat menguasai perdagangan internasional. Ketika Portugis menguasai Melaka (1511), negara ini banyak mendapat serangan dari kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, misalnya serangan dari Aceh dan Demak yang dipimpin oleh Pati Unus. Demikian juga kedatangan Belanda yang juga bermaksud menguasai Melaka.

Di samping Melaka, ada juga kerajaan-kerajaan kecil lain di Tanah Semenanjung yang juga ikut mengamankan Selat Melaka. Akan tetapi, kekuatan mereka tidak seberapa besar sehingga kegiatan perompakan di laut masih terjadi. Kejadian ini terus berlanjut sampai datangnya Inggris di Pulau Singapura dan Pulau Pinang. Meskipun Inggris tidak menguasai Melaka, namun ia menguasai dua pulau di "mulut" selat, yaitu Singapura dan Pinang. Kapal- kapal yang hendak melalui Selat Melaka dipaksa untuk singgah di Singapura dan Pinang. Akibat tindakan Inggris ini, lama kelamaan Melaka menjadi sepi dan bangkrut. Peranannya diambil alih oleh Kerajaan Aceh di ujung baratlaut Sumatera.

Inggris-dan juga Spanyol- pada masa itu mempunyai kekuatan laut yang besar. Logikanya, mereka tentu saja dapat mengamankan Selat Melaka dengan kekuatan lautnya. Namun yang terjadi tidak demikian. Gangguan perompak lanun masih saja terjadi dan ini terus berlangsung hingga sekarang. Kalau Inggris kuat, tentunya sejak dikuasai Inggris Selat Melaka sudah aman.


Dalam konteks kekinian

Dimulai dari kejatuhan Afganistan yang diembuskan sebagai sarang teroris, kemudian kejatuhan rezim Saddam Hussein di Irak. Meskipun kedua negara tersebut telah jatuh ke Amerika Serikat dan sekutunya, namun biang keladi terorisme yang dikenal dengan nama Osama bin Laden dengan Al Qaeda-nya hingga sekarang belum tertangkap. Beberapa kemungkinan di negara mana "buronan" ini berlindung dikemukakan. Mungkin salah satu tempat yang layak untuk timbulnya terorisme adalah di negara kawasan sekitar Selat Melaka. Alasannya, di negara sekitar selat tersebut hukum dan penegakannya masih lemah.

Akibat dari pemikiran itu, Singapura merasa terancam karena Singapura adalah negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Indonesia dan Malaysia hingga saat ini tidak ada hubungan diplomatik dengan Israel. Seperti telah diketahui bahwa yang menjadi sasaran teroris adalah Israel dan negara-negara yang berhubungan dengan Israel. Dalam menyikapi ancaman ini, strategi yang mungkin akan dilakukan Singapura adalah mengundang kekuatan asing. Kalau perlu di Singapura dibangun pangkalan militer.

Masalah keamanan Selat Melaka sangat merisaukan Singapura karena mulai dari Pulau Pisang di tenggara hingga ke barat laut sudah berada di daerah perairan Malaysia dan Indonesia bukan di perairan Singapura. Singapura merasa risau karena mereka menganggap para teroris yang hendak mengacaunya dapat saja melalui Selat Melaka. Akibat dari ketidakamanan Selat Melaka, dengan sendirinya kapal yang singgah di Singapura menjadi berkurang. Tentu saja akan berdampak pada perekonomian. Sementara itu Singapura tidak dapat bertindak apa-apa karena bukan di wilayah perairannya.

Kerisauan Singapura tidak mempunyai alasan yang kuat, bahkan lebih cenderung melecehkan kekuatan laut Malaysia dan Indonesia. Kalau mau risau, mengapa Singapura tidak memikirkan keamanan perairan yang ada di sebelah timurnya, yaitu perairan Laut China Selatan. Dalam hal ini Singapura merasa perairan Selat Melaka sebagian berada di wilayahnya dan sekaligus merasa kekuatan lautnya cukup memadai untuk mengawasi perairan itu. Kalau memang ada teroris yang hendak mengacau dan mengundang kekuatan asing untuk mengamankannya, dapat saja tindakan ini malah mengundang para teroris tersebut untuk mencoba mengacau.

Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa pemecahan masalah keamanan di perairan selat harus dilakukan oleh kerajaan-kerajaan di sekitar selat itu. Tidak bisa kekuatan dari luar yang mengatasinya. Ini berarti, apabila Singapura mengundang kekuatan asing untuk mengamankan selat, maka ia sekaligus mengundang masalah yang akan jauh lebih besar daripada masalah keamanan selat itu sendiri. Pemecahan masalah ala Singapura ini mungkin dapat disamakan dengan kehadiran Kerajaan Cola di Selat Melaka, di mana pihak pengundangnya adalah para pedagang Tamil yang bergabung dalam Ainnuarruvar alias "Yang kelima ratus dari seribu arah".

Dalam upaya pengamanan Selat Melaka, marilah kita melihat ke masa lampau bagaimana para penguasa mengelola selat itu, dan kita lihat alam budaya Melayu. Ada baiknya kita mengambil dan memanfaatkan Festival Budaya Melayu yang tahun lalu mengambil tema "Revitalisasi Budaya Melayu". Revitalisasi Budaya Melayu hendak menghidupkan kembali sesuatu yang pernah ada, tetapi sudah lama dilupakan masyarakat. Upaya merevitalisasi budaya Melayu tidak lain memberi pemaknaan kembali atau mereposisi kebudayaan Melayu dalam konteks kekinian. Di sini saya melihat dalam konteksnya dengan pengamanan Selat Melaka di mana termasuk dalam lingkung budaya Melayu, berarti bahwa untuk menanggulangi keamanan selat seyogianya dilakukan dengan pendekatan ala Melayu dan dilakukan juga oleh orang- orang Melayu.

Memang suku Melayu yang sebagian besar mendiami Riau Kepulauan seolah-olah tercerai-berai oleh laut dan selat. Otto Sumarwoto dalam tulisannya di Kompas menggarisbawahi bahwa laut bukan sebagai pemisah, tetapi pandanglah sebagai pemersatu. Meskipun suku Melayu menempati pulau, tetapi mereka masih saudara serumpun, apalagi bangsa Melayu dikatakan sebagai bangsa pelaut.

Festival Melayu yang setiap tahunnya diadakan di Riau mungkin dapat dijadikan ajang mengikat tali persaudaraan di antara bangsa serumpun. Melalui diskusi yang intensif yang membahas berbagai persoalan di antara sesama bangsa serumpun, diharapkan dapat dipecahkan masalah keamanan Selat Melaka.

Diskusi tidak hanya berakhir sampai akhir seminar, tetapi hendaknya sampai diimplementasikan dalam bentuk aksi/tindakan yang positif. Perbaikan moral dan penegakan hukum perlu diutamakan. Kehadiran para birokrat di festival tersebut hendaknya dapat dijadikan jembatan untuk menelurkan suatu kebijakan yang bermanfaat dan operasional.

Bambang Budi Utomo
Kerani Rendahan pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

(Sumber: Kompas, Selasa, 31 Mei 2005)
Read More......

Dictionary

Kontak Saya

NAMA:
EMAIL:
SUBJEK:
PESAN:
TULIS KODE INI: