Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net
Tampilkan postingan dengan label Klasik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Klasik. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 23 Juni 2012

Ujung Pagar Candi Liyangan Belum Ditemukan


KOMPAS, Senin, 18 Juni 2012 - Tim Balai Arkeologi Yogyakarta menemukan pagar candi sepanjang 70 meter di lokasi Situs Liyangan di Desa Purbosari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Namun, ujung pagar candi belum ditemukan. Sugeng Riyanto, Ketua Tim Penelitian Situs Liyangan dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Minggu (17/6), mengatakan, melihat panjang pagar, di kompleks candi ada lebih dari satu candi. Temuan ini diperoleh dari ekskavasi Situs Liyangan tahap II, mulai Senin (11/6). Ekskavasi tahap I menemukan struktur rumah panggung kayu, bulir padi, peralatan rumah tangga, beragam arca, dan batu candi. Itu menunjukkan, di Situs Liyangan dulu ada tiga aktivitas, yaitu pertanian, pemujaan, dan hunian. (EGI)
Read More......

Jumat, 18 Februari 2011

Situs Biting Terancam Proyek Perumahan

KOMPAS - Jumat, 11 Feb 2011 - Situs Biting, yang diduga peninggalan masa Hindu Buddha dan Mataram Islam, terancam oleh pembangunan perumahan. Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit mendesak pengembang Perum Perumnas menghentikan ekspansi pembangunan di kawasan situs di Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Lumajang, Jawa Timur.

"Karena perumahan akan merusak situs, kami minta agar dihentikan," kata Ketua Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit (MPPM) Mansur Hidayat, Selasa. Situs Biting berada di kawasan seluas 135 hektar yang semula merupakan lahan milik penduduk. Sekitar 12,5 hektar dikuasai Perum Perumnas dan telah dibangun 459 unit rumah di atas lahan 10 hektar.

Arkeolog dan sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, menduga, Situs Biting berasal dari dua masa pemerintahan: masa Hindu-Buddha hingga Mataram Islam. Sesuai bahasa lokal, biting berarti benteng. Di areal seluas 2-4 hektar terlihat struktur bata membentuk benteng.

Ada beberapa kemungkinan sejarah terkait Situs Biting. Di antaranya, peninggalan Arya Wiraraja, tokoh pengatur strategi yang diberi kekuasaan Raden Wijaya-Raja Majapahit-di wilayah Jawa bagian timur, yaitu Lamajang (sekarang Lumajang) pada masa awal pemerintahan Majapahit atau era pemerintahan Hindu Buddha (abad ke-14).

"Dilihat dari bangunan dan kisah sejarah masa lalunya diduga Situs Biting itu wilayah kedaton atau kerajaan dari Arya Wiraraja. Apalagi dikelilingi benteng yang menjaga istana itu," ujar Dwi.

Manajer Lokasi Perum Perumnas Bumi Biting Indah Ribut Santoso membantah jika pihaknya merusak lokasi Situs Biting. "Kami mendapat izin lokasi dan izin prinsip pembangunan proyek perumahan dari pemerintah kabupaten secara resmi tahun 1996," katanya.

Saat pembebasan lahan, tidak ada pemberitahuan dari pemerintah kabupaten bahwa ada peninggalan sejarah. Pemkab hanya mengingatkan, apabila menemukan sesuatu supaya dipelihara atau diselamatkan.

Menyikapi permintaan warga peduli peninggalan sejarah, Pemkab Lumajang akan membentuk tim pemetaan. "Kami belum melangkah jauh," tutur Kepala Kantor Pariwisata Seni dan Budaya Lumajang Hendro Iswahyudi. (SIR/DIA)

Read More......

Rabu, 20 Oktober 2010

Benda Bersejarah di Situs Punjulharjo


KOMPAS Jawa Tengah, Kamis, 14 Okt 2010
- Benda-benda bersejarah kembali ditemukan di situs perahu kuno Desa Punjulharjo, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang. Benda-benda itu antara lain uang kepeng atau uang logam yang tengahnya berlubang, pecahan keramik pada masa sebelum Dinasti Ming, tujuh sumur yang terbuat dari gerabah, lumpang batu, dan tulang manusia. Temuan tersebut dipublikasikan Koordinator Peneliti Situs Punjulharjo Balai Arkeologi Yogyakarta, Novida Abas, di Rembang, Rabu (13/10). "Kami menemukan benda-benda itu di sekitar perahu kuno," kata dia. Sementara itu, Kepala Desa Punjulharjo Nur Salim mengatakan, pada akhir Oktober dan November, penelitian itu akan dilanjutkan oleh Direktorat Jenderal Peninggalan Bawah Air, Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, dan ahli kapal dari Jepang Prof Matsui. (HEN)
Read More......

Minggu, 24 Mei 2009

Arkeologi Medan


Oleh: Lucas Partanda Koestoro



Dalam sejarah Indonesia, abad ke-5 umumnya dianggap sebagai berakhirnya masa prasejarah. Itu dihubungkan dengan penemuan bukti arkeologis berupa prasasti¹ di Pulau Kalimantan yang secara paleografis diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-5. Adapun berkenaan dengan prasejarah moda transportasi air nusantara, bukti arkeologis dari Pulau Sumatera memperlihatkan hal berikut.

Pengertian prasasti merujuk pada sumber sejarah yang ditulis di atas batu atau logam dan kebanyakan dibuat atas perintah penguasa suatu daerah. Umumnya prasasti dikeluarkan untuk memperingati penobatan suatu daerah sebagai sima, daerah bebas pajak, sebagai anugerah raja kepada pejabat tertentu yang telah berjasa atau anugerah raja untuk pemeliharaan bangunan suci tertentu. Sejumlah kecil prasasti merupakan salinan keputusan pengadilan, yang biasa dinamai jayapattra.

Adapun prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang pada tahun 1920 (Coedes,1930; Boechari,1986), membuka pertulisannya dengan: “….. Pada tahun Saka 605, hari kesebelas paruh terang bulan Waisakha, Sri Baginda naik perahu (nayik di samwau ) untuk mencari kesaktian. Hari ketujuh paruh terang bulan Yjestha, raja membebaskan diri dari …..” dan seterusnya. Dalam kaitannya dengan topik pembicaraan kali ini, maka prasasti Kedukan Bukit merupakan sumber informasi menyangkut sebuah tanggal yang sesuai untuk mengawali tinjauan kita mengenai moda transportasi air nusantara.

Esensinya tidak tergantung dari peristiwa yang dicatat, bahwa pada suatu ketika sang raja memimpin bala tentara yang terdiri dari sekian ribu orang untuk membangun Sriwijaya. Pentingnya tanggal, bulan, dan tahun dalam catatan itu karena merupakan tanggal yang paling tua mengenai penyebutan perahu dalam bahasa Melayu Kuna, sehingga menjadi tonggak yang mengawali sejarah perahu nusantara.

Oleh karena prasasti tersebut menyatakan tentang tahun 683 (yakni tahun Saka 605), maka sejauh ada kaitannya dengan penyebutan perahu dalam berbagai sumber tertulis, zaman sebelum tahun 683 merupakan prasejarah dari moda transportasi air nusantara. Berkenaan dengan kurun waktu prasejarah itu banyak pertanyaan penting mengenai keberadaan perahu yang tidak dapat dijawab dengan pasti.

Pertanyaan-pertanyaan dimaksud antara lain tentang proses pembudayaannya, luas kawasan yang memanfaatkan perahu, atau pertanyaan lain yang menuntut jawab tentang kekhususan pemakaian perahu tadi bagi kalangan tertentu dan maksud-maksud khusus. Ini berhubungan pula dengan pertanyaan lain yang mempersilakan pengajuan jawaban dengan mengemukakan logika, perbandingan, dan pendugaan, yang semuanya bersifat hipotetis.

Walaupun disadari bahwa prasasti merupakan sumber tertulis yang amat terpercaya, kita tetap perlu memaklumi ketidaksanggupannya menyampaikan informasi utuh mengenai perahu mengingat isi pertulisannya terbatas pada hal-hal bersifat resmi. Oleh karena itu membicarakan perahu nusantara yang berasal dari masa sebelum tahun 683, selain melalui sisa bangkainya, seyogyanya mengandalkan sumber-sumber lain nusantara maupun sumber-sumber lain yang berasal dari luar.

Harus juga diketahui bahwa tidak semua sumber-sumber luar/asing yang ada sangkutpautnya dengan nusantara, hanya sumber-sumber tertentu - antara lain dari Cina - ada gunanya. Contoh yang cukup baik ialah sumber yang menceritakan ketika I-Tsing pada tahun 672, setelah tinggal cukup lama di Palembang, meneruskan perjalanan ke India menaiki perahu seorang raja Sumatera. Hal ini jelas menunjukkan adanya pelayaran yang dilakukan oleh orang Sumatera di Samudera Hindia pada abad-abad itu.

Indikasi tersebut juga dipertegas oleh penafsiran dari Pierre Paris (Nooteboom,1972) berdasarkan sumber luar nusantara lainnya, yang menyatakan bahwa pada abad ke-3 SM maupun pada abad pertama Masehi telah ada aktivitas pelayaran menggunakan perahu-perahu (bercadik) dari Sumatera ke India. Selain itu Groeneveld (1960) juga mencatat adanya berita Cina yang menceritakan hubungan dengan Jawa sejak abad ke-5, dan dengan Sumatera pada awal abad ke-6 yakni pada masa pemerintahan dinasti Liang (502–556).


Pembudayaan Moda Transportasi Air Nusantara

Diskusi menyangkut prasejarah sarana transportasi air mengingatkan kita untuk menjenguk rekonstruksi hipotetis yang dikemukakan oleh FL Dunn (1975). Disebutkannya bahwa sekitar 20.000 SM, pada saat Semenanjung Malaya bersatu dengan Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Indocina, hunter-fisher-gatherers sebagai mata pencaharian penduduknya didukung budaya alat batu yang pre-Hoabinhian. Belum adanya effective sea-faring menyebabkan belum dikenalnya maritime trade antara Paparan Sunda dan tempat lain. Transaksi pertukaran ketika itu masih sangat terbatas, dengan dasar dari bentuk pertukaran masih berupa simple gift giving (pertukaran sederhana), atau barter antara masyarakat pengumpul (collector) dan pedagang hulu (primary traders).

Kita dapat mensejajarkan gambaran tersebut dengan hasil penelitian FL Dunn dan DF Dunn (1984) yang mengemukakan bahwa ketika itu teknologi pelayaran masih sangat terbatas sehingga baru rakit saja yang dikenal. Mengingat keterbatasan perkembangan pengetahuan navigasinya², eksploitasi sumber makanan di tepian pantai dilakukan secara sederhana dengan mengutamakan pencarian kerang.

Berkenaan dengan pembudayaan rakit sebagai moda transportasi air, kemunculannya bermula melalui batang kayu-batang kayu atau bambu yang diikat menjadi satu secara horizontal. Selanjutnya dilakukan penambahan jumlah lapisan horizontal batang kayu atau bambunya yang menyebabkan daya apung dan daya muatnya bertambah besar.

Kemudian ketika Semenanjung Malaya telah terpisah dari daerah sekitarnya di Asia Tenggara, sekitar 10.000 SM atau akhir Pleistosen, penghidupan masyarakatnya mungkin berbasiskan pada perburuan, penangkapan ikan, dan meramu dengan tambahan, tetapi tidak begitu intensif, bertanam umbi-umbian dan tanaman lain (Dunn,1975). Perahu dan rakit dimanfaatkan dalam penjelajahan rawa dan hutan bakau untuk memperoleh bahan makanan. Adanya peningkatan pengetahuan navigasi memungkinkan dilakukannya pelayaran, walaupun amat terbatas, di laut terbuka. Keadaan yang demikian itu juga ikut menentukan laju penjelajahan wilayah baru untuk dieskploitasi (Dunn & Dunn,1984).

Hipotesa mengenai perdagangan menyatakan bahwa maritime trade hampir tidak ada, kecuali mungkin hanya sebagai sebuah konsekuensi dari beberapa perjalanan perahu di sepanjang pantai secara kecil-kecilan. Internal trading masih tetap yang utama namun frekuensi dari coastal inland trading telah bertambah/meningkat (Dunn,1975).

Membandingkannya dengan kondisi di tempat lain, di Eropa, mesolitik – masa peralihan dalam zaman batu, antara paleolitik (zaman batu tua) dan neolitik (zaman batu baru) - berlangsung antara 10.000 tahun sampai 5.000 tahun sebelum masehi. Bukti adanya penggunaan moda transportasi air saat itu diperlihatkan melalui penemuan sebuah perahu lesung (dug-out canoe) dengan haluan yang masih papak. Selain itu, melalui sisa kerang yang banyak diperoleh dalam berbagai kegiatan arkeologis di sepanjang pantai Samudera Atlantik dan Laut Utara, dapat diketahui bahwa masyarakat pendukung budaya mesolitik itu mengkonsumsi kerang dalam jumlah yang cukup besar (Lambert,1987). Adapun perahu lesung tertua yang ditemukan di Pesse, Belanda, berdasarkan analisis pertanggalan radiokarbon diketahui berasal dari sekitar 6315 SM (Johnstone,1980).

Selanjutnya, di sekitar 5.000–4.000 SM, internal trading terus berlanjut seperti saat sebelumnya tetapi perdagangan pantai-pedalaman berkembang sampai pada bentuk perdagangan eksternal. Kemungkinan maritime trade juga telah dimulai pada masa itu sebagai konsekuensi dari ekspansi yang demikian cepat dalam pelayaran laut di kawasan kepulauan Asia Tenggara (Dunn,1975). Diperkirakan teknologi pembangunan perahu telah berkembang sedemikian rupa sehingga memungkinkan dilakukannya pelayaran laut terbuka dengan lebih baik. Penggunaan cadik³ telah dikenal seperti halnya pemanfaatan layar sederhana yang memungkinkan penangkapan ikan maupun bahan makanan lain di perairan yang cukup jauh dari garis pantai (Dunn & Dunn,1984).

Dalam pembudayaan perahu, kita dapat mengatakan bahwa melalui perjalanan waktu yang cukup panjang, perkembangan perahu lesung telah menghasilkan perahu papan (planked boat). Evolusinya dimulai dari proses penambahan papan pada kedua dinding/sisi perahu lesung untuk meningkatkan kemampuan apung serta daya muat yang lebih besar. Kebutuhan akan alat transportasi air yang lebih besar untuk memuat beban lebih banyak menyebabkan dibangunnya perahu yang lebih besar.

Erat kaitannya dengan hipotesa yang dikemukakan di atas, keberadaan cadik pada perahu nusantara juga telah memunculkan pembicaraan atasnya. Pendapat mengenai asal-usul cadik pada perahu nusantara telah dikemukakan oleh Heine-Geldern (1932). Pengembangannya oleh Hornell (1946) juga sampai pada kesimpulan bahwa hal itu memang terjadi di pantai-pantai Asia Tenggara. Berdasarkan hal itu Nooteboom (1972) berpendapat bahwa lebih tepat bila dikatakan kemunculan cadik-cadik itu terjadi di perairan muka pantai Asia Tenggara serta pulau-pulau sekelilingnya yang terletak di bagian barat Indonesia.

Bahwa masyarakat pendukungnya kemudian berpencar dengan perahu-perahu bercadik berlayar lebih jauh lagi ke jurusan timur, menyebabkan hampir seluruh kepulauan Indonesia mengenal cadik ganda, pengapung yang dipasang di kedua sisi perahu. Ujudnya seperti yang sekarang disebut jukung di Bali, atau londe di Sulawesi Utara. Namun ketika pelaut-pelaut tadi sampai di perairan yang lebih besar, yakni Samudera Pasifik, kelengkapan itu dianggap membahayakan. Hornell mengemukakan bahwa ketika itulah diputuskan untuk hanya menggunakan cadik tunggal. Itu sebabnya di Oceania lebih dikenal keberadaan perahu-perahu bercadik tunggal.

Keberadaan perahu sebagai sarana transportasi air di nusantara tentu dapat dikaitkan dengan migrasi penduduk dan penyebaran bahasa4. Dalam beberapa hipotesa yang pernah dikemukakan untuk menerangkan migrasi penduduk berbahasa Austronesia di kepulauan Asia Tenggara, Pasifik, bahkan Madagaskar, sebagian yang dikerjakan dalam navigasi amat esensial. Dalam teori yang disimpulkan oleh Glover (1979), ekspansi kebudayaan kapak persegi yang menandai awal masa neolitik berlangsung dari utara Asia Tenggara di sekitar Semenanjung Malaya dan pulau-pulau sekitarnya. Ketika itu berkembang pula rice culture, pendomestikan babi dan kerbau, perahu bercadik, bahasa Austronesia, dan pakaian kulit kayu.

Setelah itu, Bellwood (1985) melalui penggunaan data baru yang dilengkapi dengan linguistik prehistorik dan dating sisa arkeologis memberikan interpretasi lain tentang awal kebudayaan Austronesia. Taiwan di sekitar 4.000 SM, atau sebelumnya, sudah dihuni manusia Austronesia. Sebagian daripadanya bermigrasi ke Luzon melalui jalan laut untuk kemudian menyebar ke seluruh Philipina pada sekitar 3.000 SM. Dari sana, sebagian berangkat ke Maluku, dan yang lainnya ke Sulawesi dan sekitar bagian barat Indonesia serta Semenanjung Malaya melalui Palawan. Seluruh migrasi yang berakhir pada kurun waktu antara 2.000 — 500 SM itu dilakukan dengan menggunakan perahu.

Masuk dalam pembicaraan tentang sarana transportasi air untuk masa yang teramat tua dari sejarah navigasi di Asia Tenggara ini, memang belum didukung oleh bukti arkeologis yang langsung, dalam bentuk situs bangkai perahu yang utuh. Di Kampung Sungai Lang, Banting, Selangor, sepasang nekara telah dijumpai tertanam di atas sekeping papan perahu, dan dating atas papan itu telah memberi usia sekitar abad V SM (Peacock,1965). Adapun situs yang lebih kuna yang menghasilkan elemen pembentukan perahu prehistorik dijumpai di Semenanjung Malaya di tepi Sungai Langat di dekat Kampung Jenderam Hilir, di Selangor, Malaysia. Ini berkenaan dengan keberadaan sebuah dayung, bersama-sama dengan peralatan neolitik5 yang memungkinkan diperolehnya data kalibrasi yang menunjukkan sekitar abad VI SM (Batchelor,1977).

Memang harus diterima bahwa penemuan dayung tersebut belum dapat menunjukkan apakah ketika itu juga telah digunakan perahu papan. Sebagaimana diketahui, dua jenis perahu yang dikenal, masing-masing adalah perahu lesung (dug-out canoe) dan perahu papan (planked boat) sama-sama dapat menggunakan dayung sebagai tenaga penggeraknya. Namun keberadaan sekeping papan perahu di Kampung Sungai Lang telah membuktikan bahwa setidak-tidaknya pada abad V SM telah dikenal teknologi pembangunan perahu papan.

Adapun untuk masa yang lebih kemudian, keberadaan perahu nusantara menjadi semakin jelas melalui kegiatan arkeologis atas beberapa situs bangkai perahu di seputar Laut Cina Selatan (yang dalam berbagai kesempatan dan konteks pantas disebut Laut Tengah/Mediterania-nya Asia). Berikut ini adalah keterangan singkatnya.

1. Kuala Pontian
Pada situs di pantai timur Pahang, Malaysia ini ditemukan tiga buah papan, sebuah lunas, dan beberapa gading-gading. Ukuran terpanjang 6,1 meter. Papan-papannya disatukan dengan ikatan tali ijuk melalui lubang-lubang di tepian papan. Di tepian papan juga terdapat lubang-lubang tempat menanam pasak. Untuk menyatukan papan dengan gading-gading, digunakan tali ijuk melalui tambuko - tonjolan pada papan yang sengaja dipahat dengan bentuk dasar persegi empat - yang bentuknya membulat (Evans,1927). Carbon dating menghasilkan titimangsa antara tahun 260–430 (Booth,1984).

2. Butuan
Di muara sungai Butuan di Ambangan, Butuan City, Filipina, dijumpai sisa bangkai dua buah perahu. Bangkai perahu pertama merupakan sisa sebuah perahu berukuran 11,6 meter. Papan-papan pembentuknya dikerjakan dengan cara dipahat. Selain pemanfaatan tambuko untuk penyatuan lunas dan papan badan perahu, digunakan pula pasak. Dating dengan metode C14 menunjukkan bahwa perahu itu berasal dari abad III–V. Adapun mengenai perahu kedua, walaupun ukurannya lebih besar namun menggunakan teknik pembangunan yang sama. Papan-papannya memiliki ukuran panjang 15 meter dengan lebar sekitar 20 cm dan tebal 3 cm.

3. Kolam Pinisi
Pada situs di bagian barat kota Palembang ini terdapat sisa struktur sebuah perahu yang berukuran besar. Lebih dari enampuluh keping badan dan lunas perahu yang ditemukan sudah dalam keadaan terpotong-potong dengan ukuran maksimum hanya 2,5 meter. Tebalnya sekitar 5 cm, dengan lebar antara 20–30 cm. Seluruh papan-papan memiliki tambuko pada permukaannya. Lubang-lubang untuk memasukkan talididapati tidak hanya pada tambuko saja tetapi juga pada bagian tepi papan. Ini menunjukkan bahwa teknik ikat digunakan untuk menyatukan tidak saja papan pembentuk badan perahu melainkan pula papan badan perahu dengan gading-gading. Adapun lubang-lubang untuk menempatkan pasak pada bagian tepi papan menunjukkan bahwa pasak kayu telah digunakan untuk memperkuat penyatuan badan perahu. Perolehan data kalibrasi melalui pemanfaatan metode C-14 atas sampel papan perahu itu menunjukkan angka tahun 434–631 Masehi (Manguin,1989).

4. Tulung Selapan
Tali ijuk, pasak, tambuko, dan ketebalan papan-papannya, mengindikasikan keberadaan perahu kuna yang menggunakan teknik ikat. Ukuran perahu di pesisir timur Sumatera Selatan ini tidak berkisar jauh dari ukuran perahu-perahu lain yang sebelumnya telah lebih dahulu ditemukan kembali di wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Dugaan kronologinya lebih mengacu pada kolompok perahu dari abad-abad V–VIII.

5. TPKS Karanganyar
Beberapa potong papan sisa badan perahu telah ditemukan di areaI Taman Purbakala Kedatuan Sriwijaya di Palembang. Ketebalannya 3 cm dengan jarak lubang untuk memasukkan tali ijuk adalah 3 cm, dan jarak lubang untuk pasak kayu sekitar 11 cm. Untuk sementara berkenaan dengan teknologi pembangunannya, sisa bangkai perahu itu digolongkan ke dalam kelompok abad V–VIII.

6. Sambirejo
Pada situs di wilayah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan ini dijumpai 11 keping papan yang merupakan bagian badan perahu. Ukuran terpanjang papan-papan tersebut adalah 10,9 meter dan yang terpendek 4 meter. Ketebalan rata-rata 3,5 cm dengan lebar 23 cm. Untuk Menyatukan papan-papan tersebut, selain pasak juga digunakan tali ijuk. Penggunaan pasak tampak dari lubang-lubang di tepian papan serta pasak yang masih tertanam di dalamnya. Pemanfaatan tali ijuk tampak jelas dari adanya tambuko dengan lubang-lubang untuk memasakkan tali ijuk.

Tali ijuk tersebut masih dijumpai pada sebagian papan ber-tambuko itu. Bersamaan dengan papan-papan tersebut, dijumpai pula sebuah kemudi kayu berukuran panjang 5,9 meter dengan bagian terlebarnya 56 cm.Pengamatan atas temuan tersebut menghasilkan dugaan bahwa kesebelas papan tersebut tidak berasal hanya dari sebuah perahu saja, melainkan tiga. Delapan papan berasal dari sebuah perahu yang panjangnya diperkirakan 20–23 meter dengan bagian terlebar mencapai 6 meter. Dua papan berikutnya menunjukkan keberadaan sebuah perahu lain yang berdasarkan analisis C-14 diketahui berasal antara tahun 610 sampai tahun 775. Dugaan tentang perahu ketiga diperoleh dari keberadaan papan lain yang ditemukan bersama (Manguin,1989).


Arkeologi dan teknologi pembangunan perahu nusantara

Upaya perekonstruksian peristiwa masa lalu serta uraian sejarahnya, didasarkan atas sumber informasi yang berupa bukti peninggalan peristiwa itu sendiri. Ujudnya dapat berupa dokumen tertulis maupun sisa benda budaya. Oleh karena itu keliru bila membayangkan bahwa arkeologi hanya kecil kontribusinya tentang apa yang sudah diketahui dari catatan sejarah. Untuk periode prasejarah yang jelas tidak ada catatannya, dan kadang-kadang dalam periode sejarah dimana banyak kesenjangan tentang pengetahuan peristiwa di dalamnya, di sanalah arkeologi membantu melengkapinya. Pada beberapa kesempatan, sumber terkaya dari bukti arkeologi mengenai peristiwa sejarah itu diperoleh melalui sisa bangkai perahu yang “terpelihara” dalam lingkungan dimana obyek tersebut berada yang berhasil diliput melalui kerja arkeologi maritim (Renfrew & Bahn,1991).

Informasi dari data yang diperoleh melalui kegiatan arkeologi maritim selama ini, secara garis besar memperlihatkan bahwa teknologi pembangunan perahu nusantara (di luar jenis yang disebut dengan dug-out canoe atau perahu lesung, yang dibuat hanya dari sebatang pohon saja) menggunakan a. teknik Ikat; b. teknik gabungan ikat dan pasak; c. teknik pasak; serta d. teknik lain. Patut dicatat pula bahwa pengelompokkan teknologi pembangunan perahu ini dapat dikaitkan dengan aspek kronologinya.

1. Teknik ikat
Teknik ikat rnurni memang belum dijumpai bukti arkeologisnya. Hasil penelitian terbatas atas data yang menginformasikan keberadaan pemanfaatan teknik ikat yang bercampur dengan pemanfaatan pasak, namun teknik ikatnya sendiri tetap mendominasi pembentukan badan perahu. Bangkai perahu di situs Kuala Pontian adalah contohnya. Sementara catatan etnografis membantu pengenalan teknologi tua tadi seperti yang masih terlihat pada perahu penangkap ikan paus (peledang)6 di Pulau Lembata (Lomblen), Nusa Tenggara Timur; maupun perahu berteknik ikat di Pulau Hainan (Vietnam) dan Pilipina.

2. Teknik gabungan ikat dan pasak
Bukti yang diperoleh dari beberapa situs bangkai perahu di Sumatera Selatan (Sambirejo; Kolam Pinisi; Tulung Selapan; TPKS Karanganyar) memperlihatkan bahwa teknik ikat makin bergeser perannya oleh kehadiran pasak kayu. Ini tercerrnin dengan semakin dekatnya jarak antara lubang-lubang untuk memasukkan pasak kayu tersebut pada tepian papan-papannya. Artinya pasak kayu tidak lagi berfungsi hanya sebagai sarana pembantu memperkokoh sambungan tetapi justru merupakan bagian yang dominan dalam teknik pembangunan perahu tersebut. Secara kronologis, inilah tipe perahu dari antara abad ke-5 hingga abad ke-8. Berkaitan dengan itu, kita juga dapat mengatakan bahwa upaya pengenalan akan model perahu yang digunakan pada zaman Sriwijaya tampaknya layak mengacu ke sana (Koestoro,1993).

3. Teknik Pasak
Walaupun bukti arkeologisnya belum dijumpai, sumber Portugis abad ke-16 mendeskripsikan tentang jung berteknik pasak berkapasitas hingga 500 ton. Dalam perahu yang bertradisi Asia Tenggara itu tidak dikenal pemakaian simpul tali atau paku. Pemanfaatan teknik pasak demikian itu terus berlanjut hingga beberapa waktu berselang, sebagaimana terlihat dalam pembangunan perahu pinisi di Sulawesi dan lete di Madura.

4 . Teknik Lain
Selain yang telah disebut di atas, dikenal pula adanya teknik lain dalam pembangunan perahu, yakni teknik jahit dan teknik paku. Kedua ,jenis teknik tersebut sampai saat ini masih dapat dijumpai, yakni di sekitar Samudera Hindia dan di Cina (Utara). Sayang sekali belum ada penemuan atas situs-situs bangkai perahu yang memanfatkan teknik pembangunan yang demikian di nusantara.


Pelayaran dan perdagangan nusantara

Bukti arkeologis berupa nekara – gendang besar dari perunggu berhiaskan gambar perahu, orang menari, topeng, dan sebagainya sebagai peninggalan dari zaman perunggu yang dipergunakan dalam upacara ritual - yang di jumpai di beberapa tempat di wilayah nusantara, seperti di Dieng (Jawa), Pulau Selayar, Pulau Luang (Nusa Tenggara Timur), atau di Pulau Roti (juga di Nusa Tenggara Timur) memperlihatkan bahwa pelayaran telah berlangsung sejak masa yang silam. Aktivitas pelayaran itu juga sejalan dengan perdagangan yang dilakukan antar pulau di Indonesia dan antara nusantara dengan daratan Asia. Tukar-menukar tentunya menjadi cara perdagangan ketika itu. Nekara sebagai salah satu produk masyarakat prasejarah memiliki nilai tersendiri pada masyarakat pendukung budayanya.

Bahwa benda-benda tersebut kebanyakan dihasilkan di daratan Asia, keberadaannya di nusantara yang jauh dari tempat asalnya merupakan buah dari perdagangan yang berlangsung. Walaupun tidak ada keterangan tertulis mengenai itu, analisis tipologis yang diberlakukan atas obyek-obyek prasejarah itu memperlihatkan kronologi yang cukup tua. Kita dapat membayangkannya dengan mengetahui bahwa di Asia Tenggara logam mulai dikenal sekitar 3.000–2.000 tahun SM. Adapun di Indonesia penggunaan logam diketahui pada masa beberapa abad sebelum masehi.

Kemudian untuk masa yang lebih kemudian, setiap kali ada sumber tertulis tentang sea-faring Indonesia di Samudera Indonesia, ternyata bahwa itu berasal dari daerah paling barat dari Indonesia, yakni Sumatera atau daerah yang berdekatan. Sumatera, bersama pulau-pulau kecil didekatnya dan pantai barat Semenanjung Malaya, memang penting sekali artinya bagi pelayaran di Samudera Indonesia. Rute laut yang menghubungkan daerah kebudayaan yang besar dan tua dari Asia Selatan dan Asia Timur tentu melalui kawasan tersebut (Nooteboom,1972). Penduduk Sumatera, yang berada di ujung barat nusantara telah melibatkan diri dalam perdagangan antara Cina dan India sejak abad ke-5 dan ke-6. Kemenyan dan kapur barus adalah sebagian produk yang menjadi komoditi untuk memenuhi kebutuhan pedagang Arab, Persia, dan Cina (Selling,1981).

Sebagian ahli juga sepakat bahwa sejak abad ke-7, secara teratur pedagang Arab yang kebanyakan datang dari India berlayar ke kawasan Asia Tenggara. Perdagangan secara meluas tidak saja dilakukannya di nusantara, malahan mencapai Cina sebelah selatan. Adapun komoditi yang diperlukan adalah lada, rempah-rempah, dan kayu wangi (Hall,1988).

Keterangan yang demikian selayaknya diterima mengingat besarnya jumlah situs bangkai perahu di Sumatera. Sebagian besar daripadanya memang cukup layak untuk digunakan sebagai perahu niaga yang laik layar di perairan terbuka. Kronologinyapun mengacu pada masa-masa pra-keindiaan nusantara.

Berkenaan dengan itu tampaknya tidak keliru bila kita sepakat dengan Van Leur (1955) dan Wolters (1967) yang berpendapat bila hubungan dagang antara Indonesia dan India lebih dahulu berkembang daripada hubungan dagang antara Indonesia dan Cina. Hubungan tersebut tentunya telah lama terjadi sebelum hal itu disinggung dalam catatan sejarah. Salah satu sebabnya mungkin karena pelayaran dan perdagangan India lebih bebas dilakukan para saudagarnya dibandingkan dengan Cina yang cenderung terbatas akibat ketatnya pengawasan pihak penguasa/rajanya.

Hal lain yang juga patut disimak adalah kenyataan bahwa pengaruh India dan Cina pada perkembangan sejarah Indonesia di zaman kuna cukup berbeda. Dampak dari luasnya hubungan dagang dengan India ada lahirnya perubahan-perubahan dalam bentuk tata negara di sebagian daerah Indonesia. Demikian pula dengan perubahan dalam tata dan susunan masyarakatnya sebagai akibat tersebarnya agama Buddha dan Hindu. Hal semacam ini tidak tampak bila dikenakan pada hubungan antara Indonesia dengan Cina.

Patut digarisbawahi adalah pendapat Nooteboom (1972), bahwa dahulu penguasa-penguasa nusantara-lah yang mendatangkan Brahmana dari India untuk memanfaatkan pengetahuan yang dimilikinya serta untuk lebih mengukuhkan kekuasaan dan pamornya. Kemungkinan ini lebih besar bila memang ada pelayaran Indonesia sendiri ke India. Dan tentu pendapat ini berbeda dengan teori lain yang menyatakan terjadinya semacam bentuk kolonisasi/penjajahan oleh India atas bumi nusantara, karena bila pendudukan India pada waktu itu memang betul terjadi sudah pasti aktivitas pelayaran Indonesia tidak dapat berkembang dengan baik.


Penutup

Itulah sebagian yang dapat dibayangkan mengenai prasejarah perahu nusantara berdasarkan situs bangkai perahu dan sumber tertulis yang relatif terbatas jumlahnya. Bila akhirnya sebuah prasasti berangka tahun 683 muncul di atas panggung sejarah, maka ketika itulah kita berjumpa dengan sebuah kata untuk perahu dalam bahasa Melayu Kuna, suatu bahasa yang telah melampaui perkembangan berabad-abad lamanya. Tonggak ini pula yang membawa kita untuk masuk pada zaman sejarah perahu nusantara.

Sekilas tentang dinamika yang dijumpai dalam lintas sejarah kemaritiman nusantara, menyangkut pula aspek teknologinya. Bahwa pemanfaatan teknik pembangunan perahu mengalami perkembangan, tentunya berkenaan tidak saja dengan pemenuhan kebutuhan melalui kemampuan yang dimiliki melainkan pula didorong oleh bentuk-bentuk komunikasi budaya dan antar bangsa yang merambahinya.

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan tentu tidak boleh mengabaikan penelitian sejarah maritimnya. Harus ada kesadaran bahwa wawasan bahari tidak hanya diperlukan untuk zaman yang lampau yang kita sebut pula dengan zaman bahari, melainkan sangat penting bagi eksistensi dan kelangsungan hidup suatu negara kepulauan. Bagaimanapun juga, pengaruh daripada kekuatan laut kepada jalannya sejarah manusia, termasuk sejarah Kepulauan Indonesia, adalah suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal.

Pengkajian atas obyek arkeologi dan sejarah berpotensi untuk memperlihatkan bahwa kemampuan berlayar perahu-perahu nusantara dengan jalur-jalur pelayarannya membuktikan bahwa sejak dahulu bangsa-bangsa di nusantara telah memiliki pengetahuan navigasi yang memungkinkan mereka berlayar ke mana saja mengarungi samdera yang luas. Ini juga mempertegas pemahaman kita akan adanya kondisi yang kelak menghasilkan pemberlakuan hukum/peraturan dalam pelayaran dan perdagangan yang memungkinkan aktivitas-aktivitas itu berjalan pesat dan tertib.

Jelas masih banyak yang harus dikerjakan untuk memperoleh gambaran utuh rekonstruksi kehidupan masyarakat bahari nusantara sejak dahulu kala. Semua aspek perlu diketahui dengan baik dalam upaya penyusunan uraian sejarah bangsa. Disadari bahwa sejarah memang bukan sekedar kumpulan fakta atau pencarian berbagai akibat dari peristiwa masa lalu untuk masa selanjutnya saja, namun terlebih dari itu dapat memberikan keluaran konkrit bagi masyarakat untuk menyikapi benang merah yang menghubungkan fakta masa lalu dengan peristiwa sejenis yang (cenderung) terulang. Dan menutup kepingan kerja sederhana ini, yang membicarakan soal pemahaman dan penafsiran subyektif relatif atas informasi yang tersedia, kami membuka diri bagi pandangan dan gagasan alternatif yang memungkinkan penyempurnaannya.



Catatan

1. Ini berkenaan dengan temuan di Muarakaman, Kutai, di bagian baratlaut Kota Samarinda, Kalimantan Timur berupa tujuh buah yupa – tiang batu yang apabila ditegakkan pada sebuah tempat upacara persembahan agama Siwa merupakan sarana untuk menambatkan tali pengikat hewan kurban – berisi inskripsi beraksara Pallawa dalam bahasa Sansekerta. Prasasti tersebut dikeluarkan oleh raja Mulawarman yang menyebut tentang kakeknya yang bernama Kundunga, dan ayahnya yang bernama Aswawarman yang dikatakan sebagai pendiri dinasti.

2. Pengertian navigasi berkenaan dengan pengetahuan untuk menjalankan/melayarkan perahu dari satu tempat ke tempat yang lain. Masuk di dalamnya adalah pengertian hal-hal yang perlu diketahui agar pelayaran berjalan lancar. Navigasi tradisional umumnya hanya bersumber pada pengalaman, tradisi, naluri, dan kepekaan terhadap alam sekitar. Secara tradisional, pengetahuan navigasi meliputi antara lain menentukan posisi dan mengenal arah/haluan yang harus dituju (piloting) (Lopa,1982)

Pengertian di atas juga berkenaan dengan cuaca, karena interaksi yang erat terjadi antara udara dan laut. Perubahan cuaca akan mempengaruhi kondisi laut, karena angin misalnya, sebagai salah satu unsur meteorologi yang penting dalam masalah kelautan, menentukan terjadinya gelombang dan arus. Beruntung bahwa di Indonesia pada umumnya jarang terjadi angin yang sangat kuat. Berbeda dengan di kawasan samudera di sekitar 100 LU dan juga sekitar 100 LS dimana badai yang lebih dikenal dengan siklon tropis sering mengamuk (Nontji,1987).

Masih berkenaan dengan angin, pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah angin rnusim (monsoon). Angin musim bertiup secara mantap ke arah tertentu pada satu periode, dan pada periode lainnya bertiup dengan arah yang berlainan. Mengingat posisi geografisnya, kawasan Indonesia paling ideal untuk berkembangnya angin musim. Pada Musim Barat, ketika angin berhembus dari Asia ke Australia, para pelaut menaikkan layar meninggalkan pelabuhan di Jawa menuju Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Kemudian mereka kembali ke pangkalannya dengan memanfatkan angin Musim Timur (Nontji,1987). Di beberapa tempat, disebutkan pula nama lain untuk istilah angin Musim Timur, seperti “angin pedewakang” di daerah Riau (Kepulauan) karena pada masa itulah mereka melihat iring-iringan ”pedewakang” (bentuk yang “lebih tua” dari perahu pinisi ) membanjiri kawasan perairan sekitarnya menuju ke Singapura.

3. Cadik atau katir adalah potongan/batang bambu atau kayu yang dipasang di kiri kanan perahu serupa dengan sayap sebagai alat pengatur keseimbangan agar tidak mudah terbalik.

4. Besarnya arus migrasi berkaitan dengan kesulitan mengatasi penghalang antara. Hipotesis ini, sebagaimana yang disampaikan oleh Lee (1995), memperlihatkan bahwa salah satu pertimbangan dalam mengambil keputusan bermigrasi adalah adanya penghalang antara, sehingga - misalnya - ketika pada abad ke-17 dan ke-18 pelayaran ke Amerika masih merupakan pekerjaan yang berbahaya dan tidak mudah dikerjakan, arus migrasi sedikit sekali. Sebaliknya, contoh lain dalam sejarah membuktikan bahwa dengan terhapusnya penghalang-penghalang tersebut memunculkan arus-arus migrasi. Sehingga tidak mengherankan apabila perkembangan teknologi pembangunan perahu dan pengetahuan navigasi pada sebagian bangsa berbahasa Austronesia di Asia Tenggara, merupakan sarana mengatasi kesulitan yang melahirkan arus-arus migrasi berikut kebudayaan pada masanya.

5. Neolitik adalah fase atau tingkat kebudayaan dalam zaman prasejarah yang mempunyai ciri berupa unsur kebudayaan, seperti peralatan yang terbuat dari batu yang telah diupam, pertanian menetap, dan pembuatan tembikar/gerabah.

6. Peledang (ahli pembuatnya disebut atamole) digunakan oleh kelompok masyarakat di Lamalera, Pulau Lembata (dahulu disebut Pulau Lomblen) yang masih melakukan aktivitas penangkapan ikan-ikan besar seperti ikan paus, pari, dan ikan hiu pada musim tertentu di perairan Laut Flores. Musim tersebut disebut sebagai musim lefa. Kegiatan perburuan didahului dengan proses ritual (upacara olanua) bagi pemberkatan peralatan dan seluruh anggota masyarakat. Aktivitas dilakukan dengan menggunakan peralatan tradisional berupa peledang (perahu) berbahan kayu, layar, tali (berbahan benang kapas, daun gebang, dan serat kulit pohon waru), kafe (tempuling atau harpoon), faye (alat untuk mendayung), dan sebagainya. Lamafa (juru tikam di laut) adalah sosok penting yang menentukan obyek yang hendak ditombak/diburu, yang dihubungkan dengan upaya pelestarian binatang buruan. Menyangkut hasil penangkapan/perburuan itu, para janda, yatim-piatu, dan fakir miskin mendapat prioritas untuk menikmatinya.

Tradisi ini tampaknya memang telah berlangsung lama, dan itu dapat dihubungkan dengan dijumpainya obyek arkeologis berupa lukisan perahu dan manusia di permukaan bongkah batu andesit di Lamagute yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari garis pantai Laut Flores. Perahu digambarkan dengan tiga tiang layar dan dilengkapi 5 buah dayung. Bagian buritannya sudah tidak jelas tergambarkan. Panjang lukisan perahu 60 cm, lebar 13 cm dengan panjang layar 53 cm, lebar layar 22 cm, dan tinggi tiang layar 30 cm, yang tertera pada bongkah batu andesit berukuran tinggi 3 meter dan lebar 3,5 meter (Atmosudiro,1984).


Kepustakaan

Atmosudiro, Sumijati, 1984. Lukisan Manusia di Pulau Lomblen (Tambahan Data Hasil Seni Bercorak Praejarah), dalam Berkala Arkeologi V(1). Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta,

Batchelor, BC, 1977. Post “Hoabinhian” coastal settlement indicated by finds in stanniferous Langat River alluvium near Dengkil, Selangor, Peninsular Malaysia, dalam Federation Museums Journ

Bellwood, P, 1985. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. Sydney, London: Academic Press

Boechari, 1986. New investigation the Kedukan Bukit inscription, dalam Untuk Bapak Guru. Jakarta: Puslit Arkenas, hal. 3–56

Coedes, G, 1930. Les inscriptions malaises de Criwijaya, dalam Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient,

Dunn, FL, 1975. Rain-forest collectors and traders. A study of resource utilisation in modern and ancient Malaya, dalam Monographs of the Malaysian Branch Royal Asiatic Society

Dunn, FL & DF Dunn, 1984. Maritime Adaptations and Exploitation of Marine Resource in Sundaic Southeast Asian Preshistory, dalam Pieter Van De Velde (ed.), Prehistoric Indonesia A Reader. Dordrecht, Cinnaminson: Foris Publications,

Glover, IC, 1979. The Late Prehistoric Period in Indonesia, dalam RB Smith & W Watson (eds.), Early South East Asia: Essays in Archaeology, History and Historical Geography. New York, Kuala Lumpur: Oxford University Press,

Hall, DGE, 1988. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional

Heekeren, HR van, 1958. The Bronze-Iron Age of Indonesia. ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff

Hornell, James, 1946. Watertransport, Origins and Early Evolution. Cambridge: Cambridge University Press

Koestoro, Lucas Partanda, 1993. Tinggalan Perahu di Sumatera Selatan: Perahu Sriwijaya ?, dalam Mindra Faizaliskandiar et al (eds.), Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi Dan Sejarah. Palembang: Pemda Dati I Sumatera Selatan

——————-,1995. Penempatan Situs-situs Bangkai Perahu Indonesia Dalam Sejarah Teknik Pembangunan Perahu di Asia Tenggara, dalam Hariani Santiko et al (des.), Kirana: Persembahan untuk Prof.

Lambert, David, 1987. Guide De L”Homme Prehistorique. Paris: Librairie Larousse

Lee, Everett S, 1995. Teori Migrasi (diterjemahkan oleh Hans Daeng). Yogykarta: Pusat Penelitian Kependudukan

Leur, van JC, 1955. Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social and Economic History. Bandung: W van Hoeve Ltd.

Lopa, Baharuddin, 1982. Hukum Laut, Pelayaran, dan Perniagaan. Bandung: Alumni

Manguin, Pierre-Yves, 1985. Sewn-plank Craft of Southeast Asia. A preliminary Survey, dalam S McGrail & E

Kentley (eds.) Sewn Planked Boats. Oxford: National Maritime Museum,

——————-, 1989. The trading ships of Insular Southeast Asia: new evidence from Indonesian archaeological sites, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta, Vol. I. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia,

Manguin, Pierre-Yves & Nurhadi, 1987. Perahu karam di situs Bukit Jakas, Propinsi Riau. Sebuah laporan sementara, dalam 10 Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Dan Ecole Francaise d’Extreme-

Orient. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 43–64

Nontji, Anugerah, 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan

Nooteboom, C, 1972. Sumatera dan Pelajaran di Samudera Hindia (diterjemahkan oleh PS Kusumo Sutojo). Djakarta: Bhratara

Peacock, BAV, 1965. The drums of Kampong Sungai Lang, dalam Malaya in History, 10 (1)

Renfrew, Colin & Paul Bahn, 1991. Archaeology Theories, Methods, And Practise. London: Thames and Hudson

Selling, Eleanor, 1981. The Evolution of Trading State in Southeast Asia Before the 17th Century. Disertasi pada Columbia University

Wolters, OW, 1967. Early Indonesian Commerce. New York, Ithaca: Cornel University Press

(Sumber: wacananusantara.org)


Read More......

Minggu, 22 Maret 2009

Premanisme Sudah Marak sejak Zaman Jawa Kuno


Oleh: TM Hari Lelono

Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV di Cipanas, 1986, dibahas oleh Boechari (alm)seorang epigraf (tulisan kuna) tentang dunia perbanditan melalui data prasasti.

Fenomena kekerasan dalam masyarakat Jawa kuno dapat diketahui melalui kajian arkeologi dari sumber-sumber tertulis berupa prasasti, lontar, dan naskah-naskah. Adapun penggambaran dalam beberapa panil relief candi terdapat di Candi Mendut di Jawa Tengah serta Candi Surawana dan Rimbi di Jawa Timur.

Pemerintah kini sedang disibukkan oleh ulah para preman yang sering mengganggu ketenteraman dan segala bentuk ketidaknyamanan bagi masyarakat. Polisi sebagai pengayom masyarakat harus bekerja keras dan menumpas habis segala bentuk kejahatan. Namun, usaha itu akan sia-sia jika tidak didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Gambaran ini juga terjadi pada masa pemerintahan kerajaan besar seperti Sriwijaya, Kediri, Singosari, dan Majapahit.

Pada masa Jawa kuno, serangkaian undang-undang dan hukum berupa pemberian sanksi yang keras diberlakukan tidak saja pada pelaku kejahatan, tetapi juga warga yang desanya sebagai tempat kejadian perkara (TKP). Sanksi yang diberikan kepada desa-desa tersebut berupa denda dan pajak yang sangat memberatkan. Oleh karena itu, penduduk desa membuat pos-pos keamanan untuk meminimalisir kejahatan. Walaupun upaya itu telah dilakukan, masih sering terjadi karena faktor alam dan lingkungan berupa hutan lebat dan terisolirnya dari pusat pemerintahan.

Naskah-naskah hukum (awig-awig) banyak ditemukan di Bali dan ditulis dalam bahasa Jawa kuno dari masa pasca-Majapahit. Naskah yang ditulis dan diterjemahkan oleh para sastrawan tersebut diacu dari institusi kerajaan di India yang diperlukan dalam menjalankan pemerintahan.

Dapat dibayangkan bahwa naskah-naskah hukum yang digunakan oleh para pejabat kehakiman dari masa klasik (Hindu-Buddha) tidak semuanya ditulis di atas logam, tembaga, atau perunggu karena tidak praktis dan terlalu berat. Biasanya ditulis di atas ripta berupa daun lontar atau karas. Setelah berpuluh-puluh tahun ripta tersebut dapat rusak dan disalin kembali serta dilakukan perubahan, penambahan, atau pengurangan pasal-pasal sesuai dengan perubahan bahasa dan perkembangan masyarakat.

Adanya naskah hukum tadi memberikan gambaran yang jelas bahwa masyarakat Jawa kuno bukanlah suatu masyarakat yang senantiasa aman, tenteram, dan damai, jauh dari segala tindak kejahatan.


Kejahatan dari masa ke masa

Sumber-sumber hukum yang tertulis dalam prasasti abad ke-9-10 Masehi di Jawa Tengah pada masa Dyah Balitung dan naskah pada masa pasca-Majapahit abad ke-13-15 Masehi memuat tentang hukum dan kerawanan-kerawanan yang pernah terjadi. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, prasasti Balingawan berangka tahun 891 M dari bahan batu yang ditulis berlanjut pada bagian belakang sebuah arca Ganesa (disimpan di Museum Pusat Jakarta). Prasasti ini memuat penetapan sebidang tanah di Desa Balingawan menjadi sima (daerah perdikan/otonom). Prasasti itu lahir karena rakyatnya ketakutan, menderita, dan melarat lantaran senantiasa harus membayar pajak denda atas rah kasawur (darah tersebar berceceran) dan wankay kabunan (mayat kena embun). Hal itu terjadi karena dalam hukum Jawa kuno desa-desa yang menjadi tempat berlangsungnya peristiwa kriminal—walaupun peristiwanya terjadi di tempat lain, tetapi mayatnya ditemukan di desa tersebut—maka desa yang bersangkutan (TKP) mendapat sanksi keras harus membayar denda/pajak kepada raja. Kenapa peristiwa semacam itu bisa terjadi? Hal tersebut berkaitan erat dengan sistem dan struktur pemerintahan desa yang bergantung pada hierarki pemerintahan di atasnya sehingga untuk pengamanan desa menjadi kurang efektif. Akhirnya, permohonan desa tersebut dikabulkan. Desa Balingawan menjadi sebuah sima, keamanan di jalan besar terjamin, rakyat desa dan dukuh-dukuhnya tidak lagi merasa ketakutan.

Kedua, prasasti Mantyasih (907 M) yang ditulis dalam tiga versi berbeda, dua di antaranya ditulis di atas lempengan perunggu dan satu di atas batu, tetapi yang terlengkap yang ditulis di atas lempengan perunggu. Isi prasasti berkisar tentang penetapan sima dari Raja Rakai Watukura Dyah Balitung kepada 5 patih yang telah berjasa mengerahkan rakyat Desa Mantyasih pada waktu diselenggarakan pesta perkawinan raja. Pada suatu ketika, rakyat desa merasa ketakutan oleh ulah para penjahat dan mereka tidak dapat mengatasinya. Kelima patih diberi tugas untuk menumpas dan menjaga keamanan di jalan. Daerah ini pada masa Jawa kuno terletak di sekitar Gunung Susundara (Sundara) dan Gunung Sumbing di wilayah Temanggung, Jawa Tengah.

Ketiga, prasasti Kaladi (909 M). Prasasti ini juga bermasa dari Raja Rakai Watukura Dyah Balitung. Isinya tentang pemberian sima atas permohonan pejabat daerah yang bernama Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi karena ada hutan arapan yang memisahkan (desa-desa) itu menyebarkan ketakutan. Mereka senantiasa mendapat serangan dari Mariwun yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang dan malam. Maka diputuskan bersama, hutan itu dijadikan sawah agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan.

Keempat, prasasti Sanguran (928 M). Berisikan beberapa hal yang menyangkut kejahatan, di antaranya: wipati wankay kabunan (kejatuhan mayat yang terkena embun), rah kasawur in dalan (darah yang terhambur di jalan), wakcapala (memaki-maki), duhilatan (menuduh), hidu kasirat (meludahi), hastacapala (memukul dengan tangan), mamijilakan turuh nin kikir (mengeluarkan senjata tajam), mamuk (mengamuk), mamumpan (tindak kekerasan terhadap wanita), ludan (perkelahian?), tutan (mengejar lawan yang kalah?), danda kudanda (pukul-memukul), bhandihaladi (kejahatan dengan menggunakan kekuatan magis).

Kelima, naskah Purwwadhigama. Sistem pengadilan zaman klasik membagi segala macam tindak pidana dan perdata ke dalam 18 jenis kejahatan yang disebut astadasawyawahara. Penulisan ke-18 hukum tersebut tidak selalu lengkap, kadang hanya garis besarnya, mungkin beberapa hal yang dianggap penting/sesuai dengan kondisi saat itu.

Hukum tersebut berisikan: tan kasahuranin pihutan (tidak membayar lagi utang), tan kawahanin patuwawa (tidak membayar uang jaminan), adwal tan drwya (menjual barang yang bukan miliknya), tan kaduman ulihin kinabehan (tidak kebagian hasil kerja sama), karuddhanin huwus winehakan (minta kembali apa yang telah diberikan), tan kawehanin upahan (tidak memberi upah atau imbalan), adwa rin samaya (ingkar janji), alarambaknyan pamalinya (pembatalan transaksi jual-beli), wiwadanin pinanwaken mwan manwan (persengketaan antara pemilik ternak dan penggembalanya), kahucapanin watas (persengketaan mengenai batas-batas tanah), dandanin saharsa wakparusya (hukuman atas penghinaan dan makian), pawrttinin malin (pencurian), ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami-istri), kadumanin drwya (pembagian hak milik atau pembagian warisan), totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).

Dari 18 aturan hukum pidana tersebut, ada tiga yang sedang marak terjadi saat ini, seperti ulah sahasa (tindak kekerasan), ulah tan yogya rin laki stri (perbuatan tidak pantas terhadap suami istri), serta totohan prani dan totohan tan prani (taruhan dan perjudian).


Relief candi

Beberapa candi yang memuat adegan kekerasan dapat dilihat di Candi Mendut, Jawa Tengah, bercorak Buddhis. Pada tangga masuk di sisi selatan candi peninggalan abad ke-9-10 M itu terdapat panil relief yang menggambarkan dua figur, salah satunya memegang gada/parang (?), sedangkan figur yang satunya memegang alat semacam perisai.

Di Jawa Timur, panil-panil relief yang menggambarkan kekerasan dapat dilihat pada Candi Surawana (Pare, Kediri), merupakan peninggalan sekitar abad ke-14 M, bercorak keagamaan Buddhis. Pada bagian kaki candi sisi utara terlihat relief yang menggambarkan adegan kekerasan/perkelahian, yakni seorang tokoh sedang memilin kepala seseorang. Sementara pada Candi Rimbi di Bareng, Jombang, (peninggalan abad ke-13-14 M), pada bagian kaki candi, di sisi selatan, terdapat gambar dua pria sedang berkelahi di tengah hutan dengan menggunakan kain cancut.

Fenomena masyarakat Jawa kuno tentang dunia kekerasan tidak terlepas dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Para penguasa pada masa itu sudah mengindahkan aturan-aturan dan nilai-nilai hidup yang harmonis berupa pandangan hidup berdasarkan kepercayaan/agama. Aturan-aturan tersebut disosialisasikan dengan cara pembuatan prasasti dan gambar-gambar pada relief candi yang sarat akan pesan-pesan moral dan etika, sebagai tuntunan hidup manusia.

Walaupun peraturan dengan segala sanksi hukum begitu kerasnya, bahkan desa-desa dalam wilayah kekuasaan kerajaan tertentu juga harus berperan aktif dalam menjaga ketertiban, tetapi masih sering terjadi tindak kekerasan. Apalagi jika penegakan hukum tidak diimbangi dengan disiplin dan dedikasi dari aparatur pemerintah beserta kesadaran seluruh masyarakatnya, niscaya tindak kekerasan masih sering terjadi di mana-mana, bahkan secara kualitas dan kuantitas semakin merebak di negeri ini.

TM Hari Lelono,
Peneliti pada Balai Arkeologi Yogyakarta

(Kompas, Rabu, 21 September 2005)
Read More......

Dictionary

Kontak Saya

NAMA:
EMAIL:
SUBJEK:
PESAN:
TULIS KODE INI: