Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net
Tampilkan postingan dengan label Nurhadi Rangkuti. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nurhadi Rangkuti. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 Februari 2010

Arkeologi di Pulau Maya, Karimata


Oleh: Nurhadi Rangkuti


Undangan dari Balai Arkeologi Banjarmasin setahun yang lalu sangat menantang. Eksplorasi pulau-pulau terpencil di sekitar Selat Karimata dengan pendekatan arkeologi. Tentu saja yang dicari adalah bukti-bukti peradaban masa lampau yang menunjukkan peran penting Selat Karimata.

Selat Karimata memang penting dan strategis. Selat yang lebarnya 150 km itu menghubungkan antara Laut Cina Selatan dan Laut Jawa. Letaknya di antara Pulau Belitung dan Pulau Kalimantan. Dari Pulau Belitung sekitar 70 mil di sebelah timur laut.

Menurut David E. Shoper (1977) dalam bukunya: The Sea Nomads: A Study of the Maritime Boat People of Southeast Sumatra, kelompok pulau-pulau di Selat Karimata memiliki hubungan dengan Pulau Belitung dan Kepulauan Riau-Lingga pada masa lalu, terutama tentang budaya orang laut (sea nomad). Di Pulau Belitung terdapat Suku Sekah yang menyebut diri mereka sebagai orang “Manih Bajau” yang berarti “descendant of the Bajau”, atau keturunan orang Bajau dari Sulawesi. Orang-orang Sekah sering menjelajah mencari tripang sampai ke pesisir Kalimantan dan Lampung. Orang Sekah memiliki tempat penguburan di Pulau Selanduk di sebelah barat Pulau Belitung.

Di Pulau Karimata terdapat permukiman Suku Galang yang muncul pada pertengahan abad XIX Masehi yang pernah dikunjungi oleh orang laut (sea nomad) dari Pulau Belitung. Selain Suku Sekah, di Pulau Belitung terdapat orang laut lainnya, yaitu orang Juru yang beragama Islam dan tinggal di Pulau Lepar. Mereka telah menggunakan perahu yang lebih besar daripada perahu orang Sekah. Telah terjadi percampuran budaya antara orang Sekah dan orang Juru melalui perkawinan. Mereka bermukim di Tanjung Pandan, Mangar dan memiliki tempat (outlet) timah di bagian timur Belitung dan sebuah perkampungan di Pulau Karimata.

Banyak pulau yang tersebar di sekitar Selat Karimata, sebagian masuk wilayah Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung dan pulau-pulau lainnya masuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Pulau-pulau yang masuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat, terutama di Kabupaten Kayong Utara , tercatat ada 108 pulau yang meliputi :

- Kecamatan Kendawangan 30 pulau, Matan Hilir Selatan dan Benua Kayong 2 pulau, Matan Hilir Utara, Delta Pawan, Muara Pawan 5 pulau, Sukadana 10 pulau, Pulau Maya Karimata 61 pulau (tidak berpenghuni 26 pulau).


Gunung Tote


Eksplorasi baru dilakukan pada tahun 2009 dengan fokus Pulau Maya dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Tanggal 17 Mei 2009 saya bertolak dari Palembang menuju Pontianak . Esoknya berangkat menuju Kota Ketapang untuk bergabung dengan Tim Balai Arkeologi Banjarmasin. Hanya 35 menit numpak pesawat kecil dari Pontianak ke Kota Ketapang. Perjalanan dilanjutkan dengan mobil selama 1,5 jam menuju Sukadana, ibukota Kabupaten Kayong Utara (KKU). Sukadana lebih mendekati ciri-ciri desa daripada kota.

Tim bermalam di hotel yang dibangun di atas pantai pasang surut hutan mangrove. Waswas juga tidur di hotel yang mengangkangi laut itu, jangan-jangan muncul pasang besar yang dapat menggenangi kamar.

Esok pagi tim berangkat dengan speedboat ke Pulau Maya. Empat puluh lima menit lamanya perjalanan sampai di Desa Tanjung Satai. Di desa ini issue tentang peninggalan purbakala yang spektakuler telah santer dibicarakan penduduk. Foto-foto yang diperlihatkan seorang petugas kecamatan membuat tim tercengang. Foto-foto itu memperlihatkan patung-patung kuno dan lukisan bangunan candi yang dipahat pada permukaan batu besar. Selain itu penduduk menceritakan harta karun lainnya berupa emas, manik-manik, dan keramik kuno. Semua peninggalan tersebut terdapat di kaki Gunung Tote yang masuk wilayah Desa Dusun Kecil.

Dua jam perjalanan dengan speedboat menuju Desa Dusun Kecil, kemudian dilanjutkan dengan naik perahu kecil menyusuri Sungai Tote. Sampai di hulu sungai, perjalanan dilanjutkan sampai ke lokasi situs dengan jalan kaki selama 30 menit menapaki lumpur hutan mangrove.

Situs Gunung Tote tampak porak poranda. Sisa-sisa lubang galian liar bertebaran dimana-mana. Sesosok patung batu berbentuk sapi alias arca nandi (Hindu) telah dipotong kepalanya karena disangka di dalamnya terdapat emas. Perusakan itu dilakukan karena sebelumnya para penjarah menemukan benda-benda emas di bawah kaki arca batu berbentuk dewa Wisnu (?) setinggi 120 cm dan bobot 125 kg.

Pahatan dua bangunan stupa pada batu besar masih dapat dilihat di lokasi. Pahatan ini diperkirakan sezaman dengan pahatan serupa di Situs Batu Pait di Kalimantan Barat, diperkirakan abad V-VI Masehi. Terlihat ada upaya menggeser batu besar itu untuk mencari emas di bawahnya, namun batu itu tidak dapat digerakkan karena terlalu besar dan berat.

Seorang informan menceritakan penggalian massal itu dilakukan pada tahun 2007. Mereka menemukan 8 arca batu yang terdiri satu arca besar dan 7 arca kecil. Arca besar sempat di simpan di rumah Bapak Saleh, seorang dukun yang tinggal di Dusun Tote. Ketika ditemui di rumahnya, arca itu tidak berada di tempatnya lagi. Menurut Bapak Soleh arca itu telah dibawa oleh orang-orang dari Desa Paritjali, Kecamatan Teluk Batang sekitar dua bulan yang lalu.

Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, penggalian tersebut dilakukan orang-orang dari Desa Paritjali, Kecamatan Teluk Batang. Tim Balai Arkeologi Banjarmasin segera melacak temuan sampai ke Parit Jali.

Di Paritjali tim langsung bertemu dengan penyandang dana “Proyek Gunung Tote”. Sang boss mengeluarkan dana besar untuk menyediakan mesin penyedot pasir dan dongkrak hidrolik untuk mengangkat bebatuan gunung (relief stupa) yang diduga terdapat emas di bawahnya. Selain arca mereka menemukan keramik, gerabah, manik-manik, senjata logam (kapak), nampan dan penginangan dari kuningan. Seorang penduduk Desa Paritjali menceritakan mereka berhasil mengumpulkan emas seberat ± 4 kg emas dalam bentuk bulatan, lantakan, dan lembaran. Emas-emas tersebut ditemukan di bawah arca besar tadi kemudian dilebur lalu dijual.

Tim Arkeologi memperkirakan peninggalan-peninggalan tersebut berasal dari abad V hingga abad XVIII Masehi. Sejak awal Masehi daerah sekitar Selat Karimata memang telah ramai sebagai jalur perdagangan dari Cina dan India menuju Kalimantan, pantai timur Sumatera dan Jawa.

Rupa-rupanya perompak atau lanun tidak hanya ada pada zaman dulu. Bila dulu mereka membajak muatan kapal-kapal dengan senjata, lanun zaman sekarang merompak situs dengan mesin penyedot air dan dongkrak hidrolik. Dilakukan secara terang-terangan tanpa ada yang mencegahnya. Tanpa ada yang peduli. Hah?!

(Sumber: nurhadirangkuti.blogspot.com)
Read More......

Sabtu, 06 Februari 2010

Ekspedisi Sriwijaya: Pengembangan Arkeologi Maritim di Balai Arkeologi Palembang


Oleh: Nurhadi Rangkuti


Abstrak

Wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang kaya dengan sumberdaya arkeologi, baik di darat maupun di perairan. Daerah pantai timur Sumatera dan Kepulauan Bangka-Belitung merupakan wilayah yang padat dengan tinggalan budaya masa lalu, antara lain situs-situs hunian, dan pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir serta peninggalan bawah air berupa kepingan-kepingan kapal (shipwrecks) dan barang muatan kapal tenggelam (BMKT) banyak dijumpai di daerah tersebut. Bukti-bukti arkeologis tersebut yang didukung oleh sumber-sumber tertulis menggambarkan adanya kontak budaya antara Sumatera-Bangka Belitung dengan daerah luar sejak awal Masehi.

Peninggalan bawah air yang berada di wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang belum banyak dikaji dalam upaya merekonstruksi kebudayaan masa lampau, terutama kehidupan bahari bangsa Indonesia pada masa lalu. Sebagai contoh, wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang mengandung banyak peninggalan maritim Kerajaan Sriwijaya dari abad ke VII-XIII Masehi. Oleh karena itu penelitian arkeologi maritim (maritime archaeology) sudah saatnya dikembangkan di Indonesia.

Tulisan ini bertujuan untuk memberitakan upaya-upaya, rencana-rencana serta kendala-kendala yang dihadapi dalam mengembangkan arkeologi-maritim khususnya di Balai Arkeologi Palembang.

Kata kunci: Arkeologi-maritim, Sriwijaya, Sumatera, Bangka-Belitung


1. Pendahuluan

Daerah pantai timur Sumatera (di Jambi dan Sumsel) dan Kepulauan Bangka-Belitung merupakan wilayah yang padat dengan tinggalan budaya masa lalu. Situs-situs permukiman dan pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir serta peninggalan bawah air berupa kepingan-kepingan kapal (shipwrecks) dan barang muatan kapal tenggelam (BMKT) banyak dijumpai di daerah tersebut. Bukti-bukti arkeologis tersebut yang didukung oleh sumber-sumber tertulis menggambarkan adanya kontak budaya antara Sumatera-Bangka Belitung dengan daerah luar sejak awal Masehi.

Peninggalan bawah air yang berada di wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang belum banyak dikaji dalam upaya merekonstruksi kebudayaan masa lampau, terutama kehidupan bahari bangsa Indonesia pada masa lalu. Sebagai contoh, wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang mengandung banyak peninggalan maritim Kerajaan Sriwijaya dari abad ke VII-XIII Masehi. Oleh karena itu penelitian arkeologi maritim (maritime archaeology) sudah saatnya dikembangkan di Indonesia.

Tulisan ini bertujuan untuk memberitakan upaya-upaya mengembangkan arkeologi-maritim khususnya di Balai Arkeologi Palembang. Salah satu upaya pengembangan tersebut antara lain diselenggarakannya kegiatan Ekspedisi Sriwijaya pada tanggal 6-10 Oktober 2009 oleh Balai Arkeologi Palembang dan Direktorat Peninggalan Bawah Air, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.


2. Arkeologi Maritim

Peninggalan bawah air berupa sisa-sisa kapal kuno dan barang muatannya merupakan bagian dari sumberdaya arkeologi (archaeological resources). Sebagaimana sumberdaya arkeologi yang terdapat di darat, peninggalan bawah air merupakan data arkeologi yang perlu dikaji oleh arkeologi sebagai disiplin ilmu. Cabang disiplin arkeologi yang menangani peninggalan bawah air di Indonesia dikenal dengan istilah arkeologi bawah air (underwater archaeology). Selain arkeologi bawah air ada beberapa istilah dari cabang disiplin arkeologi untuk menggambarkan lingkup kajian peninggalan bawah air, antara lain marine archaeology, maritime archaeology, nautical archaeology.

Jeremy Green (2004) menggunakan istilah arkeologi-maritim (maritime archaeology). Menurut Green (2004:4) arkeologi- maritim berkenaan dengan aspek-aspek arkeologi dan teknik-teknik yang digunakan untuk menangani arkeologi dalam lingkungan bawah air. Istilah arkeologi maritim digunakan untuk menangani peninggalan arkeologi yang berhubungan dengan kebudayaan maritim baik peninggalan arkeologi di darat (misalnya penemuan sisa-sisa perahu di darat) maupun peninggalan arkeologi di bawah air. Istilah arkeologi bawah air (underwater archaeology) digunakan semata-mata untuk penyederhanaan istilah dari arkeologi-maritim.

Penelitian arkeologi maritim di bawah air memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan kegiatan di darat. Diperlukan rencana yang matang meliputi studi arsip, persiapan lapangan, penyusunan tim, perlengkapan dan logistik, dan keselamatan dalam pelaksanaan. Diakui penelitian secara sistematis pada peninggalan bawah air yang meliputi survey, ekskavasi, perekaman data, penggambaran temuan, dan analisis temuan, terbentur oleh kendala keterbatasan alat dan teknologi, tenaga professional dan dana. Penelitian arkeologi bawah air merupakan penelitian interdisipliner sehingga memerlukan kerjasama dengan berbagai fihak yang terkait. Oleh karena itu proposal-proposal penelitian arkeologi maritim perlu disusun bersama dan diperlukan sharing alat, tenaga profesional dan dana.

Pada tahap integrasi dan sintesa data diperlukan studi eksperimen dan analogi etnografi. Eksperimen arkeologi antara lain berupa pembuatan replika kapal kuno berdasarkan hasil penelitian yang memerlukan tenaga-tenaga ahli dan dana yang memadai. Pembuata replika kapal kuno dianggap penting karena salah satu bentuk publikasi arkeologi-maritim kepada masyarakat.

Studi etnografi pada suku-suku laut (sea nomad) perlu dilakukan untuk menjelaskan teknologi dan cara hidup masyarakat maritim pada masa lalu. Dampak pembangunan modern menyebabkan banyak perahu dan teknologi tradisional yang telah punah, serta perubahan cara hidup pada masyarakat lokal. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam studi etnografi untuk memahami kehidupan masyarakat maritim masa lampau.


3. Ekspedisi Sriwijaya

Ekspedisi Sriwijaya merupakan satu kegiatan arkeologi-maritim yang berupaya mengintegrasikan peninggalan-peninggalan arkeologi di bawah perairan dan peninggalan arkeologi di darat dalam konteks budaya maritim. Peserta ekspedisi terdiri dari para arkeolog, antropolog, ahli kelautan, penyelam, polisi air dan wartawan.

Ekspedisi Sriwijaya bertujuan untuk menelusuri jalur pelayaran masa lampau dari Situs Kota Kapur (Bangka) menuju Palembang melalui Air Sugihan, Sungai Upang dan Sungai Musi dengan naik perahu kayu. Rute ekspedisi dipilih dengan mempertimbangkan data prasasti masa Sriwijaya, serta data persebaran situs arkeologi di Kota Kapur, Air Sugihan dan di Palembang. Prasasti yang menjadi acuan adalah Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Kedukan Bukit yang berbahasa Melayu Kuna, ditulis dengan huruf Pallawa. Kedua prasasti tersebut dibuat pada masa pemerintahan Dapunta Hiyan Sri Jayanasa, raja Sriwijaya pada abad VII Masehi.

Situs Kota Kapur yang terletak di Desa Kota Kapur, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung, adalah tempat ditemukannya prasasti batu berbentuk tugu pada tahun 1892. Prasasti setinggi 177 cm dan lebar 32 cm itu diterbitkan pada 28 Februari 686 Masehi, memuat kutukan bagi siapa saja yang tidak setia dan berkhianat kepada Kedatuan Sriwijaya. Pembuatan prasasti berlangsung pada saat bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang Bumi Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya.

Empat tahun sebelum Prasasti Kota Kapur ditulis, Dapunta Hiyan datang ke Palembang bersama dua puluh ribu serdadu naik perahu menyusuri Sungai Musi dengan perbekalan 200 peti. Rombongan yang berjalan kaki 1.312 tentara. Mereka berangkat dari suatu tempat yang bernama Minanga melakukan perjalanan menuju Mukha Upang selama 29 hari. Sampai di tempat tujuan, Dapunta Hiyan kemudian membangun kampung (wanua). Sang raja menyebut ekspedisi itu sebagai jaya siddayatra, yaitu perjalanan suci untuk kejayaan Sriwijaya. Boechari (1993), ahli epigrafi, menyatakan wanua yang dibangun Dapunta Hiyan kemudian berkembang jadi pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang.

Kisah ekspedisi itu terukir dalam prasasti batu yang ditemukan oleh seorang bangsa Belanda tahun 1920 di Desa Kedukan Bukit di bagian barat Kota Palembang. Prasasti Kedukan Bukit dipahat pada tanggal 16 Juni 682 Masehi.


3.1. Metode dan teknik

Dalam kegiatan ekspedisi dilakukan pengumpulan data arkeologis, keadaan lingkungan dan kondisi sosial-budaya pada tempat-tempat yang disinggahi dalam ekspedisi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara survey dan wawancara. Kegiatan arkeologi bawah air dilakukan di perairan Selat Bangka tepatnya di sekitar Pulau Pelepas yang terletak di sebelah selatan Situs Kota Kapur. Dalam kegiatan tersebut dilakukan survey dan penyelaman untuk mengidentifikasi tinggalan arkeologis di bawah air.

Posisi (situs dan obyek lainnya) dan jalur ekspedisi dilakukan dengan menggunakan Global Position System (GPS). Data yang direkam dengan GPS itu kemudian dipetakan dengan aplikasi Geographic Information System (GIS) dengan program Arc view 3.2. Pemetaan menggunakan peta digital (basemap) yang diterbitkan oleh Bakosurtanal. Hasil ekspedisi berupa jalur pelayaran masa lamapu dikaji dengan memperhatikan data arkeologi dan sumber-sumber sejarah.


3.2 Hasil Kegiatan

Di Situs Kota Kapur, tim ekspedisi mengadakan survey arkeologi, lingkungan dan pengamatan sosial budaya. Berdasarkan pengamatan lingkungan, Situs Kota Kapur mulai terancam oleh aktivitas penambang timah yang areanya mendekati zona inti situs.

Pada hari yang sama tim arkeologi bawah air melakukan survey laut dengan perahu dari Dermaga Kota Kapur menuju pulau-pulau kecil (Pulau Pelepas, Pulau Pegadung dan Pulau Nangka), dekat Tanjung Tedung yang berada di selatan Kota Kapur. Sebuah mercusuar Belanda masih berdiri kokoh di Pulau Pelepas. Mercusuar yang pernah dipugar oleh Ratu Wilhelmina pada tahun 1893 itu digunakan sebagai pemandu navigasi kapal-kapal yang ramai melintasi perairan Bangka-Belitung.

Nelayan setempat menunjukkan di sebelah barat Pulau Pelepas terdapat bangkai kapal tenggelam di dasar laut. Penyelaman arkeologi bawah air pun di lakukan pada saat permukaan laut tenang, namun arus di bawahnya sangat kencang dan jarak pandang hanya 1 – 3 meter. Sebuah kapal perang Belanda ditemukan terbenam di dasar laut pada kedalaman 17-25 meter. Kapal besi berukuran panjang 70 meter itu tenggelam dalam kondisi terbelah dua.

Di sekitar Selat Bangka dan perarian Kepulauan Bangka-Belitung memang banyak ditemukan bangkai kapal tenggelam (shipwrecks) oleh karena banyaknya gosong karang di perairan ini. Namun perahu-perahu kayu zaman Sriwijaya malah seringkali ditemukan di rawa-rawa. Di Situs Kota Kapur ditemukan kepingan-kepingan papan perahu kuna dari dasar rawa pada saat penelitian tahun 2007 (Rangkuti 2007). Teknik rancang bangun perahu dibuat dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed technique). Sisa-sisa perahu dari teknik pembuatan dan masa yang sama ditemukan pula di rawa-rawa Mariana dan Sungai Buah (Palembang), Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir), Situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin) dan di Lambur (Jambi).

Setelah melakukan survey dan penyelaman selama dua hari di Bangka, tim kemudian menyeberangi selat Bangka dengan speedboat kayu yang ditempuh dalam waktu tiga puluh menit. Sampai di muara Air Sugihan tim langsung menelusuri Air Sugihan yang semakin ke hulu semakin sempit dan hutan mangrove pun semakin berkurang. Di belakang hutan mangrove, terbentang lahan-lahan transmigrasi yang disekat oleh jalur-jalur irigasi sekaligus untuk jalur transportasi air. Sebagian daerah lahan basah itu direklamasi untuk kawasan transmigrasi.

Speedboat masuk ke Jalur 27 dan merapat di dermaga Desa Kertamukti, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir . Desa ini kaya dengan tinggalan arkeologis berupa manik-manik berbahan kaca dan batuan, fragmen-fragmen tembikar dan keramik kuno, benda-benda emas dan logam lainnnya, serta sisa tiang rumah kuno dari batang pohon nibung (oncosperma filamentosa). Tim mengunjungi Situs Kertamukti 1 yang pernah diteliti melalui ekskavasi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Situs berada pada lahan bekas sungai kecil (alur) dan rawa yang kini telah direklamasi untuk lahan transmigrasi. Dalam ekskavasi ditemukan sisa-sisa bangunan rumah panggung bertiang nibung. Selain itu ditemukan pula tali ijuk (arrenga pinnata), pecahan-pecahan tembikar dan keramik Cina, manik-manik, sudip dari kayu dan fosil kayu. Di kawasan Air Sugihan keramik dari Cina yang paling banyak ditemukan berasal dari abad IX-X Masehi dari Dinasti Tang.

Esok paginya tim berangkat ke Palembang dengan kembali menelusuri Air Sugihan. Untuk masuk ke Sungai Musi, speedboat melewati Jalur 21. Jalur itu menghubungkan Air Sugihan dengan Sungai Saleh kemudian melewati satu jalur lainnya yang menghubungkan Sungai Saleh dengan Sungai Upang. Pada masa sekarang, sulit sekali mencari cabang dan anak sungai alamiah yang dulu menghubungkan Air Sugihan, Sungai Saleh dan Sungai Upang yang akhirnya bertemu dengan Sungai Musi di Delta Upang. Sungai-sungai alam itu telah hilang, digantikan oleh jalur-jalur irigasi.

Tim mampir di Desa Upang, Kecamatan Makarti Jaya, Kabupaten Banyuasin, yang terletak di Delta Upang. Desa ini menjadi terkenal di kalangan ahli-ahli Sriwijaya, ketika Boechari (1993) mengidentikasi lokasi Desa Upang ini pernah dikunjungi oleh Dapunta Hiyan dan ribuan tentara dengan naik perahu. Mukha Upang yang teridentifikasi dalam Prasasti Kedukan Bukit disamakan dengan Upang, desa yang terdapat di Delta Upang.

Perjalan dari Desa Upang ke Palembang menempuh waktu sekitar satu jam. Di Palembang, tim merapat di Benteng Kuto Besak. Jalur ekspedisi berakhir di tempat itu. Rute Ekspedisi Sriwijaya 2009 dapat dilihat pada gambar 1.


3.3 Pembahasan

Pada zaman dahulu para pelaut asing yang berlayar dari Selat Malaka dan Laut China Selatan ketika memasuki Selat Bangka mendapat petunjuk tentang Pulau Bangka dari tanda-tanda geografis: bukit, tanjung dan pulau kecil.

Bukit Menumbing, yang terletak di Pulau Bangka telah dikenal oleh para pelaut asing sebagai pedoman untuk masuk menuju ibukota kerajaan di Palembang. Bukit ini letaknya berhadapan dengan mulut Sungai Musi, jalur transportasi ke ibukota Sriwijaya. Pada abad XV-XVI Masehi pelaut-pelaut China menyebut Bukit Menumbing dengan nama Peng-chia shan (Peng-chia = Bangka, shan = gunung) menurut penafsiran OW Wolters (Bambang Budi utomo, 2003:65).

Para pelaut Portugis menggunakan Roteiros (Buku Panduan Laut) dari masa-masa yang sama untuk melayari Selat Bangka. Bukit Menumbing disebut sebagai Monopim. “Berlayar dari baratlaut ke tenggara, setelah melihat Monopim di Bangka, kapal-kapal mendekati Sumatera sampai garis hijau rendah hutan-hutan bakau kelihatan. Di sebelah barat Monopim pelayaran harus mengitari sebuah tanjung berkarang yang menjorok ke laut”. (P.Y. Manguin 1984:18).

Ada beberapa jalan masuk ke kota Palembang dari Selat Bangka . Berhadapan dengan Pulau Bangka terdapat muara-muara sungai, yaitu Sungai Banyuasin, Sungai Musi (Sungsang), Sungai Upang (bertemu dengan Musi di Delta Upang), Sungai Saleh dan Air (sungai) Sugihan. Berita China Shun-feng hsiang-sung (abad XV Masehi) memberi petunjuk tentang jalan yang benar ke ibukota kerajaan :
  • “Ketika buritan kapal diarahkan ke Niu-t’ui-ch’in (pusat bukit pada rangkaian perbukitan Menumbing), anda dapat terus berlayar memasuki Terusan Lama (= Musi). Garis daratan di hadapan Bangka terdapat tiga buah terusan. Terusan yang di tengah (Terusan Lama) adalah jalan yang benar. Di situ ada sebuah pulau kecil” (Wolters tanpa tahun dalam Bambang Budi Utomo, 2003:65).
Berita China itu merekomendasikan kalau mau ke Palembang sebaiknya melalui jalur Sungai Musi (Sungsang).

Ekspedisi Sriwijaya 2009 memilih jalur Air Sugihan dalam perjalanan menuju Palembang dari Situs Kota Kapur di Pulau Bangka. Selain lebih dekat, di daerah aliran Air Sugihan para arkeolog menemukan situs-situs arkeologi dari masa pra Sriwijaya sampai abad XVI Masehi. Balai Arkeologi Palembang mencatat 26 lokasi situs di kawasan tersebut.

Jalur ekspedisi yang dipilih itu antara lain untuk menjajaki kemungkinan adanya hubungan antara Situs Kota Kapur dan situs-situs yang tersebar di kawasan Air Sugihan. Sebelum Dapunta Hiyan dan bala tentaranya mengadakan ekspedisi ke Kota Kapur, kawasan itu merupakan daerah bermukim komuniti yang menganut agama Hindu. Ditemukannya arca Wisnu dari abad V-VI Masehi di Situs Kota Kapur merupakan bukti arkeologis yang terbantahkan. Berhadapan dengan Kota Kapur yang dipisahkan oleh Selat Bangka, terdapat permukiman masyarakat pantai timur Sumatera dari masa awal abad-abad Masehi hingga abad XVI Masehi, terutama terkonsentrasi di Kawasan Air Sugihan.

Rute Kota Kapur - Air Sugihan masih dimanfaatkan pada masa-masa berikutnya. Pada zaman Sriwijaya Bukit Besar di Kota kapur, Pulau Nangka dan tanjung-tanjung di pantai Sumatera dan Bangka-Belitung menjadi pedoman navigasi pelayaran. Pada abad XIX Masehi Belanda membangun mercusuar di Pulau Pelepas juga untuk pedoman pelayaran. Pada masa sekarang jalur Bangka – Air Sugihan masih digunakan untuk membawa penumpang dan barang dengan speedboat kayu dan tongkang.

Sementara itu jalur dari Air Sugihan – Palembang pada masa sekarang harus melalui kanal-kanal buatan yang menghubungkan Sungai Musi, Sungai Saleh dan Air Sugihan. Dalam ekspedisi tidak dapat dilacak jalur alamiah yang menghubungkan Palembang – Air Sugihan pada masa lampau. Banyak sungai-sungai yang telah hilang karena adanya reklamasi dan pengendapan material sungai.


4. Penutup

Penelitian arkeologi-maritim merupakan penelitian interdisipliner yang memerlukan berbagai tenaga ahli di bidang maritim dan arkeologi. Diperlukan peralatan dan teknologi yang memadai dalam kegiatan penyelaman, ekskavasi bawah air, dan perekaman data. Semua itu mengharuskan perencanaan dan rancangan penelitian arkeologi maritim yang jelas dan berkesinambungan didukung sumber dana yang memadai. Oleh karena itu pengembangan arkeologi-maritim di Indonesia memerlukan kolaborasi dengan berbagai fihak.

Dalam lingkup yang lebih luas, pengembangan arkeologi-maritim tidak semata di bidang penelitian saja tetapi juga ditindaklanjuti oleh kegiatan pelestarian dan pemanfaatan peninggalan bawah air. Ekspedisi Sriwijaya yang diselenggarakan oleh Balai Arkeologi Palembang dan Direktorat Peninggalan Bawah Air berupaya untuk mengintegrasikan kegiatan penelitian, pelestarian dan pemanfaatan dalam konsep dan pelaksanaannya. Diharapkan di masa mendatang dapat disusun kebijakan menteri dalam pengelolaan peninggalan arkeologi bawah air yang meliputi bidang penelitian, pelestarian dan pemanfaatan.


Daftar Pustaka

Bambang Budi Utomo, 2003, Masalah Sekitar Penaklukan Sriwijaya Atas Bumi Jawa, dalam Siddhayatra vol 8 No 2 November 2003. Palembang: Balai Arkeologi

Bowens, Amanda (ed), 2009, Underwater Archaeology. The NAS Guide to Principles and Practice. Nautical Archaeology Society ISBN: 978-1-405-17592-0.

Budi Wiyana, 2008, Laporan Pelatihan Arkeologi Bawah Air di Selat Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Palembang: Balai Arkeologi.

Green, Jeremy, 2004, Maritime Archaeology. A Technical Handbook. Elsevier Academic Press.

Manguin, P.Y., 1984, “Garis Pantai di Selat Bangka: Sebuah bukti baru tentang keadaan yang permanen pada masa sejarah” dalam Amerta 8, hal. 17-24. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi.

Rangkuti, Nurhadi, 2007, Jejak Bahari Kota Kapur, Kompas tanggal 5 November 2007.


Read More......

Jumat, 13 November 2009

Ekspedisi Sriwijaya: Mencari Jalur yang Hilang


Oleh NURHADI RANGKUTI

Data prakiraan pasang surut yang diterbitkan Dinas Hidro Oseanografi TNI AL menjelaskan bahwa tanggal 9 Oktober 2009 laut Selat Bangka diprediksi mengalami pasang naik tertinggi dalam bulan Oktober. Air pasang naik lebih dari tiga meter. Padahal, hari itu saatnya tim ekspedisi melintasi Selat Bangka. arapan tinggal pada angin saja. Angin kencang, apalagi badai, bisa menimbulkan gelombang tinggi. Maklum, tak lama lagi datang musim angin barat, angin yang ditakuti nelayan dan pelaut karena sering menciptakan ombak besar.

”Ada ombak besar sekalipun kami tetap jalan,” kata nakhoda yang akan mengantar tim melintasi selat.

Nakhoda speedboat (kapal cepat) kayu berkapasitas 28 penumpang itu memang sudah kenyang pengalaman mengarungi Selat Bangka. Tiap hari mereka mengangkut penumpang melayani rute Sungai Selan di Pulau Bangka menuju Air Sugihan di kawasan pantai timur Sumatera Selatan. Jalur itu melintasi salah satu bagian Selat Bangka yang paling sempit.

Pagi itu angin bertiup sepoi, menggoyang perahu-perahu yang ditambat di dermaga Tanjung Tedung, Kecamatan Sungai Selan, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dari dermaga itu tim ekspedisi bertolak ke Pulau Sumatera.

Jam belum menunjukkan pukul 10.00 pagi ketika dua speedboat yang mengangkut 35 peserta Ekspedisi Sriwijaya bergerak lincah menghindari gulungan ombak setinggi satu meter. Dalam waktu setengah jam, kapal sudah memasuki muara Sungai Air Sugihan, yang terlindung oleh daratan yang menjorok keluar: Tanjung Selokan.


Jalur ekspedisi


Balai Arkeologi Palembang dan Direktorat Peninggalan Bawah Air Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 6-10 Oktober 2009, menyelenggarakan Ekspedisi Sriwijaya. Ekspedisi dimulai dari Situs Kota Kapur di Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, menuju Palembang, ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, dengan menggunakan speedboat kayu.

Kegiatan ekspedisi terinspirasi dari isi dua prasasti batu yang dibuat pada masa pemerintahan Dapunta Hiyang Sri Jayanasa, Raja Sriwijaya pada abad VII Masehi. Kedua prasasti itu adalah Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Kedukan Bukit yang berbahasa Melayu Kuno, ditulis dengan huruf Pallawa.

Situs Kota Kapur adalah tempat ditemukannya prasasti batu berbentuk tugu pada tahun 1892. Prasasti setinggi 177 cm dan lebar 32 cm itu diterbitkan pada 28 Februari 686 Masehi, memuat kutukan bagi siapa saja yang tidak setia dan berkhianat kepada sang raja. Pembuatan prasasti berlangsung pada saat bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang Bumi Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya.

Empat tahun sebelum Prasasti Kota Kapur ditulis, Dapunta Hiyang datang ke Palembang bersama dua puluh ribu serdadu yang naik perahu menyusuri Sungai Musi dengan perbekalan 200 peti. Rombongan yang berjalan kaki 1.312 tentara.

Mereka berangkat dari suatu tempat yang bernama Minanga, melakukan perjalanan menuju Mukha Upang selama 29 hari. Sampai di tempat tujuan, di Palembang sekarang ini, Dapunta Hiyang kemudian membangun kampung (wanua).

Sang raja menyebut ekspedisi itu sebagai jaya siddayatra, yaitu perjalanan suci untuk kejayaan Sriwijaya. Boechari (1993), ahli epigrafi, menyatakan, wanua yang dibangun Dapunta Hiyang kemudian berkembang jadi pusat Kerajaan Sriwijaya tersebut berada di Palembang sekarang.

Kisah ekspedisi itu terukir dalam prasasti batu yang ditemukan pada 1920 oleh seorang bangsa Belanda di Desa Kedukan Bukit, di bagian barat Kota Palembang. Prasasti Kedukan Bukit itu dipahat pada 16 Juni 682 Masehi.

Adapun Ekspedisi Sriwijaya zaman pascareformasi diikuti para arkeolog, antropolog, ahli kelautan, penyelam, polisi air, birokrat, dan wartawan. Jalur ekspedisi ditetapkan berdasarkan jalur yang paling dekat antara Kota Kapur dan Palembang.

Jalur yang ditempuh tentu saja harus melintasi Selat Bangka. Pada zaman dahulu para pelaut asing yang berlayar dari Selat Melaka dan Laut China Selatan ketika memasuki Selat Bangka mendapat petunjuk tentang Pulau Bangka dari tanda-tanda geografis: bukit, tanjung, dan pulau kecil.

Bukit Menumbing, yang terletak di Pulau Bangka, telah dikenal oleh para pelaut asing sebagai pedoman untuk masuk menuju ibu kota kerajaan di Palembang. Bukit ini letaknya berhadapan dengan mulut Sungai Musi, jalur transportasi ke ibu kota Sriwijaya.

Para pelaut Portugis menggunakan Roteiros (Buku Panduan Laut) dari masa-masa yang sama untuk melayari Selat Bangka. Bukit Menumbing disebut sebagai Monopim.

”Berlayar dari barat laut ke tenggara, setelah melihat Monopim di Bangka, kapal-kapal mendekati Sumatera sampai garis hijau rendah hutan-hutan bakau kelihatan. Di sebelah barat Monopim pelayaran harus mengitari sebuah tanjung berkarang yang menjorok ke laut” (Pierre Y’ves Manguin, 1984).

Ada beberapa jalan masuk ke Palembang dari Selat Bangka. Berhadapan dengan Pulau Bangka terdapat beberapa muara sungai: Sungai Banyuasin, Musi (Sungsang), Upang (bertemu dengan Musi di Delta Upang), Sungai Saleh dan Air Sugihan.

Ekspedisi kali ini memilih jalur Air Sugihan dalam perjalanan menuju Palembang dari Situs Kota Kapur di Pulau Bangka. Selain lebih dekat, di daerah aliran Air Sugihan para arkeolog menemukan situs-situs arkeologi dari masa pra-Sriwijaya sampai abad XVI Masehi. Balai Arkeologi Palembang mencatat 26 lokasi situs di kawasan tersebut.

Boleh jadi ada hubungan antara Situs Kota Kapur dan situs-situs yang tersebar di kawasan Air Sugihan. Sebelum Dapunta Hiyang dan bala tentaranya mengadakan ekspedisi ke Kota Kapur, kawasan itu menjadi tempat bermukim komunitas yang menganut agama Hindu. Ditemukannya arca Wisnu dari abad V-VI Masehi di Situs Kota Kapur merupakan bukti arkeologis yang tak terbantahkan.

Berhadapan dengan Kota Kapur, yang dipisahkan oleh Selat Bangka, terdapat permukiman masyarakat pantai timur Sumatera dari masa awal abad-abad Masehi hingga abad XVI Masehi, terutama terkonsentrasi di kawasan Air Sugihan.


Jalur yang hilang

Hari kedua di Situs Kota Kapur, tim ekspedisi mengadakan survei arkeologi, lingkungan, dan pengamatan sosial budaya. Situs Kota Kapur mulai terancam oleh aktivitas penambang timah yang areanya mendekati zona inti situs.

Pada hari yang sama tim arkeologi bawah air melakukan survei laut. Mereka bertolak dengan perahu dari dermaga Kota Kapur menuju pulau-pulau kecil (Pelepas, Pegadung, dan Nangka), dekat Tanjung Tedung yang berada di selatan Kota Kapur.

Nelayan setempat menunjukkan di sebelah barat Pulau Pelepas terdapat bangkai kapal tenggelam di dasar laut. Penyelaman arkeologi bawah air pun dilakukan pada saat permukaan laut tenang. Ternyata, arus di bawahnya sangat kencang dan jarak pandang hanya 1-3 meter.

Sebuah kapal perang Belanda ditemukan terbenam di dasar laut pada kedalaman 17-25 meter. Kapal besi berukuran panjang 70 meter itu tenggelam dalam kondisi terbelah dua.

Di sekitar Selat Bangka dan perairan Kepulauan Bangka Belitung memang banyak ditemukan bangkai kapal tenggelam akibat banyak gosong karang di perairan ini. Namun, perahu-perahu kayu zaman Sriwijaya malah sering kali ditemukan di rawa-rawa.

Tiga hari di Bangka tim baru menyeberangi Selat Bangka dan langsung menelusuri Air Sugihan, yang semakin ke hulu semakin sempit. Hutan mangrove pun kian berkurang. Di belakang hutan mangrove terbentang lahan- lahan transmigrasi yang disekat oleh jalur-jalur irigasi sekaligus untuk jalur transportasi air.

Speedboat masuk ke Jalur 27 dan merapat di dermaga Desa Kertamukti, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Desa ini kaya tinggalan arkeologis berupa manik-manik berbahan kaca dan batuan, fragmen-fragmen tembikar dan keramik kuno, benda-benda emas dan logam lainnya, serta sisa tiang rumah kuno dari batang pohon nibung (Oncosperma filamentosa).

Esok paginya tim berangkat ke Palembang dengan kembali menelusuri Air Sugihan. Untuk masuk ke Sungai Musi, speedboat melewati Jalur 21. Jalur itu menghubungkan Air Sugihan ke Sungai Saleh, kemudian melewati satu jalur lainnya yang menghubungkan Sungai Saleh ke Sungai Upang.

Tim mampir di Desa Upang, Kecamatan Makarti Jaya, Kabupaten Banyuasin. Desa ini menjadi terkenal di kalangan ahli-ahli Sriwijaya ketika Boechari (1993) mengidentifikasi lokasi Desa Upang ini pernah dikunjungi oleh Dapunta Hiyang dan ribuan tentaranya dengan naik perahu. Mukha Upang yang teridentifikasi dalam Prasasti Kedukan Bukit disamakan dengan Upang, desa yang terdapat di Delta Upang.

Tiba di Benteng Kuto Besak, Palembang, para peserta turun dan ekspedisi pun usai. Nakhoda speedboat segera meluncur kembali ke Air Sugihan. ”Besok pagi saya kembali mengantar penumpang Air Sugihan-Bangka, pulang-pergi,” katanya.

Pekerjaan rutinnya itu boleh jadi meneruskan pekerjaan rutin para pelaut zaman Sriwijaya. Pelaut yang memahami tanda-tanda alam untuk pedoman navigasi, menguasai gelombang, dan hafal tiap kelokan sungai.

Nurhadi Rangkuti
Kepala Balai Arkeologi Palembang

(Kompas, Jumat, 13 November 2009)

Read More......

Jumat, 27 Maret 2009

Museum Itu Dijaga Pengemis...


Oleh: Nurhadi Rangkuti

Suatu malam menjelang peringatan Hari Pers Nasional tanggal 9 Februari 1996 di Kota Solo. Seusai santap malam, pandangan tertumbuk pada patung-patung kuna dari batu, terpajang rapi di teras depan sebuah bangunan kolonial yang redup dan pucat terbias sinar lampu remang-remang. Bangunan itu berada persis di sebelah tempat jajan serba ada yang terang benderang.

Ketika didekati, dua kepala bocah remaja muncul dari balik patung Buddha. Mereka sedang bermain kartu. Seorang lelaki tua yang lusuh mendengkur kecapaian di kaki Durgamahisasuramardini, arca Dewi Durga penakluk kerbau jadi-jadian dalam mitologi Hindu.

"Penjaganya sedang di belakang," kata salah seorang bocah pengemis itu acuh tak acuh ketika ditanya di mana petugas satpam yang menjaga gedung tua itu.

Hati kecut juga melihat 28 buah sosok batu pahatan dari abad VII sampai X Masehi terpajang lepas tanpa pengamanan sama sekali. Tak ada batas pengaman dengan kendaraan bermotor yang diparkir, dengan orang-orang yang bersantap malam di lingkungan halaman gedung tua itu, dan pengemis yang bercampur baur dengan warisan budaya tersebut. Gapura masuk pun terbuka lebar setiap malam.

Dua orang tua datang mendekat setelah mengunci pagar samping bangunan. Seorang lelaki tua yang lusuh dan renta, Teguh Suharjo (60), didampingi istrinya Welas (60), itu rupanya yang dimaksud sebagai penjaga malam Museum Radya Pustaka, museum terkenal di Kota Solo. Sosok pasangan tua itu tidak punya potongan petugas satpam sama sekali, bahkan lebih pas jika dikelompokkan bersama pengemis lainnya yang numpang tidur di depan museum.

"Sudah dua puluh tahun saya menjaga museum ini," kata Teguh perlahan-lahan. Pasangan dari Bayat, Klaten, ini adalah tunawisma yang telah dipercaya memegang kunci pintu Museum Radya Pustaka.

Harga dirinya sempat terusik ketika ditanyakan apakah profesinya sebagai pengemis. "Saya pernah berjualan jagung selama setahun di depan sana," kata Welas, istri Teguh, berkilah.

Tak banyak yang diceritakan pasangan suami-istri itu dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga malam museum. Pulang ke museum setiap pukul empat sore, setelah seharian "bertugas" mengukur jalan Kota Solo. Lalu mereka mengepel lantai dan menyapu serta mengisi air kamar mandi museum.

Kisah yang mungkin dapat mengukuhkan kedudukannya sebagai petugas satpam museum adalah keberhasilan menggagalkan upaya pencurian patung-patung batu beberapa waktu lalu. Peristiwanya menjelang subuh, ujar Welas. Seorang lelaki turun dari mobil lalu mengambil arca batu, melangkahi wanita tua yang sedang tidur di teras depan itu.

"Maling, kok, reco watu (patung batu)!" teriak Welas ketika terbangun.

Sang pencuri panik dan jatuhlah barang curiannya, kemudian kabur naik mobil. Welas menunjuk arca Agastya dan jaladwara (saluran air dari batu yang biasa terdapat pada bangunan candi) yang gagal digondol pencuri itu.

Penggagalan pencurian koleksi museum berkat pasangan pengemis itu diamini oleh Sudaryanto Daryopustoko (60), pegawai penjual karcis masuk museum. "Lihat itu lubang di lantai bekas tertumbuk batu jaladwara," katanya sambil menunjuk ke lantai marmer bagian kanopi museum.


Dicuri

Entah masih bertugas entah tidak pasangan pengemis dan pegawai penjual tiket masuk museum itu sekarang. Yang jelas, kekhawatiran yang tebersit sepuluh tahun lalu sekarang menjadi kenyataan.

Dua puluh delapan arca yang diletakkan di teras museum kini sebagian telah raib. Pada akhir September 2007, Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah mengetahui delapan arca telah hilang, benda yang asli sengaja diganti dengan benda tiruan atau dipalsukan (Kompas, 10/11). Termasuk Arca Durgamahisasuramardini dan Agastya yang dulu juga nyaris hilang.

Berita raibnya benda-benda koleksi Museum Radya Pustaka terus menggelinding menjadi bola panas. Polisi telah menetapkan empat tersangka. Tiga tersangka adalah orang dalam museum sendiri, sedangkan seorang lagi adalah perantara. Hebohnya, lima arca yang hilang ditemukan di rumah seorang pengusaha terkemuka di Jakarta.

Lebih heboh lagi, ada "surat sakti" untuk meloloskan artefak-artefak itu dari museum yang diterbitkan oleh dua institusi yang berwibawa dalam melindungi benda cagar budaya. Belakangan surat itu dinyatakan palsu juga.

Konspirasi pencurian patung-patung batu dan artefak lain koleksi Museum Radya Pustaka pasti tak pernah dibayangkan oleh pasangan pengemis yang pernah menggagalkan pencurian arca batu 10 tahun yang lalu. Kali ini museum dibobol oleh orang-orang dalam sendiri.


Konglomerat

Sepuluh tahun lalu, mungkin juga sampai sekarang, masalah dana menjadi kendala utama dalam mengelola museum dan koleksinya. Hal itu disampaikan KRT Soehadi Darmodipuro atau biasa disebut Mbah Hadi, Direktur Museum Radya Pustaka saat itu. Inti masalah yang dihadapi museum adalah biaya operasional sehari-hari.

Satu lemari berisi mikrofilm naskah-naskah Museum Radya Pustaka tidak dapat dioperasikan. Dia mengakui, sejak selesai dibuat pada tahun 1982 oleh Nancy K Florida, peneliti dari Cornell University, New York, mikrofilm itu sama sekali belum pernah digunakan.

Pada waktu itu ada brosur Museum Radya Pustaka yang diketik oleh Mbah Hadi sendiri dan digandakan dengan difoto kopi. Di bagian belakang halaman brosur ada imbauan yang ditujukan kepada kalangan konglomerat: "Apabila bapak-bapak pemilik uang sampai miliar rupiah, sudilah menyisihkan sebagian untuk menolong museum yang merana ini. Seorang meminjamkan uangnya Rp 10 juta dan dibutuhkan 10 orang untuk dapat mengumpulkan dana Rp 100 juta. Dana ini bukan diberikan gratis, tetapi disimpan di bank. Museum hanya memerlukan bunganya untuk digunakan menambah karyawan, memperbaiki kesejahteraan karyawan, dan untuk merawat koleksi".

Orang yang tidak peduli masalah dana barangkali hanya Teguh Suharjo. Pengemis itu berkeliling memerhatikan orang-orang yang tidur bersama arca-arca batu di teras depan museum. Sebelum masuk ke dalam lewat pintu samping, ia sempat mengawasi mobil-mobil yang masuk.

"Esok pagi saya harus menyediakan sesaji buat Kiai Rojomolo," katanya. Kiai Rojomolo adalah nama hiasan haluan dan buritan perahu Paku Buwono IV, salah satu koleksi museum yang unik.

Sering kali Teguh membeli perlengkapan sesaji dengan uang sendiri. Sebutlah seperti kembang, kopi, dan air mineral. Sapu yang dipakainya setiap pagi dan sore pun dibelinya sendiri.

Kini ada yang berubah di museum itu. Patung-patung batu dari abad VII hingga X Masehi berganti menjadi patung kuno dari abad XXI. Ironis!

Nurhadi Rangkuti Arkeolog,
Saat Ini Kepala Balai Arkeologi Palembang

(Kompas, Senin, 10 Desember 2007)
Read More......

Kartasura yang Ditinggalkan


Oleh: Nurhadi Rangkuti


Rombongan besar itu berjalan beriringan dengan tertib. Susuhunan Paku Buwana II (1729-1749) mengendarai kuda kesayangannya memimpin perjalanan yang bersejarah. Dua ratus prajurit berkuda dan prajurit lima batalyon berjalan gagah melindungi keluarga raja dan pejabat-pejabat tinggi kerajaan Mataram.

Rabu Paing 17 Muharam 1670 (1745 M), tercatat sebagai perpindahan pusat kerajaan Mataram Islam terakhir dari Kartasura ke Keraton Surakarta. Seluruh harta benda Kerajaan Kartasura diboyong. Sepasang pohon beringin yang masih muda, mahligai, bangsal pengrawit, gajah dan burung kesayangan sri baginda, arca- arca emas untuk upacara, pusaka Kyahi pangarab-arab dan pusaka Kyai Butamancak, kitab-kitab pusaka, dan tak ketinggalan pula pusaka Nyai Setomi.

Bedol negara, mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan upacara perpindahan tersebut. Tidak hanya keluarga raja dan pejabat-pejabat tinggi saja yang ikut pindah, tetapi juga tukang emas, tukang besi, penjahit, tukang kayu, tukang batu, abdi dalam keraton, peniup terompet, abdi dalem dapur dengan segala perkakasnya, penangkap-penangkap ikan dengan kail dan perahunya, dan harimau dalam kandangnya.

"Ini jalan yang dilalui mereka dua ratus lima puluh tahun yang lalu", kata Sarosa Suyowiyoto, menunjuk jalan kelas dua beraspal mulus setelah menyeberanginya untuk menuju ke lokasi bekas keraton Kartasura. Jalan itu berada di sebelah utara situs Keraton Kartasura. Menurut pensiunan Kepala Kandepdikbud Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo itu, bila menelusuri jalan kuna yang kini telah diaspal itu, lurus ke timur akan sampai di Keraton Surakarta. "Rombongan itu memerlukan waktu empat jam jalan kaki dari Kartasura ke Surakarta, berangkat jam delapan pagi dan tiba pukul dua belas siang".

Jalan kuna itu tidak jauh dari jalan raya Semarang - Surakarta di sebelah utara, yang dulu dibuat Deandels. "Jalan Deandels dibangun setelah Kartasura ditinggalkan", demikian keterangan dari peta kuna.


Dari Plered Ke Kartasura

Enam puluh enam tahun sebelum peristiwa perpindahan tersebut, Keraton Kartasura secara resmi pertama kali didiami oleh Sunan Amangkurat II (1677-1702), walau pembangunannya masih belum sempurna. Tepatnya pada tanggal 11 September 1680. Raja Mataram yang semula bernama Pangeran Adipati Anom itu merupakan raja pertama yang menempati Kartasura, keraton dan ibukota baru Kerajaan Mataram pengganti Keraton yang lama di Plered, Yogyakarta.

Pada waktu itu keraton di Plered dalam keadaan yang menyedihkan akibat perebutan kekuasaan yang berlarut-larut antara Sunan Amangkurat I (1646-1647) dan Trunajaya. Sunan Amangkurat I terpaksa meninggalkan keraton Plered setelah istana dikepung dan diduduki Trunajaya. Dalam pelariannya Baginda meninggal dunia di Tegalwangi, kota kecil di sebelah selatan Tegal. Sebelum menutup mata, beliau menyerahkan pusaka-pusaka kerajaan Mataram kepada Pangeran Adipati Anom, yang kemudian menggantikan beliau sebagai Sunan Amangkurat II.

Dengan bantuan Kumpeni, Trunajaya dapat dikalahkan. Tanggal 2 Januari 1680 Raden Trunajaya dihukum mati, ditikam sendiri oleh Sunan Amangkurat II di daerah Malang dekat perbatasan Kediri. Mahkota kerajaan Mataram lalu diserahkan kepada Sunan Amangkurat II. Akan tetapi keadaan keraton Plered sudah tidak terurus dan rusak, menyebabkan Sunan baru itu memutuskan untuk memindahkan ibukota dan keraton ke tempat yang baru.

Pemilihan lokasi keraton dan ibukota Kerajaan Mataram yang baru diserahkan kepada tokoh-tokoh kerajaan. Setelah melakukan survei, mereka berembug dan akhirnya menetapkan tiga lokasi yang dianggap tepat untuk membangun keraton. Lokasi yang diusulkan adalah Wanakerta, Logender danTingkir. Ketiga lokasi ini punya kelaikan tinggal. Logender daerahnya terbuka dan cukup air, Tingkir juga cukup air lagipula daerahnya bagus dan sejuk, sedangkan Wanakerta selain daerahnya datar dan cukup air, juga dekat dengan daerah Pajang dan Mataram.

Setelah panjang lebar membahas ketiga lokasi tersebut, Adipati Hurawan, sesepuh tokoh Mataram, menjatuhkan pilihan pada lokasi di Wanakerta. Terpilihnya Wanakerta karena datarannya luas, air cukup lagi mudah diperoleh dari Pengging, dan memiliki aksesibilitas yang baik dengan tanah Pajang dan Mataram. Adipati Hurawan memberi penjelasan panjang lebar tentang laiknya Wanakerta menjadi lokasi keraton baru. Sri Baginda menyetujui dan berpesan agar pola keraton yang baru mengikuti Keraton Plered.

Tujuh bulan lamanya keraton dibangun dan mendekati selesai. Bentengnya yang luas dan tebal baru dibuat dari gundukan tanah berkeliling dan disangga dengan papan di luar dan di dalamnya, agar tidak runtuh. Semak berduri mengelilingi bagian depan benteng, dan parit berair mengelilingi seluruh kedhaton. Di luar tembok benteng baluwarti bagian selatan terdapat alun-alun.

Loji Kumpeni terletak agak jauh di bagian utara dari alun- alun utara. Semua bangunan hampir belum ada yang berdinding bata, masih berbilik bambu dan beratapkan rumbia. Keraton Kartasura baru kelihatan megah dan sempurna pada tahun 1682.

Pada tanggal 11 September 1680, Sunan Amangkurat II memasuki istana yang baru. Nama Wanekerta diganti menjadi Kartasura Hadiningrat. Dua puluh tiga tahun ia menikmati keraton Kartasura, sambil menghadapi pemberontakan-pemberontakan. Pemberontakan antara lain dilakukan oleh adik Sri baginda sendiri, yaitu Pangeran Puger yang tidak mau mengakui Sunan Amangkurat II menjadi raja, karena ia sendiri telah berhasil merebut kedaton Plered dari tangan pemberontak. Belum lagi pemberontakan dari sisa-sisa pengikut Trunojoyo yang dipimpin oleh Wanakusuma serta didalangi oleh Panembahan Kajoran. Pemberontakan Untung Surapati melawan Kumpeni juga melibatkan keraton Kartasura secara tidak langsung. Kerusakan-kerusakan pun terdapat di lingkungan benteng keraton Kartasura akibat pemberontakan-pemberontakan tersebut.

Sunan Amangkurat II meninggal 1703 dan dimakamkan di Imogiri. Putera mahkota menggantikannya dengan gelar Susuhunan Amangkurat Senopati ing Alaga Sayidin Panata Gama III, atau terkenal dengan nama Sunan Amangkurat Mas (1703-1704). Setelah itu berturut-turut Kartasura dipimpin oleh Sunan Paku Buwana I (1704-1719), Sunan Prabu Hamangkurat Jawi (1719-1727), dan akhirnya Paku Buwana II, yang memindahkan keraton tersebut ke Surakarta.


Sisa-sisa Keraton

"Barang-barang berharga keraton Kartasura sekarang berada di keraton Surakarta Hadiningrat, seperti yang tercatat dalam sejarah. Sebagian disimpan di Museum Radyapustaka di Solo", kata Sarosa memberitahu kemana harta kekayaan Kartasura itu berada sekarang setelah diboyong Paku Buwana II pada tahun 1745.

Ketika kaki melangkah memasuki Museum Radyapustaka di Jalan Slamet Riyandi, Solo, pandangan terpaku pada ukir-ukiran kayu yang indah, menghiasi bagian atas pintu dalam museum. "Itu tebeng atau hiasan pintu peninggalan keraton Kartasura", kata Sudaryanto Darmopustoko (60), penjaga museum. Ia lalu menunjukkan benda peninggalan Kartasura lainnya. Lonceng perunggu yang besar, kursi-meja, perlengkapan kuda, wayang dan beberapa alat permainan anak-anak.

Rongsokan mesin jam yang besar teronggok di salah satu ruang museum, sangat menarik perhatian. Rongsokan jam ini pernah diletakkan di alun-alun Keraton Kartasura.

Alex Sudewa, dosen Sanatha Dharma Yogyakarta yang meneliti naskah kuna masa Kartasura, sempat merenungkan keberadaan jam itu di Kartasura pada zamannya. Bagi masyarakat Jawa arloji tidak berbicara apa- apa, hanya sebagai penunjuk waktu. Dipasangnya jam buatan orang Eropa di alun-alun Kartasura, tentunya bukan sekadar iklan dengan wajah sponsor, tetapi jam itu menunjukkan waktu yang bertepatan dengan waktu shalat. Apabila keraton memasang alat penunjuk waktu orang Eropa di tempat umum, menunjukkan adanya perubahan cara berpikir. Apakah benar masa Kartasura adalah zaman kegelapan?, pertanyaan ini mengawali analisanya terhadap naskah-naskah zaman Kartasura, yaitu Serat Menak, Serat Iskandar, Serat Yusuf dan Serat Ngusulbiyat.

Tertarik oleh jam panggung itu, Sarosa bersedia mengantarkan ke tempat dipasangnya jam itu di Situs Kartasura, lokasi bekas keraton yang sekarang berada di Kawedanan Kartasura di Kabupaten Sukoharjo, di Surakarta Jawa Tengah. Sampai di lokasi, Saroso kemudian menunjuk daerah pemukiman padat. "Di situ dulu alun-alun utara. Pagelaran yang terdapat pada alun-alun, sekarang telah pula jadi kampung yang padat". Sulit sekali menelusuri lokasi tepat dipasangnya jam karena padatnya rumah penduduk. Alun-alun bagian selatan pun tidak jauh berbeda.

Menyaksikan bekas Keraton Kartasura (1680-1745) sungguh menyedihkan. Tembok luar keraton atau baluwarti yang terbuat dari bata, telah hancur dan rata dengan tanah, menyisakan sedikit bagiannya di beberapa tempat. Ukuran tembok luar kurang lebih 1 km X 1 km. Tinggi benteng itu lebih dari lima meter, dan tebalnya 2,5 meter. "Dulu prajurit keraton melakukan patroli dengan mengendarai kuda di atas dinding pagar", kata Sarosa meyakinkan.

Di dalam tembok baluwarti, kini dipenuhi dengan perumahan permanen, kebun dan makam. Selain alun-alun, tempat tinggal puteri keraton (keputren) dan petamanan keraton telah menjadi pemukiman padat. Sitihinggil, tempat yang ditinggikan di depan alun-alun, sebagian telah pula menjadi permukiman. Puing-puing bangunan kuna yang tersisa adalah gedung obat (mesiu), bangunan pos jaga Kumpeni. Situs itu kini dipenuhi makam.

Tak ada kolam penuh air di Balekambang keraton, yang letaknya di tenggara keraton. Diganti oleh rumah-rumah dan lapangan sepakbola. Yang tersisa adalah gundukan tanah setinggi lebih dari 20 meter, yang disebut penduduk Gunungkunci. Di puncak "gunung" itu terdapat makam keramat. Tempat ini bekas segoroyoso, tempat rekreasi keluarga keraton, dibangun pada masa Paku Buwana I (1704-1709). Bangunan macam itu mengikuti pola keraton Plered.

Tak ada bangunan keraton yang tampak utuh. Dibandingkan tembok baluwarti, tembok bagian dalam yang mengelilingi keraton atau cepuri, masih kelihatan wujud keseluruhannya. Bagian dalam tembok keraton ini telah dipenuhi makam-makam dari kerabat keraton Surakarta, yang telah bercampur dengan makam-makam penduduk setempat. Di dalam tembok ini juga terdapat mesjid dan beberapa rumah tinggal.

Di antara makam-makam tersebut, teronggok dua buah makam tak terurus berlantai bata. Luasnya sekitar 4 X 6 meter.

"Tempat ini dulu bilik tengah keraton", ujar Saroso Suyowiyoto. Menurutnya, bilik tengah keraton biasanya untuk menyimpan benda-benda pusaka keraton. Makam yang terdapat di situ menurut pensiunan itu adalah makam kosong. "Sengaja dibuat makam, agar lahan ini tidak digunakan untuk kepentingan lain".

Yang kini masih tetap lestari dari bekas ibukota Kartasura itu, adalah nama-nama toponim. Di dalam tembok baluwarti terdapat tempat-tempat yang bernama Keputren, Sitinggil, Alun-alun, Kandangmacan, Sayuran, Bale Kambang, Sanggrahan, Gedung Obat, Pasar, Pelembatok, Sri Penganti, Manggisan, Krapyak, dan Bakalan.

"Manggisan dan Sayuran mungkin dulu kebun manggis dan sayur- sayuran keluarga keraton. Kandangmacan adalah tempat macan sebelum dipertandingkan di alun-alun", kata Sarosa yang telah menulis sejarah lokal keraton Kartasura.

Kartasura memang tinggal puing. "Hancurnya Kartasura karena pemberontakan orang-orang Cina", kata Sarosa. "Lihat kerusakan yang disengaja di tembok cepuri itu. Dulu dijebol oleh berandal- berandal Cina yang sempat menduduki keraton".


"Geger Pacina"

Babad Pacina yang ditulis tahun 1775 Saka atau 1853 Masehi oleh Raden Ngabehi Sasradipraja, menceritakan panjang lebar kehancuran keraton Kartasura oleh pemberontakan orang-orang Cina yang menentang Kumpeni Belanda. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Paku Buwana II yang memerintah di Kartasura sejak tahun 1729 sampai kira-kira tahun 1745.

Pemerintahan beliau diwarnai oleh pecahnya perang Cina pada tahun 1740 yang bersumber di Jakarta dan menjalar sampai ke seluruh Pulau Jawa. Pembunuhan massal yang dilancarkan Kumpeni di Betawi terhadap orang-orang Cina, menyebabkan mereka lari ke Jawa Tengah, khususnya di kota-kota pantai utara. Mereka bergabung dengan orang-orang Cina di Jepara, Juwana, Demak, Rembang, Tegal Semarang, dan Surabaya, melawan Kumpeni. Perasaan anti-Kumpeni menjalar pula di ibukota Kartasura. Kekuatan orang-orang Cina ini dimanfaatkan oleh Paku Buwana II untuk membebaskan diri dari Kumpeni dan sekaligus merangkul para pembesar yang anti persahabatan antara raja dan Kumpeni.

Terbunuhnya komandan garnisun Belanda, Van Velzen, di Kartasura pada tanggal 10 Juli 1741, menyebabkan orang-orang Belanda minta bantuan Pangeran Cakraningrat dari Sampang. Pangeran Madura ini memang ingin melepaskan diri dari keraton Mataram dan mendirikan kerajaan baru di bagian timur Pulau Jawa. Sri Sunan cemas dengan perkembangan tersebut, dan akhirnya terpaksa bekerja sama dengan Belanda untuk mencegah kekuasaan Pangeran dari Madura itu. Sikap raja yang tidak tegas itu menyulut pemberontakan. Para pemberontak mengangkat cucu Amangkurat III, sebagai raja yang bergelar Sunan Kuning, dan bersama-sama orang-orang Cina, berhasil menjarah keraton Kartasura. Sri Sunan terpaksa meninggalkan istana yang telah dikepung musuh dan mengungsi selama beberapa lama, sampai akhirnya Kumpeni berhasil membujuk Pangeran Cakraningrat yang menduduki Kartasura setelah menaklukan musuh.

Pada tanggal 21 Desember 1742 Susuhunan Paku Buwana II dapat kembali memasuki Keraton Kartasura dikawal oleh serdadu-serdadu Kumpeni. Akan tetapi keraron telah rusak terbakar setelah diduduki musuh, dan sudah tidak layak sebagai tempat kediaman seorang raja.

Sri Sunan menitahkan kepada dua orang patihnya, Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja, dan mayor Hogendorf serta bupati lainnya untuk mencari tempat untuk mendirikan keraton baru. Akhirnya desa Sala terpilih dari dua tempat lain yang diusulkan. Desa Sala memang letaknya di tepi sebuah sungai besar, Bengawan Solo, strategis sekali dan mudah didatangi dari pantai bila keadaan memaksa.

Setelah keraton baru itu selesai, Sri Sunan menitahkan untuk pindah dari Kartasura yang telah hancur ke keraton baru di Desa Sala. Keraton baru itu kemudian diberi nama Surakarta Hadiningrat.


Menjadi Makam

Bangunan istana tempat kediaman raja kini telah berubah menjadi tempat pemakaman kerabat Keraton Surakarta dan penduduk setempat. "Itu makam ibu saya", kata Sarosa menunjukkan lokasi pemakaman umum di dalam tembok cepuri. Makam dari kerabat keraton dipagari tembok dan dibersihkan setiap hari oleh juru kunci.

"Itu adalah makam Kanjeng Raden Ayu Adipati Sedahmirah, pujangga ayu kesayangan Paku Buwana X, yang menulis kitab Ponconiti", kata juru kunci menunjukkan satu-satunya makam yang diberi cungkup dari 27 makam dalam kompleks berpagar tembok. Setiap hari makam keramat itu tak pernah kosong dari peziarah. Banyak peziarah datang meminta maksud dan keinginannya terkabul di tempat itu. Panjang umur, murah rezeki, dapat jodoh, peningkatan karier atau sekadar mencari ketenteraman batin.

Menurut jurukunci, makam-makam penduduk setempat juga banyak yang berasal dari kalangan keraton. Dulu mereka ditugaskan oleh fihak keraton untuk mengurusi keraton Kartasura yang telah ditinggalkan. Menurut kepercayaan Jawa, bila keraton pusat kejayaan dan kebesaran sebuah kerajaan telah dirusak oleh tangan- tangan kotor, tempat itu sudah tidak boleh didirikan pusat pemerintahan lagi. Dan bekas keraton Kartasura pun kini dijadikan makam.

Read More......

“Sakaguru” Golongan Menengah


Oleh: Nurhadi Rangkuti


Sunan Kalijaga datang terlambat. Padahal Sunan Ngampel, Sunan Bonang dan Sunan Gunungjati, telah usai membuat tiang-tiang kayu dan siap ditegakkan. Tinggal satu tiang lagi, atap masjid pun dapat ditopang seimbang. Mereka menunggu sumbangan Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga datang tanpa membawa kayu sekeping pun, setelah melakukan perjalanan jauh yang melelahkan dari tempat tirakatnya. Dengan tergesa-gesa ia mengumpulkan potongan-potongan kayu yang terserak, sisa kayu tiang milik para wali. Tatal-tatal kayu itu disusun lalu diikat dengan rumput rawadan. Sakaguru keempat, satu-satunya tiang yang tidak dibuat dari satu batang kayu utuh, tak lama dibuatnya.

Segera malam itu juga pembangunan masjid pertama di Jawa, dikebut. Saka tatal buatan Sunan Kalijaga ditegakkan lebih dulu, diikuti ketiga sakaguru lainnya. Hanya satu malam masjid di tanah Demak itu selesai dibangun!

Cerita ini memang sarat legenda, yang tercatat dalam babad dan hikayat, dan terus berkumandang lewat tutur masyarakat sampai hari ini. Kisah para wali di Jawa berkumpul di Masjid Demak untuk berdiskusi agama Islam dan mistik, setelah mendirikan bangunan sakral itu. Legenda empat tiang utama (sakaguru) dan asal muasal para wali yang membuatnya, ternyata kaya dengan versi.


Masjid Demak

Masjid Demak terletak di Desa Kauman, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, jaraknya 27 km di sebelah timurlaut Kota Semarang, Jawa Tengah. Masjid ini memang tidak dibangun dalam satu malam. Bahkan kapan peletakan batu pertama masjid keramat itu, masih menjadi bahan perdebatan ahli sejarah.

Menurut Babad Demak I, berdirinya Masjid Demak ditandai dengan angka tahun lawang trus gunaning jalma, atau tahun Jawa 1399 yaitu 1447 Masehi. Pembangunan dimulai dari pemasangan empat sakaguru, kemudian bagian-bagian lainnya, termasuk puncak masjid.

Bangunan mihrab diduga dibangun lebih dulu, setelah teka-teki di bagian bangunan itu terungkap. Sebuah hiasan relief cekung (tableau) berbentuk kura-kura ditafsirkan sebagai candrasangkala (tahun kejadian berwujud lukisan, namanya mempunyai nilai angka). Kepala, kaki, tubuh dan ekor, menunjukkan tahun Jawa 1401 (1479 M).

Angka tahun itu sesuai dengan tahun penobatan Raden Patah menjadi sultan di Demak. Bangunan-bangunan besar dan indah lainnya yang mengelilingi mihrab, didirikan 30 tahun kemudian. Candrasangkala lainnya yang tertera pada kayu di pintu gerbang utama, menyiratkan angka tahun Jawa 1428 (1506 M). Menurut Dr. H.J. De Graaf dan Dr. Th. G. Th. Pigeaud (1985), dua sarjana Belanda kenamaan, pada tahun 1507 Masehi, Sultan Trenggana meresmikan perluasan masjid.


Empat sakaguru Masjid Demak. Dari kiri ke kanan: tiang Sunan Gunungjati (baratdaya), tiang Sunan Bonang (baratlaut), tiang Sunan Ngampel (tenggara) dan tiang Sunan Kalijaga (timurlaut).

Masjid Demak memiliki 20 tiang kayu dan 36 pilar dari bata. Empat tiang utama dan 12 pilar bata terpancang di ruang utama. Delapan tiang kayu dan 24 pilar lainnya di bangunan serambi, dan 8 tiang kayu menopang bangunan pawestren atau tempat sholat wanita. Delapan tiang kayu di serambi masjid dikenal dengan nama Saka Majapahit, konon dibawa dari keraton Majapahit. Tiang kayu penuh ukiran suluran, daun yang distilir dan motif tumpal.

Empat sakaguru para wali berada diruang utama berukuran 23,1 X 22,3 meter, dan jarak antartiang 4,75 meter. Keempat tiang berdiri di atas umpak besar dari batu andesit, sekarang tertutup lantai marmer.

Tiang-tiang raksasa ini terbuat dari kayu jati utuh setinggi 16 meter dengan garis tengah 95 cm, termasuk pembungkus kayu inti yang diikat plat besi ketika dipugar tahun 1848. Garis tengah saka yang asli 65 cm.

Ternyata saka tatal Sunan Kalijaga hanya sebuah legenda. Pada tahun 1986 dilakukan pemugaran, pelapis sakaguru itu dibuka. Isinya, kayu jati utuh, bukan tatal-tatal kayu yang dihimpun menjadi tiang utama. Memang ditemukan potongan-potongan kayu yang diikat plat besi, tetapi hanya sepanjang 70 cm dari atas. Yang menyedihkan, sepanjang 7 meter dari lantai kayu intinya telah hancur dan lapuk karena digerogoti waktu, rayap, airtanah dan kotoran kelelawar.

Sakaguru Sunan Gunungjati diganti kayu baru sepanjang satu meter, sedangkan tiga sakaguru lainnya diganti setinggi 725 cm. Mencari kayu jati yang baru dengan ukuran besar sulit diperoleh masa sekarang. Akhirnya kayu pengganti itu berhasil didapatkan dari hutan di daerah Cepu dan Randublatung.


Kayu-kayu sakaguru asli yang lapuk, diganti dengan kayu jati yang baru pada pemugaran tahun 1986


Pembauran

Latar sejarah tokoh pendiri Kerajaan Demak dan para wali menurut babad dan hikayat menyiratkan pembauran. Menurut Babad Demak I, Raden Patah, pendiri dinasti Kerajaan Demak, adalah keturunan Cina. De Graaf dan Pigeaud (1985) menyimpulkan asal usul dinasti Demak dari golongan pedagang menengah yang berasal dari Cina. Sebelum menetap di Demak ia berasal dari Gresik dan telah memeluk agama Islam.

Sunan Ngampel, wali tertua di Jawa, inilah yang memerintahkan Raden Patah membuka hutan di Bintara. Orang suci ini disinyalir lahir di negeri Campa dari ibu seorang Campa dan ayah seorang Arab. Sunan Ngampel bersama saudara kandungnya bertolak ke Jawa untuk mengunjungi bibi mereka, Puteri Campa (makam puteri ini bertarikh 1448 M).

Sunan Ngampel alias Raden Rahmat alias Sayid Ngali Rahmat alias Pangeran Ngampel Denta kemudian tinggal di Ngampel Denta dalam kota Surabaya. Ia datang ke Demak untuk membangun masjid Demak bersama para wali lainnya. Hikayat Hasanuddin dari Banten menyebutkan orang suci ini kemudian menurunkan dinasti para imam Masjid Demak.

Sakaguru Sunan Ngampel di Masjid Demak berada di bagian tenggara. Di bagian baratlaut berdiri sakaguru Sunan Bonang (1475-1525), salah seorang putera Sunan Ngampel. Semula Sunan Bonang tinggal di Surabaya, kemudian Karang Kemuning, Tuban dan terakhir di Ngampel Denta sewaktu dipanggil raja Demak untuk memangku jabatan sebagai imam di Masjid Demak (sesudah tahun 1490 sampai 1506). Setelah meletakkan jabatan sebagai imam, Sunan Bonang kemudian pergi ke Karang Kemuning, Bonang dan Tuban.

Sakaguru Sunan Kalijaga berdiri tegak di timurlaut, sedangkan tiang utama Sunan Gunungjati terpancang di baratdaya. Sunan Kalijaga, semula bernama Raden Sahid, putera seorang bangsawan Majapahit di Tuban. Ilmu agama dituntutnya dari Sunan Bonang, dan menikah dengan putera Sunan Gunungjati dan tinggal di Cirebon. Akhirnya ia dipanggil ke keraton Demak, antara lain berkat rekomendasi Sunan Gunungjati.

Sunan Gunungjati, semula bernama Syekh Nurullah; kemudian terkenal dengan nama Syekh Ibnu Molana, berasal dari Pasei, kota pelabuhan tua di Aceh. Nurullah pergi ke Mekah ketika Pasei dikuasai orang-orang Portugis pada tahun 1521, kemudian merantau ke Jawa. Menurut de Graaf dan Pigeaud (1985), Keraton Demak menyambut Nurullah dengan baik, bahkan menikah dengan saudara perempuan raja ketiga Demak, Sultan Trenggana (1504-1546). Nama Sunan Gunungjati berasal dari tempat makamnya di Bukit Gunungjati, Cirebon, setelah ia berhasil mendirikan dinasti Kerajaan Cirebon dan Banten.


Kiprah Golongan Menengah

Legenda empat sakaguru Masjid Demak karya para wali suci, boleh jadi menyiratkan kiprah golongan menengah pada zaman itu. Setelah peradaban Majapahit runtuh sekitar abad ke-15, golongan menengah banyak memberi kontribusi yang berarti terhadap pembaruan peradaban Jawa yang bernuansa Islam.

De Graaf dan Pigeaud (1985) memberi istilah golongan menengah Islam. Dari permulaan agama Islam sudah berpengaruh pada golongan menengah, kaum pedagang dan buruh di bandar-bandar sepanjang pantai utara Jawa, yang menjadi tempat awal terbentuknya masyarakat Islam.

Para penyebar agama Islam mulanya juga termasuk golongan menengah kaum pedagang. Golongan menengah ini diluar golongan keraton dan petani, tetapi akhirnya dapat merasuk ke seluruh lapisan. Mereka membawa pembaruan baik di bidang keagamaan, perdagangan, kesenian, pendidikan, dan yang juga penting, karya agung Masjid Demak. Sampai abad ke-19, Masjid Demak menjadi pusat agama golongan Islam tradisional.

Tiga ratus tahun lebih empat sakaguru itu berdiri. Kini kayu jati asli tiang utama itu bertambah lapuk. Kayu pengganti akan bertambah panjang, kelak akhirnya mengganti seluruh sakaguru para wali. Belum jelas benar, apakah golongan menengah bangsa ini kini telah siap menegakkan tiang-tiang besar pembaruan dan pembauran. Melanjutkan sakaguru milik para wali, yang akan dicatat sejarah.

(tulisan ini dibuat tahun 1998)
Read More......

Minggu, 22 Maret 2009

Legimin dan Titipan Pra-Sriwijaya


Oleh: Nurhadi Rangkuti

Tas hitam yang dibawa dari kampung dibukanya dengan sigap. Isinya bukan berkas-berkas penting, apalagi tumpukan uang. Tak disangka lelaki berwajah keras itu mengeluarkan kepingan-kepingan tembikar, bandul jaring dari tanah liat, tempurung kelapa, potongan kayu dan tulang hewan, pecahan bata, batu asah, sejumput manik-manik, dan seikat ijuk dari dalam tas.

"Ini contoh-contoh temuan yang ditemukan di belakang rumah saya waktu membuat parit," ujar Legimin (43), seorang transmigran asal Malang (Jawa Timur) yang kini jadi warga Desa Karangagung Tengah, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Menempuh jarak waktu empat jam dengan perahu motor dari kampungnya ke Kota Palembang hanya untuk memperlihatkan benda-benda usang dan tidak utuh lagi memang tidak lazim. Namun, kirimannya itu menjadi kado istimewa buat purbakalawan di Balai Arkeologi Palembang yang menekuni bukti-bukti peradaban sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi.

Artefak-artefak yang dibawa Legimin berasal dari situs Karangagung Tengah yang terletak di kampungnya. Situs itu kemudian menjadi terkenal di dunia arkeologi ketika beberapa tahun yang lalu analisis laboratorium terhadap dua potong kayu bekas tiang rumah panggung zaman kuno menghasilkan pertanggalan 1624-1629 BP, kira-kira sama dengan tahun 326-329 Masehi.

Penelitian arkeologis secara intensif sejak tahun 2000 sampai sekarang semakin memperkuat teori bahwa pada abad ke-4 Masehi telah ada komunitas di daerah pantai Sumatera Selatan yang aktif dalam perdagangan internasional. Komunitas yang cukup padat dan telah mengenal spesialisasi pekerjaan dan stratifikasi sosial.

Letak situs dekat Selat Bangka, selat yang dikenal sebagai ajang perdagangan internasional pada awal Masehi. Komoditas impor yang ditemukan di situs, antara lain, adalah manik-manik dari India dan Asia Barat.

Situs Karangagung diidentifikasi sebagai situs masa proto sejarah, kemudian arkeolog memberi istilah situs pra-Sriwijaya. "Disebut situs pra-Sriwijaya karena masanya sebelum berdirinya Kerajaan Sriwijaya di Palembang, dan juga pertimbangan faktor lokasi yang tidak jauh dari persebaran situs-situs Sriwijaya di Sumatera Selatan dan Jambi," ujar Tri Marhaeni, ketua tim penelitian.

Tak pelak, ditemukannya situs Karangagung sekitar tahun 2000 telah mengubah teori perubahan garis pantai timur Sumatera dalam kaitannya dengan lokasi pusat Kerajaan Sriwijaya. Teori itu yang menyatakan lokasi Sriwijaya di Palembang maupun di Jambi terletak pada tanjung di tepi laut sekitar abad ke-7 Masehi. Tampaknya teori itu perlu dipertimbangkan lagi setelah ditemukannya permukiman Karangagung dari masa yang lebih tua daripada Sriwijaya (Soeroso, 2002).


Museum situs

Setelah lebih dari seribu tahun terkubur dalam kesunyian, situs Karangagung mulai diusik manusia. Pada tahun 1987 hingga 1990, daerah Karangagung mulai dibuka sebagai lahan transmigrasi menyusul dibukanya lahan transmigrasi di Air Sugihan beberapa tahun sebelumnya. Maka dimulailah eksploitasi kekayaan arkeologi situs Karangagung.

Legimin mengisahkan, tahun 1997-1998 terjadi booming manik-manik dan benda-benda berlapis emas dari situs Karangagung. Saat itu penduduk berburu manik-manik dari bahan kaca berlapis emas, bahan batu, kaca, dan perunggu. Semua benda relik itu menjadi komoditas yang laku keras.

Jual-beli manik-manik dilakukan menurut panjang manik-manik yang dirangkai. Harga manik-manik emas Rp 40.000 per cm, manik-manik perunggu Rp 5.000 per cm, manik-manik batu Rp 500 per cm, sedangkan dari bahan lainnya Rp 1.000 per cm. Umumnya para penadah manik-manik berasal dari luar Karangagung. Legimin teringat ada seorang penadah berhasil mengumpulkan manik-manik sampai satu karung beras seberat 20 kilogram. Manik-manik itu kemudian dibawa ke Jawa dan akhirnya ke Bali.

Bisnis artefak mulai surut ketika instansi purbakala di Palembang dan Jambi melakukan penyuluhan kepada penduduk, selain artefak semakin berkurang diambili penduduk. Legimin aktif membantu para purbakalawan. Bukan itu saja, ia rajin mengumpulkan artefak-artefak yang tidak laku dijual, seperti pecahan-pecahan tembikar, bata kuno, dan potongan kayu, lalu ditata di halaman rumahnya.

"Saya telah membuat museum situs di halaman rumah," ujar Legimin. Istilah "museum situs" diperolehnya dari arkeolog yang kerap melakukan penelitian dan tinggal di rumahnya. Baginya, mengumpulkan dan memajang artefak di depan rumah agar dilihat tamu tentang bukti-bukti peradaban abad ke-4 Masehi itu adalah museum situs.

Mengapa Legimin membawa artefak-artefak "rongsokan" ke Palembang?

"Saya ingat pesan teman-teman dari arkeologi, terutama Pak Roso, kalau menemukan lokasi temuan yang paling padat dan beraneka ragam, supaya melaporkan. Parit yang saya gali padat dan lengkap temuannya, Pak," kata Legimin menjelaskan maksud kedatangannya di Palembang, sambil melaporkan ada warga yang menyimpan tujuh patung perunggu berukuran kecil. Pak Roso yang dimaksud adalah Soeroso MP, salah satu peneliti yang pertama mengungkap identitas situs Karangagung Tengah, dan kini selaku Direktur Peninggalan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Legimin, yang pernah menempuh karier sebagai petinju di Malang, pertama kali ikut transmigrasi ke Air Sugihan pada tahun 1980 dan mulai menetap di Karangagung pada akhir tahun 1989. Air Sugihan, yang letaknya di sebelah timur Karangagung (masuk Kabupaten Banyuasin), dikenal juga kaya dengan artefak pra-Sriwijaya. Daerah ini yang terlebih dahulu dieksploitasi kekayaan arkeologinya, terutama manik-manik dan keramik. Dari Air Sugihan kemudian para pemburu harta karun mengalihkan perhatian ke Karangagung.

Legimin hidup tenang di Karangagung bersama keluarga. Usahanya sebagai petani dan tukang tambal gigi mampu menghidupi seorang istri dan lima anaknya, bahkan putrinya yang sulung dapat kuliah di Malang. Sebagai tukang tambal gigi, Legimin keliling kampung dengan sepeda mencari pasien sambil mengumpulkan artefak-artefak "rongsokan" untuk koleksi museum situsnya.

Museum terbuka Legimin kini telah diberi atap rumbia agar benda-benda koleksi tidak kepanasan dan kehujanan. Dia mengakui, museum itu diwujudkan karena kekagumannya pada umur artefak-artefak Karangagung yang lebih tua daripada Kerajaan Sriwijaya, setelah ia mendengar informasi dari para purbakalawan yang sering berdiskusi di rumahnya yang sederhana.

Legimin memang bukan Maclaine Pont yang rajin mengumpulkan benda-benda peninggalan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, pada tahun 1924-1926. Arsitek bangsa Belanda yang merekonstruksi ibu kota Majapahit itu membangun gedung yang kokoh dan megah untuk menyelamatkan artefak Majapahit, sementara Legimin membangun museumnya dengan bahan apa adanya.

Bagi Legimin, benda-benda itu adalah titipan leluhur dari tanah Sriwijaya. Walaupun bukan tanah kelahirannya, kekayaan arkeologi di tanah Sriwijaya yang dipijaknya kini perlu dijaga.

Nurhadi Rangkuti
Kepala Balai Arkeologi Palembang

(Kompas, Jumat, 26 Mei 2006)
Read More......

Kamis, 05 Maret 2009

Candi di Rawa Kalimantan


Oleh: Nurhadi Rangkuti

Tiga anak Sungai Barito bertemu di Margasari: Sungai Nagara, Sungai Tapin, dan Sungai Bahan. Permukaan airnya dipenuhi oleh eceng gondok yang lalu lalang dibawa arus dan pasang surut.

Inilah lokasi kuno yang pernah dikunjungi oleh seorang warga bangsa Eropa bernama S Muller pada abad ke-19 Masehi. Ia melaporkan bahwa di tepi Sungai Nagara terdapat peninggalan orang Kling beragama Hindu yang berasal dari Coromandel.

Tempat pertama yang dikunjungi Muller adalah lokasi yang disebut oleh penduduk pada masa itu Batu Babi. Tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah tempat yang disebut Tanah Tinggi. Lokasi ketiga disebut Candi oleh penduduk setempat.

Di tempat itu Muller menemukan sejumlah besar benda bernilai, seperti batu mulia, benda-benda dari emas, dan manik-manik kaca. Pecahan-pecahan benda logam tersebar di permukaan tanah. Kunjungannya ke daerah berawa itu dipublikasikan dalam Verhandelingen over de Naturlijke Geschiedens der Nederlandsche Overzeesche Bezittingen door de Leden der Natuurkundige Commissie in Indie en Undere Schrijvers, Lund-en Volkenkunde terbitan tahun 1839-1844.

Menurut tradisi lokal, demikian laporan Muller, di tempat itu pernah berdiri bangunan berbentuk kubah dari bata dan di bawahnya terpendam sejumlah guci berisi emas yang sengaja disembunyikan. Penduduk setempat telah menggali tempat itu untuk mencari harta karun tersebut. Muller menyaksikan lubang-lubang galian yang lebarnya 6-8 meter dengan kedalaman sampai 3 meter. Banyak ditemukan bata-bata yang padat. Di antara reruntuhan struktur bata, Muller menemukan tiang pendek yang terbuat dari jenis batu warna abu-abu, sejenis basal.

Rupanya kunjungan Muller ke lokasi itu berdasarkan keterangan dari naskah Hikayat Banjar. Dalam hikayat itu tersebutlah seorang yang bernama Ampu Jatmika yang berlayar meninggalkan negaranya, Kling, untuk mencari tanah baru yang makmur. Sampai di Borneo, ia menyusuri Sungai Marabahan ke arah hulu sampai ke tempat yang dinamakan Candi Laras. Di daerah baru ini didirikan permukiman penduduk, dan Ampu Jatmika menobatkan diri sebagai raja. Setelah itu ia pergi mencari tanah baru lagi yang terletak lebih ke hulu, yang dinamakan Candi Agung.


Situs di atas rawa

Lokasi kepurbakalaan yang dikunjungi Muller sebelum tahun 1839 itu sekarang masuk wilayah Kecamatan Candi Laras Selatan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Tim peneliti Balai Arkeologi Banjarmasin sejak tahun 1997 secara intensif menyelidiki lokasi hunian kuno yang ditunjukkan Muller. Tanah Tinggi kini disebut situs Candi Laras yang berada pada posisi koordinat 2 52-2,6 Lintang Selatan dan 114 56-0,7 Bujur Timur. Yang dinamakan Candi dipastikan adalah situs Pematang Bata yang berada pada posisi koordinat 2 52-3,6 Lintang Selatan, 114-6, Bujur Timur.

Entah mengapa Ampu Jatmika memilih lokasi permukiman di daerah rawa Sungai Negara, cabang Sungai Barito yang mengalir di sebelah barat Pegunungan Meratus. Daerah rawa Sungai Negara meliputi luas sekitar 6.000 kilometer persegi yang berupa tanah datar dengan ketinggian hanya 3-4 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar daerah ini tergenang air sehingga disebut daerah lahan basah (wetland). Vegetasi khas daerah rawa adalah hutan ripauan, hutan rawa yang ditumbuhi pohon gelam yang dominan dengan jenis Melaluece cajuputi.

Lokasi kedua situs terletak di pertemuan Sungai Negara dan Sungai Tapin. Untuk mencapai ke lokasi situs dapat ditempuh dengan jalan kaki atau naik sampan. Jalan kaki sungguh berat karena harus melewati rawa dengan tinggi air sampai selutut. Apabila naik sampan, seseorang harus menunggu air pasang karena melalui sungai kecil yang dangkal. Di wilayah sekitar situs memang banyak anak sungai yang bermuara ke Sungai Negara dan Sungai Tapin. Situs Candi Laras dan situs Pematang Bata terletak dekat dengan anak-anak sungai. Jika hendak ke situs Candi Laras, kita dapat menempuhnya melalui Sungai Amas, sedangkan ke situs Pematang Bata melalui Sungai Bata. Di dekat Sungai Amas, tidak jauh dari situs Candi Laras, terdapat tonggak-tonggak kayu ulin kuno, merupakan sisa bangunan yang berhubungan dengan situs Candi Laras.

Ternyata Ampu Jatmika tidak sembarang memilih tempat. Situs Candi Laras dan situs Pematang Bata berada pada lahan yang lebih tinggi daripada lahan sekitarnya sehingga tidak terendam air pada saat air pasang.


Konstruksi kalang-sunduk

Ditilik dari namanya, Candi Laras mestinya bangunan candi dengan konstruksi batu atau bata yang biasa dijumpai pada candi-candi di Jawa. Di tempat ini memang ditemukan bata-bata kuno yang telah remuk terendam air selama berabad-abad. Tetapi yang membingungkan adanya tonggak-tonggak kayu yang menggunakan kayu besi (eusidexylon zwageri teijm) yang dikenal dengan nama kayu ulin. Sedikitnya ada tujuh tiang kayu yang sebagian menyembul ke permukaan tanah. Tiang terbesar memiliki garis tengah 55 cm, sedangkan tiang terkecil berdiameter 20 cm.

Penggalian arkeologis menemukan konstruksi fondasi dari kayu ulin. Sebuah kayu ulin sepanjang 14 meter membujur sejajar tanah. Kayu itu diapit oleh dua tonggak kayu ulin yang berukuran lebih kecil. Konstruksi ini dikenal dengan nama kalang-sunduk (kalang = penahan, sunduk = kunci), yaitu konstruksi fondasi rumah panggung yang didirikan di atas rawa atau di atas sungai. Di situs Candi Laras kalang-sunduk diletakkan di atas tanah yang dipadatkan oleh remukan bata untuk memadatkan tanah rawa yang basah.

Konstruksi bangunan bertiang kayu yang menggunakan struktur fondasi kalang-sunduk umumnya adalah bangunan rumah tinggal, arsitektur khas daerah Kalimantan Selatan. Apabila bangunan di situs Candi Laras adalah bangunan tempat tinggal, tetapi artefak-artefak yang mencerminkan aktivitas rumah tangga sehari-hari ditemukan sangat sedikit dibandingkan luas dan besar bangunan.

Masa berfungsinya bangunan di situs Candi Laras tidak diketahui secara pasti. Tim peneliti Balai Arkeologi Banjarmasin mengambil sampel kayu ulin untuk analisis radiocarbon dating C-14 di Batan Yogyakarta. Hasil analisis laboratoris menunjukkan usia kayu keras itu 800-1.000 tahun yang lalu, atau sekitar awal abad ke-11 sampai abad ke-13 Masehi.

Kayu ulin tidak tumbuh di daerah sekitar situs, tentu didatangkan dari luar. Mungkin dari daerah Pegunungan Meratus yang terletak di sebelah timur wilayah Candi Laras. Kebanyakan permukiman penduduk sekarang menggunakan kayu gelam, jenis kayu yang banyak terdapat di daerah hinterland wilayah Candi Laras.


Kubangan babi

Tempat yang bernama Candi yang pernah dikunjungi Muller lebih dari 150 tahun yang lalu merupakan hutan kecil yang ditakuti oleh penduduk sekarang karena angker. Bekas-bekas penggalian harta karun yang disaksikan Muller dulu masih dapat dijumpai berupa gundukan-gundukan tanah dan cekungan-cekungan yang berisi air pada musim hujan. Lubang-lubang galian itu sekarang menjadi kubangan babi yang banyak berkeliaran pada malam hari.

Benda-benda yang ditemukan Muller di tempat ini sekarang menjadi koleksi Museum Negeri Lambung Mangkurat, Provinsi Kalimantan Selatan. Tiang pendek dari batu yang disebutkan dalam laporan Muller adalah lingga semu dengan tinggi 33 cm dan garis tengah 34 cm.

Penggalian arkeologis di situs Pematang pada tahun 1994 dilakukan pada gundukan bekas galian penduduk dulu. Hasilnya berupa pecahan-pecahan bata yang tidak tersusun karena bekas digali penduduk. Penelitian belum memberi petunjuk lebih jauh tentang karakteristik situs, terutama informasi mengenai bentuk bangunan dari bata dan batas-batasnya yang pernah berdiri di situs Pematang Bata.

Pecahan-pecahan besar bata banyak ditemukan dalam penggalian arkeologis tahun 1998. Sebuah bata yang masih utuh berukuran 30,5 cm x 17,5 cm x 5,5 cm relatif sama dengan bata yang diukur oleh Muller yang mengunjungi tempat itu pada pertengahan abad ke-19. Bata ini dan juga memiliki ukuran yang relatif sama dengan bata-bata candi Jawa Timur, khususnya candi-candi masa Majapahit.

Jelas, bangunan di situs Pematang Bata adalah bangunan dengan konstruksi bata yang didirikan di atas tanah. Bata-bata yang ditemukan dalam keadaan pecah dan teraduk dalam posisi silang-siur di kotak-kotak penggalian menunjukkan bata-bata tersebut telah digali penduduk sewaktu Muller mengunjungi Pematang Bata. Sebaran bata terkonsentrasi pada gundukan-gundukan tanah yang luasnya kurang lebih 1.600 meter persegi.

Selain Candi Agung di Amuntai, ternyata di Pematang Bata, Kalimantan Selatan, juga terdapat sebuah candi lagi. Sayang, bangunan langka itu sekarang jadi kubangan babi. Hanya legendanya yang masih lestari.

Nurhadi Rangkuti,
Peneliti pada Balai Arkeologi Yogyakarta

(Sumber: Kompas, 21 September 2005)
Read More......

Naga-naga Blitar


Oleh: Nurhadi Rangkuti

Bagi orang yang memuja selera makan, Blitar terkenal dengan singkong gorengnya yang empuk. Daerah yang berada di sebelah selatan Gunung Kelud di Jawa Timur ini juga termasyhur sebagai tempat kelahiran sekaligus tempat peristirahatan terakhir Bung Karno, presiden pertama RI.

Namun, hanya sedikit orang yang tahu, ternyata Blitar menyimpan sejumlah naga. Makhluk mitologi yang berkaitan dengan penciptaan alam semesta, penguasa air, lambang kesuburan dan legitimasi kekuasaan politik penguasa.

Sejarah mencatat sejak zaman Majapahit, Blitar menjadi tempat ziarah penguasa di pusat. Ziarah ke tempat-tempat naga untuk tujuan keagamaan dan politik.

Di bagian selatan Blitar, terdapat sisa-sisa bangunan candi yang dianggap penting oleh purbakalawan karena dikaitkan dengan tokoh pendiri dinasti Majapahit: Raden Wijaya alias Krtarajasa Jayawarddhana yang memerintah tahun 1293-1309 M. Sisa-sisa bangunan itu berada di sebuah tempat yang bernama Simping. Dulu di tempat ini terdapat sebuah arca setinggi 2 meter, yang sekarang berada di Museum Nasional Jakarta.

Menurut Bernet Kempers (1959), ahli arkeologi dari Belanda, arca itu merupakan arca perwujudan Krtarajasa sebagai Dewa Siwa. Dalam kakawin Nagarakretagama disebutkan, Krtarajasa meninggal pada tahun Saka 1231 (1309 M) di-dharma-kan di Simping dengan sifat Siwaitis dan di Antapura dengan sifat Budhistis.

Sisa-sisa bangunan suci yang masih tampak di Simping adalah struktur bagian bawah bangunan. Dulu bangunan suci ini juga rusak, saat Raja Hayam Wuruk (1350-1389) mengunjungi makam leluhurnya itu pada tahun Saka 1283 (1361 M). Dalam Nagarakretagama disebutkan, menara candi itu miring sehingga sang baginda memerintahkan untuk menegakkannya kembali. Hayam Wuruk berkunjung kembali ke Simping pada tahun Saka 1285 (1363 M) untuk memindahkan candi makam Krtarajasa.

Di tengah struktur candi terdapat sebuah batu segi empat. Bagian atas batu terukir lukisan yang menggambarkan seekor kura-kura sedang membawa gunung di tengah punggungnya. Ular-ular naga membelit gunung tersebut. Lukisan itu melambangkan kisah Amertamanthana dari kitab Mahabharata (India). Amertamanthana menceritakan tentang terjadinya dunia ini melalui pengadukan laut susu untuk mendapatkan amerta, air kehidupan para dewa.

Selain kisah Amertamanthana, di Jawa juga dikenal kisah serupa dengan versi lain. Dalam kitab Tantu Panggelaran, ada cerita pemindahan Gunung Mahameru (Meru) dari India ke Jawa atas perintah Batara Guru dengan menggunakan kura-kura sebagai alas dan ular sebagai tali. Gunung Mandara dalam kisah Amertamanthana disamakan dengan Gunung Mahameru, gunung suci bersemayamnya para dewa, juga sebagai lambang dunia ini. Pada masa itu Pulau Jawa goncang karena terapung di lautan. Para dewa berhasil mengangkat puncak Mahameru, sedangkan Dewa Wisnu menjelma menjadi ular besar untuk membelit Gunung Mahameru dan ditaruh di atas punggung kura-kura.


Candi Naga

Sebelum mengunjungi Simping pada tahun Saka 1283 (1361 M), Raja Hayam Wuruk juga mengunjungi beberapa tempat suci di daerah Blitar. Adalah Candi Palah (sekarang orang menyebutnya Candi Penataran) yang dikunjungi raja terbesar Majapahit itu. Bangunan suci ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter di atas permukaan air laut. Candi yang telah dipugar tahun 1917-1918 itu sebelumnya terbenam oleh material erupsi Gunung Kelud.

Gugusan candi kerajaan ini terdiri atas tiga halaman, yang memanjang barat-timur, dan candi induk terdapat di bagian timur atau di belakang, paling dekat dengan Gunung Kelud. Bernet Kempers menyatakan, Candi Penataran mencakup masa 250 tahun, dari tahun 1197 (masa Kerajaan Kadiri) hingga 1454 Masehi. Gugusan candi ini ditujukan untuk memuja Dewa Siwa sebagai Dewa Gunung.

Ada dua bangunan yang dibelit naga-naga dari belasan bangunan yang berada di dalam gugusan Candi Penataran, yaitu Candi Naga dan bangunan batur pendopo. Candi Naga, sesuai dengan namanya, tubuhnya dililit naga-naga. Sembilan arca tokoh yang membawa genta upacara dipahatkan tengah mendukung naga-naga itu. Candi Naga semacam ini di Bali disebut kehen, untuk menjaga harta milik dewa.

Bernet Kempers menyatakan, ada pula orang yang menghubungkan Candi Naga dengan Gunung Meru karena tubuhnya dililit naga. Candi Naga sangat mungkin sebagai tempat meditasi raja sebagai inkarnasi dewa.

Hayam Wuruk sebagai inkarnasi dewa gunung mengunjungi tempat ini dalam rangka berziarah sambil menguatkan legitimasinya pula. Konon, dia juga bersembah bakti ke hadapan Hyang Acalapati, memohon keselamatan semua makhluk dari bencana letusan Gunung Kelud.


Naga mencaplok Majapahit

Pada tahun 2000 ditemukan sebuah pahatan naga dengan adegan yang sarat makna. Relief candi itu ditemukan sewaktu penggalian arkeologis di Situs Candi Sawentar II, di Desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro, oleh Balai Arkeologi Yogyakarta. Candi ini dimunculkan setelah ratusan tahun terbenam material lava Gunung Kelud, dan penggalian masih dilanjutkan tahun ini. Hayam Wuruk pasti belum melihat Candi Sawentar II karena bangunan ini berdiri hampir setengah abad setelah ia mangkat. Candi ini memiliki angka tahun Saka 1358 (1436 M) semasa Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Suhita (1429-1447 M).

Relief menggambarkan naga bermahkota tengah menggigit matahari, dalam bahasa Jawa Kuno, nagaraja anahut surya. Adegan itu melambangkan angka tahun (sengkalan lamba), yaitu tahun Saka 1318 (1396 M).

Drs Baskoro (2000), ketua tim penelitian, menafsirkan adegan itu sebagai sebuah peringatan peristiwa Perang Paregreg, 40 tahun sebelumnya. Perang Paregreg dikenal sebagai perang saudara antarpenguasa Majapahit, yaitu perebutan takhta antara Wirabhumi dan Wikramawardhana, yang akhirnya Bhre Wirabhumi terbunuh pada tahun Saka 1328 (1406 M). Bangunan Candi Sawentar II boleh jadi sebagai monumen peringatan peristiwa Perang Paregreg yang didirikan oleh Suhita, putri Wikramawardhana.

Lebih jauh, Baskoro memberi makna terhadap relief naga itu. Pahatan matahari atau surya khas Majapahit biasanya ditafsirkan sebagai lambang Kerajaan Majapahit. Dalam adegan digambarkan sebagian lambang negara itu sudah dicaplok naga. Menurut Baskoro, makna yang dalam pahatan itu melambangkan proses runtuhnya Kerajaan Majapahit akibat kemelut politik yang tidak berkesudahan sejak Perang Paregreg.

Blitar tidak hanya tempat bersembunyi naga-naga zaman kuno, tetapi juga melahirkan naga zaman modern dengan makna baru. Sebut saja Bung Karno, bolehlah dijuluki ”naga dunia” karena kiprah dan kepiawaian politiknya diakui dunia.

Presiden RI saat ini pun tidak lepas dari pengaruh ”alam” Blitar. Restu ibundanya yang bermukim di Blitar sewaktu pemilihan presiden, siapa tahu akan melahirkan naga baru. Mengharap SBY menjadi ”naga Indonesia” mestinya tidak dilarang. Maksudnya, mengharap sang naga mampu membangkitkan ekonomi yang masih terpuruk dan menyatukan kembali bangsa ini. Siapa tahu.

Nurhadi Rangkuti
Peneliti di Balai Arkeologi Yogyakarta

(Sumber : Kompas, Sabtu, 23 Juli 2005)
Read More......

Jejak Peradaban: Jalan Masuk Kota Majapahit


Oleh: Nurhadi Rangkuti


Akhirnya langkah kaki sampai di Mentoro. Tempat kelahiran Emha Ainun Nadjib ini memang patut dicurigai menjadi lokasi penting dalam melacak jalan menuju kota Majapahit pada abad ke-14. Desa Mentoro di Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, ini terletak di sebelah barat laut situs bekas kota Majapahit di Trowulan, Mojokerto, dengan jarak sekitar 10 kilometer.

Pandangan langsung terpaku pada sebuah patok batu di tepi jalan desa, tepat di depan rumah keluarga Emha Ainun Nadjib. "Patok batu ini bekas tambatan perahu Majapahit," tutur seorang penduduk.

Pada salah satu sisi patok setinggi 127 cm itu terpahat tulisan Jawa kuno yang belum terbaca. Bentuk patok pada bagian bawah berdenah segi empat, sedangkan bagian atas segi delapan. Bentuk patok ini berbeda dengan lingga semu yang juga ditemukan di Mentoro, tepatnya di Kuburan Dowo. Lingga semu berbentuk segi empat di bagian bawah dan bulat di bagian atas.

Informasi pun berkembang. Sekitar 100 meter di sebelah barat patok batu ditemukan lagi patok sejenis di tepi jalan. Menurut penduduk, dulunya patok kedua itu berada di tengah jalan desa, tetapi patok telah patah ditabrak pedati saat pengerasan jalan desa. Sebuah patok lagi dijumpai di halaman rumah penduduk sehingga sedikitnya terdapat tiga patok batu di Mentoro.


Daerah pinggiran kota

Melihat letaknya, Mentoro dahulu masuk daerah pinggiran kota Majapahit yang memiliki akses ke Sungai Brantas di bagian utara. Menurut cerita penduduk, dulu Mentoro adalah hutan belantara yang menjadi jalan penghubung antara Kerajaan Majapahit dan Kota Daha (Kadiri). Mentoro dipercaya pula sebagai tempat pesanggrahan putra-putri kerajaan pada masa itu.

Kompas (2 Mei 2005) memuat tulisan tentang batas situs kota Majapahit di Trowulan. Pada bagian timur laut, tenggara, dan barat daya dari situs bekas kota Majapahit, terdapat kompleks bangunan suci bersifat Hindu. Setiap kompleks bangunan di penjuru mata angin itu ditempatkan sebuah yoni kerajaan dengan cerat berhias rajanaga.

Kompleks bangunan suci di bagian timur laut diidentifikasi adalah situs Klinterejo (Kecamatan Sooko, Mojokerto), di tenggara situs Lebakjabung (Kecamatan Jatirejo, Mojokerto), sedangkan di bagian barat daya adalah situs Sedah (Kecamatan Mojowarno, Jombang). Jarak antara situs Klinterejo dan situs Lebakjabung di bagian selatannya adalah 11 kilometer, sedangkan jarak dari situs Lebakjabung ke situs Sedah di bagian baratnya adalah 9 kilometer. Berdasarkan jarak antarsitus tersebut diperkirakan batas situs kota Majapahit 11 x 9 kilometer, tanpa dibatasi tembok keliling.

Berdasarkan jarak itu pula, kompleks bangunan di bagian barat laut diperkirakan terdapat di wilayah Kecamatan Sumobito, Jombang, tepatnya di Dusun Tugu dan Dusun Badas (Kompas, 2 Mei 2005).

Di lokasi ini tersebar beberapa struktur bata, sebuah yoni polos, batu-batu candi, lumpang batu, dan dua patok batu, sejenis dengan patok-patok di Mentoro. Lokasi Mentoro di sebelah utara Dusun Tugu dipisahkan oleh sudetan Sungai Konto yang dibuat Belanda pada tahun 1914.


Sungai yang hilang

Apabila cerita penduduk Mentoro benar bahwa patok-patok batu itu dulunya tambatan perahu Majapahit, hal itu membuat arkeolog harus berpikir yang sama terhadap patok-patok batu di situs Tugu. Sebaran patok batu dari Mentoro ke Tugu memanjang utara-selatan, membentuk imajinasi patok-patok itu diletakkan pada kedua sisi sungai yang relatif lebar. Sungai yang memanjang utara-selatan dan bertemu dengan Sungai Brantas bila dirunut ke utara.

Imajinasi itulah yang menggerakkan penggalian arkeologis di Mentoro pada tahun 2005 oleh Balai Arkeologi Yogyakarta dengan ketua tim Nurhadi Rangkuti. Selain mencari sungai yang hilang, penggalian juga bertujuan untuk mengetahui permukiman kuno di tepi sungai.

Hasil penggalian mengubah imajinasi menjadi kenyataan. Penggalian di dekat patok batu di depan rumah keluarga Emha dipenuhi oleh pasir dan kerang sungai dan kotak gali mengeluarkan air pada kedalaman satu meter, padahal sedang musim kemarau. Beberapa kotak gali lainnya juga membuktikan hal yang sama. Beberapa penduduk pun lalu berbagi cerita, sering mendengar suara air dari bawah lantai rumah mereka.

Sisa-sisa permukiman kuno di tepi sungai juga berhasil ditemukan dalam penggalian. Sebuah tempat lebih tinggi, yang oleh penduduk disebut Kagenengan, digali dan menghasilkan lebih dari 1.500 fragmen tembikar dan keramik dari dalam tanah. Selain itu ditemukan pula mata uang logam China, fragmen besi, dan tulang serta gigi hewan jenis bovidae.

Bentuk dan kualitas benda-benda tembikar dan keramik di lokasi ini tidak berbeda dengan temuan-temuan dari situs Trowulan. Diperkirakan Kagenengan pernah dihuni oleh komunitas yang bukan dari golongan rakyat biasa, pada sekitar abad ke-13 hingga abad ke-15.

Sungai lama dan sisa permukiman kuno telah berhasil ditemukan, tetapi di antara anggota tim masih terjadi silang pendapat mengenai keberadaan patok batu. Apakah patok batu dulu memang berfungsi sebagai tambatan perahu atau sebagai tugu batas suatu wilayah atau desa pada masa Majapahit.


Sungai Brantas

Lokasi Mentoro dan Tugu memang sangat strategis jika dikaitkan dengan Sungai Brantas dan jalan masuk kota Majapahit dari arah barat laut. Kedua tempat itu menjadi titik simpul jalan darat dan sungai menuju kota Majapahit.

Hadi Sidomulyo (2005) telah mengkaji isi naskah Kidung Wargasari, yang menggambarkan rute dari Wewetih sampai ke Majapahit melalui Jirah, Bletik, Kamal Pandak, dan Sagada. Menurut Hadi, rute yang digambarkan dalam kidung tersebut dapat dilacak dari barat ke timur melalui Kabupaten Jombang.

Ia mengidentifikasi Sagada adalah Segodorejo yang terletak di Kecamatan Sumobito. Lokasi situs Segodorejo berada di sebelah timur Tugu dengan jarak sekitar satu kilometer. Di situs ini dijumpai tinggalan arkeologis berupa lumpang batu dan pecahan-pecahan bata.

Sungai Brantas memang tidak dapat dipisahkan dengan Kerajaan Majapahit. Sungai ini memiliki andil dalam mengembangkan ekonomi Majapahit, sampai-sampai Raja Hayam Wuruk pun menerbitkan sebuah prasasti berangka tahun 1358 tentang desa-desa penyeberangan dan pelabuhan sungai di sepanjang Sungai Brantas dan Bengawan Solo. Dalam prasasti itu tercatat 33 desa penyeberangan di tepi Bengawan Solo dan 44 desa di tepi Brantas.

Dengan mempertimbangkan keberadaan Mentoro dan Tugu pada masa Majapahit, perjalanan menuju kota Majapahit dari Sungai Brantas dapat direkonstruksi. Setelah melayari Sungai Brantas, kemudian perahu memasuki Sungai Watudakon terus ke selatan melewati Mentoro, Tugu, dan Badas. Selanjutnya, dari Badas menuju kota Majapahit ditempuh dengan transportasi darat melalui Sagada (Segodorejo) dan akhirnya masuk kota Majapahit yang letaknya di Trowulan sekarang.

Tentu saja ada seribu jalan menuju kota Majapahit. Salah satunya lewat Mentoro.

Nurhadi Rangkuti
Peneliti,
Saat Ini Kepala Balai Arkeologi Palembang

(Sumber: Kompas, Selasa, 14 November 2006)
Read More......

Dictionary

Kontak Saya

NAMA:
EMAIL:
SUBJEK:
PESAN:
TULIS KODE INI: