Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net
Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Juli 2010

Promosi Doktor Arkeologi Tinia Budiati


PEMBANGUNAN KOTA PERHATIKAN BUDAYA


Jakarta, Kompas

Pembangunan kota, termasuk Kota Tarakan di Kalimantan Timur, harus memerhatikan warisan budaya. Langkah ini penting agar kota tidak kehilangan identitasnya. Khusus untuk Kota Tarakan, pemeliharaan warisan budaya ini penting agar Tarakan tidak kehilangan identitasnya sebagai kota pertambangan minyak bumi terbesar di Indonesia pada zaman penjajahan Hindia Belanda.

Demikian dikemukakan Tinia Budiati pada sidang promosi doktor dalam bidang Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Arkeologi di Universitas Indonesia, Selasa (20/7) di Depok, Jawa Barat. Tinia Budiati dalam disertasinya-dengan promotor Prof Dr Nurhadi Magetsari dan Ko-Promotor Dr Wiwin Djuwita Ramelan-melakukan penelitian mendalam tentang "Perkembangan Kota Tarakan: Sebuah Kajian Arkeologi Sejarah bagi Manajemen Sumber Daya Manusia".

Menurut Tinia, harus ada nilai sejarah dari Kota Tarakan yang dapat diangkat sebagai kebanggaan daerahnya. Nilai-nilai positif yang dikandung Tarakan akan mengangkat harga diri kota yang pada akhirnya menggugah rasa nasionalisme. "Pemerintah dan masyarakat Kota Tarakan memiliki tanggung jawab bersama untuk mengangkat nilai tersebut," katanya.

Keberadaan situs dan bangunan di Tarakan, ujar Tinia, terkonsentrasi pada beberapa wilayah, yakni kawasan Juata Laut, kawasan Tarakan kota, kawasan Karungan, dan kawasan Pantai Amal.

Dalam sidang akademik yang dipimpin Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Dr Bambang Wibawarta serta penguji Dr Irmawati M Johan, Dr Supratikno Rahardjo, Dr Kresno Yulianto, dan Dr Erwiza Erman, yudisium Tinia dinyatakan sangat memuaskan. (NAL)

(Kompas, Rabu, 21 Juli 2010)

Read More......

Senin, 28 Juni 2010

RP SOEJONO, Dialah Ahli Prasejarah Indonesia Pertama


Langkahnya begitu pelan, mendaki satu per satu anak tangga di Gedung Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Pustlit Arkenas), Jalan Raya Condet Pejaten, Nomor 4, Jakarta Selatan, Rabu (23/6/2010). Tangan kanannya memegang pagar tangga, sedangkan tangan kirinya menggenggam tongkat. Sejenak dia berhenti, tetapi terus melangkah lagi menuju kantornya di lantai dua, tepat di depan tangga. Hanya langkah lambat itu yang menandai usia menggerogoti fisik RP Soejono.

RP Soejono adalah salah satu arkeolog Indonesia pertama. Bahkan, pria kelahiran Mojokerto, 27 November 1926, itu adalah pakar prasejarah pertama negeri ini. Meski usianya sepuh, dia tidak memiliki penyakit degeneratif. Justru pada hari tuanya dia tetap sibuk, seperti menulis artikel dan memeriksa disertasi mahasiswa dari dalam dan luar negeri.

Ada kejadian lucu soal memberikan bimbingan kepada mahasiswa yang tengah menyusun disertasi. Mahasiswa itu berasal dari Malaysia. Untuk membimbing calon doktor seperti itu, Soejono sebagai pembimbing mendapat honor Rp 400.000 per mahasiswa. Nah, pembayaran dari Malaysia ternyata melalui bank yang tidak ada cabangnya di Indonesia. Alhasil, kiriman itu pun tidak sampai ke tangan Soejono.

"Saya tidak tahu kiriman uang itu sampai di mana. Saya juga tidak menagih. Entah kapan persisnya, saya sudah lupa," kata Soejono di ruang kerjanya yang penuh berisi buku dan disertasi para mahasiswa.

Sebagai profesor prasejarah, Soejono membimbing banyak calon doktor dari berbagai negara. Dulu, dia membimbing mahasiswa, antara lain dari Perancis, Belanda, Australia, Amerika Serikat, India, Jepang, Malaysia, dan Indonesia. Semasa aktif, Soejono mengajar di Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, dan beberapa universitas lainnya. Sekarang, dia hanya membimbing satu kandidat doktor dari Malaysia.

"Ada dua lagi dari Malaysia, tetapi saya tolak," ujar Soejono. Dia menolak karena usianya terus meninggi dan fisiknya tidak sekuat dulu lagi. Padahal, sampai masa pensiun usia 65 tahun di Puslit Arkenas, Soejono masih aktif mengunjungi situs, termasuk mendatangi situs-situs yang berada di perbukitan atau pegunungan.

Bagi mahasiswa ingin melanjutkan studi mengenai Indonesia sebaiknya mengambil kuliah di dalam negeri, bukan di luar negeri.


Perjalanan hidup


Perjalanan hidup mantan Kepala Puslit Arkenas itu penuh warna. Dia berpindah kota mengikuti ayahnya, Soeroso, dulu anggota Volksraad pada zaman Belanda dan Residen Kedu. Sekolahnya pun berantakan karena zaman bergolak. Namun, dia lancar berbahasa Belanda.

Ketika Soejono berusia 19 tahun, di daerah Malang, Jawa Timur, dia ditangkap Belanda. Dia dijebloskan ke dalam bui sebesar lemari pakaian berukuran sempit dan gelap. Namun, tentara Belanda yang menangkapnya bingung karena Soejono pandai berbahasa Belanda. Tentara tersebut akhirnya membebaskan dia.

"Tentara Belanda itu menganggap saya mungkin orang penting sehingga tidak berani membunuh saya. Saya pun selamat. That was the best year of our life," kata Soejono mengenang.

Sebagai arkeolog senior, Soejono mengalami masa awal tumbuhnya arkeologi di Indonesia. Dari bangsa Belanda, bangsa Indonesia mengenal arkeologi dan memiliki arkeolog. Dia memilih spesialisasi prasejarah karena ketika itu tidak ada yang mengambil spesialisasi tersebut. R Soekmono dan Satyawati Suleiman mengambil spesialisasi klasik, sedangkan Boechari mendalami studi epigrafi. Alhasil, hanya dia yang menjadi murid HR van Heekeren.

"Enaknya, karena belum banyak teori tentang prasejarah Indonesia, saya tinggal bikin teori sendiri," kata suami Hangarini Ambaroekmi Vascayati itu sembari terkekeh.

Dari situ, Soejono menilai bagi mahasiswa ingin melanjutkan studi mengenai Indonesia sebaiknya mengambil kuliah di dalam negeri, bukan di luar negeri. Alasannya, rakyat Indonesia lebih tahu perihal bangsanya sendiri. Biarkan saja bangsa asing yang sibuk berdatangan ke Indonesia untuk mempelajari betapa kayanya negeri ini.

"Akarnya ada di sini. Mengapa tidak mempelajari dari akarnya langsung di sini," katanya singkat. Dia mencontohkan, disertasinya pada Juni 1977 tentang "Sistem- Sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali mengenai situs Gilimanuk" masih dapat diperbaiki oleh peneliti selanjutnya. Bukan berarti semua obyek yang sudah menjadi skripsi, tesis, dan disertasi tidak dapat digugat lagi. Justru penelitian tentang obyek tersebut harus terus dikembangkan.

"Situs Gilimanuk sangat luas dan perlu penelitian lebih lanjut. Apalagi situs lain di Indonesia," imbuh penerima gelar doctor honoris causa dari Universite d’Aix Marseille II itu.

Lagi pula, meski sekarang banyak arkeolog muda dan ilmu arkeologi tidak lagi hanya dipelajari segelintir orang, tetap saja banyak kepurbakalaan di Nusantara yang perlu penelitian lebih lanjut. Kepurbakalaan di Indonesia timur, misalnya. Belum lagi menguak secara lebih menyeluruh dari aneka obyek arkeologi yang pernah diteliti.

"Negeri ini membutuhkan banyak arkeolog," katanya.

Dia tidak ingin arkeologi Indonesia lebih dipahami bangsa asing. Apalagi jika bangsa lain menguasai kepurbakalaan Indonesia. Dia tidak memungkiri ada banyak tesis dan disertasi karya orang asing yang mengambil obyek Indonesia. Namun, akan lebih menggembirakan jika orang Indonesia sendiri yang menguasai, memahami, mengembangkan, dan memperkenalkannya kepada dunia internasional. Terutama karena Indonesia begitu heterogen dalam berbagai hal. Setiap daerah memiliki suku bangsa, bahasa, makanan, bentuk rumah, tradisi, dan pakaian khas yang berlainan.

Tidak banyak bangsa yang memiliki sejarah begitu kaya dan lengkap. Indonesia sangat beruntung karena memilikinya. Lihat saja, Indonesia memiliki manusia purba. Kepurbakalaan klasik Hindu-Buddha begitu banyak. Borobudur hanya satu-satunya di dunia ini. Coba cari, apa ada yang mirip dengannya? Bayangkan jika Indonesia tidak memiliki kekayaan tersebut. Mungkin akan mengaku-aku kekayaan bangsa lain," urainya penuh semangat.

Sumbangan arkeologi bagi Indonesia ini adalah memberikan kebanggaan bahwa bangsa ini begitu besar. Tugas arkeolog adalah terus menguak betapa rakyat Indonesia senantiasa terlibat dalam perkembangan sejarah bangsa dan negaranya. Bahkan, sejarah bangsa ini selalu terkait dengan perjalanan sejarah dunia.

"Dalam setiap periode sejarah, rakyat dan pemimpin bangsa bersatu. Namun, kini pemimpin jauh dari bangsanya sendiri. Mereka hidup dalam dunia lain. Mengabaikan rakyatnya. Menyedihkan. Kalau tahu akan begini, mungkin para pejuang kemerdekaan akan sedih. Untuk apa mereka meraih kemerdekaan? Kemerdekaan adalah jembatan emas menuju kemakmuran. Sayangnya, para pemimpin lebih senang menggerogoti emas jembatan tersebut sehingga jembatannya runtuh dan kemakmuran semakin jauh," katanya. (Ida Setyorini)

(Kompas, Senin, 28 Juni 2010)
Read More......

Kamis, 15 Januari 2009

"Kutil", Si Pengintil Jejak Peradaban


Oleh: KENEDI NURHAN

Disangka tengah menggali harta karun peninggalan Sriwijaya, arkeolog muda itu akhirnya harus berurusan dengan aparat keamanan. Penjelasannya bahwa dia sedang melakukan penelitian terkait keberadaan Kerajaan Sriwijaya di Palembang tak digubris.

Dengan cetok di tangan, pagi itu ia sibuk mengais- ngais lubang galian di situs Lorong Jambu, tak jauh dari Bukit Siguntang yang berada di bagian barat Palembang. Kebetulan teman-temannya sesama peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional sedang berada di lokasi lain ketika tiba-tiba ia didatangi aparat keamanan. Kesalahpahaman pun terjadi. Tanpa banyak bicara, Bintara Pembina Desa alias Babinsa berpangkat sersan itu membawanya ke Markas Koramil Ilir Barat II Palembang.

"Pecahan-pecahan keramik dan temuan manik-manik dari lokasi penggalian ikut diangkut ke Koramil. Itu benar-benar pengalaman yang mengesalkan, tetapi sebetulnya juga menggelikan," kata Nurhadi Rangkuti (48), arkeolog yang oleh rekan dan sejawatnya akrab disapa dengan panggilan (nama) kecilnya, Kutil.

Hampir seharian ia "ditahan" di markas tentara tingkat kecamatan tersebut. Kedatangan Bambang Budi Utomo selaku ketua tim ekskavasi Sriwijaya tak cukup membuat petugas Koramil percaya. Begitu pun kesaksian salah seorang staf Bidang Museum dan Purbakala pada Kantor Wilayah Depdikbud Sumatera Selatan, yang ikut bersama tim ekskavasi, juga disangsikan.

Apa boleh buat! Salah seorang anggota tim akhirnya diutus ke Kantor Wali Kota Palembang. Baru setelah Kepala Bagian Humas Pemda Kotamadya Palembang (ketika itu) Jalaluddin ikut turun tangan, urusan beres. Si Kutil pun "bebas" dari tuduhan sebagai pemburu harta karun Sriwijaya.

Sebagai arkeolog, tentu saja banyak suka duka yang ia alami dalam berbagai penelitian di sejumlah situs di Tanah Air. Akan tetapi, berurusan dengan petugas Koramil dan dituduh sebagai penggali liar untuk mencari harta karun adalah hal yang "istimewa".

"Seumur-umur tidak pernah ada kejadian seorang peneliti di bidang arkeologi diangkut dan ditahan di Koramil seperti menimpa Kutil," kata Bambang Budi Utomo tertawa terkekeh-kekeh mengomentari peristiwa yang terjadi pada tahun 1990 tersebut.

Nurhadi Rangkuti akhirnya dipercaya menjadi Kepala Balai Arkeologi Palembang, lembaga yang kemudian dibentuk jauh setelah ekskavasi Sriwijaya berakhir. Diakuinya, serangkaian penelitian tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya banyak memberi andil bagi karier awalnya sebagai arkeolog.


Berburu jejak peradaban

Bagi lelaki kelahiran Medan (30 Desember 1958) namun tumbuh dan besar di Jakarta ini, dunia arkeologi sudah menjadi bagian dari hidupnya. Meski profesi ini sepi dari "tepuk tangan"—apalagi penghargaan materi, ia mengaku tidak pernah menyesal menggelutinya.

Setiap kali cetok-nya menyentuh benda-benda peninggalan masa lampau yang sudah ratusan tahun terkubur di perut Bumi, dengan amat hati-hati ia perlakukan bagai menggendong anak kesayangannya. Ia telusuri serpihan-serpihan budaya yang tersisa itu hingga bisa menguak jenis peradaban yang telah terpendam tersebut.

Kesabaran dan rasa cinta pada profesi menjadi modal dasar untuk menguak misteri peradaban yang pernah ada di masa lampau. Sebagai peneliti, Kutil dan rekan-rekannya sesama peneliti tentu saja tidak berhenti pada hasil temuan itu sendiri. Jauh lebih penting adalah bagaimana menempatkan tinggalan-tinggalan masa lampau itu dalam konteks ruang dan waktu, kemudian meletakkannya dalam bingkai kekinian.

"Memberi konteks dan menggali makna di balik sebuah peradaban adalah esensi dari aktivitas penelitian arkeologi. Dengan begitu kita bisa ’membaca’ kearifan-kearifan lokal dari suatu peradaban," kata Nurhadi Rangkuti dalam suatu percakapan santai di tepian Sungai Musi, beberapa waktu lalu.

Tampil sangat bersahaja, dan mengaku agak risi dengan embel-embel barunya sebagai "pejabat" struktural yang mengharuskannya ikut mengurusi masalah-masalah administratif, sehari-hari ia tetap bangga disebut sebagai peneliti. Tak aneh bila hingga kini pun ia masih lebih kerap berada di lapangan ketimbang di kantor.

Sebelum dipercaya menjadi Kepala Balai Arkeologi Palembang, ayah dua anak (Shella Atria Rangkuti dan Harsya Matumona Rangkuti)—dari hasil perkawinannya dengan Nurtyastuti Irrandari pada 11 September 1999—ini memang lebih kerap berada di lapangan daripada di kantor. Hampir seluruh situs arkeologis dari masa klasik—terutama di Sumatera dan Jawa—sudah ia jelajahi.

Toh, di tengah kerepotannya dalam masalah-masalah administratif, ia tetap saja "gatal" untuk tetap terjun ke lapangan. Pertengahan Oktober lalu, misalnya, ia bersama timnya "terjun" ke Sungai Batanghari di Jambi. Akhir pekan ini, selama 10 hari, ia akan menjelajahi kawasan Karang Agung untuk melakukan penelitian lanjutan di kawasan pantai timur Sumatera tersebut.

Ketertarikannya pada hal-hal yang berkaitan dengan sejarah masa lampau sudah tumbuh sejak SD (1971) dan SMP (1974). Selepas SMA (1977), Nurhadi Rangkuti memutuskan masuk Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pendidikan S-1 arkeologi ia selesaikan tahun 1984, sedangkan program S-2 diambilnya bidang geografi di Universitas Gadjah Mada (2000); saat ia bertugas di Balai Arkeologi Yogyakarta.

(Sumber: Kompas, 25 November 2006)

Read More......

Guru Arkeologi Indonesia



HINGGA hari ketujuh setelah skandal perusakan situs ibu kota Majapahit di Trowulan terungkap luas di masyarakat, Prof Dr Mundardjito masih belum habis pikir bagaimana sebagian orang yang mengaku arkeolog masih berpendapat bahwa tidak terjadi kerusakan pada situs penting itu. Wawasan, pengalaman, dan pengabdiannya sebagai arkeolog, yang dibangun berpuluh tahun, seketika dianggap tak berarti oleh pernyataan orang-orang tersebut.

Profesor Mundardjito (72) adalah Trowulan. Itulah kesan pertama saat saya pertama kali mendapat tugas meliput peristiwa ini. Hampir seluruh kenalan yang memiliki akses ke dunia arkeologi di Tanah Air hanya merekomendasikan satu nama saat ditanya siapa orang paling berkompeten berbicara tentang situs Majapahit di Trowulan. ”Prof Mundardjito atau Pak Oti dari UI,” demikian bunyi hampir setiap SMS yang masuk.

Dalam perkembangan selanjutnya pengungkapan kasus ini, makin jelas bahwa pria kelahiran Bogor, 8 Oktober 1936, tersebut adalah orang paling kompeten dan menguasai permasalahan di lapangan. Mundardjito juga yang dari tahap paling awal gigih berjuang mengingatkan pemerintah untuk segera menghentikan pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) di situs Segaran III, Trowulan, Mojokerto.

Bahkan di tengah kesibukan dan keprihatinan mempersiapkan operasi pengangkatan empedu istrinya, Ny Martuti S Danusaputro, Mundardjito tetap melayani wawancara dengan wartawan, konsultasi dengan kalangan arkeolog dan orang-orang yang peduli terhadap peninggalan sejarah, hingga menerima telepon dari menteri untuk menjelaskan duduk perkara kasus tersebut. ”Banyak hal yang belum jelas dan belum selesai dari kasus ini,” katanya.

Sejak batu pertama proyek itu diletakkan pada 3 November 2008, dilanjutkan dengan dimulainya pekerjaan fisik pada 22 November, Mundardjito terus mendapatkan informasi tidak sedap dari teman-teman dan kolega sesama arkeolog yang berdinas di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur. Informasi itu sangat mudah ia dapatkan karena dari pengalamannya selama lebih dari 40 tahun di dunia arkeologi, bisa dikatakan Mundardjito mengenal dengan baik hampir semua arkeolog, yang sebagian adalah bekas muridnya.

Dua pejabat tinggi di bidang pelestarian peninggalan purbakala saat ini, yakni Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Drajad dan Direktur Peninggalan Purbakala Soeroso MP, juga adalah bekas murid Mundardjito. ”Mereka dulu mahasiswa saya. Bahkan saat Hari Untoro menikah, saya yang menjadi saksi,” ungkap Pak Oti, panggilan akrab Mundardjito.

Dua orang itulah yang kena ”semprot” Mundardjito pada 19 Desember 2008 saat profesor tersebut membawa bukti-bukti tak terbantahkan tentang kerusakan situs Majapahit di lokasi pembangunan PIM. ”Saya katakan kepada mereka bahwa sampai kapan pun orang akan mengingat kejadian ini. Jika Pak Harto akan selalu diingat orang karena korupsinya pada masa Orde Baru, orang pun akan selalu mengingat mereka sebagai perusak peninggalan Majapahit jika tidak segera menghentikan proyek ini!” tandas salah satu pendiri Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) ini.

Pengabdian

Jika kita menengok ke belakang, akan terlihat bagaimana Mundardjito menghabiskan 3/4 hidupnya untuk kemajuan dunia arkeologi di negeri ini. Tahun 1956, saat usianya baru 20 tahun, Mundardjito memutuskan masuk ke Jurusan Arkeologi, yang waktu itu masih berada di bawah Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Sembari kuliah, Mundardjito muda menghabiskan waktunya dengan bermain band untuk mencari tambahan uang guna membiayai kuliahnya. ”Saya main gitar dan bas betot. Dulu kami sering main di mana-mana, mulai dari Wisma Nusantara, Societet Harmoni, sampai ke Istana Bogor,” kenangnya.

Saat ujian sarjana muda tahun 1961, Dekan Fakultas Sastra waktu itu yang menjadi Ketua Tim Penguji bertanya kepada Mundardjito. ”Saya ditanya, apakah mau jadi pemain musik atau jadi sarjana? Saya betul-betul kaget dengan pertanyaan itu. Sejak saat itulah saya meninggalkan musik dan serius belajar untuk jadi sarjana,” ujar Mundardjito.

Setelah gelar sarjana ia dapat pada 1963, Mundardjito langsung diangkat sebagai asisten dosen di Jurusan Arkeologi UI. Tahun 1969 ia mendapat beasiswa dari Pemerintah Yunani untuk belajar metodologi arkeologi di University of Athens. ”Saat itu di UI belum ada mata kuliah metodologi arkeologi. Baru setelah saya pulang dari Yunani tahun 1971 saya langsung membuat mata kuliah itu,” tuturnya.

Metodologi, bagi Mundardjito, adalah hal yang sangat penting untuk mendisiplinkan para calon arkeolog. Mundardjito sangat keras menegakkan disiplin tersebut hingga ke hal paling kecil, seperti menempatkan ibu jari saat memegang cetok penggali dan menggerakkan cetok itu saat mengeruk tanah.

”Cetok adalah alat utama seorang arkeolog di lapangan, bukan cangkul atau linggis. Dan cetok itu harus digerakkan dengan metode khusus dan dengan perasaan karena kalau tidak, bisa merusak peninggalan purbakala yang ingin kita gali. Itu sebabnya seorang arkeolog tidak boleh pakai sarung tangan saat memegang cetok di lapangan supaya bisa mendapatkan feeling-nya,” paparnya.

Disiplin

Mundardjito selalu mengajak para mahasiswanya dalam penelitian arkeologi di lapangan. Dalam sekali ekspedisi, bisa 20 mahasiswa sekaligus yang diajak. ”Sekali ke lapangan bisa jadi 20 judul skripsi. Saya menerapkan cara ini sejak melakukan penelitian di Banten Lama tahun 1970-an dan Borobudur tahun 1980-an,” katanya.

Mundardjito juga selalu memimpin sendiri penelitian lapangan ini. Ia mengatakan, para arkeolog zaman dulu bagaikan ilmuwan di menara gading, yang merasa cukup dengan meneliti artefak atau naskah-naskah sejarah di kampus. ”Seorang arkeolog dilahirkan dari lapangan. Apalagi saat situs-situs purbakala terancam rusak karena laju pembangunan, para peneliti harus turun sendiri ke lapangan mengamankan sendiri situs-situs itu,” tandasnya.

Dalam setiap penelitian lapangan ini, Mundardjito menerapkan disiplin yang sangat ketat bagi para mahasiswanya. Mulai dari waktu tidur, waktu makan, kegiatan di lokasi penggalian, hingga perjalanan pulang, semua diatur dengan ketat.

Salah satu tradisi yang diterapkan Mundardjito sejak dulu adalah mengumpulkan seluruh anggota tim pada akhir ekspedisi, kemudian meminta mereka menaruh tas masing-masing di dalam ruang tertutup. Setelah itu Mundardjito sendiri yang akan memeriksa seluruh tas satu demi satu. ”Jika ketahuan ada yang mengambil temuan purbakala dari lokasi, meski itu cuma secuil bata atau kereweng, akan saya perintahkan untuk mengembalikan ke lokasi tempat benda itu ditemukan. Karena kalau sekarang berani mencuri kereweng, nantinya dia akan berani mencuri emas,” tandas Mundardjito.

Etika moral

Menurut dia, etika moral dan hati nurani harus selalu ada dalam diri seorang arkeolog karena itulah yang akan menjaga mereka dari perbuatan menista sejarah. ”Etika dan moral bahkan berada di atas undang-undang. Saat saya, misalnya, di lokasi penggalian menemukan emas dari lapisan berumur 500 tahun, tak ada orang atau polisi yang tahu jika saya bilang emas itu ditemukan di lapisan yang berumur 5.000 tahun. Saya bisa kemudian menerbitkan temuan itu di jurnal internasional dan menjadi terkenal tanpa ada sanksi hukum. Tetapi, etika dan moral saya yang mencegah saya berbuat seperti itu,” papar penggagas dan penyusun Kode Etik Arkeolog tersebut.

Bahkan hingga Mundardjito diangkat sebagai guru besar arkeologi tahun 1995 saat usianya tidak muda lagi, ia tetap selalu mendampingi mahasiswa bimbingannya melakukan penelitian di lapangan. ”Bekerja dengan mahasiswa itu menarik karena saya bisa belajar mengenal karakter orang dan mengajari mereka bagaimana menjadi arkeolog yang baik. Saya pun sering diminta rekomendasi dari Dirjen saat ia merekrut tenaga baru,” ujarnya.

Kesetiaan Mundardjito terhadap arkeologi didasarkan pada keyakinan bahwa ilmu tersebut adalah ilmu yang sangat penting bagi kehidupan bangsa. ”Arkeologi adalah bagian dari jati diri bangsa,” tegasnya.

Sejak 1964 hingga sekarang ia telah menjelajah hampir seluruh situs arkeologi di Tanah Air, mulai dari yang besar-besar, seperti Borobudur, Trowulan, dan Banten Lama, hingga ke sudut-sudut Kutai, Muara Jambi, dan Pasir Angin (Jawa Barat).

Dalam kaitan dengan situs ibu kota Majapahit di Trowulan, Mundardjito mengatakan bahwa situs tersebut adalah satu-satunya situs kota yang masih tersisa dari masa kejayaan kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara. Keyakinan bahwa Trowulan dulunya adalah sebuah kota dicirikan dengan ditemukannya banyak peninggalan masa lalu di wilayah yang sangat luas. ”Dalam sebuah kota juga akan ditemukan wilayah permukiman padat dan banyak bangunan-bangunan monumental yang digunakan sebagai pusat-pusat ritual keagamaan. Semua itu ditemukan di Trowulan,” paparnya.

Sebuah peninggalan kota masa lalu menjadi penting karena itu akan membuktikan sebuah kerajaan yang besar. ”Kota adalah pusat produksi barang dan jasa. Bangunan-bangunan monumental membutuhkan tenaga manusia yang besar untuk membangunnya. Dan untuk mengoordinasikan semua itu, dibutuhkan seorang pemimpin atau raja yang kuat,” ungkapnya.

Jadi, jika peninggalan-peninggalan masa lalu tersebut kemudian dirusak begitu saja, Mundardjito berpendapat itu sama saja merobek halaman-halaman buku sejarah yang belum sempat kita baca.

(Sumber: Kompas Minggu, 11 Januari 2009)

Read More......

Arkeologi, Jembatan Masa Lalu

Amir Sodikin


Kasus perusakan situs Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, telah menyayat hati para arkeolog. Dari kasus itu, kita baru tersadar kalau arkeologi sudah dipinggirkan, ditinggalkan generasi muda, dan sistem masyarakat kita sudah abai terhadap masa lalu.

Bagi para arkeolog, artefak atau benda-benda arkeologi peninggalan masa lalu bukanlah seonggok materi yang bisu. Dari artefak, kita bisa ”terhubung” ke masa lalu Nusantara. Karena itu, tak sembarang orang bisa menyentuh, memindahkan, apalagi menggali situs arkeologi.

Lewat keterampilan para arkeolog, identitas atau jati diri kita bisa diungkap. Begitu besar peran arkeolog dalam memastikan ”kita ini sebagai bangsa apa”, tetapi begitu rendah kita memberi penghargaan kepada ilmu mereka.

”Hasil penelitian arkeologi bukan sekadar rekomendasi pariwisata. Arkeologi bisa menentukan identitas kebangsaan kita, bahkan arkeologi bisa mengubah sejarah,” kata arkeolog Bambang Budi Utomo yang ditemui Senin (12/1) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Jakarta.

Bambang dikenal sebagai arkeolog yang meneliti berbagai situs di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan juga Semenanjung Tanah Melayu, seperti di Malaysia dan Thailand selatan. Ia menggeluti sejarah Sriwijaya sekaligus menekuni sejarah Hindu-Buddha di Nusantara.

Sejak menggeluti arkeologi tahun 1975, hingga 2007 dia telah meneliti sekurangnya 66 situs peninggalan arkeologi.

Salah satu penelitiannya mengungkap penemuan candi dan permukiman di wilayah Sumsel dan Jambi yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-8 sampai ke-12 Masehi. Publikasinya tentang Sriwijaya dan Hindu-Buddha menjadi pengimbang dari wacana yang ”Majapahit centris”.

Jika mau ”membaca” masa lalu, kita akan terkejut karena keperkasaan masa lalu kita bukan hanya di era Majapahit atau Sriwijaya. Artefak yang ditemukan bisa membukakan mata bahwa kita punya pengaruh kuat pada masa lalu, tidak hanya di luasnya jajahan, tetapi juga di bidang seni.

”Hal yang sering dilupakan adalah peran Sailendra pada abad ke-8 dan ke-9. Pengaruhnya besar di pengembangan seni. Pada abad itu, muncul gaya seni Sailendra yang bisa ditemukan mulai dari Jawa, Sumatera, hingga Thailand selatan,” kata Bambang.

Di Jawa, gaya seni Sailendra bisa dilihat pada Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sewu, dan banyak lagi. Bahkan, Angkor Wat di Kamboja mendapat gaya seni Sailendra.

Terkuak pula, inspirasi penyatuan Nusantara tidak cuma datang dari era Majapahit. ”Dari prasasti Camundi di Trowulan, Raja Singhasari, Kertanegara, pernah mendeklarasikan kesatuan Dwipantara untuk menghadapi tentara Mongol, bagi saya deklarasi ini lebih eksplisit,” katanya.


Sering terlupakan


Terkadang karena isinya, temuan prasasti bisa mengubah sejarah. Namun, keberadaannya sering disepelekan. ”Ada satu prasasti yang bisa mengubah sejarah, yaitu prasasti Raja Sankhara, tetapi prasasti itu kini tak tahu di mana,” katanya.

Sejarah yang dimaksud terkait anggapan adanya dua dinasti di Jawa Tengah pada abad ke-8, yaitu Sailendra yang beragama Buddha dan Sanjaya yang beragama Hindu. Prasasti Raja Sankhara yang konon ditemukan di daerah Sragen, dan diperkuat Prasasti Sojomerto yang ditemukan di daerah Pekalongan, merevisi pendapat itu. Di Jateng hanya ada satu dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Sailendra.

Tahun 1980-an prasasti itu ada di Museum Adam Malik di Jalan Diponegoro, Jakarta. Namun, kini, kata Bambang, koleksi itu tak diketahui keberadaannya sejak museum ditutup sekitar tahun 2004.

Peninggalan masa lalu juga bisa mengungkap identitas kita. ”Kita ini sebenarnya bangsa agraris atau bangsa maritim?” tanyanya.

Kita termasuk rumpun Austronesia yang umumnya punya kesamaan: kepandaian menyeberangi lautan, pengetahuan agraris yang memadai, dan juga kemampuan membuat tembikar. ”Kita bangsa maritim yang juga agraris, tetapi maritimnya sering dilupakan,” katanya.

Apalagi saat penjajahan Belanda dengan politik tanam paksa telah memaksa penduduk melupakan laut. Nelayan pun dipaksa bertanam di darat. ”Tujuannya untuk melemahkan kekuatan laut kita,” katanya.

Padahal, dulu Demak punya angkatan laut kuat sampai berani menyerang Portugis di Malaka. ”Di era Orde Baru, kita didorong mengerjakan sawah. Memang berhasil, tetapi akhirnya kita lupa dengan laut,” katanya.


Generasi muda


Apakah pengungkapan identitas bangsa yang setengah-setengah ini akibat karena sedikitnya peninggalan tertulis? ”Prasastinya banyak, tetapi para ahlinya sedikit, regenerasi pembaca prasasti ini tak ada, hanya satu-dua orang yang menguasai,” kata Bambang.

Generasi muda kita sebenarnya tetap bisa didorong agar mencintai arkeologi. Namun, persoalannya biasanya buntu pada pertanyaan: ke mana bekerja setelah lulus? ”Sampai sekarang kami tak bisa menjawab pertanyaan ini, instansi arkeologi kini tak lagi ada penambahan tenaga,” katanya.

Kasus perusakan situs di Trowulan berimplikasi besar pada persepsi generasi muda terhadap peninggalan arkeologi. ”Dampaknya besar karena perusakan diindikasikan dilakukan oleh pemerintah,” katanya.

Untuk menghindari kasus serupa, peneliti sudah tak zamannya lagi bekerja seperti ”kucing berak”. Menggali, kemudian menimbun diam-diam. ”Peneliti harus bicara dengan masyarakat, harus memberi penyadaran masyarakat sekitar tentang nilai penting penelitian kita.”

Diakuinya, komunikasi antara peneliti arkeologi dengan masyarakat dan juga kebijakan pembangunan sering tidak jalan. Misalnya, membangun jalan harusnya ada analisis mengenai dampak lingkungan yang berkaitan dengan arkeologi. ”Namun sering arkeolog tidak diajak,” katanya.

Akibatnya, atas nama pembangunan, kepentingan arkeologi jadi terlupakan. Ketamakan pembangunan dengan sengaja telah meruntuhkan satu-satunya jembatan untuk berkomunikasi dengan masa lalu Indonesia.

(Sumber: Kompas, 14 Januari 2009)

Read More......

Dictionary

Kontak Saya

NAMA:
EMAIL:
SUBJEK:
PESAN:
TULIS KODE INI: