Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net
Tampilkan postingan dengan label Agus Aris Munandar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agus Aris Munandar. Tampilkan semua postingan

Kamis, 29 Juli 2010

Gajah Mada dan Perang Bubat


Dr. Agus Aris Munandar
Departemen Arkeologi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia



Gajah Mada adalah anggota Dinasti Rajasa

Orang tua dan kelahiran Gajah Mada hingga sekarang masih belum diketahui secara jelas. Oleh karena itu banyak kisah dan mitos yang berhubungan dengan kelahiran orang besar dari Kerajaan Majapahit tersebut. Berdasarkan uraian kitab Pararaton dan dukungan interpretasi dari prasasti Gajah Mada (tahun 1273 Śaka/1351 M) yang ditemukan di dekat Candi Singhasari, dapat dikemukakan bahwa sangat mungkin Gajah Mada masih anggota dinasti Rajasa juga. Ia masih keturunan Ken Angrok, Gajah Mada adalah cucu dari Krtanagara bukan dari garis permaisuri, melainkan dari salah seorang selir Krtanagara.

Adalah Gajah Pagon dalam Pararaton disebutkan sebagai salah seorang pengawal Raden Wijaya yang terluka terkena tombak orang-orang Kadiri yang mengejar-ngejar mereka. Raden Wijaya lalu menitipkan Gajah Pagon tersebut kepada kepala Desa Pandakan dengan wanti-wanti harus dirawat. Macan Kuping sang kepala desa akan menyediakan makanan setiap hari bagi Gajah Pagon, namun ia harus tinggal di ladang yang penuh ilalang. Maksudnya jika ada tentara Kadiri mencari-cari ke Desa Pandakan, mereka tidak akan menemukan pengikut Raden Wijaya. Perhatikan pernyataan Raden Wijaya dalam Pararaton yang sangat mengkhawatirkan keadaan Gajah Pagon, dia terluka dan dititipkan kepada kepala Desa Pandakan sebagai berikut:

Read More......

Kamis, 26 November 2009

Arkeologi dalam Kajian R.M.Ng. Poerbatjaraka


AGUS ARIS MUNANDAR
DEPARTEMEN ARKEOLOGI

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS INDONESIA (FIB UI)


I


“…Janganlah mabuk kebudayaan kuno,
tetapi jangan mabuk kebaratan juga;
ketahuilah dua-duanya, pilihlah mana yang baik
dari keduanya itu, supaya kita bisa memakainya
dengan selamat di dalam hari yang akan datang kelak”
(Poerbatjaraka 1986: 32)


Pernyataan tersebut dikemukakan oleh R.M.Ng.Poerbatjaraka ketika tengah berlangsungnya polemik kebudayaan di antara para cendekiawaan dalam tahun 1935—1936. Polemik tersebut mengemuka karena adanya kesadaran perihal bentuk kebudayaan seperti apa yang akan mengisi Indonesia ketika merdeka kelak. Di antara dua pihak yang saling berpolemik, yaitu Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, pendapat Poerbatjaraka yang berjudul “Sambungan Zaman” seakan-akan mengingatkan mereka dan seluruh bangsa yang bersiap untuk merdeka pada masa itu bahwa negeri ini telah mempunyai sejarah panjang. Bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hari ini sebenarnya adalah kelanjutan dari masa sebelumnya, begitu pula halnya dalam bidang kebudayaan. Untuk memajukan kehidupan bangsa memang perlu masukan dari kebudayaan yang lebih maju, dalam hal ini kebudayaan barat, tetapi tetap harus memperhatikan pencapaian kebudayaan nenek moyang bangsa Indonesia sendiri.

Perhatian terhadap arkeologi dalam bentuk kajian tersendiri di wilayah Indonesia awalnya telah disemaikan oleh Sir Th.S.Raffles. Walaupun Raffles hanya singkat saja menduduki jabatan penguasa tertinggi penjajahan Inggris di Nusantara, namun minatnya terhadap sejarah dan peninggalan kuna di Jawa, telah mendorongnya untuk menerbitkan karya yang monumental berjudul The History of Java (1817). Setelah buku Raffles tersebut dipublikasikan, makin banyak saja bangsa Eropa, terutama orang Belanda yang berminat untuk meneliti peninggalan kuna di Indonesia. Pada tahun 1875 didirikan perkumpulan peminat kajian arkeologi di kalangan orang Belanda (Archaeologische Vereeniging). Kegiatan perkumpulan ini antara lain berhasil menemukan tengkorak Pithecanthropus Erectus, pada tahun 1891 oleh E.Dubois. Penelitian arkeologi kemudian menjadi agenda resmi kegiatan pemerintah kolonial Hindia-Belanda, karena pada tahun 1901 dibentuklah Commissie in Nederlandsch-Indie voor Oudheidkundig onderzoek op Java en Madura. Kegiatan komisi ini berkembang dengan pesat, maka pada tahun 1913 dibentuklah lembaga yang mengurusi kegiatan penelitian purbakala (arkeologi) dinamakan Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala) (Sedyawati & Pieter Ter Keurs 2005: 8). Di bawah naungan lembaga tersebutlah penelitian arkeologi dan sejarah kuna Indonesia yang dilakukan oleh Poerbatjaraka mulai dilaksanakan.

Pada tahun 1914 terbitlah beberapa karangan Poerbatjaraka yang berkenaan dengan sejarah kuna masa Majapahit yang juga menyinggung perihal peninggalan-peninggalan kuna kerajaan tersebut. Karangan itu antara lain berjudul ”De dood van R.Wijaya den eersten koning en stichter van Majapahit”, dalam T.B.G. (Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde) LVI (afl.1-2), halaman 143—148. Pada tahun 1917 terdapat juga tulisan tentang arca di Candi Jawi, berjudul ”Het beeld van Tjandi Djawi”, dalam Oudheidkundige Verslag 1e kwart, halaman 143-151, dan satu karya penting lainnya berkenaan dengan sejarah Sunda Kuna terbit dalam tahun 1919 berjudul ”De Batoe-toelis bij Buitenzorg”, TBG LIX (afl.4) halaman 380-418. Karya tulis tentang Sunda Kuna tersebut yang sampai sekarang terus diacu dan diperbincangkan oleh para ahli manakala mereka meneliti perkara yang sama, karya Poerbatjaraka tersebut sangat monumental karena mengungkap salah satu permasalahan dalam prasasti, yaitu kronologinya.

Cukup banyak karya tulis Poerbatjaraka yang menelisik tentang berbagai hal kemasalaluan. Pada umumnya tentang bahasa, karya sastra Jawa Kuna, sejarah kuna, kajian prasasti (epigrafi), dan sedikit tentang arkeologi. Dapat dipahami apabila telaah Poerbatjaraka perihal arkeologi Indonesia cukup terbatas, karena memang dasar perhatiannya berawal dari penelisikan terhadap bahasa dan sastra, terutama dari masa Jawa Kuna. Berhubung terdapat pertalian yang erat antara bahasa dan Sastra Jawa Kuna dengan arkeologi Hindu-Buddha di Jawa, maka telaah yang dilakukan Poerbatjaraka tentang bidang yang digelutinya niscaya akan tetap berpengaruh terhadap perkembangan ilmu arkeologi Indonesia, terutama arkeologi Hindu-Buddha.


II

”Pintu masuk” perhatian Poerbatjaraka terhadap arkeologi adalah studi epigrafi (Penelisikan terhadap aksara, isi, dan kaitan sejarah suatu prasasti). Walaupun penelisikan di bidang epigrafi tersebut tidak terlalu banyak, namun hampir semua prasasti yang dikajikan penting bagi pengembangan epigrafi Indonesia kuna. Dapat kiranya Poerbatjaraka disebut sebagai ahli epigrafi perintis dari kalangan bangsa Indonesia, karena semula bidang tersebut selalu ditangani oleh orang-orang Belanda (Boechari 1964: 119).

Dalam kajian epigrafi karya Poerbatjaraka sangat banyak dan berkenaan dengan beberapa prasasti yang dianggap penting serta masih menyimpan sejumlah permasalahan. Prasasti-prasasti yang dibahas antara lain adalah pembacaan ulang terhadap prasasti Batu Tulis di Bogor. Prasasti ini telah dikaji oleh para ahli peminat Sunda Kuna, misalnya Frederich, K.F.Holle, C.M.Pleyte, dan Hoesein Djajadiningrat. Poerbatjaraka berhasil melakukan pembacaan secara lebih baik, serta sumbangan kajiannya yang penting adalah berhasil menafsirkan secara tepat kronologi prasasti itu yang menurutnya candrasangkala itu seharusnya berbunyi ”panca pandawa nge(m)ban bumi” dengan nilai angka 1255 S (1355 M) (Sutaarga 1965: 25--6). Prasasti lainnya yang dibahas oleh Poerbatjaraka adalah yang dipahatkan pada asana arca Aksobhya di Simpang Surabaya. Walaupun prasasti tersebut sudah dibahas oleh H.Kern, Poerbatjaraka berhasil membacanya kembali dengan sempurna, tafsiran yang dikemukakannya bahwa prasasti ini disusun oleh Nada, ayah Mpu Prapanca, walaupun prasasti ini bertarikh 1211 S, namun baru ditulis sesudah tahun 1272 S, demikian menurut Poerbatjaraka (Boechari 1964: 119—20).

Kajian epigrafi lainnya yang dilakukan oleh Poerbatjaraka adalah terhadap prasasti Balawi (tahun 1227 S) dan Sukamerta (tahun 1218 S). Berdasarkan penelitiannya terhadap isi kedua prasasti tersebut dapat diketahui bahwa keempat istri raja Krtarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya) adalah putri-putri raja Krtanagara. Jayanagara adalah putra Krtarajasa dari permaisurinya yang merupakan putri tertua raja Krtanagara. Hal yang sama juga disebutkan dalam uraian prasasti Sukamerta bahwa ibu Jayanagara adalah putri tertua Krtanagara yang menjadi permaisuri Krtarajasa.

Tafsiran semula menyatakan bahwa Jayanagara adalah putra Krtarajasa dari Dara Petak, putri Malayu yang dibawa ke Jawa sebagaimana yang dinyatakan dalam Pararaton. Pemberontakan-pemberontakan Ranggalawe dan Lembu Sora semula dianggap terjadi dalam masa pemerintahan Jayanagara, bahwa rakyat Majapahit tidak menyukai raja Jayanagara karena ia keturunan dari luar Jawa. Hasil penelitian Poerbatjaraka secara jelas menyatakan bahwa Jayanagara bukan keturunan luar Jawa, melainkan cucu Krtanagara, raja terakhir Singhasari. Lagi pula pemberontakan Ranggalawe dan Lembu Sora dalam Pararaton justru terjadi masih dalam era Krtarajasa, bukan dalam masa Jayanagara. Hasil kajian Poerbatjaraka tersebut sangat membantu semangat persatuan Nusantara, bahwa pada masa Majapahit tidak ada rasa suka atau tidak suka antarsuku-suku bangsa yang hidup di Jawa atau luar Jawa (Wibowo 1976: 79). Apabila hasil penelisikan sarjana-sarjana Belanda terdahulu itu tidak diluruskan oleh Poerbatjaraka, sangat mungkin rasa sentimen antarsuku masih tetap saja mengendap hingga sekarang.

Poerbatjaraka juga memberikan pembacaan yang tepat dari bait ke-14 prasasti Pucangan bagian yang berbahasa Sansekerta. Melakukan pembacaan yang lebih memuaskan pada uraian yang berbahasa Jawa Kuna hingga bait ke-17, namun selebihnya belum dilakukannya sehubungan cetakan kertas (abklats) prasasti tersebut tidak terlalu baik (Boechari 1964: 121). Prasasti batu Plumpungan juga dibahas oleh Poerbatjaraka, ia membantah pendapat J.G.de Casparis yang menyatakan bahwa prasasti itu bersifat agama Buddha. Menurut Poerbatjaraka prasasti itu bersifat Hindu-Saiva, karena nama Isa yang disebut-sebut dalam prasasti adalah nama lain dari Siva, sementara De Casparis menyatakan bahwa Isa adalah sebutan bagi Buddha. Satu nama tempat dalam prasasti Plumpungan dibaca oleh De Casparis dengan Trigramvya, namun pembacaan itu dibetulkan oleh Poerbatjaraka menjadi Trigostya, yang dalam bentuk biasa diucapkan Trigosti yang merupakan sinonim dari Trisala, kata ini sampai sekarang masih tersisa menjadi Salatiga (Boechari 1964: 122). Perhatian Poerbatjaraka pada bidang epigrafi tersebut lalu dituangkannya dalam bentuk buku sejarah Indonesia yang berjudul Riwayat Indonesia I (terbit tahun 1951). Dalam bukunya Poerbatjaraka membuktikan bahwa untuk melakukan historiografi sejarah kuna Indonesia harus berbeda dengan cara menyusun sejarah Indonesia modern. Cara penulisan sejarah yang telah dilakukan oleh Poerbatjaraka menyajikan hal-hal yang sudah pasti, lalu menyampaikan perkara yang masih harus dibuktikan lebih lanjut, dan sejumlah masalah yang masih perlu mendapatkan pemecahannya sesuai dengan temuan data di masa kemudian (Wibowo 1976: 80). Hanya saja Poerbatjaraka tidak sempat lagi menerbitkan buku Riwayat Indonesia Jilid II, namun apa yang telah dilakukan dalam bidang epigrafi dan penyusunan sejarah Indonesia kuna tetap dapat dijadikan dasar bagi kajian lanjutan di masa mendatang.


III

Memang kajian khusus yang dilakukan oleh Poerbatjaraka berkenaan dengan arkeologi sangat terbatas. Penelisikan yang dilakukannya atas berbagai permasalahan masa Hindu-Buddha lebih bertumpukan kepada sumber tertulis, baik yang berupa prasasti atau pun karya sastra. Walaupun demikian tinjauan dan pembicaraan terhadap data arkeologis atau pengajuan permasalahan arkeologis yang harus dipecahkan kerapkali muncul dalam berbagai karangannya. Karya yang sebenarnya sarat dengan permasalahan arkeologis adalah disertasi Poerbatjaraka yang berjudul Agastya in den Archipel (1926), yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Agastya di Nusantara (1992). Kajian yang dilakukannya dapat disebut sebagai perpaduan dari berbagai disiplin keilmuan seperti filologi, epigrafi, arkeologi, sejarah, dan folklore Jawa. Permasalahan yang dikemukakan dalam karya tersebut sebenarnya bersifat tunggal, yaitu mengemukakan kehadiran tokoh rsi yang diperdewa sebagai penyebar agama Hindu-Saiva di wilayah kepulauan Indonesia dalam zaman Hindu-Buddha.

Dalam upaya mendudukkan pokok persoalan utamanya, yaitu tokoh Agastya, Poerbatjaraka harus mengeksplorasi dan menjelajah berbagai sumber baik yang berupa prasasti dan karya sastra Jawa kuna, India, Nepal, cerita wayang, dan juga hasil penelitian para sarjana terdahulu. Kajian yang cukup penting adalah kesimpulannya tentang arca Agastya yang semula dipercaya oleh para ahli Belanda antara lain N.J.Krom sebagai arca Siva Mahaguru. Anggapan terdahulu yang telah dipercaya secara luas bahwa arca orang tua yang berperut buncit, berjanggut, bertangan dua dan seringkali disemayamkan di relung selatan candi Hindu-Saiva di Jawa, dianggap sebagai tokoh arca Mahaguru. Setelah melalui argumentasi yang panjang lebar tentang Bhattra Guru yang dikenal di Jawa baik menurut uraian sumber tertulis ataupun penggambaran wayang kulitnya, Poerbatjaraka menyatakan bahwa arca orang tua berjanggut dan berperut buncit itu bukanlah Mahaguru, melainkan arca Agastya (Poerbatjaraka 1992: 106—37). Dikemukakan oleh Poerbatjaraka bahwa Agastya ialah tokoh pendeta murid kesayangan Siva, ia menyebarkan agama Hindu-Saiva di Nusantara melalui jalur perjalananan laut. Antara abad ke-7—9 kedudukan Agastya dalam ritus pemujaan Hinduisme mencapai puncaknya, bahkan ia diseru dan disejajarkan bersama-sama Siva dan Durga (Poerbatjaraka 1992: 16—17, 72, 78).

Telaah dengan argumen yang panjang lebar dan begitu rinci juga dilakukan Poerbatjaraka ketika ia mencoba menjelaskan bahwa istilah Vaprakesvara dalam prasasti Kutai kuna, atau Baprakeswara demikian penyebutannya dalama beberapa prasasti Jawa Kuna. Hasil penelitian Poerbatjaraka menyimpulkan bahwa Vaprakesvara/Baprakeswara adalah nama tokoh bukannya nama tempat. Tokoh yang dimaksudkan tidak lain ialah Agastya, jadi Baprakeswara adalah nama lain dari Agastya.

Waprakeswara menurut H.Kern adalah ”api suci” tempat membakar berbagai sajian bagi para dewa (Kern 1917: 15). Pendapat itu tidak disetujui oleh J.Ph.Vogel, Vogel berpendapat bahwa Waprakeswara adalah adalah nama tempat atau bangunan suci untuk memuja Siva yang diseru juga dengan Isvara (Vogel 1918: 203—5). Krom mempersamakan istilah Waprakeswara dengan Baprakeswara yang tercantum dalam uraian beberapa prasasti Jawa Kuna. Di India tidak pernah ditemukan istilah Waprakeswara/Baprakeswara, karenanya ia mengajukan pendapat bahwa Vaprakesvara/Baprakeswara adalah tempat suci yang berpagar sebagaimana layaknya punden-punden desa yang masih dijumpai di beberapa tempat di Jawa. Kata vapra atau vapraka sebenarnya berarti pagar atau pagar keliling (Krom 1933: 176—7). Akan halnya W.F.Stutterheim menyetujui pendapat Krom, ia menambahkan bahwa tempat/bangunan suci berpagar tersebut merupakan candi sebagai makam raja. Roh raja yang telah meninggal dan dianggap menjadi bhatara atau dewata dianggap bersemayam di tempat tersebut (Stutterheim 1934: 203—4).

Semua pendapat para ahli terdahulu tidak disetujui oleh Poerbatjaraka, Waprakeswara/Baprakeswara berasal dari kata bapra-bhattaraka atau bappa-bhattaraka suatu seruan untuk seorang tokoh penting dalam sistem religi Hindu-Saiva. Poerbatjaraka menyatakan tokoh tersebut tidak lain dari Agastya yang merupakan salah seorang pendeta penting dalam aliran Hindu-Saiva. Kata punyatama ksetre yang mendahului kata Waprakeswara dalam prasasti Kutai Kuna selain menunjukan lokasi, dapat juga ditafsirkan sebagai ”lapangan suci” atau guru atau sesembahan (”pupunden”) (Poerbatjaraka 1992: 88). Dalam hal ini Poerbatjaraka bermaksud menyatakan bahwa Agastya bagaikan ”lapangan suci” karena keluasan ilmunya dan merupakan guru karena kedalaman pengetahuannya mengenai Isvara (Siva).

Menurut Poerbatjaraka selanjutnya bahwa pada awal perkembangan agama Hindu di Nusantara (dalam prasasti-prasasti Kutai Kuna) nama yang dikenal untuk menyeru Agastya adalah Baprakeswara, prasasti-prasasti yang lebih kemudian menyebut Hyang Baprakeswara di samping atau bersama Agasti, tahap selanjutnya dalam prasasti yang lebih muda disebut dengan Baprakeswara sri Haricandana Agasti, dan pada tahap paling akhir yang disebut dalam prasasti hanyalah Haricandana Agasti (prasasti-prasasti Bali).

TAHAPAN PENYEBUTAN AGASTYA MENURUT POERBATJARAKA

VAPRAKESVARA --> HYANG BAPRAKESVARA AGASTI --> BAPRAKESVARA SRI HARICANDANA AGASTI --> HARICANDANA AGASTI

Hal yang menarik selanjutnya adalah pernyataan Poerbatjaraka dalam bukunya Riwayat Indonesia I (1951), ia menyatakan sebagai berikut:
  • ”Di dalam batu tulis jang terbelakang itu ada nama tempat jang sangat penting buat pengetahuan kita tentang agama jang dipeluk oleh Sang Mulawarmman, jakni Waprakeswara nama suatu tempat sutji; dan di dalam tempat itu pulalah selamatan (kenduri) Sang Mulawarmman itu dilakukan.

Nama Waprakeswara ini nanti di tanah Djawa timbul kembali dalam bentuk Baprakeswara. Telah njata sekali, bahwa di Tanah Djawa, jang dinamakan Baprakeswara itu ialah suatu tempat sutji yang disebut selalu berhubungan dengan dewa besar tiga, jakni Brahma-Wisnu-Siwa. Dengan kata lain dewa besar tiga tersebut, di Tanah Djawa ialah dimuliakan di tempat sutji, jang bernama Baprakeswara, atau tempat suci Baprakeswara itu ialah tempat candi Brahma-Wisnu-Siwa” (1951: 11).

Dalam hal ini pendapat Poerbatjaraka agak sedikit berbeda dengan yang diutarakannya pada tahun 1926 dalam uraian disertasinya. Semula ia menyatakan bahwa Waprakeswara adalah nama lain dari Agastya, namun dalam buku tahun 1951 dinyatakannya bahwa bahwa Waprakeswara/Baprakeswara adalah suatu tempat suci. Di tanah Jawa Baprakeswara itu dapat berupa lahan suci tempat berdirinya candi-candi yang dipersembahkan kepada Brahma-Wisnu-Siwa. Dalam pada itu pendapat terbaru yang berkenaan dengan Waprakeswara dikemukakan oleh Hariani Santiko. Intinya menyetujui pendapat Poerbatjaraka yang memandang Waprakeswara sebagai tempat atau lokasi yang suci, hanya saja dalam argumennya ia mengacu kepada sistem ritus yang diadakan oleh para pendeta dalam zaman perkembangan ”agama Weda”. Menurut Hariani Santiko kata wapra atau wapraka dalam bahasa Sansekerta tidak hanya berarti pagar juga dapat diartikan sebagai gundukan atau tumpukan, kata tersebut setara dengan barhis yang artinya gundukan atau bantalan (rumput) untuk duduk iswara atau dewa (Santiko 1989: 4). Pernyataan selanjutnya sebagai berikut:

”...Waprakeswara dalam prasasti Kutei tidak lain adalah lapangan suci untuk melaksanakan upacara bersaji sesuai dengan ketentuan Weda-Samhita dan kitab-kitab Brahmana, wapra atau wapraka disini yang dimaksud adalah barhis yang disusun berlapis-lapis di sekitar tungku suci (agni) di dalam vedi.

Setelah agama Hindu mulai menyebar di Jawa, peranan para pendeta Weda itu ”diambil alih” oleh seorang pendeta besar murid dewa Siwa yaitu Agastya. Oleh karenanya tempat suci untuk tokoh ini tetap dikenal sebagai w(b)aprakeswara (Santiko 1989: 6).

Demikinlah perihal Waprakeswara yang agaknya merupakan tempat atau lahan suci untuk memuja para dewa, pendapat Poerbatjaraka tentang hal itu telah lama dikemukakan sebelumnya, begitupun mengenai hubungan antara Waprakeswara dengan Agastya telah lama dikemukakan oleh Poerbatjaraka secara meyakinkan, jadi sebenarnya dalam kajian Hariani Santiko tidak terdapat kesimpulan yang baru.

Ungkapan secara tidak langsung tentang kajian arkeologi lainnya dikemukakan oleh Poerbatjaraka manakala membahas keraton kerajaan Sunda-Pajajaran. Sebagaimana diketahui dalam beberapa sumber tertulis Sunda Kuna, antara lain Carita Parahyangan, disebutkan adanya bangunan keraton kerajaan Sunda yang disebut Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Menurut Poerbatjaraka kata Pakuan-Pajajaran yang sering disebut-sebut dalam berbagai sumber sejarah Sunda kuna, bukan dari kata pohon paku (pakis) yang berdiri sejajar di pusat kerajaan itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh K.F. Holle (1869), atau berarti titik pusat alam (poros dunia) seperti yang dikemukakan oleh G.P.Rouffaer (1919). Tafsiran Poerbatjaraka tentang Pakuan Pajajaran adalah ”de aan rijen staande hoven” (bangunan istana yang berjajar). Menurutnya kata Pakuan sangat mungkin berasal dari kata pa + kuwu + an  pakuwan atau pakuwon, kata ini masih bertahan dalam bahasa Jawa pantura sekarang, berasal dari kata akuwu atau kuwu yang berarti pemimpin daerah tertentu (Poerbatjaraka 1921: 401). Dengan demikian nama keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati seharusnya berwujud 5 bangunan keraton yang berdiri berjajar.

Pendapat Poerpatjaraka tersebut meninggalkan masalah yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dalam bidang arkeologi. Mengenai pendapat Poerbatjaraka itu, Ayatrohaedi melanjutkan:
”Barangkali keraton induk terletak di tengah jajaran itu, walaupun memang terbuka kemungkinan bahwa bangunan induk itu terletak paling ujung (depan ataupun belakang), jika kita mengingat bahwa namanya selalu disebutkan sebagai unsur terakhir dari kompleks bangunan keraton itu” (Ayatrohaedi 1978: 52).

Agaknya tafsiran Ayatrohaedi yang menyatakan bahwa bangunan Suradipati tersebut merupakan bangunan induknya, dapat diterima, mengingat bangunan-bangunan keraton lama lainnya juga mempunyai unsur kata sura, misalnya Surawisesa adalah keraton kerajaan Sunda di Kawali, Surasowan nama bagi keraton kesultanan Banten, dan Surakarta adalah nama tempat tinggal penguasa Jayakarta sebelum dikuasai VOC Belanda. Kemudian dipertanyakan juga oleh Ayatrohaedi mengenai arah hadap bangunan-bangunan keraton yang berjajar itu. Menurutnya berdasarkan uraian cerita-cerita pantun Sunda, besar kemungkinan jika jajaran itu membujur dari utara-selatan, bukannya melintang dari barat ke timur (1978: 52). Penafsiran tersebut agaknya didasarkan pada kisah-kisah pantun, data peninggalan arkeologi, interpretasi atas laporan perjalanan orang-orang Belanda dan juga berdasarkan perbandingan struktur bagian-bagian keraton dari masa perkembangan Islam di Nusantara.

Berawal dari pendapat Poerbatjaraka tentang adanya 5 bangunan keraton yang berjajar, maka kajian arkeologi mendapat peluang untuk menafsirkan lebih jauh lagi perihal keraton tersebut. Saleh Danasasmita dalam laporan penelitiannya tahun 1979 yang berjudul ”Lokasi Gerbang Pakuan dan Rekonstruksi Batas-batas kota Pakuan Berdasarkan Laporan Perjalanan Abraham van Riebeeck dan Ekspedisi VOC lainnya (1687—1709)” menyatakan bahwa kompleks keraton Pakuan-Pajajaran terletak di kota Bogor sekarang, di utara kompleks keraton terdapat tanah lapang luas (alun-alun) dan sangat mungkin bangunan-bangunan keraton tersebut berderet menghadap ke utara. Laporan Danasasmita itu kemudian dicetak dalam buku Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian lainnya Mengenai Budaya Sunda (2006), dalam buku itu dinyatakan lebih lanjut bahwa sangat mungkin setiap bangunan keraton mempunyai fungsi yang berbeda-beda sebagai berikut, (1) bangunan Bima adalah balai peperangan, (2) Punta sebagai balai pengadilan, (3) Narayana sebagai balai penghadapan, (4) Madura adalah balai Resepsi, dan (5) Suradipati adalah bangunan persemayaman raja dan keluarganya, kelima bangunan itu yang sering juga disebut dengan Panca Prasadha (Danasasmita 2006: 31).

Tafsiran tentang keraton Pakuwan-Pajajaran juga pernah dilakukan oleh Agus Aris Munandar (1994) berdasarkan perbandingan dengan penataan keraton Kasepuhan Cirebon. Keraton Kasepuhan menjadi pembanding didasarkan pada argumen bahwa menurut berita tradisi para penguasa Cirebon sebenarnya masih keturunan raja Siliwangi dari Sunda, dan nama keraton Pakuan-Pajajaran juga dikenal dalam kitab Purwaka Caruban Nagari dengan sebutan sang Bima. Artinya kemungkinan besar keraton Pakuwan-Pajajaran dijadikan acuan ketika para penguasa Cirebon mendirikan bangunan keratonnya terutama yang agak tua, yaitu keraton Kasepuhan (Munandar 1994: 100). Sependapat dengan Danasasmita dan Ayatrohaedi bahwa memang kompleks keraton Pakuwan-Pajajaran dahulu terletak di kota Bogor, kompleks tersebut menghadap utara, ke arah alun-alun (buruan), dan di latar belakangnya berdiri Gunung Salak dengan kelima puncaknya. Bangunan paling depan adalah Bima, lalu berturut-turut Punta, Narayana, Madura, dan Suradipati.

Adapun fungsi bangunan tersebut masing-masing sangat mungkin sebagai berikut, (1) Bima dapat dibandingkan dengan bangunan sitinggil di keraton kasepuhan, yaitu sebagai tempat para penjaga dan tempat bersemayamnya sultan ketika melihat aktivitas yang dilaksanakan di alun-laun depan kompleks keraton. Wujud bangunan Bima sangat mungkin tinggi atau berdiri pada lahan yang ditinggikan sebagaimana sitinggil (tanah yang ditinggikan) pada komplek Kasepuhan. (2) Punta adalah gelar bangsawan tinggi, mungkin bangunan ini adalah tempat berkumpulnya para pejabat tinggi kerajaan sebelum diterima oleh raja, sebagaimana bagian keraton Jinem Pangrawit di Kasepuhan yang juga berfungsi sebagai ruang tunggu para tamu yang akan menghadap raja dan mengutarakan terlebih dahulu maksud kedatangannya, (3) Narayana, sangat mungkin sebagai balai tempat pertunjukan kesenian di lingkungan keraton, hal yang sama terdapat di Kasepuhan dinamakan bangsal Pringgondani, (4) Madura, adalah bangunan keraton yang sangat mungkin berfungsi sebagai balai penghadapan, tempat pertemuan antara raja dengan pejabat tinggi kerajaannya dalam mengadakan rapat atau membicarakan berbagai masalah lainnya. Setara dengan Madura adalah bangsal Prabhayaksa di keraton Kasepuhan yang juga berfungsi sebagai balai penghadapan, pertemuan pejabat tinggi dengan sultan, (5) Suradipati adalah bangunan tempat bersemayamnya raja, letaknya paling belakang, paling dekat dengan Gunung Salak dan gunung-gunung lainnya di pedalaman tatar Sunda. Dalam lingkungan keraton Kasepuhan bangunan tempat tinggal raja beserta keluarganya sehari-hari dinamakan Dalem Arum. Adapun tempat bersemayamnya sultan pada waktu terjadi penghadapan agung adalah pada bangunan yang lantainya ditinggikan yang terletak di bagian selatan bangsal Prabhayaksa, dinamakan dengan bangsal Panembahan. Baik Dalem Arum maupun bangsal Panembahan keduanya terletak pada bagian utama keraton, di area paling selatan (Munandar 1994: 100—2).

Demikianlah bahwa akibat dari sedikit ungkapan Poerbatjaraka yang berkenaan dengan data arkeologis, yaitu asal nama Pakuwan-Pajajaran yang diartikan sebagai bangunan keraton yang berjajar. Pernyataan itu lalu dihubungkan dengan data Carita Parahyangan tentang adanya keraton kerajaan Sunda yang disebut Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, telah menjadikan penelisikan arkeologi berkembang untuk melengkapi pemahaman tentang keraton yang berjajar tersebut.

Banyak contoh lainnya yang hanya berupa ”sentilan” saja dari Poerbatjaraka namun dapat dianggap sebagai pemicu selanjutnya bagi penelitian arkeologi. Misalnya tentang kata Minanga Kamwar dalam prasasti Kedukan Bukit (605 S/683 M) menjadi Minanga Kamwa lalu diucapkan Minang Kabau. Tafsir Poerbatjaraka menyatakan bahwa sangat mungkin pada zaman dahulu terdapat tokoh dari Minang Kabau yang berperang, lalu singgah di Malayu (Jambi), lalu terus ke Palembang dengan mendapat kemenangan, akhirnya membuat kota di daerah itu dan dinamakan Sriwijaya (Poerbatjaraka 1952: 35). Apabila benar dugaan Poerbatjaraka tersebut maka daerah Minangkabau di Sumatra Barat berpotensi mempunyai banyak peninggalan arkeologis. Sampai beberapa waktu lamanya tidak pernah diadakan penelisikan arkeologi secara intensif di wilayah tersebut, namun dalam tahun-tahun belakangan ini ketika diadakan penelitian arkeologi, dijumpai banyak tinggalan arkeologis baik yang berupa struktur bangunan, parit-parit yang panjang, pecahan arca dan lain-lain. Juga tafsiran Poerbatjaraka bahwa daerah Salatiga merupakan daerah penting karena disebutkan dalam prasasti Plumpungan yang telah disinggung di bagian terdahulu, selayaknya patut ditindaklanjuti dalam penelitian arkeologi. Setidaknya menurut laporan penduduk setempat belakangan ini, di beberapa tempat kuburan desa di wilayah Salatiga juga dijumpai arca-arca kecil dari emas.


IV

Dalam kitab Calon Arang yang dikaji oleh Poerbatjaraka juga terdapat data arkeologi yang dapat dijadikan dasar bagi penelitian di lapangan. Dalam naskah itu diuraikan bahwa pertapaan dapat didirikan pada suatu tempat bekas kuburan atau pembakaran mayat (ksetra). Lahan ksetra Gandamayu setelah Calon Arang berhasil dikalahkan oleh pendeta Bharadah disucikan terlebih dahulu, lalu untuk suatu pertapaan pendeta agung yang disertai murid-muridnya, maka di lingkungan pertapaan itu didirikan pendapa-pendapa untuk tamu dan tempat tinggal, bangunan persajian serta gapura yang sudah tentu bersambung dengan pagar kelilingnya berupa tanaman jajaran pohon sirih yang membatasi lahan pertapaan. Pohon-pohon dan bunga-bungaan pun ditanam di lingkungan pertapaan dan diuraikan secara rinci, yaitu angsoka, andul, surastri, kemuning, cempaka, angsana, jering (jengkol), nagasari, sedangkan tanaman perdu lainnya berupa bunga melati, kuranta, gambir, kembang sepatu, wungatali, pacarcina, bunga telang, mayana, dan tidak ketinggalan pandan kebun yang wangi (Poerbatjaraka 1975: 22).

Data tentang gambaran suatu pertapaan tersebut sangat berharga bagi pengembangan kajian arkeologi Hindu-Buddha. Deskripsi tentang kompleks tempat tinggal kaum agamawan sangat terbatas diuraikan dalam sumber tertulis, selain dalam kakawin Arjunawijaya yang telah dibahas oleh S.Soepomo (1977), gambaran tentang tempat bermukim kaum agamawan hanya dijumpai dalam kitab Calon Arang yang dikaji Poerbatjaraka tersebut. Dapat disimpulkan bahwa apabila dalam Arjunawijaya yang diuraikan adalah suatu kompleks luas berupa pemukiman keagamaan yang disebut kadewaguruan dan mandala (Soepomo 1977: 67—8), agaknya uraian dalam kitab Calon Arang merupakan pertapaan yang tidak terlalu luas karena dihuni secara terbatas oleh Mpu Bharadah dan beberapa muridnya saja.

Gambaran tentang pertapaan dalam kitab Calon Arang sebenarnya sangat mirip dengan keadaan Candi Kotes (Papoh) di Blitar. Candi Kotes sekarang hanya menyisakan batur dari susunan balok batu dan beberapa batu umpak bagian alas tiang, sedangkan tiang-tiang dan atap bangunan sudah tiada, dapat dipastikan dahulu terbuat dari bahan yang cepat lapuk (kayu, bambu, ijuk, dan lainnya yang sejenis). Selain itu di bagian depan batur tersebut terdapat batur lain yang lebih kecil namun lebih tinggi dari batur pertama, di permukaan batur kedua terdapat dua altar persajian kecil, dan pedupaan yang berbentuk candi kecil. Jelaslah bahwa batur kedua merupakan bangunan persajian dan persembahan kepada dewa. Kemungkinan besar di masa silam terdapat pula gapura, namun sekarang telah rusak. Karena adanya kemiripan yang sangat dekat dengan uraian pertapaan dalam kitab Calon Arang, maka kiranya dapat ditafsirkan bahwa Candi Kotes dahulu merupakan kompleks pertapaan pula. Begitupun penyebutan bermacam tanaman yang ada di lingkungan pertapaan, agaknya dapat dijadikan pegangan apabila para arkeolog hendak merekonstruksi macam tumbuhan dalam taman pada waktu itu, sebab sebagian besar tanam-tanaman yang disebutkan masih dapat dikenali hingga sekarang.

Hal yang menarik lainnya dalam kitab Calon Arang hasil kajian Poerbatjaraka, dinyatakan bahwa dalam masa pemerintahan raja Airlangga, banyak orang asing dari luar Jawa yang datang ke Kadiri untuk menghambakan diri kepada Airlangga. Juga diuraikan banyak daerah dari pulau lain yang mengirimkan utusannya untuk mempersembahkan upeti. Orang-orang dari seberang yang datang antara lain dari Palembang, Jambi, Malaka, Tumasik, Patani, Pahang, Siam, Campa, Cina, Koci, Keling, Tatar, Pego, Kedah, Kutawaringin, Kute, Bangka, Sunda, Madura, Kangeyan, Makasar, Goron, Wandan, Peleke, Maluku, Bolo, Timor, Dompo, Bima, Sumbawa, Sasak (Poerbatjaraka 1975: 50). Tidak disebutkannya Bali dalam daftar tersebut memang sesuai dengan konteksnya bahwa Bali memang tidak tunduk kepada Jawa dalam masa pemerintahan Airlangga. Daftar daerah di luar tlatah asli kerajaan Airlangga yaitu tanah Jawa bagian timur menunjukkan bahwa keagungan Airlangga sebagai raja diakui pula oleh wilayah lain di Nusantara. Uraian perihal daerah yang mengirimkan upeti tersebut mirip dengan yang disusun oleh Mpu Prapanca dalam Nagarakartagamanya dalam masa Majapahit (abad ke-14 M), tetapi daerah yang disebutkan dalam kitab Calon Arang jauh lebih sedikit. Beberapa kajian di lingkungan arkeologi belakangan ini memang menyimpulkan bahwa Airlangga ialah seorang raja besar di Nusantara, setara dengan raja-raja besar lainnya di wilayah Asia Tenggara dalam zamannya.

Kajian Poerbatjaraka lainnya yang juga mengandung data arkeologi dan dapat dijadikan titik tolak penelitian di bidang arkeologi adalah kajiannya tentang Cerita Panji. Dalam uraian Cerita Panji terdapat beberapa data arkeologis yang belum ditindaklanjuti dengan baik oleh para arkeolog. Misalnya dalam cerita Angron Akung dinyatakan bahwa di sisi barat alun-alun Jenggala terdapat batu rata yang besar, batu tersebut amat keramat tetapi juga angker dan berbahaya, siapa yang menyentuhnya pasti mati. (Poerbatjaraka 1968: 124). Bagian selanjutnya dari uraian itu tidak terlalu penting karena tidak berkaitan dengan kajian arkeologi.

Apabila diperhatikan tata letak pusat kota dalam masa awal perkembangan Islam di Jawa, maka terdapat hal yang dapat didiskusikan. Pusat kota adalah alun-alun yang berada di tengah, di selatan alun-alun berdiri keraton atau tempat tinggal penguasa, di timur terdapat bangunan-bangunan penegakkan hukum, di utara terdapat pasar, dan di barat berdirilah masjid. Data arkeologi Islam di Jawa menunjukan bahwa pada awalnya mesjid-mesjid kuna didirikan di bekas lahan, atau menutup lahan bangunan suci masa sebelumnya dari era Hindu-Buddha. Misalnya masjid kuna Mantingan dibangun di situs masa Hindu-Buddha, demikian juga halnya dengan masjid kuna Sendang Duwur dan mesjid menara Kudus, karena anasir kehinduan masih nampak secara nyata.

Maka bukan tidak mungkin bahwa kota-kota dalam masa Hindu-Buddha di Jawa dalam masa praIslam mempunyai penataan yang berpusatkan pada alun-alun, di selatannya berdiri kedaton, kadipaten tempat tinggal penguasa wilayah, di timur adalah balai peradilan, di utara pasar, dan di barat alun-alun berdiri candi atau bangunan suci lainnya yang dikeramatkan. Ketika Islam mulai berkembang di tanah Jawa, bangunan yang bersifat Hindu-Buddha di sisi barat alun-alun itu lalu digantikan kedudukannya dengan masjid. Jadi kedudukan bangunan suci atau tempat yang dikeramatkan dari masa Hindu-Buddha digantikan dengan bangunan masjid, sebagaimana yang terjadi di beberapa tempat di Jawa.

Sementara itu dalam kisah Malat pupuh 8 terdapat uraian tentang pasanggrahan Pranaraga, suatu tempat menyepi sementara yang didiami oleh Panji dan kawan-kawannya. Untuk membangun pasanggrahan itu Panji membawa tukang kayu dan batu, mereka ditugaskan untuk mendirikan gedung-gedung baru, begitupun papan-papan dinding dan penyekat ruang digambari dengan cerita Pandawa-Jaya (Poerbatjaraka 1968: 302). Dalam hal ini arkeologi juga mendapat data lagi untuk melakukan penelitian lapangan. Bahwa terdapat juga bangunan-bangunan profan selain keraton yang dihuni sementara oleh raja atau kaum kerabatnya. Bangunan itu sangat mungkin jauh dari keramaian di lingkungan panorama yang indah di lereng gunung atau di tepian hutan. Karena itu apabila dalam penelitian arkeologi didapatkan situs yang terletak di lereng-lereng gunung tidak selalu peninggalan bangunan suci seperti candi, mungkin juga merupakan bangunan profan atau pasanggrahan sebagaimana yang disebutkan dalam Malat.

Dalam Hikayat Panji Kuda Semirang diuraikan bahwa Panji dan kawan-kawannya sampai di kaki Gunung Danuraja yang sangat angker di wilayah Mataun. Panji berkehendak untuk mendaki ke puncaknya karena di sana terdapat orang suci yang telah bertapa selama 400 tahun. Kepada orang suci itu Panji hendak bertanya tentang nasib Candrakirana. Gunung Danuraja itu sangat berbahaya, barangsiapa yang berani mencapai puncaknya akan diserang oleh hujan, angin topan, dan kabut tebal. Inu dan pengiringnya mendaki gunung itu dengan tidak gentar, karena Inu merasa dirinya masih dilindungi dewa-dewa, sampailah ia dan kawan-kawannya di puncaknya. Pertapa suci yang tinggal di puncak Gunung Danuraja itu ialah Cakcasena, ia adalah ayah dari Cakcakuwaca yang merupakan leluhur Hanuman. Demikianlah akhirnya Panji dan kawan-kawan dapat diterima oleh Caksasena bahkan tinggal berguru beberapa lama di gunung tersebut. Cakcasena meramalkan bahwa Anggarmayang (Martalangu) dan Tjandrakirana masih hidup, hanya belum waktunya ditemui (Poerbatjaraka 1968: 25—6).

Uraian tentang keangkeran Gunung Danuraja, fenomena alam yang ditemui oleh para pendakinya, serta pertapaan Caksasena yang merupakan leluhur Hanuman, sang raja monyet agaknya mengacu kepada Gunung Penanggungan di Jawa Timur. Di Gunung Penanggungan didapatkan sekitar 80 kepurbakalaan baik yang berupa punden berundak, goa pertapaan, petirthaan arca lepas, deretan anak tangga mendaki, sisa batur, dan ribuan pecahan tembikar lainnya. Gunung tersebut juga dikenal sebagai salah satu karsyan yang terkenal dalam zaman Majapahit, dinamakan karsyan Pawitra. Karsyan tersebut sangat angker dan dikeramatkan karena dianggap sebagai puncak Mahameru yang dipindahkan para dewa dari Jambhudwipa ke Tanah Jawa, demikian tutur kitab Tantu Panggelaran.

Orang-orang yang mendaki Gunung Penanggungan di waktu sekarang pun akan selalu diterpa angin yang kencang dan puncak gunung tersebut kerapkali ditutupi kabut tebal. Hal itu terjadi karena Gunung Penanggungan merupakan puncak tertinggi satu-satunya di wilayah Mojokerto selatan, jadi gunung tersebut akan mendapat terpaan langsung angin darat pada waktu malam ataupun angin laut pada waktu siang. Disebabkan Gunung Penanggungan merupakan fenomena geografis tertinggi di wilayah itu maka awan dan uap air seringkali berkumpul di wilayah puncaknya, baik pada musim kemarau apalagi di waktu musim hujan, air hujan akan turun dengan derasnya bercampur dengan deru angin. Demikianlah uraian kondisi alam Gunung Danuraja sangat dekat dengan keadaan alam sebenarnya di Gunung Penanggungan.

Hal yang menarik adalah bahwa di lereng bukit Bekel, salah satu puncak sisi barat laut puncak Penanggungan, terdapat kepurbakalaan yang berupa punden berundak besar yang dindingnya dihias relief kisah Panji, di sebelahnya terdapat celah bukit alami dibentuk menjadi goa pertapaan yang dilengkapi dengan gapuranya. Bangunan kuna itu dalam kajian arkeologi Hindu-Buddha di Gunung Penanggungan dinamakan Kepurbakalaan LXV, sedangkan penduduk setempat menamakannya dengan Candi Kendalisada. Kata Kendalisada dalam khasanah cerita pewayangan Jawa, adalah nama kerajaannya Hanuman. Dalam hal ini mungkin saja terdapat hubungan gagasan antara pertapa Cakcasena sang leluhur Hanuman yang bermukim di Gunung Danuraja dengan Kepurbakalaan LXV yang dinamakan juga Candi Kendalisada di situs Gunung Penanggungan. Mungkin saja penyusun Hikayat Panji Kuda Semirang telah mengetahui perihal karsyan Pawitra di Penanggungan dengan Candi Kendalisadanya. Kajian arkeologi yang lebih mendalam mengenai relief kisah Panji yang dipahatkan di dinding Candi Kendalisada mungkin dapat menjawab permasalahan tersebut.


V

Demikianlah bahwa sebenarnya Poerbatjaraka tidak secara langsung melakukan kajian arkeologi, karena sebagaimana diketahui Pak Poerba adalah ahli bahasa dan sastra Jawa kuna. Didasarkan kepada kajiannya itulah mau tidak mau penelisikan Poerbatjaraka menyinggung atau bahkan berkenaan dengan permasalahan arkeologi. Kajian yang sarat dengan permasalahan arkeologi dan epigrafi adalah disertasinya sendiri. Walaupun arca-arca Agastya sebagai benda arkeologi tidak dipergunakan sebagai data dalam kajiannya, namun pembahasan Poerbatjaraka dalam disertasinya berkenaan dengan salah satu permasalahan arkeologi Hindu-Buddha di Indonesia.

Berkat kajian Poerbatjaraka itulah maka tafsiran yang telah lama mengendap bahwa arca orang tua berperut buncit berjanggut, bertangan dua, dan ditempatkan dalam relung selatan candi-candi Hindu di Jawa sebagai Mahaguru atau Siva Mahaguru terpaksa harus disingkirkan. Arca itu bukan Mahaguru, melainkan Agastya salah seorang saptarsi (tujuh pendeta agung murid kesayangan Siva).

Kajian Poerbatjaraka tentang prasasti (epigrafi) sebagai cabang dari ilmu arkeologi jelas mendukung untuk menjelaskan masalah sejarah kuna Indonesia era Hindu-Buddha. Pembacaan dan tafsiran atas beberapa prasasti masa awal zaman Hindu-Buddha dijadikan dasar bagi penulisan buku sejarah kuna Riwayat Indonesia I yang metodenya berbeda dengan penulisan sejarah kuna yang telah disusun oleh para sarjana Belanda sebelumnya. Dalam buku Riwayat Indonesia I data prasasti yang dipakai sebagai dasar penulisan dipaparkan terlebih dahulu, baru kemudian dibahas dan diberikan tafsir sejarahnya. Sedangkan para penulis sejarah kuna orang Belanda hanya merangkumkan isi prasasti-prasasti itu dan dibuat suatu kisah sejarah yang kadang-kadang terlalu jauh menyimpang dari isi prasastinya sendiri.

Adapun kajian Poerbatjaraka terhadap sejumlah naskah sebagai sumber tertulis telah menyediakan bermacam masalah yang selayaknya harus dipecahkan oleh para ahli arkeologi. “Sentilan-sentilan” Poerbatjaraka perihal permasalahan arkeologi dalam kajian naskahnya bukanlah sesuatu yang dianggap sambil lalu saja, namun jika para arkeolog itu cermat dan memahami permasalahan yang dimaksudkan, maka dapat ditindaklanjuti dengan penelitian arkeologi sehingga pemahaman tentang kemasalaluan Indonesia menjadi lebih luas. Pesan Poerbatjaraka tentang jangan terlalu mengagungkan masa lalu bangsa Indonesia adalah tepat, sebab masyarakat Indonesia hidup dalam masa sekarang yang penuh dengan berbagai pengaruh kebudayaan luar. Akhirnya Pak Poerba juga menganjurkan untuk memilih yang baik dari masa lalu agar dapat menjadi teladan kehidupan masa kini, di samping itu dapat terima juga pengaruh kebudayaan luar yang bersifat positif demi kemajuan bangsa Indonesia sampai hari kemudian. Pesan itu sepantasnya harus diingat terus oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam zaman-zaman yang berbeda.


Pustaka Acuan

AYATROHAEDI, 1978, “Pajajaran atau Sunda”, dalam Majalah Arkeologi. Th 1 No.4. Maret. Jakarta: Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Halaman 46—54.

BOECHARI, 1964, “Prof.Dr.Ng.Poerbatjaraka Ahli Epigrafi Perintis Bangsa Indonesia”, dalam Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia. Nomor Persembahan Kepada Prof.Dr.R.M.Ng.Poerbatjaraka Berhubungan dengan Ulang Tahun Beliau ke-80 dari Para Murid Beliau. Juni, Jilid II, Nomor 2. Djakarta: Bhratara. Halaman 119—130.

DANASASMITA, SALEH, 2006, Mencari Gerbang Pakuan dan Kajian lainnya Mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda.

KERN, H., 1917, “Over den invloed van den Indische, Arabische en Europeesche beschaving op de volken van den Indischen Archipel. VG 6: 11—35.

KROM, N.J., 1933, Hindoe-Javaanche Geschiedenis. s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

MIHARJA, ACHDIAT K., (Penyunting) 1986, Polemik Kebudayaan. Cetakan ke-4
Jakarta: Pustaka Jaya.

MUNANDAR, AGUS ARIS, 1994, “Penataan Wilayah pada Masa Kerajaan Sunda”, dalam Berkala Arkeologi Tahun XIV Edisi Khusus: Evaluasi Data dan Interpretasi Baru Sejarah Indonesia Kuna (Dalam Rangka Purna Bhakti Drs.M.M.Soekarto Karto Atmodjo), Yogyakarta, 23—24 Maret 1994. Yogyakarta: Balai Arkeologi.

POERBATJARAKA, R.M.Ng, 1921, “De Batoe Toelis bij Buitenzorg” , TBG. Deel LIX: 380—418.

-------------------------, 1951, Riwajat Indonesia Djilid I. Djakarta: Jajasan Pembangunan.

-------------------------, 1968, Tjeritera Pandji Dalam Perbandingan. Diterdjemahkan oleh Zuber Usman dan H.B.Jassin. Djakarta: P.T.Gunung Agung.

-------------------------, 1975, Calon Arang Si Janda dari Girah & Nirarthaprakreta. Diterjemahkan oleh Soewito Santoso. Jakarta: Balai Pustaka.

-------------------------, 1992, Agastya di Nusantara. (Seri Terjemahan KITLV-LIPI). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

SANTIKO, HARIANI, 1989, ”Waprakeswara: Tempat Bersaji Pemeluk Agama Veda?”, dalam Amerta Berkala Arkeologi No.11. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Halaman 1--8.

SOEPOMO, S., 1977, Arjunawijaya: A Kakawin of Mpu Tantular. Vol.I & II. The Hague: Martinus Nijhoff.

STUTTERHEIM, W.F., 1934, “De Leidsche Bhairawa van Candi B Singasari”, TBG LXXIV: 441—476.

SUTAARGA, MOH.AMIR, 1965, Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran 1474—1513. Bandung: Duta Rakjat.

VOGEL, J.PH., “The Yupa Inscriptions of King Mulawarman from Koetei (East Borneo)”, BKI 74: 167—232.

WIBOWO, A.S., 1976, “Riwayat Penyelidikan Prasasti di Indonesia”, dalam 50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional 1913—1963. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Halaman 63—105.

Read More......

Selasa, 14 April 2009

Gaya Arsitektur Candi di Jawa Abad ke-8 -- 15 M


Oleh: Agus Aris Munandar


I

Kajian terhadap bangunan candi telah banyak dilakukan oleh para ahli ilmu purbakala (arkeologi) baik para ahli Belanda ataupun ahli Indonesia sendiri. Istilah “candi” umumnya hanya dikenal di Pulau Jawa saja, walaupun demikian di beberapa daerah di luar Jawa yang pernah mendapat pengaruh kebudayaan Jawa istilah “candi” tetap dikenal sebagai nama bangunan kuno dari zaman Hindu-Buddha Nusantara. Candi sebenarnya adalah salah satu saja dari bangunan keagaamaan yang pernah digunakan dahulu ketika agama Hindu-Buddha merebak dipeluk masyarakat Jawa Kuno. Berdasarkan bukti-buktinya dapat diketahui bahwa perkembangan kebudayaan Hindu-Buddha di Jawa berlangsung sekitar abad ke-8—15 M. Dalam pembabakan sejarah kebudayaan Jawa, masa itu dinamakan dengan zaman Klasik,. Dinamakan dengan zaman Klasik karena adanya 3 parameter, yaitu:
  1. Zaman Hindu-Buddha merupakan periode dikembangkannya tonggak-tonggak kebudayaan penting yang dalam zaman sebelumnya tidak dikenal, seperti aksara, sistem kerajaan, arsitektur monumental, kesenian, penataan wilayah, dan lainnya lagi.
  2. Hasil-hasil pencapaian kebudayaan masa itu terus dikenal hingga sekarang dan tetap dapat dijadikan acuan bagi perkembangan masyarakat masa sekarang. Misalnya penggunaan bahasa Jawa Kuno yang mengacu kepada bahasa Sansekerta, kisah-kisah Mahābharata dan Ramayana, konsep pahlawan, konsep penguasa yang baik, perempuan ideal, masyarakat sejahtera, dan lain-lain.
Melalui penelisikan terhadap bukti-bukti artefaktualnya zaman Hindu-Buddha di Jawa pun terbagi dalam dua periode, yaitu (a) zaman Klasik Tua (abad ke-8—10 M), dan (b) zaman Klasik Muda (abad ke-11—15 M). Zaman Klasik Tua berkembang di wilayah Jawa bagian tengah, bersamaan dengan berkembangnya pusat kerajaan di wilayah tersebut. Kerajaan yang dikenal dalam masa itu adalah Mataram Kuno yang ibu kotanya berpindah-pindah semula di Mdang i Poh Pitu, kemudian pindah ke Mdang i Watu Galuh, dan Mdang i Mamratipura. Adapun zaman Klasik Muda. Kerajaan Mataram Kuno kerapkali dihubungkan dengan dinasti Śailendra yang beragama Buddha Mahayana, namun ada juga kalangan sarjana yang menyatakan bahwa kerajaan itu dikuasai oleh anak keturunan raja Sanjaya (“Sanjayavamsa”) yang menganut agama Hindu. Teori terbaru menyatakan bahwa Mataram Kuno dikuasai oleh anggota Śailendravamsa, di antara anggota-anggotanya ada yang beragama Buddha Mahayana dan ada pula yang memeluk Hindu-śaiva.

Dalam sekitar abad ke-10 M, Wawa raja Mataram Kuno memindahkan kota kedudukan raja ke Jawa bagian timur, alasan pemindahan tersebut masih menjadi perhatian para ahli dan belum ada kata putus yang dapat diterima bersama. Hipotesa telah banyak dikemukakan oleh para ahli, ada yang menyatakan bahwa pemindahan tersebut karena adanya wabah penyakit, rakyat yang melarikan diri ke Jawa bagian timur karena raja-raja masa itu memerintah dengan kejam, perpindahan itu dipicu karena adanya serangan dari Śriwijaya, disebabkan bencana alam letusan Gunung Merapi, serta suatu penjelasan terbaru menyatakan bahwa pemindahan ibu kota itu sebenarnya mencari Mahameru yang lebih ideal di Jawa Timur (Munandar 2004).

Maka selanjutnya berkembanglah kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, dimulai dari masa pemerintahan Pu Sindok bersama dinasti Iśananya. Dalam masa pemerintahan Airlangga (1019—1042 M) kerajaan Mataram yang beribukota di Wwatan Mas (abad ke-11 M) itu terpaksa dibagi menjadi dua: Janggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kadiri) yang beribu kota di Daha. Kerajaan Kadiri yang kemudian lebih berperanan dalam sejarah sepanjang abad ke-12 M. Menyusul kerajaan Singhasari yang berkembang antara tahun 1222—1292 M yang dibangun oleh Ken Angrok. Akibat adanya serangan dari Jayakatwang penguasa Glang-glang terhadap raja Singhasari terakhir, yaitu Kŗtanagara (1268—1292), kerajaan itu runtuh, untuk kemudian lewat perjuangan panjang Krtarajaśa Jayawarddhana (Raden Wijaya) berdirilah Wilwatikta. Dalam masa pemerintahan Rajaśanagara (1350—1389 M) Majapahit menjelma menjadi penguasa Nusantara, Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir di Jawa, berkembang selama lebih kurang 200 tahun lamanya (1293—1521 M).

Kerajaan Hindu-Buddha yang berkembang silih berganti di Jawa melampaui abad demi abad ada yang banyak meninggalkan “jejaknya”, namun ada pula yang sedikit saja mempunyai peninggalan arkeologis. Kerajaan Mataram Kuno, Singhasari dan Majapahit termasuk yang banyak mewariskan berbagai monumen keagamaan Hindu dan Buddha. Demikianlah monumen yang menjadi perhatian dalam kajian ini adalah bangunan candi yang merupakan salah satu monumen keagamaan penting. Bersama dengan candi terdapat monumen lain yang dipandang sakral adalah petirthaan (patirthān), goa pertapaan, dan altar persajian hanya saja jumlahnya terbatas. Oleh karena itu candi tetap menjadi bahan kajian menarik karena jumlahnya banyak dan memiliki arsitektur unikum, candi tidak akan pernah selesai dibahas dari berbagai aspek, salah satu aspeknya adalah gaya arsitekturnya.


II

R.Soekmono (1997) seorang ahli percandian Indonesia pernah mengadakan tinjauan ringkas terhadap bangunan candi di Jawa, dinyatakan bahwa bangunan candi di Jawa mempunyai dua langgam, yaitu Langgam Jawa Tengah dan Langgam Jawa Timur. Menurutnya Langgam Jawa Tengah antara lain mempunyai ciri penting sebagai berikut: (a) bentuk bangunan tambun, (b) atapnya berundak-undak, (c) gawang pintu dan relung berhiaskan Kala-Makara, (d) reliefnya timbul agak tinggi dan lukisannya naturalis, dan (e) letak candi di tengah halaman. Adapun ciri candi Langgam Jawa Timur yang penting adalah: (a) bentuk bangunannya ramping, (b) atapnya merupakan perpaduan tingkatan, (c) Makara tidak ada, dan pintu serta relung hanya ambang atasnya saja yang diberi kepala Kala, (d) reliefnya timbul sedikit saja dan lukisannya simbolis menyerupai wayang kulit, dan (e) letak candi bagian belakang halaman (Soekmono 1997: 86).

Demikian ciri-ciri penting yang dikemukakan oleh Soekmono selain ciri-ciri lainnya yang sangat relatif sifatnya karena berkenaan dengan arah hadap bangunan dan bahan yang digunakan. Sebagai suatu kajian awal pendapat Soekmono tersebut memang penting untuk dijadikan dasar pijakan selanjutnya manakala hendak menelaah tentang langgam arsitektur bangunan candi di Jawa. Sebenarnya setiap butir ciri yang telah dikemukakan oleh Soekmono dapat dijelaskan lebih lanjut sehingga menjadi lebih tajam pengertiannya. Misalnya bentuk bangunan tambun yang dimiliki oleh candi Langgam Jawa Tengah, kesan itu terjadi akibat adanya bagian lantai kaki candi tempat orang berjalan berkeliling memiliki ruang yang lebar, dengan istilah lain mempunyai pradaksinapatha yang lebar. Bentuk bangunan tambun juga terjadi akibat atap candi Langgam Jawa Tengah tidak tinggi, atapnya memang bertingkat-tingkat, dan hanya berjumlah 3 tingkat termasuk kemuncaknya. Dibandingkan dengan candi Langgam Jawa Timur jumlah tingkatan atapnya lebih dari tiga dan berangsur-angsur tiap tingkatan tersebut mengecil hingga puncaknya, begitupun pradaksinapathanya sempit hanya muat untuk satu orang saja, oleh karena itu kesan bangunannya berbentuk ramping.

Penjelasan lebih rinci juga dapat terjadi dalam hal kepala Kala, selain berpasangan dengan makara (hewan mitos gabungan antara gajah dan ikan, [gajamina]), umumnya Kala pada candi-candi Jawa tengah digambarkan tanpa rahang bawah (tidak berdagu), seringkali juga tidak mempunyai sepasang cakar, dan mengesankan wajah seekor singa simbol wajah kemenangan (kirttimukha). Sedangkan Kala di candi-candi dengan Langgam Jawa Timur digambarkan mempunyai rahang bawah (berdagu), jelas mempunyai sepasang cakar di kanan-kiri kepalanya dalam artian mengancam kejahatan yang akan mengganggu kesucian candi, pada beberapa candi zaman Singhasari dan Majapahit kepala Kala dilengkapi sepasang tanduk dan sepasang taring yang mencuat dari pipi kanan-kirinya. Kala tidak lagi dipasangkan dengan bingkai Makara, melainkan dengan ular atau Naga yang diletakkan di samping kanan-kiri Kala. Dalam penggambaran relief Kala disepadankan dengan sepasang kepala kijang (mŗga) yang menghadap ke arah luar. Pada akhirnya kesan yang didapatkan apabila memperhatikan Kala candi-candi Jawa Timur adalah sebagai kepala raksasa, bukannya wajah singa.

Dalam hal pemahatan relief yang menghias dinding candi, jika disimak dengan seksama terdapat perbedaan yang lebih terinci lagi. Memang secara prinsip di candi-candi Langgam Jawa Tengah pemahatan reliefnya tinggi dan bersifat naturalis, namun terdapat sejumlah ciri lainnya lagi yang bersifat spesifik. Dengan demikian jika diuraikan secara lengkap ciri relief di candi-candi Jawa Tengah adalah:

  1. Pemahatan relief tinggi
  2. Penggambaran bersifat naturalis
  3. Ketebalan pahatan ½ sampai ¾ dari media (balok batu)
  4. Terdapat bidang yang dibiarkan kosong pada panil
  5. Figur manusia dan hewan wajahnya diarahkan kepada pengamat (enface)
  6. Cerita acuan berasal dari kesusastraan India
  7. Tema kisah umumnya wiracarita (epos)
  8. Cerita dipahatkan lengkap dari adegan awal hingga akhir.
Mengenai ciri-ciri penggambaran relief pada candi-candi Langgam Jawa Timur adalah:

  1. Pemahatan relief rendah
  2. Penggambaran figur-figur simbolis, tokoh manusia seperti wayang kulit
  3. Dipahatkan hanya pada ¼ ketebalan media (batu/bata)
  4. Seluruh panil diisi penuh dengan berbagai hiasan, seperti terdapat “ketakutan pada bidang yang kosong”.
  5. Figur manusia dan hewan wajahnya diarahkan menghadap ke samping
  6. Cerita acuan dari kepustakaan Jawa Kuno, di samping beberapa saduran dari karya sastra India.
  7. Tema cerita umumnya romantis (perihal percintaan)
  8. Relief cerita bersifat fragmentaris, tidak lengkap hanya episode tertentu saja dari suatu cerita lengkap (Munandar 2003: 28—29).
Dalam hal letak candi induk di suatu kompleks percandian, Soekmono menyatakan bahwa bangunan candi induk pada Langgam Jawa Tengah memang berada di pusat halaman, sedangkan bangunan candi induk di kompleks percandian dengan Langgam Jawa Timur terletak di halaman paling belakang. Soekmono menjelaskan:

“Maka mengenai bangunan candi harus diketengahkan bahwa candi Roro Jonggrang menghendaki ditariknya seluruh perhatian ke pusat menuju langit (lokasi kayangan tempat bersemayam para dewa), sedangkan Candi Panataran menghendaki penggelaran pandangan secara mendatar (yang sebenarnya merupakan proyeksi datar saja dari susunan vertikal) dengan tujuan pengarahan perhatian ke lokasi nenek moyang di gunung-gunung” (Soekmono 1986: 237).

Sebenarnya secara tidak langsung Soekmono telah menjelaskan adanya fungsi yang berbeda antara bangunan candi-candi dalam masa Klasik Tua yang didirikan di Jawa bagian tengah dan candi-candi masa Klasik Muda di Jawa Timur. Bahwa bangunan candi-candi masa Klasik Tua didirikan untuk keperluan ritus pemujaan kepada dewata, sedangkan candi-candi di masa Klasik Muda terutama era Singhasari dan Majapahit bermaksud untuk didedikasikan bagi pemujaan nenek moyang telah diperdewa. Maka bangunan candi jelas merupakan monumen keagamaan yang bersifat sakral karena diperuntuk sebagai media untuk “berkomunikasi” dengan hal Adikodrati (superhuman beings).

Sebagai bangunan sakral candi tidaklah mengikuti kaidah keagamaan secara ketat, artinya tidak setiap bangunan candi harus didirikan secara seragam. Bangunan-bangunan tersebut mempunyai wujud arsitektur yang berbeda-beda, walaupun mempunyai latar belakang keagamaan yang sama. Wujud arsitektur yang berbeda itulah yang menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut, karena perbedaan tersebut sebenarnya menunjukkan adanya kekhasan. Oleh karena itu lazim disebut-sebut bahwa bangunan candi memiliki keistimewaan yang tidak didapatkan pada bangunan candi lainnya. Misalnya keistimewaan Candi Bima di Dieng adalah atapnya, atap dihias dengan bentuk-bentuk seperti buah keben (amalaka) yang tertekan dan oeleh karena itu wujudnya pipih. Candi lain mempunyai keistimewaan lain lagi dan seterusnya setiap candi mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri.


III

Berdasarkan bentuk arsitekturnya, sebenarnya candi-candi di wilayah Jawa bagian tengah dapat dibagi ke dalam dua macam gaya yang berlatarbelakangkan nafas keagamaannya, yaitu (1) candi-candi Hindu-śaiva dan (2) candi-candi Bauddha. Walaupun secara prinsip candi-candi itu mempunyai kesamaan, namun terdapat banyak perbedaan pula yang menarik untuk dibicarakan lebih lanjut.

Persamaan antara bangunan candi-candi Hindu-śaiva dan Bauddha di wilayah Jawa Tengah yang didirikan antara abad ke-8—10 M antara lain adalah:

  1. umumnya mempunyai pondasi yang berbentuk sumuran
  2. secara vertikal terdiri dari 3 bagian, yaitu, kaki, tubuh, dan atap bangunan
  3. mempunyai ruang utama di tengah bangunan
  4. dilengkapi dengan sejumlah relung yang kadang-kadang diperbesar menjadi ruang
  5. pipi tangga berbentuk ikal lemah
  6. terdapat gabungan bingkai padma, setengah lingkaran, dan rata
  7. ornamen yang selalu dikenal adalah hiasan Kala dan Makara.

Beberapa persamaan itu dapat ditemukan baik di candi-candi Hindu ataupun Buddha, seakan-akan telah menjadi ciri arsitektur bagi bangunan candi apapun di masa itu. Sebagai contoh pada butir b, baik pada candi Hindu ataupun Buddha pembagian vertikal tersebut selalu dapat dijumpai, yaitu (1) adanya bagian pondasi dan kaki candi dalam ajaran Hindu merupakan simbol dari alam Bhurloka, pada candi Buddha bagian ini dipandang sebagai pencerminan lapisan kehidupan Kamadhatu. (2) Bagian tubuh candi tempat bersemayamnya arca-arca dewa baik di bilik tengah (utama) atau relung-relung (parsvadewata) dalam ajaran Hindu merupakan simbol dari dunia Bhuvarloka, sedangkan dalam ajaran Buddha dapat dipandang sebagai pencerminan dari lapisan kehidupan Rupadhatu, dan (3) atap candi merupakan simbol Svarloka dalam Hinduisme, yaitu alam kehidupan para dewa. Adapun dalam ajaran Buddhisme atap adalah simbol Arupadhatu, suatu suasana tanpa wujud apapun, benar-benar hampa (śunyata).

Jadi berdasarkan pembagian arsitektur secara vertikal baik di candi Hindu ataupun Buddha sebenarnya melambangkan lapisan 3 dunia, yaitu dunia keburukan, dunia yang agak baik, dan dunia kebajikan sepenuhnya. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam di bangunan candi, terutama dalam hal penerapan ornamennya, sebab ornamen-ornamen itu ada yang khas menggambarkan suatu dunia tertentu. Misalnya penggambaran figur-figur makhluk kahyangan yang melayang di awan, binatang-binatang mitos, pohon Kalpataru, relief cerita yang mencerminkan lapisan alam tertentu, dan sebagainya.

Sebelum membicarakan cirri penting candi-candi Hindu, berikut didaftarkan dulu candi-candi Hindu penting di wilayah Jawa bagian tengah. Dengan adanya daftar tersebut dapat diketahui adanya sejumlah candi Hindu yang bangunannya masih berdiri, walaupun ada yang tidak lengkap lagi. Candi-candi itu adalah adalah:

  1. Kelompok Candi Dieng + abad ke-8 Banjarnegara
  2. Kelompok Candi Gedong Songo + abad ke-8 Ambarawa
  3. Candi Gunung Wukir tahun 732 M Magelang
  4. Candi Pringapus + abad ke-9 Temanggung
  5. Kelompok Candi Sengi + abad ke-9 Magelang
  6. Candi Selagriya + abad ke-9 Magelang
  7. Candi Sambisari + abad ke-9 Sleman
  8. Candi Kedulan + abad ke-9 Sleman
  9. Candi Morangan + abad ke-9 Sleman
  10. Candi Barong + abad ke-9 Sleman
  11. Candi Ijo + abad ke-9 Sleman
  12. Candi Merak + abad ke-10 Klaten
  13. Candi Lawang + abad ke-10 Boyolali
  14. Candi Sari + abad ke-10 Boyolali
  15. Percandian Prambanan tahun 856 M Sleman
Sebenarnya terdapat juga candi-candi Hindu yang tinggal runtuhannya saja, karena itu tidak dapat diperkirakan kembali wujud lengkapnya semula. Misalnya Candi Gondosuli di Temanggung, Candi Ngempon di Ambarawa, dan Candi Retno di Magelang. Tentunya di masa mendatang diperkirakan masih akan ditemukan candi-candi Hindu lainnya di wilayah Jawa Tengah, terutama di sekitar gunung atau pegunungan, mengingat terdapat konsep kuat bahwa di daerah pegunungan itulah para dewa bersemayam, jadi para pembangun candi diperkirakan akan banyak mendirikan candi di daerah dataran tinggi dan gunung-gemunung.

Berdasarkan pengamatan terhadap sejumlah candi Hindu di wilayah Jawa Tengah dapat diketahui adanya sejumlah ciri khas yang dimiliki oleh bangunan-bangunan candi Hindu, yaitu:

  1. Di bagian tengah pondasi terdapat sumuran (perigi) tempat untuk menyimpan pendaman
  2. Lantai pradaksinapatha tidak terlalu lebar di bagian tepinya tidak ada pagar langkan (vedika).
  3. Terdapat 5 relung di dinding luarnya, 1 relung di setiap sisi dinding dan 2 relung kecil di kanan-kiri pintu (berisikan arca Durga Mahisasuramardini, Ganesa, Rsi Agastya, Mahakala, dan Nandiśvara)
  4. Jika berupa kompleks bangunan, maka terdiri dari 1 candi induk berhadapan dengan 3 Candi Perwara. Candi perwara tengah berisikan arca Nandi.
  5. Di bagian tengah bilik utama terdapat Lingga-Yoni, Yoni menutup mulut perigi yang terdapat di lantai bilik dan menembus pondasi.
  6. Mercu-mercu atap berupa bentuk candi kecil, kemuncaknya berbentuk motif ratna.
Demikian beberapa ciri penting yang terdapat pada bangunan gaya arsitektur candi Hindu-śaiva yang terdapat di Jawa bagian tengah. Ciri-ciri tersebut sebagian besar dapat ditemukan pada hampir semua bangunan candi Hindu-śaiva, namun ada pula yang hanya didapatkan pada 2 bangunan saja, selain dua bangunan tersebut tidak dapat dijumpai ciri yang dimaksudkan. Misalnya di lingkungan percandian Dieng dan Gedong Songo, setiap candi tidak dilengkapi dengan 3 Candi Perwara di hadapannya, melainkan terdapat satu bangunan saja yang denahnya empat persegi panjang, kasus demikian etrjadi pada Candi Arjuno yang berhadapan dengan Candi Semar. Di kompleks Gedong Songo terdapat Candi Gedong Songo II yang berhadapan dengan struktur kaki candi berdenah empat persegi panjang, dahulu mungkin merupakan candi perwaranya. Candi Gedong Songo I, justru tidak terdapat relung di sisi luarnya, dan terlihat adanya sisa pagar langkan di bagian tepian pradaksinapathanya, jadi mirip dengan bentuk arsitektur candi Buddha. Hanya saja karena candi-candi lainnya di kelompok percandian Gedong Songo tersebut bernafaskan agama Hindu-śaiva, maka candi Gedong Songo I pun digolongkan sebagai candi Hindu-śaiva pula.

Dalam pada itu terdapat pula candi-candi Buddha penting di wilayah Jawa bagian tengah, candi-candi itu ada yang dipandang menarik dari sudut arsitekturnya selain stupa Borobudur yang tidak ada duanya lagi di dunia. Candi Borobudur sebenarnya merupakan gabungan antara bentuk punden berundak yang dihiasi dengan stupa-stupa, stupa induk berada di puncak pundek seakan-akan menjelma menjadi mahkota bagi punden berundak khas bangunan suci masa prasejarah Indonesia (Wirjosuparto 1964: 53—54). Candi-candi Buddha ada yang mempunyai denah empat persegi panjang dalam ukuran besar (Candi Sari, Plaosan Lor, dan Banyunibo), sedangkan candi Hindu hanya berukuran kecil saja (Candi Semar dan Gedong Songo IIIc). Terdapat pula candi-candi Buddha yang dilengkapi dengan banyak Perwara, misalnya Candi Lumbung, Sewu, Plaosan Lor, dan Kidal, sedangkan candi Hindu hanya Prambanan saja yang dilengkapi banyak Perwara. Gambaran umum percandian Buddha di Jawa bagian tengah antara lain:

  1. Percandian Ngawen + abad ke-9 Magelang
  2. Candi Kalasan + abad ke-8 Sleman
  3. Candi Sari (candi Bendah) + abad ke-8 Sleman
  4. Stupa Borobudur + abad ke-9 Magelang
  5. Candi Pawon + abad ke-9 Magelang
  6. Candi Mendut + abad ke-9 Magelang
  7. Percandian Lumbung + abad ke-9 Sleman
  8. Candi Bubrah sekitar tahun 782 M Sleman
  9. Percandian Sewu (Manjusrigrha) tahun 792 M Sleman
  10. Percandian Plaosan Lor + abad ke-10 Klaten
  11. Percandian Plaosan Kidul + abad ke-10 Klaten
  12. Candi Sajiwan + abad ke-9 Klaten
  13. Percandian Banyunibo + abad ke-9 Sleman
  14. Stupa Dawangsari + abad ke-10 Sleman

Setelah membicarakan beberapa candi Buddha penting di wilayah Jawa bagian tengah, kronologi relatif, dan lokasinya sekarang ini, selanjutnya diperhatikan beberapa cirri penting dari candi-candi Buddha. Dinamakan penting karena cirri-ciri itulah yang secara umum hadir pada candi-candi Buddha, yaitu:

Ciri-ciri penting candi Buddha

  1. Bangunan candi induk dikelilingi oleh candi perwara di sekitarnya
  2. Lantai pradaksinapatha relatif lebar dan di bagian tepinya mempunyai pagar langkan (vedika)
  3. Pada bagian tubuh candi terdapat lubang-lubang yang tembus seakan-akan berfungsi sebagai ventilasi, selain terdapat relung-relung di dinding luarnya
  4. Mempunyai komponen bangunan berbentuk stupa, terutama di bagian atap
  5. Dilengkapi dengan arca-arca yang bersifat bauddha
  6. Di bilik candinya, menempel di dinding belakang terdapat “pentas persajian” , untuk meletakkan arca.
  7. Tidak mempunyai perigi sebagaimana yang dijumpai pada candi Hindu
  8. Pada beberapa candi besar halaman percandian diperkeras dengan hamparan balok batu, hal itu dapat ditafsirkan bahwa di masa silam pernah terjadi ritual yang banyak menyita aktivitas di halaman tersebut.
Demikianlah apabila diperhatikan secara seksama terdapat perbedaan antara candi-candi Hindu-śaiva dan Buddha Mahayana di masa Klasik Tua di Jawa bagian tengah. Perbedaan itulah yang dapat disebut langgam atau gaya, jadi di Jawa bagian tengah antara abad ke-8—10 candi-candi dibangun dengan dua langgam, yaitu langgam candi Hindu atau langgam candi Buddha. Pendapat R.Soekmono dalam hal ini dapat dikembangkan lebih lanjut, bahwa langgam candi Jawa tengah itu ternyata dapat dibagi menjadi 2 lagi. Sebenarnya kedua langgam itu telah mengalami gejala perpaduan di kompleks Prambanan, sebab ciri-ciri candi Hindu dan Buddha dapat ditemukan secara bersama-sama di gugusan candi Prambanan. Sejalan dengan pendapat J.G.de Casparis akhirnya terjadi perkawinan antara anggota “keluarga Sanjaya” yang Hindu dan anggota Śailendravamsa yang beragama Buddha. Perkawinan dua keluarga tersebut kemudian diwujudkan dengan mendirikan bangunan suci yang bercorak dua agama, yaitu percandian Prambanan atau Śivagrha dalam tahun 856 M (Sumadio 1984).


IV

Setelah kerajaan berkembang di wilayah Jawa bagian timur, maka bermacam aktivitas keagamaan pun beralih ke wilayah tersebut. Bangunan suci pun kemudian dibangun oleh masyarakat masa itu di lokasi-lokasi yang dipandang sakral melanjutkan tradisi Klasik Tua, seperti di pertemuan dua aliran sungai, daerah dataran tinggi dan pegunungan, dan dekat sumber-sumber air (mata air). Hal yang menarik di daerah malang sampai sekarang masih terdapat bangunan candi dengan Langgam candi Hindu Klasik Tua –sebagaimana yang terdapat pada candi Hindu-saiva di Jawa Tengah, yaitu Candi badut. Candi ini dihubungkan dengan Prasasti Dinoyo yang bertarikh 760 M. Dalam prasasti itu diuraikan adanya Kerajaan Kanjuruhan, Raja yang mengeluarkan prasasti itu adalah Gajayana yang beragama Hindu-saiva. Sehubungan dengan sebab tertentu yang belum dapat dijerlaskan, Kanjuruhan runtuh mungkin masih dalam abad ke-8 juga, kemudian uraian sejarahnya tidak dapat diketahui lagi.

Tinggalan arsitektur tertua setelah Mataram ibu kota berlokasi di Jawa bagian timur antara abad ke-10—11 M sebenarnya cukup langka, dua di antaranya yang penting adalah petirthān kuno, yaitu Jalatunda (abad ke-10 M) yang terletak di lereng barat Gunung Penanggungan dan Belahan terletak di lereng timurnya (abad ke-11 M). Kedua petirthan tersebut sampai sekarang masih mengalirkan air walaupun sudah tidak deras lagi. Menilik gaya arsitektur, relief dan seni arcanya patirthǎn Jalatunda dan Belahan dapat digolongkan sebagai karya arsitektur tertua di Jawa Timur setelah periode Kanjuruhan. Satu runtuhan candi yang semula merupakan patirthǎn pula adalah candi Sanggariti yang berlokasi di daerah Batu, Malang. Hanya saja candi penting dari sekitar abad ke-10 tersebut sudah tidak terurus lagi, sebagian bangunannya (tubuh dan atapnya telah hilang).

Sisa bangunan candi yang diperkirakan didirikan oleh raja Pu Sindok (929—947 M) adalah runtuh candi Lor yang terbuat dari bata di wilayah Kabupaten Nganjuk sekarang. Sisa candi Gurah di wilayah Kediri pernah ditemukan dalam penggalian arkeologi tahun 1969, bangunannya hanya tinggal pondasinya saja, sedangkan arca-arcanya dalam keadaan cukup baik, yaitu arca Brahma, Surya, Candra, dan Nandi. Bangunan Candi Gurah diperkirakan berasal dari Kerajaan Kadiri (abad ke-12 M), candi itu masih berlanggam candi Hindu Klasik Tua karena di depan candi induknya terdapat 3 candi perwara masing-masing mempunyai pondasi yang terpisah. Ujung pipi tangganya dihias dengan makara, suatu yang lazim pada candi-candi Jawa tengah, sedangkan arca-arcanya mirip dengan gaya seni arca Singhasari, oleh karena itu Soekmono menyatakan bahwa arsitektur candi Gurah merupakan mata rantai penghubung antara gaya bangunan candi masa Klasik Tua di Jawa Tengah dan masa Klasik Muda di Jawa bagian timur (Soekmono 1969: 4—5, 16—17).

Bangunan candi di wilayah Jawa bagian timur yang relatif masih utuh kebanyakan berasal dari periode Singhasari (abad ke-13 M) dan Majapahit (abad ke-14--15 M). Candi-candi yang dihubungkan dengan periode Kerajaan Singhasari yang masih bertahan hingga kini adalah Candi Sawentar (Blitar), Kidal, Singhasari, Stupa Sumberawan (Malang), dan candi Jawi (Pasuruan).

Adapun candi-candi dari era Majapahit yang masih dapat diamati wujud bangunannya walaupun banyak yang tidak utuh lagi, adalah:

  1. Candi Sumberjati (Simping) Abad ke-14 M Blitar
  2. Candi Ngrimbi (Arimbi) s.d.a Jombang
  3. Candi Panataran (Rabut Palah) s.d.a Blitar
  4. Candi Surawana s.d.a Kediri
  5. Candi Tegawangi s.d.a Kediri
  6. Candi Kali Cilik s.d.a Blitar
  7. Candi Bangkal s.d.a Mojokerto
  8. Candi Ngetos s.d.a Nganjuk
  9. Candi Kotes s.d.a Blitar
  10. Candi Gunung Gangsir s.d.a Pasuruan
  11. Candi Jabung s.d.a Probolinggo
  12. Candi Kedaton Abad ke-15 M Probolinggo
  13. Candi Brahu s.d.a Trowulan/Mojokerto
  14. Candi Tikus s.d.a s.d.a
  15. Gapura Bajang ratu s.d.a s.d.a
  16. Gapura Wringin Lawang s.d.a s.d.a
  17. Candi Pari Abad ke-14 M Sidoarjo
  18. Candi Pamotan Abad ke-15 M Mojokerto
  19. Candi Dermo s.d.a s.d.a
  20. Candi Kesiman Tengah s.d.a s.d.a
  21. Candi Sanggrahan Abad ke-14 M Tulungagung
  22. Candi Mirigambar s.d.a s.d.a
  23. Candi Bayalango s.d.a s.d.a
  24. Punden berundak di Penanggungan Abad ke-15—16 M Mojokerto
Berdasarkan wujud arsitektur yang masih bertahan hingga kini, maka bangunan suci Hindu-Buddha di wilayah Jawa Timur yang berkembang antara abad ke-13—16 M dapat dibagi ke dalam 5 gaya, yaitu (1) Gaya Singhasari, (2) Gaya Candi Brahu, (3) Gaya Candi Jago, (4) “Candi Batur”, dan (5) Punden berundak. Untuk lebih jelasnya ciri setiap gaya tersebut adalah sebagai berikut:

1.Gaya Singhasari

Dinamakan demikian karena wujud arsitektur yang menjadi ciri gaya ini mulai muncul dalam zaman kerajaan Singhasari dan terus bertahan hingga zaman Majapahit. Ciri yang menonjol dari Gaya Singhasari adalah:

  1. Bangunan candi utama terletak di tengah halaman, atau di daerah tengahnya yang sering tidak terlalu tepat.
  2. Bangunan candi terbagi 3 yang terdiri dari bagian kaki (upapitha), tubuh (stambha), dan atap yang berbentuk menjulang tinggi dengan tingkatan yang berangsur-angsur mengecil hingga puncak. Seluruh bangunan candi terbuat dari bahan tahan lama, seperti batu, bata, atau campuran batu dan bata.
  3. Ruang atau bilik utama terdapat di bagian tengah bangunan, terdapat juga relung di dinding luar tubuh candi tempat meletakkan arca dewata.

Contoh gaya Singhasari adalah: Candi Sawentar, Kidal, Jawi, Singhasari (memiliki keistimewaan), Angka Tahun Panataran, Kali Cilik, Ngetos, dan Bangkal.


2.Gaya Brahu

Brahu adalah nama candi bata yang terletak di situs Trowulan, bentuk bangunannya unik, karena arsitekturnya baru muncul dalam zaman Majapahit. Dalam masa sebelumnya baik di era Singhasari atau Mataram Kuno bentuk arsitektur demikian belum dikenal. Dapat dipandang sebagai corak arsitektur tersendiri karena selain Candi Brahu candi yang sejenis itu masih ada lagi dalam zaman yang sama. Ciri Gaya Brahu adalah:

  1. Bagian kaki candi terdiri atas beberapa teras (tingkatan), teras atas lebih sempit dari teras bawahnya).
  2. Tubuh candi tempat bilik utama didirikan di bagian belakang denahnya yang bentuk dasarnya empat persegi panjang.
  3. Seluruh bangunan dibuat dari bahan yang tahan lama, umumnya bata.

Termasuk kelompok Gaya Brahu adalah Candi Brahu, Jabung, dan Gunung Gangsir. Dalam pada itu di wilayah Padang Lawas, Sumatra Utara terdapat sekelompok bangunan suci dengan Gaya Brahu pula, dinamakan dengan Biaro Bahal yang jumlahnya lebih dari 3 bangunan. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa biaro-biaro di Padang Lawas tersebut didirikan dalam masa perkembangan Majapahit pula.


3.Gaya Jago

Candi Jago terletak di Malang, arca-arcanya berlanggam seni Singhasari dengan adanya tokoh yang diapit oleh sepasang teratai yang keluar dari bonggolnya, namun gaya bangunannya tidak sama dengan dua macam gaya yang telah disebutkan terdahulu. Menilik bentuk bangunannya yang berbeda dengan dua gaya lainnya, maka Candi Jago bersama beberapa candi lainnya yang sejenis termasuk ke dalam gaya seni arsitektur tersendiri. Untuk memudahkannya gaya arsitektur itu dinamakan dengan Gaya Jago, dengan Candi Jago sebagai contoh terbaiknya. Ciri-ciri penting Gaya Jago adalah:

  1. Kaki candi berteras 1, 2 atau 3 dengan denah dasar empat persegi panjang.
  2. Bilik utama didirikan di bagian tengah teras teratas atau bergeser agak ke belakang teras teratas.
  3. Atap tidak dijumpai lagi, diduga terbuat dari bahan yang cepat rusak (ijuk, bambu, kayu, dan lain-lain), bentuknya menjulang tinggi bertingkat-tingkat dalam bahasa Jawa Kuno dikenal dengan prasadha. Bentuk seperti ini masih dikenal di Bali dan digunakan untuk menaungi bangunan meru, pelinggih dan pesimpangan di kompleks pura.
Bangunan candi yang termasuk kelompok Gaya Jago adalah: Candi Jago, Candi Induk Panataran, Sanggrahan, dan Kesiman Tengah.


4. “Candi Batur”

Dinamakan demikian karena bentuknya hanya merupakan suatu bangunan 1 teras sehingga membentuk seperti siti inggil atau batur. Sekarang hanya tersisa batur itu saja dengan tangga di salah satu sisinya, denahnya bias berberntuk bujur sangkar dan dapat pula berbentuk empat persegi panjang. Di bagian permukaan batur biasanya terdapat objek sakral, antara lain berupa lingga-yoni, altar persajian, pedupaan berbentuk candi kecil atau juga arca perwujudan tokoh yang telah meninggal. Contoh bangunan candi seperti itu adalah Candi Kedaton di Probolinggo, Candi Kedaton di Trowulan, Candi Miri Gambar, Tegawangi, Surawana, Papoh (Kotes), dan Pasetran di lereng utara Gunung Penanggungan.


5. Punden berundak

Adalah bangunan teras bertingkat-tingkat meninggi yang menyandar di kemiringan lereng gunung. Ukuran teras semakin mengecil ke atas, jumlah teras umumnya 3 dan di bagian puncak teras teratas berdiri altar-altar persajian yang jumlahnya 3 altar (1 altar induk diapit dua altar pendamping di kanan-kirinya. Tangga naik ke teras teratas terdapat di bagian tengah punden berundak, terdapat kemungkinan dahulu di kanan kiri tangga tersebut berdiri deretan arca menuju ke puncak punden yang berisikan altar tanpa arca apapun. Contoh yang baik bentuk punden berundak masa Majapahit terdapat di lereng barat Gunung Penanggungan, penduduk menamakan punden-punden itu dengan candi juga, misalnya Candi Lurah (Kepurbakalaan No.1), Candi Wayang (Kep. No.VIII), Candi Sinta (Kep.No.17a), Candi Yuddha (Kep.No.LX), dan Candi Kendalisada (Kep.No.LXV). Selain di Gunung Penanggungan terdapat pula beberapa punden berundak di lereng timur Gunung Arjuno, hanya saja dinding teras-terasnya disusun dari batu-batu alami, tanpa dibentuk dahulu menjadi balok-balok batu.

Penggolongan bentuk arsitektur candi-candi di Jawa Timur tersebut berdasarkan pengamatan terhadap sisa bangunan yang masih ada sekarang, mungkin di masa silam lebih banyak lagi bentuk arsitektur yang lebih unik dan menarik, hanya saja tidak tersisa lagi wujudnya. Terdapat juga bangunan candi yang tidak dapat digolongkan ke dalam bentuk arsitektur manapun, misalnya Candi Pari yang bangunannya melebar dan tinggi, mirip dengan bangunan suci yang terdapat di Champa (Indo-China). Mungkin saja dahulu terdapat pengaruh gaya bangunan Champa yang masuk ke Majapahit, hal itu agaknya sejalan dengan berita tradisi yang mengatakan bahwa raja Majapahit pernah menikah dengan seorang putri Champa.Bangunan lain yang juga unik adalah Candi Sumur di dekat Candi Pari, dinamakan demikian karena ruang utamanya berupa lubang sumur yang berair. Candi Sumur mempunyai padanannya pada Candi Sanggariti di Batu, Malang, namun dari kronologi yang jauh berbeda.


V

Aktivitas keagamaan Hindu-Buddha di Jawa masa silam tentunya cukup bergairah, terbukti dengan ditemukannya banyak peninggalan bangunan suci dari kedua agama itu baik di wilayah Jawa bagian tengah ataupun timur. Para ahli arkeologi dan sejarah kuno telah sepakat untuk menyatakan bahwa munculnya berbagai karya arsitektur bangunan suci itu sebenarnya sejalan dengan keberadaan pusat kerajaan sezaman. Ketika pusat kerajaan berada di Jawa Tengah, candi-candi Hindu-Buddha banyak dibangun di wilayah tersebut, dan ketika pusat-pusat kerajaan muncul di Jawa Timur, pembangunan candi-candi pun banyak dilakukan di wilayah Jawa Timur.

Gaya arsitektur bangunan candi ketika pusat Kerajaan Mataram masih berlokasi di Jawa Tengah, lebih didasarkan pada latar belakang agamanya. Maka dari itu terdapat Langgam Candi Hindu-saiva dan Langgam Candi Buddha Mahayana. Lain halnya ketika pusat-pusat kerajaan telah berada di Jawa Timur, perbedaan gaya bangunan suci itu tidak didasarkan kepada perbedaan agama lagi, baik candi Hindu ataupun Buddha gaya arsitekturnya sama, hal yang membedakannya hanya terletak pada arca-arca yang dahulu disemayamkan di dalamnya. Mungkin kenyataan ini sejalan dengan konsep Siwa-Buddha bahwa sebenarnya dalam hakekat tertinggi sebenarnya tidak ada lagi perbedaan antara Siwa dan Buddha, oleh karena itu tidak perlu adanya perbedaan secara tegas terhadap wujud bangunan sucinya.

Satu masalah penting yang perlu kajian lebih lanjut adalah apa yang terjadi di wilayah Jawa bagian tengah ketika Kadiri, Singhasari dan Majapahit berkembang di Jawa Timur?, apakah Jawa Tengah sepi dari aktivitas keagamaan?, apakah masih dihuni oleh penduduk?, mengapa tidak ada sumber sejarah dan arkeologi yang ditemukan di wilayah Jawa Tengah antara abad ke-11—14?. Demikianlah terdapat masalah yang menarik untuk diungkapkan di masa mendatang, bahwa tidak mungkin wilayah tua di Jawa bagian tengah bekas tempat kedudukan para Syailendra itu tiba-tiba sepi saja, ketika kerajaan-kerajaan berkembang di Jawa bagian timur. Penelisika untuk menjelaskan permasalahan itu masih terbuka, dan mengundang para ahli yang berminat untuk mengeksplorasinya lebih lanjut.


PUSTAKA ACUAN


Munandar, Agus Aris, 2003, Aksamala: Bunga Rampai Karya Penelitian. Bogor: Akademia.

-----------------, 2004, “Menggapai Titik Suci: Interpretasi Semiotika Perpindahan Pusat Kerajaan Mataram Kuno”, dalam dalam T.Christomy & Untung Yuwono (Penyunting), Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia. Halaman 161—180.

Soekmono, R., 1969, Gurah, The Link Between The Central and The East-Javanese Arts. Bulletin of the Archaeological Institute of the Republic of Indonesia No.6. Djakarta: Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.

------------------, 1986, “Local Genius dan Perkembangan Bangunan Sakral di Indonesia”, dalam Ayatrohaedi (Penyunting), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya. Halaman 228—246.

-----------------, 1997, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius.

Sumadio, Bambang (Penyunting jilid), 1984, Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.

Wirjosuparto, Sutjipto, 1964, Glimpses of Cultural History of Indonesia. Djakarta: Indira.


Pengajar di Departemen Arkeologi

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Read More......

Dictionary

Kontak Saya

NAMA:
EMAIL:
SUBJEK:
PESAN:
TULIS KODE INI: