KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
KOMPAS, Senin, 6 Agustus 2012 - Gambar tapak tangan yang diduga dibuat 3.000-5.000 tahun lalu terdapat di dinding Goa Leang Rasapao di kawasan bukit karst Kecamatan Minasa Te’ne, Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, Minggu (5/8). Jejak peradaban prasejarah yang banyak ditemukan di goa-goa karst di Pangkep dan Maros menunjukkan adanya kehidupan manusia prasejarah di wilayah itu. Selain lukisan goa juga ditemukan peralatan berburu pada masa itu.
Read More......
Tampilkan postingan dengan label Prasejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Prasejarah. Tampilkan semua postingan
Minggu, 12 Agustus 2012
Sabtu, 05 Mei 2012
Ditemukan Dua Kerangka Manusia Prasejarah
KOMPAS, Senin, 30 April 2012 - Balai Arkeologi Yogyakarta menemukan dua kerangka manusia prasejarah di Goa Kidang, Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Satu kerangka Homo sapiens atau manusia prasejarah yang sudah berpikir maju itu ditemukan utuh, sedangkan temuan yang satunya berupa kerangka kaki. Goa Kidang berada di kawasan karst Pegunungan Kendeng Utara dan berjarak sekitar 35 kilometer dari Blora. Goa itu berupa ceruk gunung karst sedalam lebih kurang 15 meter dari permukaan tanah bukit karst. Untuk masuk ke dalam goa itu, harus menuruni jalan setapak. Ketua Tim Pola Okupasi Goa Kidang Balai Arkeologi Yogyakarta Indah Asikin Nurani, Jumat (27/4), mengatakan, kerangka Homo sapiens yang utuh ditemukan di kedalaman 115 sentimeter. Adapun kerangka Homo sapiens yang satunya berada di kedalaman 155 cm. Namun, tim baru menemukan bagian kaki karena posisi dia berada di lapisan tanah di bawah kerangka Homo sapiens yang utuh. ”Dari hasil penanggalan radiokarbon, kedua kerangka itu berada di lapisan tanah yang berusia 16.000 tahun- 20.000 tahun,” katanya. (HEN)
Label:
Kerangka,
Prasejarah,
Yogyakarta
Kamis, 16 Februari 2012
Situs Megalitik Gunung Padang

KOMPAS, Senin, 13 Feb 2012 - Hamparan batu tampak tertata di Situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, Jumat (10/2). Situs Gunung Padang pada ketinggian 894 meter di atas permukaan laut ini merupakan peninggalan peradaban Megalitik, rentang waktu 2500-1500 SM, dan diduga merupakan situs megalitik terbesar se-Asia Tenggara.
Label:
Gunung Padang,
Jawa Barat,
Prasejarah
Senin, 12 Desember 2011
Rencana Menghidupkan Kembali Gajah Purba
Kompas, Jumat, 9 Desember 2011 - Melihat mammoth (gajah purba) hidup kembali kelak bukan hal mustahil. Setidaknya dalam lima tahun ke depan kita akan bisa melihat lagi anggota keluarga gajah yang punah 10.000 tahun lalu itu. Peneliti asal Rusia yang juga Direktur Museum Mammoth Republik Sakha, Semyon Grigoriev, berencana mengkloning gajah purba itu setelah menemukan sumsum tulang paha yang masih utuh. Kantor berita Jepang, Kyodo, Senin (5/12), menyebutkan, fosil gajah purba itu ditemukan di wilayah Siberia. Proyek yang akan dilakukan bersama Universitas Kinki itu akan dimulai tahun depan. Menurut Grigoriev, kunci penting untuk mengkloning gajah purba adalah menggantikan inti dari sel telur gajah dengan sel-sel tulang paha gajah purba. Proses ini akan menghasilkan embrio dengan DNA gajah purba. Pencarian inti sel gajah purba dilakukan sejak tahun 1990-an. Melihat gajah purba hidup kembali akan menjadi temuan yang menakjubkan. Hanya saja ide mengkloning binatang yang sudah punah memunculkan perdebatan panjang. Banyak yang khawatir gajah purba akan sulit beradaptasi dengan ekosistem yang ada saat ini meski akan hidup di kebun binatang khusus. — (DISCOVERY NEWS/LUK)
Read More......
Label:
Mancanegara,
Museum,
Prasejarah
Jumat, 29 April 2011
Benda Purbakala Masih Ditemukan di Trinil
KOMPAS, Selasa, 26 April 2011 - Benda purbakala terus ditemukan warga di sekitar Museum Trinil, Ngawi, Jawa Timur. Setahun terakhir lebih dari 200 benda diterima pengelola museum. Menurut Kepala Unit Museum Trinil Endro Waluyo, Jumat lalu, temuannya banyak dan spektakuler. Terakhir, fosil utuh geraham gajah setinggi 50 cm berdiameter 20 cm. Benda ditemukan Said (45), warga Desa Kawu, Kedunggalar, seminggu lalu, saat menggali tanah di tepi Bengawan Solo. Temuan lain berupa fosil kepala dan tanduk banteng utuh sepanjang 60 cm dari zaman Pleistosen, sekitar 1 juta hingga 730.000 tahun lalu. Endro yakin, penemuan fosil manusia purba, seperti Pithecanthropus erectus oleh EugeneDubois pada tahun 1891, dapat terjadi lagi.(NIK)
Label:
Fosil,
Prasejarah,
Trinil
Jumat, 18 Februari 2011
Batuan Berukir Purba di Timor Leste
KOMPAS - Senin, 14 Feb 2011 - Sejumlah ilmuwan Australia pemburu fosil tikus raksasa di Timor Leste terpikat ukiran/pahatan unik yang mereka jumpai pada bebatuan di Goa Lene Hara. "Karya seni" itu diperkirakan berumur lebih dari 12.000 tahun, seperti diungkapkan badan riset Australia. Temuan itu terjadi ketika para ilmuwan menggali lokasi di sekitar goa. "Melihat bagian atas dari lantai goa, senter di kepala saya menyinari sesuatu yang seperti dipahat oleh alam," kata Ken Aplin, peneliti Australia pada Commonwealth Scientific and Research Organisation (CSIRO), seperti dikutip AFP, Jumat lalu. Ia takjub dengan panel lukisan/pahatan wajah-wajah manusia prasejarah di dinding goa. Salah satunya wajah dengan hiasan kepala sirkuler berbentuk matahari, yang diperkirakan temuan pertama di Timor Leste dan satu-satunya dari masa Pleistosen di kawasan itu. Warga sekitar mengaku terkejut dengan temuan itu. Karya seni lain di goa yang berumur 30.000 tahun ditemukan CSIRO akhir tahun lalu, saat mereka mengumumkan bukti kepunahan spesies purba, tikus raksasa sebesar anjing kecil.(AFP/GSA)
Read More......
Label:
Mancanegara,
Prasejarah,
Timor Leste
Minggu, 19 September 2010
Ditemukan, Kerangka Manusia Prasejarah Baru
Kompas, Jumat, 17 Sep 2010 - Balai Arkeologi Bandung kembali menemukan dua fragmen tulang rahang dan gigi milik manusia prasejarah yang diperkirakan berumur sekitar 5.600 tahun yang lalu di Goa Pawon, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Temuan ini semakin menunjukkan banyaknya kehidupan dan aktivitas manusia prasejarah di Goa Pawon.
"Sebelum penemuan ini sudah ditemukan lima kerangka manusia prasejarah di Goa Pawon. Penemuan kali ini juga sama, usianya 9.500 tahun-5.600 tahun lalu," ujar arkeolog Balai Arkeologi (Balar) Bandung, Lutfi Yondri, di Bandung, Kamis (16/9).
Lutfi mengatakan, penemuan rahang dan gigi manusia prasejarah ini berada di kotak S2 T4 pada kedalaman 150 sentimeter. Penemuan sebelumnya, yang terjadi pada 2003, kerangka ditemukan pada kedalaman 50-100 sentimeter. Namun, berbeda dengan penemuan sebelumnya, rahang dan gigi manusia prasejarah ini tidak mendapatkan perlakuan khusus.
Dalam beberapa penemuan sebelumnya, kerangka yang ditemukan terdiri dari atap tengkorak, rahang bawah, dan rahang atas yang telah diwarnai menggunakan pewarna merah. Selain itu, ada juga kerangka manusia utuh ditemukan dalam posisi terlipat. Perwarnaan dan posisi terlipat menandakan adanya perlakuan khusus.
"Tidak ada indikasi adanya perlakuan khusus dalam kerangka yang kami temukan. Hal ini memberikan pemahaman baru bahwa tidak semua pemakaman manusia purba menggunakan perlakuan khusus," ujar Lutfi yang melakukan penelitian lanjutan sejak 20 Agustus hingga awal September itu.
Teliti lebih dalam
Dalam penelitian lanjutan di tempat yang sama pada awal 2011 mendatang, Lutfi bersama timnya akan melakukan penelitian lebih mendalam di sekitar Goa Pawon. Tidak menutup kemungkinan akan dibuka juga kotak penelitian lainnya.
"Kami menduga masih banyakjejak kehidupan manusia prasejarah Goa Pawon beserta segala ciri khas dan gaya hidupnya. Bukan tidak mungkin akan ditemukan peradaban manusia yang lebih tua atau berusia di atas 9.500-5.600 tahun lalu," kata Lutfi.
Ribuan sisa makanan
Selain menemukan kerangka manusia, Tim Balar Bandung juga menemukan ribuan sisa makanan manusia prasejarah, seperti tulang dan gigi gajah, kerangka kepala monyet, dan kerang. Selain itu, ada juga perhiasan dari gigi hiu dan perkakas batu obsidian yang telah dihaluskan.
"Perhiasan ini kemungkinan besar dipergunakan manusia prasejarah Pawon. Usianya sama dan banyak ditemukan di sekitar kerangka manusia," ungkapnya.
Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung, T Bachtiar, mengatakan, promosi lokasi penemuan benda arkeologi harus dilakukan secara terus-menerus. Efek promosi diharapkan akan membawa semakin banyak anggota masyarakat yang mencintai dan mendalami sumbangan keilmuan dari peninggalan arkeologi itu.
"Dengan pengelolaan lebih baik, banyak daerah di Jabar mampu meraup nilai tambah secara ekonomi dari lokasi arkeologi, sekaligus memberikan sumbangan berharga bagi dunia keilmuan," ujarnya.(CHE)
Read More......
"Sebelum penemuan ini sudah ditemukan lima kerangka manusia prasejarah di Goa Pawon. Penemuan kali ini juga sama, usianya 9.500 tahun-5.600 tahun lalu," ujar arkeolog Balai Arkeologi (Balar) Bandung, Lutfi Yondri, di Bandung, Kamis (16/9).
Lutfi mengatakan, penemuan rahang dan gigi manusia prasejarah ini berada di kotak S2 T4 pada kedalaman 150 sentimeter. Penemuan sebelumnya, yang terjadi pada 2003, kerangka ditemukan pada kedalaman 50-100 sentimeter. Namun, berbeda dengan penemuan sebelumnya, rahang dan gigi manusia prasejarah ini tidak mendapatkan perlakuan khusus.
Dalam beberapa penemuan sebelumnya, kerangka yang ditemukan terdiri dari atap tengkorak, rahang bawah, dan rahang atas yang telah diwarnai menggunakan pewarna merah. Selain itu, ada juga kerangka manusia utuh ditemukan dalam posisi terlipat. Perwarnaan dan posisi terlipat menandakan adanya perlakuan khusus.
"Tidak ada indikasi adanya perlakuan khusus dalam kerangka yang kami temukan. Hal ini memberikan pemahaman baru bahwa tidak semua pemakaman manusia purba menggunakan perlakuan khusus," ujar Lutfi yang melakukan penelitian lanjutan sejak 20 Agustus hingga awal September itu.
Teliti lebih dalam
Dalam penelitian lanjutan di tempat yang sama pada awal 2011 mendatang, Lutfi bersama timnya akan melakukan penelitian lebih mendalam di sekitar Goa Pawon. Tidak menutup kemungkinan akan dibuka juga kotak penelitian lainnya.
"Kami menduga masih banyakjejak kehidupan manusia prasejarah Goa Pawon beserta segala ciri khas dan gaya hidupnya. Bukan tidak mungkin akan ditemukan peradaban manusia yang lebih tua atau berusia di atas 9.500-5.600 tahun lalu," kata Lutfi.
Ribuan sisa makanan
Selain menemukan kerangka manusia, Tim Balar Bandung juga menemukan ribuan sisa makanan manusia prasejarah, seperti tulang dan gigi gajah, kerangka kepala monyet, dan kerang. Selain itu, ada juga perhiasan dari gigi hiu dan perkakas batu obsidian yang telah dihaluskan.
"Perhiasan ini kemungkinan besar dipergunakan manusia prasejarah Pawon. Usianya sama dan banyak ditemukan di sekitar kerangka manusia," ungkapnya.
Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung, T Bachtiar, mengatakan, promosi lokasi penemuan benda arkeologi harus dilakukan secara terus-menerus. Efek promosi diharapkan akan membawa semakin banyak anggota masyarakat yang mencintai dan mendalami sumbangan keilmuan dari peninggalan arkeologi itu.
"Dengan pengelolaan lebih baik, banyak daerah di Jabar mampu meraup nilai tambah secara ekonomi dari lokasi arkeologi, sekaligus memberikan sumbangan berharga bagi dunia keilmuan," ujarnya.(CHE)
Label:
Jawa Barat,
Prasejarah
Kotak P3K Berusia 2.000 Tahun
Kompas, Kamis, 16 Sep 2010 - Kotak obat berisi obat-obatan untuk pertolongan pertama ternyata telah digunakan setidaknya sejak 2.000 tahun lalu. Situs Discovery News, Rabu (14/9), menyebutkan, tim arkeolog Italia menemukan kotak obat atau P3K itu di dalam kapal Relitto del Pozzino buatan Roma tahun 140-120 sebelum Masehi yang karam di kedalaman 200 meter pantai Tuscany, Italia. Arkeolog bawah air, Enrico Ciabatti, mengemukakan, di dalam kapal itu ditemukan beragam barang, seperti keramik dari Athena dan Pergamon, cangkir dari wilayah Palestina, tempat air bergaya Siprus, serta lampu-lampu dari Asia. "Kapal itu kemungkinan karam karena badai sepulang dari laut Mediterania Timur setelah berkunjung ke Suriah-Palestina, Siprus, dan Delos," kata Ciabatti. Dari sekian banyak barang yang ditemukan, yang paling menarik adalah kotak obat. Di dalam kotak obat itu ditemukan pisau kecil untuk bedah, 136 botol kecil obat-obatan, dan beberapa kaleng berisi tablet pipih berwarna hijau. Karena kalengnya tertutup rapat, tablet hijau itu benar-benar kering meski berada di dalam laut selama ratusan tahun. Tablet hijau itu dianggap temuan yang baru karena kandungan tablet itu yang 100 persen berasal dari sayur-sayuran, seperti wortel, lobak, peterseli, seledri, bawang, dan kol. Hipotesis yang ada, tablet-tablet itu dicampurkan di dalam air atau minuman anggur dan kemudian disuntikkan. Tablet itu diduga semacam suplemen vitamin bagi anak buah kapal selama perjalanan yang panjang. (DISCOVERY NEWS/LUK)
Label:
Mancanegara,
Prasejarah
Senin, 30 Agustus 2010
Tulang Dinosaurus di Saluran Pembuangan Air
Kompas, Kamis, 26 Agustus 2010 - Di tengah-tengah proses penggalian terowongan untuk saluran pembuangan air, para pekerja dinas pekerjaan umum di Kanada menemukan empat fosil tulang dinosaurus, yakni gigi, tungkai dan lengan, tulang belakang, serta tulang paha di wilayah Quesnell Heights, kota Edmonton, Provinsi Alberta, Kanada, pekan lalu. Situs BBC News, Senin (23/8), menyebutkan, fosil tulang tungkai dan lengan diyakini milik spesies dinosaurus Edmontosaurus. Sementara fosil gigi adalah milik spesies dinosaurus bernama Albertosaurus, saudara dekat Tyrannosaurus rex (T Rex). Fosil spesies Albertosaurus ini pertama kali ditemukan oleh Joseph Tyrrell pada 1884 di Red Deer River Valley di Alberta, Kanada. Kini keempat fosil dinosaurus itu akan dibawa ke Royal Tyrrell Museum di Drumheller, Alberta, untuk diteliti tim ahli paleontologi dari RoyalAlberta Museum dan University of Alberta.(BBC NEWS/LUK)
Label:
Mancanegara,
Prasejarah
Ditemukan, Peralatan Manusia Prasejarah
Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010 - Balai Arkeologi Bandung menemukan peralatan yang diperkirakan pernah digunakan manusia prasejarah di Goa Pawon, Karst Rajamandala, Bandung Barat. Peninggalan itu memperkuat pola interaksi, distribusi, dan okupasi manusia prasejarah Pawon. "Alat-alat itu seperti gigi hiu, gigi gajah, perhiasan kerang, dan batuan obdisian yang diperkirakan berusia 6.000-9.500 tahun lalu. Diperkirakan pernah digunakan untuk mengolah makanan atau menyayat kulit," ujar arkeolog Balai Arkeologi Bandung, Lutfi Youndri, di lokasi penggalian, Rabu (25/8). Mayoritas peralatan ditemukan setelah tim arkeolog menggali sedalam 10 sentimeter. Ia yakin, penemuan akan lebih banyak lagi jika penggalian dilakukan lebih dalam lagi.(CHE)
Read More......
Label:
Jawa Barat,
Prasejarah
Selasa, 12 Januari 2010
Lukisan Prasejarah di Pedalaman Sumatera
Oleh: Truman Simanjuntak
Ini sangat spektakuler dan akan mengubah paradigma lukisan goa di Indonesia. Itu tanggapan saya ketika Wahyu Saptomo, Ketua Tim Penelitian Gua Harimau 2009, menginformasikan penemuan lukisan di goa tersebut. Selama ini sudah tertancap di benak para arkeolog bahwa lukisan goa (rock painting) prasejarah tidak dikenal di Sumatera.
Sore itu saya benar-benar penasaran dengan informasi sepotong tersebut. Kebetulan hari itu saya mengeksplorasi goa-goa lain di sekitarnya. Benarkah ada lukisan? Pertanyaan itu baru terjawab ketika dalam briefing sehabis makan malam, Wahyu memperlihatkan foto-foto lukisan itu. Dia pun bercerita tentang penemuan tersebut.
Selagi istirahat siang di goa, Wahyu tertarik melihat-lihat pojok timur goa. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada gambar-gambar yang terlukis di dinding dan langit-langit goa. Segera dia memberi tahu anggota tim lainnya yang sedang ngobrol di dekat kotak ekskavasi hingga semuanya bergegas menuju lokasi lukisan.
Gua Harimau, begitu penduduk menyebutnya, sekitar 2 kilometer di selatan Desa Padang Bindu, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Konon, goa ini tempat kediaman harimau sehingga tidak seorang pun berani memasukinya.
Lokasi goa cukup tersembunyi di lereng perbukitan karst sehingga untuk mencapainya harus memanjat tebing yang cukup terjal. Pepohonan besar dan semak belukar yang menutupi lereng bukit semakin menyembunyikan goa hingga tak seorang pun mengira jika di atas Kali Aman Basa yang sering dilewati penduduk menuju kebun itu terdapat sebuah goa besar.
Adalah Bapak Ferdinata (50), penduduk Padang Bindu, yang pertama kali menginformasikan keberadaan goa ini, tahun 2008, ketika kami melakukan penelitian di Gua Karang Pelaluan, tidak jauh dari obyek wisata Gua Putri. Ceritanya yang sungguh-sungguh membuat kami tertarik untuk meninjaunya.
Setelah melalui jalan setapak yang licin dan berlumpur di tengah hutan, dengan terengah- engah kami pun sampai di goa yang diceritakan. Benar, goa sangat besar dengan pintu masuk yang lebar dan tinggi, memiliki ruang depan dan belakang yang sangat luas. Kondisi ruang depan terlindung oleh bukit yang memayungi di atasnya, beserta pecahan-pecahan tembikar dan alat-alat batu di permukaannya, meyakinkan kami akan keberadaan sebuah goa hunian prasejarah yang ideal sehingga kami pun merencanakan penelitian intensif pada tahun berikutnya.
Figuratif dan nonfiguratif
Lukisan di Gua Harimau terpusat di pojok timur goa dengan sebagian besar pada permukaan dinding yang agak rata. Warna lukisan yang merah-kecoklatan membuatnya cukup menonjol di permukaan dinding goa.
Sebuah lukisan terbesar menyerupai anyaman tikar berbentuk segi empat segera menarik perhatian. Di sampingnya terdapat gambar anyaman lagi berukuran lebih kecil yang sedang dilintasi gambar hewan melata dengan moncong ke atas (ular?). Gambar serupa juga dijumpai di bagian lain. Di bawahnya lagi terlihat seekor hewan berkaki empat menyerupai rusa.
Masih banyak lukisan lain di sekitarnya yang tampak lebih jelas berupa hewan menyerupai rusa dan ayam dengan ekor yang memanjang miring ke atas. Lukisan-lukisan lainnya sudah terputus-putus karena sudah terhapus. Di bagian langit-langit goa masih terdapat lukisan lain, baik yang agak utuh maupun yang sudah rusak. Beberapa di antaranya menggambarkan hewan menyerupai anjing dan hewan lain yang sulit dikenali. Ada juga gambar kumpulan garis-garis lurus sejajar vertikal, belah ketupat, dan lingkaran konsentris bersusun tiga.
Di bagian lain terdapat gambar yang kelihatannya sekadar olesan cat memanjang pada bagian permukaan yang menonjol sehingga memfantasikan hewan melata. Tampak pula coretan- coretan berjejer menyerupai tulisan dan masih terdapat gambar-gambar lain yang sulit dikenali karena sudah terhapus.
Keseluruhan lukisan tersebut dapat dibedakan dalam kelompok figuratif dan nonfiguratif. Kelompok pertama terkait dengan benda (tikar) atau makhluk nyata (hewan) yang mungkin dimaksudkan menggambarkan kondisi di sekitar lingkungan kala itu. Kelompok kedua diekspresikan dalam bentuk-bentuk geometris dan garis-garis. Belum jelas makna dari gambar-gambar itu, tetapi bisa jadi merupakan simbol yang terkait nilai-nilai atau alam pikir si pembuat dan masyarakatnya.
Paradigma baru
Penemuan lukisan di Gua Harimau mengisyaratkan keberadaan lukisan lain di daerah Padang Bindu. Memang, dari sekitar 20 goa yang telah dieksplorasi tim kerja sama Puslitbang Arkeologi Nasional (Arkenas) dan IRD Perancis pada awal 2000-an, tidak satu pun menyimpan lukisan goa, kecuali jejak-jejak hunian manusia dari rentang 9000-2000 tahun lalu. Kondisi inilah yang selama ini memperkuat anggapan bahwa lukisan prasejarah tidak ada di wilayah karst Padang Bindu.
Akan tetapi, penemuan terakhir ini telah membalikkan anggapan itu, bahkan mengubah pandangan lama atas zona sebaran lukisan. Belasan tahun lalu, para arkeolog meyakini Indonesia bagian barat tidak tersentuh lukisan goa. Namun, lewat penemuan-penemuan baru di Kalimantan, anggapan itu direduksi menjadi Sumatera dan Jawa. Sekarang, melalui penemuan di Gua Harimau, Sumatera (dan barangkali Jawa), anggapan itu minta direvisi lagi.
Dalam konteks regional, budaya seni karang (rock art) yang terdiri atas seni lukis (rock painting), seni pahat (rock carving), dan seni gores (rock engraving) tersebar luas di kawasan Indonesia timur, Filipina dan Asia Tenggara daratan, hingga Melanesia barat dan Australia. Di wilayah Kakadu di bagian utara Australia, lukisan goa sudah dikenal sejak sekitar 30.000 tahun lalu. Ada dugaan, wilayah ini merupakan salah satu pusat sebaran lukisan goa di dunia.
Pusat lukisan goa lainnya terdapat di kawasan Eropa Barat, khususnya di wilayah Perancis dan Spanyol. Kita masih ingat masterpiece lukisan-lukisan goa yang mendunia di Goa Lascaux, Perancis barat daya, dan di Goa Altamira, Spanyol, dari budaya Magdalenian, paleolitik atas dengan pertanggalan 17.000-15.000 tahun lalu. Namun, harus diingat penemuan belum lama ini di Goa Chavet dan Cosquer di Perancis Selatan memperlihatkan lukisan goa sudah dikenal sejak 32.000 tahun lalu dalam rentang perkembangan budaya Aurignacian di Eropa.
Bagaimana kedudukan lukisan goa di Indonesia? Sepengetahuan saya, kita belum memiliki pertanggalan absolut tentangnya. Sejauh ini pertanggalannya baru didasarkan pada analisis kontekstual di mana lukisan-lukisan umumnya terdapat di goa-goa yang mengonservasi jejak-jejak hunian dari paruh pertama Holosen.
Diduga lukisan goa merupakan bagian dari budaya preneolitik yang berkembang sejak akhir Zaman Es sekitar 12.000 tahun lalu hingga kemunculan penutur Austronesia di sekitar 4.000 tahun lalu. Goa dan ceruk alam menjadi pusat aktivitas manusia kala itu.
Selain sebagai lokasi hunian, goa juga dimanfaatkan sebagai lokasi perbengkelan pembuatan alat-alat dari batu dan tulang serta lokasi penguburan. Sisa aktivitas dijumpai dalam bentuk alat-alat serpih, alat tulang, sisa tulang hewan buruan, perapian, alat-alat perhiasan, dan kubur-kubur manusia pendukung budaya tersebut. Bagaimana dengan lukisan Gua Harimau, apakah kontemporer atau bagian yang tidak terpisahkan dari kompleks lukisan goa di Indonesia timur atau berasal dari budaya yang lebih kemudian? Jawaban pertanyaan ini masih sangat hipotetis.
Kenyataannya, lukisan-lukisan itu berada pada goa yang mengonservasi tinggalan dari kehidupan berburu dan meramu (preneolitik) dan kehidupan menetap (neolitik), yang ditampakkan oleh tinggalan kubur-kubur manusia yang sangat menonjol. Pembuatan lukisan ini boleh jadi bagian dari salah satu budaya tersebut. Jika identifikasi anjing dan ayam benar ada dalam lukisan, data ini merujuk pada budaya neolitik yang telah mendomestikasikan hewan.
Di sisi lain, lukisan-lukisan di Gua Harimau juga memiliki kesamaan dengan lukisan goa preneolitik pada umumnya. Cat tunggal yang berwarna merah- kecoklatan mengingatkan bahan yang umum pada lukisan di Indonesia timur, walaupun ada juga bahan dari pigmen hitam dan putih. Keberadaan lukisan figuratif bersama nonfiguratif juga sangat umum dijumpai pada lukisan-lukisan goa. Perbedaan-perbedaan yang ada lebih mengacu pada penonjolan figur (hewan dan lain-lain) serta motif-motif yang berbeda-beda di setiap wilayah, disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan pemikiran komunitas setempat.
Silang argumen di atas menunjukkan masih banyak yang belum dapat dijelaskan tentang lukisan goa dari Gua Harimau. Penemuan ini baru raihan awal yang membuka perspektif baru bagi penelitian yang lebih luas. Kini sebuah tantangan dihadapkan kepada kita untuk menelusuri arti dan fungsinya, tidak hanya dalam konteks budaya lokal, tetapi juga dalam budaya regional masa lampau.
Truman Simanjuntak
Ahli Peneliti pada Puslitbang Arkeologi Nasional;
Direktur Center for Prehistoric and Austronesian Studies (CPAS)
Ahli Peneliti pada Puslitbang Arkeologi Nasional;
Direktur Center for Prehistoric and Austronesian Studies (CPAS)
(Kompas, Jumat, 30 Oktober 2009)
Label:
Prasejarah
Rabu, 25 Maret 2009
TEORI DARWIN: Dubois Menjawab Dunia
Oleh Harry Widianto
Kecamuk teori akbar tentang evolusi yang membahana dilontarkan oleh Charles R Darwin pada paruh kedua abad ke-19, telah mengusik pikiran cemerlang seorang bocah di Eijsden, Belanda.
Eugène Dubois, nama anak itu, dengan tekun mencermati berita-berita koran tentang reaksi gegap gempita para ilmuwan mengenai teori evolusi. Dia tidak pernah sadar bahwa kelak di kemudian hari—setelah lulus sebagai dokter—kontroversi teori evolusi akan terjawab melalui tangannya, setelah langkah membawanya ke salah satu sudut Dunia Lama: Pulau Jawa!
Perjalanan Dubois hingga pada pembuktian sahih akan teori evolusi didasarkan pada argumen-argumen yang hipotetif dan fantastis. Teori evolusi yang dihimpun Darwin selama 20 tahun dalam pelayarannya di atas HMS Beagle hingga ke Kepulauan Galapagos (Kompas, 12/2) adalah titik tolak dari langkah akbar Dubois pada suatu pembuktian.
Dia pun percaya bahwa umur Bumi telah begitu tua, apalagi ketika diyakinkan oleh pendapat-pendapat Charles Lyell, seorang ahli geologi akbar saat itu, yang telah memberi banyak inspirasi kepada Darwin melalui bukunya, Principles of Geology.
Dasar-dasar pemikiran Darwin akan teori evolusinya, yaitu spesies, adaptasi, dan seleksi alam, serta buah karya Lyell akan kerentaan Bumi, telah mendewasakan Dubois sebagai seorang naturalis sejati. Di usia remajanya itu, dia pun semakin terkesima dengan pendapat dunia setelah Thomas H Huxley ikut meramaikan panggung evolusi melalui bukunya, Man's Place in Nature, yang terbit pada tahun 1863.
Huxley membandingkan manusia dengan kera-kera Afrika, terutama simpanse, makhluk yang paling dekat pertaliannya dengan manusia. Dia menyimpulkan bahwa struktur anatomi dan pertumbuhan antara manusia dan simpanse hampir sama, dan evolusi keduanya terjadi dalam cara dan hukum yang sama pula. Atribut manusia yang paling unik pun ada analoginya di kalangan hewan. Fosil-fosil kera yang ditemukan saat itu menunjukkan proses evolusi dari bentuk arkaik ke bentuk modernnya.
Ilmu pengetahuan yang saat itu belum siap menerima teori evolusi telah memperburuk situasi sehingga persoalan menjadi demikian sensitif. Kesimpulan-kesimpulan yang cemerlang dari para evolusionis akhirnya disajikan secara spekulatif, malahan disalahtafsirkan.
Masyarakat saat itu, dan bahkan para ilmuwan sekalipun, banyak yang meloncat pada kesimpulan bahwa manusia merupakan keturunan langsung dari kera. Jika manusia adalah manusia, dan kera adalah kera, maka pertalian di antara keduanya harus dapat ditemukan dalam bentuk fosil. Timbullah kemudian istilah missing link, mata rantai yang hilang. Maka, missing link pun segera dipertanyakan dunia dan dicari.
Memulai langkah akbar
Setelah menamatkan pendidikan kedokterannya, Dubois pun bertolak ke Sumatera pada 29 Oktober 1887. Bersama Anna, sang istri, dan Eugenie, sang anak, ia menumpang kapal The SS Prinses Amalia. ”Missing link harus dicari di daerah tropis yang tidak tersentuh dinginnya Zaman Es,” katanya.
Sebelum dia bertolak ke Sumatera, bumi Eropa telah mengajarkan akan penemuan Manusia Neandertal, bagian dari Homo sapiens, manusia modern, yang hampir seluruhnya berasal dari endapan goa. Itulah sebabnya, Dubois mencermati satu per satu goa-goa kapur dan melakukan penggalian-penggalian selama tiga tahun di sepanjang pegunungan karst di Payakumbuh, Sumatera Barat.
Hasilnya sungguh mengecewakan. Tulang belulang yang tampil bukanlah fosil yang ia harapkan, tetapi tulang belulang sub-resen yang terlalu muda baginya. Dia akhirnya memindahkan pencarian missing link ke Jawa setelah mendengar penemuan Manusia Wadjak oleh BD van Rietschoten pada 24 Oktober 1888.
Meski di Jawa dia berhasil menemukan tengkorak Manusia Wadjak yang kedua, ketidakpuasan masih sangat pekat menyelimutinya. ”Bukan, bukan ini yang kucari. Meski Manusia Wadjak ini sangat primitif, dia tetap manusia modern,” ujarnya.
Cerita pun menjadi lain ketika Dubois menekuni endapan-endapan purba di aliran Bengawan Solo. Tanpa diduga, matanya menangkap akumulasi fosil binatang di dasar sungai.
Aliran sungai adalah penggali terbaik karena telah menggerus sedimen purba. Inilah jendela bagi Dubois untuk menengok masa lampau. Di endapan sungai purba ini, kronologi kehidupan selama jutaan tahun dapat dibaca. Hingga akhirnya ia sampai pada sebuah lekukan Bengawan Solo di Desa Trinil, Ngawi, Jawa Tengah.
Di antara ribuan pecahan fosil Stegodon sp. (gajah purba), Axis sp (sejenis kijang), Bubalus paleokarabau (kerbau purba), dan jenis-jenis hewan lainnya, ditemukan gigi-geligi primata purba pada bulan September 1891. Sekitar satu meter dari penemuan itu, muncul pula batu coklat kehitaman yang menyerupai cangkang kura-kura.
Perlahan, temuan tersebut dibersihkan. Di tengah takjub, disingkapnya sebuah atap tengkorak manusia! ”Gigi dan atap tengkorak ini berasal dari manusia yang menyerupai kera,” kata Dubois dalam buletin pemerintah.
Tahun berikutnya, sekitar 15 meter dari lokasi penemuan atap tengkorak, ditemukan pula sebuah tulang paha kiri yang menunjukkan tingkat fosilisasi sempurna, yang sama dengan atap tengkoraknya, meskipun mirip dengan tulang paha modern. Hampir sempurna penemuan itu: gigi-geligi yang primitif, sebuah atap tengkorak primitif yang mempunyai volume otak sekitar 900 cc (berada di antara kapasitas kera dan manusia), dan sebuah tulang paha kiri yang memberi kesan pemiliknya telah berjalan tegak!
Maka, diumumkanlah penemuan Pithecanthropus erectus, manusia kera yang berjalan tegak. Segera Dubois mengirim kawat ke teman-temannya di Eropa bahwa dia telah menemukan missing link-nya Darwin.
Dunia belum siap
Di luar harapan Dubois, koleganya menanggapi temuan itu dengan penuh keraguan. Tantangan segera muncul: apakah tulang paha yang berkesan modern itu juga milik individu beratap tengkorak primitif? Jika nantinya tulang paha kiri lain yang mencirikan kesan primitif ditemukan lagi, apakah Pithecanthropus erectus memiliki dua tulang paha kiri, satu primitif dan lainnya modern?
Debat ilmiah masih tetap berlanjut di saat Dubois tampil dalam Kongres Zoologi Internasional III di Leiden tahun 1895. Juga ketika ia memajang temuannya itu di ruang kuliah British Zoology Society, London, dan memberikan kesempatan orang lain untuk mengamatinya lebih dekat.
Nyatanya, dibawanya fosil itu ke Eropa tidak memecahkan masalah. Malang bagi Dubois, temuannya—saat itu—berasal dari daerah yang hampir-hampir tidak diketahui geologinya. Dia muncul di saat dunia belum siap menerimanya.
Di tengah kekecewaan itulah Dubois kemudian menyimpan temuannya di bawah lantai rumah selama lebih dari 30 tahun. Dalam jangka waktu selama itu, ditemukan Pithecanthropus-pithecanthropus lain di berbagai bagian dunia: Mauer (Jerman) dan Zhoukoudian (China). Kelak di kemudian hari, fosil ini dimasukkan dalam genus Homo erectus, yang mulai muncul ke dunia pertama kali pada periode 1,8 juta tahun yang lalu di Afrika dan menyebar ke seluruh permukaan dunia hingga mencapai Pulau Jawa, dan punah sekitar 100.000 tahun silam.
Akhirnya, pada 1932 temuan Dubois diterima oleh para ilmuwan sebagai sebuah tingkatan evolusi manusia sebelum mencapai Homo sapiens, manusia modern. Akhir-akhir ini sebaran spesies manusia purba ini sangat luas dan signifikan: Afrika Selatan, Afrika Timur, dan Afrika Utara, Eropa, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Di Indonesia, sejak tahun 1930-an ditemukan pula di Sangiran dan Sambungmacan (Sragen), Kedungbrubus dan Selopuro (Ngawi), Ngandong (Blora), Perning (Mojokerto), maupun Patiayam (Kudus).
Begitulah, jerih payah Dubois selama puluhan tahun pencarian berbuah mengesankan. Jawaban pasti tentang polemik berkepanjangan akan missing link sejak paruh kedua abad ke-19 terjawab telak di tangan Dubois.
Dia muncul secara spektakuler dari sebuah daerah tropis di Jawa, suatu daerah yang jauh dari gema teori dan polemik evolusi itu sendiri. Meski dilandasi dengan dasar yang sederhana bagi latar belakang pencariannya, penemuan tersebut telah dianggap sebagai bukti pertama dari Teori Darwin.
Sayang sekali, Darwin tidak pernah mendengar dan melihat pembuktian teorinya oleh Dubois karena Darwin telah meninggal pada 19 April 1882, sepuluh tahun sebelum penemuan bersejarah itu terjadi. Obsesi masa kecil Dubois, sekaligus obsesi dunia pengetahuan, telah dijawab dengan jitu oleh Dubois dari Desa Trinil, Ngawi. Lima tahun, dua minggu, dan tiga hari setelah kakinya untuk pertama kali menginjak bumi Indonesia.
Harry Widianto
Ahli Arkeologi dan Paleoanthropologi;
Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran
Ahli Arkeologi dan Paleoanthropologi;
Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran
(Kompas, Rabu, 25 Maret 2009)
Label:
Prasejarah
MANUSIA TRINIL: Atap Tengkorak yang Sangat Termasyhur
Seandainya ada suatu tempat di dunia yang mempunyai sejarah pekat tentang kisah evolusi manusia, jauh sebelum Sangiran ditemukan oleh GHR von Koenigswald tahun 1934, itu adalah Desa Trinil, sebuah desa kecil di pinggiran Bengawan Solo, yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Di sini Pithecanthropus erectus tergolek dalam keheningan selama lebih dari 500.000 tahun, sebelum ditemukan kembali oleh Eugène Dubois pada 1891. Oleh karena itu, Trinil tidak dapat dipisahkan dari kisah abadi evolusi manusia yang digemakan pertama kali oleh Charles R Darwin pada pertengahan abad ke-19.
Begitulah, nama Trinil yang terkenal kemudian mengundang peneliti lain untuk mengikuti jejak-jejak akbar Dubois. Salah satunya adalah Emil dan Lenore Selenka, yang telah mengeksplorasi endapan purba Trinil secara besar-besaran pada tahun 1906-1908. Hasil penelitiannya dipublikasikan pada tahun 1911, yang dari beberapa segi dianggap lebih maju dari zamannya, dalam bentuk kumpulan artikel beberapa disiplin ilmu seperti geografi, paleobotani, dan paleontologi.
Ekskavasi Selenka ternyata tidak membuahkan satu pun tambahan fosil manusia, hanya sebuah gigi ditemukan di dekat Kampung Sonde. Meski demikian, ekspedisi Selenka merupakan pelopor operasi internasional yang besar. Mungkin untuk pertama kalinya di Trinil inilah dilakukan suatu penelitian dengan mengaitkan fosil manusia dalam lingkungan alamnya.
Inilah atap tengkorak yang sangat dahsyat namanya membelah dunia: Pithecanthropus erectus. Bangun tengkorak sangat pendek dan memanjang ke belakang. Volume otaknya 900 cc, yang terletak antara volume otak kera (600 cc) dan otak manusia modern (1.200-1.400 cc). Tulang kening sangat menonjol, di belakang orbit mata terdapat penyempitan yang sangat jelas, menandai otak yang belum berkembang.
Bagian belakang kepala, pada occipital, terlihat bentuk meruncing. Tidak terdapat perkembangan nyata insersi otot pada relief tengkorak, yang menandakan pemiliknya adalah seorang perempuan. Berdasarkan kaburnya sambungan perekatan antartulang tengkorak, yang biasa disebut sutura, ditafsirkan individu ini telah lanjut usia.
Tengkorak ini sangat kecil, tetapi milik makhluk yang telah secara penuh masuk dalam genus Homo (manusia), suatu istilah yang diciptakan dunia ilmiah pada tahun 1950. Implikasinya, manusia dari Trinil diklasifikasikan sebagai bagian dari Homo erectus, manusia yang telah berjalan tegak.(Harry Widianto)
(Kompas, Rabu, 25 Maret 2009)
Label:
Prasejarah
Minggu, 22 Maret 2009
Gajah Purba Juga Ada yang "Kate"
Oleh: Nasruddin
Pada kesempatan pameran tentang manusia purba di Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang diselenggarakan oleh Direktorat Purbakala beberapa tahun lalu, animo masyarakat di sana terhadap pameran itu begitu besar. Pengunjung melimpah setiap hari demi melihat secara langsung, seperti apa sih bentuk manusia purba.
Tanggapan yang tergambar dalam benak mereka tatkala menyaksikan pameran tersebut, manusia purba itu bertubuh besar, tinggi, dan kekar. Barangkali tidak hanya pada masyarakat Lombok, tetapi juga di banyak masyarakat awam kita memiliki persepsi yang sama.
Anggapan ini mungkin dilatari oleh terbatasnya pengetahuan mereka atau karena terpatri tentang binatang purba yang serba raksasa, seperti halnya dinosaurus, misalnya.
Melalui pameran itu, mereka mulai tahu dan sedikit mengerti bahwa "manusia purba" tidaklah berbeda dengan keadaan fisik manusia modern sekarang, bahkan Homo erectus tertua pun yang lebih maju dari Homo habilis hanya setinggi 160 cm.
Hal yang membedakannya hanya terletak pada bentuk tengkorak kepala yang dicirikan dengan kening yang rendah, mandibulanya sangat kuat, dan tidak mempunyai dagu. Perbedaan yang jelas terhadap manusia purba hanya terletak pada volume otak yang kurang dari 1.000 cm³.
Gambaran manusia purba yang serba raksasa oleh masyarakat selama ini mungkin mulai memudar, atau mereka justru menjadi bingung setelah gencar diberitakan adanya temuan manusia "kate" purba di Gua Liang Bua Flores, Nusa Tenggara Timur.
Bahkan, para ilmuwan pun menjadi kalang kabut dibuatnya karena temuan manusia purba tersebut hanya memiliki tinggi tubuh tidak lebih dari 1 meter saja.
Seantero dunia paleoantropologi dan arkeologi menjadi gempar sehingga berbagai media massa, baik dalam dan luar negeri, menempatkannya sebagai berita utama dalam beberapa bulan ini, terutama majalah Nature dan National Geographic begitu gencar melacak sumber-sumber dan hasil penelitian arkeologi kerja sama Indonesia dan Australia yang dilakukan di Liang Bua, Kabupaten Manggarai, Flores, itu.
Silang pendapat dan diskusi ilmiah terus terjadi untuk mencari jawaban atas manusia "kate" yang misterius di atas. Menurut keterangan tim penelitian itu, temuan rangka manusia tersebut memiliki ukuran serba kecil dan mini, tetapi bukan tulang anak-anak.
Itulah sebabnya para peneliti asing menyebutnya cebol atau memberikan istilah hobbit dengan mencuplik nama pameran karakter cebol dari novel karya JRR Tolkien yang kemudian difilmkan, The Lord of the Ring.
Perdebatan atas identifikasi dan hasil rekonstruksi "manusia Flores" (Homo floresiensis) ini makin berkepanjangan karena para ahli sulit menempatkan posisinya dalam pohon silsilah manusia. Tidak hanya itu, tetapi sebab-sebab apa pengerdilan itu terjadi? Menjadi pertanyaan yang belum dapat jawaban secara jelas.
Beberapa pandangan yang dikemukakan oleh para ilmuwan menyebutkan, ada kemungkinan manusia Flores itu merupakan suatu spesimen tersendiri (baru) dari jalur evolusi Homo erectus atau Homo sapiens. Pihak lain mengatakan, terjadinya pengerdilan itu kemungkinan disebabkan oleh suatu penyakit (microcephaly), yaitu kelainan otak yang berakibat pertumbuhan fisik terhambat dan tidak sempurna.
Di samping itu, muncul pendapat lain bahwa penyebab pengerdilan adalah faktor lingkungan yang minus (kering dan tandus) sehingga sumber-sumber bahan makanan menjadi terbatas dan berdampak terhadap pertumbuhan fisik manusia.
"Pygmy" stegodon
Sekarang kita coba menengok punggung lereng di bukit Dozu Dhalu, yaitu salah satu bukit di kawasan Lembah Soa, tidak terlalu jauh dari kota Kecamatan Bowae, lebih kurang berjarak 8 kilometer. Lokasi itu hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki.
Suatu kesibukan penggalian yang dilakukan oleh tim penelitian arkeologi, kerja sama Indonesia-Australia. Kegiatan itu melibatkan sejumlah ahli yang dibantu oleh beberapa tenaga lokal yang bertujuan menelusuri jejak budaya manusia dan fauna purba yang terdeposit dalam batu tufaan.
Sinar matahari siang yang memanggang kulit para peneliti seolah tidak punya pengaruh terhadap mereka. Dengan bersemangat, mereka terus saja mengorek tanah dan batuan yang kemudian menampakkan sejumlah fosil stegodon (gajah purba).
Keterangan yang berhasil dikumpulkan, fosil-fosil itu terdiri dari tulang femur, tusk, rib, dan fragmen molar yang letaknya tumpang-tindih satu dengan lainnya di dalam lokasi penggalian. Kumpulan fragmen tulang itu makin tampak jelas, yaitu terdiri dari beberapa individu gajah yang telah membatu oleh proses fosilisasi waktu yang sangat panjang.
Dr Fachrul Azis selaku pimpinan tim penelitian menerangkan, karakter dan ciri-ciri molar (susunan gigi) menunjukkan bahwa fosil itu adalah gajah dewasa dan termasuk jenis large stegodon.
Penemuan di bukit Dozu Dhalu ini bukan merupakan yang pertama karena di bukit-bukit lainnya, seperti Boa Leza, Mata Menge, Koba Tua, dan Tangi Talo, pernah ditemukan fosil stegodon serupa. Namun, berbeda dengan identifikasi temuan stegodon di bukit Tangi Talo karena fosil-fosil itu, baik fragmen molar dan gading justru dalam ukuran kecil sehingga para ahli menggolongkannya dalam kategori "kate" atau pygmy stegodon.
Menurut keterangan Minggus, salah seorang penduduk Boway yang dilibatkan membantu sebagai tenaga lokal, di setiap lereng perbukitan di sana mudah sekali ditemukan fosil tulang, terutama pada saat musim kemarau. Lebih-lebih sehabis pembakaran rumput dan ilalang yang dilakukan petani, sejumlah fosil terbongkar dan mencuat ke permukaan tanah.
Munculnya fosil-fosil gajah tersebut, baik akibat erosi dan longsoran tanah maupun oleh proses ekskavasi, menggambarkan suatu kehidupan dari populasi gajah dan hewan-hewan lainnya, hidup berdampingan dalam sebuah taman yang sangat luas.
Apakah lingkungan alam wilayah di Bajawa yang tandus dan gersang itu sama dengan lingkungan ketika zaman hidupnya gajah purba tersebut, dan kemudian menyebabkan punahnya populasi gajah-gajah tersebut?
Menurut pendapat di kalangan para ahli, faktor penyebab punahnya hewan seperti stegodon lebih kepada kondisi lingkungan yang tidak stabil, termasuk banyaknya letusan gunung api yang terjadi pada era itu. Namun, ada pula pendapat yang menyebutkan bahwa ada indikasi hewan predator seperti komodo (Komodo dragon dan Crocodile) sebagai hewan pemangsa bagi gajah-gajah itu.
Bila ditelusuri cerita-cerita penyebab kepunahannya, daratan di wilayah perbukitan Flores menjadi bukti kehidupan bahwa dahulu pada ratusan ribu tahun lampau pernah menjadi habitasi hewan stegodon, baik large maupun yang pygmy (kerdil), hidup secara berkelompok dan berdampingan. Selain itu, juga sejumlah fauna endemik lainnya, seperti komodo dan kura-kura raksasa (Giant tortoise).
Jalur migrasi fauna
Deposit fosil gajah purba di atas adalah bukti penting atas peristiwa migrasi yang pernah berlangsung pada kala kehidupan plestosen dari Asia Tenggara daratan ke Nusantara. Pulau Flores adalah salah satu jalur migrasi fauna yang menghubungkan antara daratan Jawa dan mungkin juga Sulawesi.
Hipotesis ini masih memerlukan banyak data yang mesti dikumpulkan untuk diuji melalui riset yang lebih kontinu terhadap lokasi-lokasi penemuan fosil stegodon di Indonesia.
Fakta penelitian yang ditemukan di lapangan adalah dalam kesempatan penelitian di perbukitan Soa tersebut, yang justru menunjukkan adanya temuan fosil fauna, termasuk stegodon normal dan pigmy yang berhasil ditemukan dalam posisi stratigrafi yang sama.
Artinya bahwa pada saat (waktu) yang relatif sama pernah hidup berdampingan suatu koloni gajah purba (stegodon) antara yang kerdil dan gajah normal dalam kawasan tersebut di masa lampau. Jadi, asumsi tentang lingkungan yang tandus itu sulit diterima sebagai penyebab terjadinya pengerdilan fauna maupun manusia di Flores pada masa lampau.
Penemuan manusia "kate" (Homo floresiensis) di Liang Bua begitu mengejutkan. Namun, temuan fosil Stegodon Trigonocephalus floresiensis memang bukan berita baru karena sejak tahun 1968 telah mulai diberitakan lewat jurnal Anthropos oleh T Verhoeven, seorang misionaris Belanda yang berdomisili di Flores.
Namun, berita itu kurang mendapat perhatian di kalangan paleontolog dan arkeolog. Lalu, kemudian pada tahun 1987 muncul PY Sondaar, seorang geolog Belanda, yang mencoba menelusuri jejak-jejak penelitian Verhoeven dan kembali meyakinkan dunia Internasional bahwa Flores menyimpan fauna stegodon yang endemik.
Penelitian itu seharusnya tidak saja terbatas pada kajian budaya dan lingkungan purba hingga pada aspek kronologisnya. Namun, terutama mencari jejak migrasi manusia purba di Nusantara.
Nasruddin
Peneliti pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Peneliti pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
(Kompas, Senin, 08 Mei 2006)
Label:
Prasejarah
Langganan:
Postingan (Atom)