Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net
Tampilkan postingan dengan label Prasasti. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Prasasti. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 Maret 2010

Pemerasan oleh Petugas Pajak Digagalkan Hakim


Oleh: DJULIANTO SUSANTIO



Dari ribuan koleksi benda kuno yang ada di Museum Nasional Jakarta, ada satu artefak yang patut mendapat perhatian kita. Benda kuno itu berupa sepotong lempengan logam berukuran 27 cm x 23 cm, dengan kode inventaris E 63. Kondisi koleksi memang sudah berkarat di sana-sini sehingga terkesan “amburadul”. Dilihat dari bentuknya tak ada yang bernilai seni, kecuali berupa tatahan aksara. Tidak sembarang orang mampu membaca benda ini.

Namun bagi arkeolog yang menggeluti bidang epigrafi (aksara dan tulisan kuno), benda itu sangat berarti karena informasi di dalamnya sangat bermanfaat untuk kajian masa kini. Koleksi tersebut adalah prasasti Wurudu Kidul, ditulis dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno. Pertama kali isi prasasti Wurudu Kidul diulas oleh W.F. Stutterheim pada 1935.

Pada intinya prasasti Wurudu Kidul menguraikan bagaimana susahnya seseorang menjadi warga keturunan dalam menghadapi petugas pajak. Kemungkinan, sebelum ini pemerasan pajak hampir selalu dilakukan terhadap orang asing. Hukum Jawa kuno memang mengatur bahwa pajak orang asing lebih tinggi daripada pajak orang pribumi. Namun kalau sudah keterlaluan, jelas-jelas akan menimbulkan citra buruk bagi penguasa kerajaan.

Konon, menurut bagian awal prasasti ini—disebut Prasasti Wurudu Kidul A—ada seorang pria bernama Sang Dhanadi. Dia berdomisili di desa Wurudu Kidul. Suatu hari Dhanadi kedatangan tamu bernama Wukajana. Orang ini menjabat sebagai Samgat Manghuri, yang bertugas memungut pajak dari rumah ke rumah.

Begitu melihat Dhanadi, Samgat Manghuri langsung menuduh Dhanadi bahwa dia adalah anak orang asing. “Anda termasuk golongan warga atau wka kilalang (orang asing),” mungkin begitu katanya. Sebagai orang asing tentu saja Dhanadi harus membayar pajak lebih besar daripada warga pribumi.

Spontan Dhanadi tidak terima dengan sangkaan tersebut. Dia lantas mengadu ke pengadilan. Untungnya hakim tidak mengulur-ulur waktu perkara seperti zaman sekarang. Tak berapa lama, hakim segera mengusut tuduhan terhadap Dhanadi itu.

Pertama kali, keluarga Dhanadi dipanggil satu per satu ke persidangan. Mulai dari kakek nenek hingga ayah ibu di-screening secara ketat di pengadilan. Dari garis kakek dirunut-runut apakah ada unsur asing yang mengalir dalam darah Dhanadi. Begitu pula dari garis nenek. Bukan cuma itu. Warga di desa Grih, Kahuripan, dan Paninglaran yang berada di sekitar desa tempat Dhanadi tinggal, ikut dimintai keterangan sebagai saksi.

Setelah melakukan pemeriksaan yang ketat dan seksama, dengan tegas dan berwibawa hakim segera memutuskan bahwa Dhanadi dan keluarganya benar-benar orang pribumi asli. Istilahnya menurut prasasti wwang yukti. Dengan demikian besarnya pajak yang harus dibayarkan Dhanadi tidak setinggi seperti yang diminta petugas pajak itu.

Sebagai pegangan, hakim itu Sang Pamget Padang pu Bhadra, memberikan “Surat Sakti” tertanggal 6 Kresnapaksa bulan Baisakha tahun 844 Saka atau identik dengan 20 April 922 Masehi. Waktu itu pula (922 Masehi) yang dijadikan tarikh prasasti Wurudu Kidul.

Namun sudah plong-kah hati Dhanadi? Mungkin karena sudah “mental Melayu”, rupa-rupanya petugas pajak tersebut tidak puas atas keputusan hakim. Akibatnya kali ini ketenangan Dhanadi terusik kembali oleh petugas pajak lain, Pamariwa. Ternyata Pamariwa adalah orang suruhan Samgat Manghuri, petugas pajak yang coba memeras Dhanadi tadi.

Begitu bertemu muka dengan Dhanadi, demikian menurut Prasasti Wurudu Kidul B, Pamariwa langsung menuduhnya anak keturunan Khmer atau Kamboja. Dibilang wka kmir, tentu saja Dhanadi sangat tersinggung. Dia mengadu lagi ke pengadilan.

Sesuai prosedur hukum, hakim mengirim surat panggilan pertama ke rumah Pamariwa agar menghadiri sidang gugatan. Namun pada panggilan pertama, Pamariwa tidak datang.

Hakim mengirim lagi surat panggilan kedua. Kali ini Pamariwa juga tetap tidak datang. Akhirnya Samget Juru i Madandar memenangkan Dhanadi. Rupa-rupanya pada waktu itu belum dikenal istilah “pemanggilan paksa” seperti pada zaman sekarang. Jadi cukup pemanggilan dua kali berturut-turut. Jika tidak datang, berarti kalah perkara.

Sekali lagi, Dhanadi menerima “Surat Sakti” tertanggal 7 Suklapaksa bulan Jyaistha tahun 844 Saka atau 6 Mei 922 Masehi. Jelas sekali dari kedua kasus itu, ada upaya pemerasan yang coba dilakukan petugas pajak. Di pihak lain, upaya negatif itu digagalkan hakim yang jujur.

Sayang, proses pengadilan itu terjadi di masa lampau, tepatnya di Kerajaan Mataram. Kalau saja terjadi di masa kini, mungkin penjara kita sudah dipenuhi koruptor-koruptor pajak.

Terhadap ulah Pamariwa yang dua kali mangkir, tentu saja dikenakan sanksi berdasarkan hukum Jawa kuno. Dikatakan di dalam berbagai kitab hukum, perbuatan menuduh yang tidak berdasar (duhilatan) adalah tindak pidana yang patut dikenai hukuman. Namun belum jelas hukuman apa yang dijatuhkan kepada Pamariwa itu. Juga kepada atasan Pamariwa, Samgat Manghuri.

Sebenarnya gambaran penerapan hukum di Indonesia banyak sekali terdapat dalam prasasti-prasasti yang berkategori jayapattra, jayasong, suddhapattra, dan sukhadukha (prasasti mengenai persoalan hukum). Sayang, pakar-pakar kita yang mampu menerjemahkan dan menafsirkan prasasti-prasasti demikian, masih bisa dihitung jari tangan. Akibatnya, banyak data masih tersimpan di berbagai museum di seluruh Indonesia. Juga di tempat-tempat lainnya seperti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala dan Balai Arkeologi.

(Naskah asli. Dimuat dalam majalah Intisari, Maret 2010)

Read More......

Dicari: Ahli Baca Prasasti


Oleh: DJULIANTO SUSANTIO



swasti sakawarsatita 824 posa masa tithi dasami kresnapaksa. tunglai. kaliwuan. soma wara. daksinastha jaista naksatra. mitra dewata. sukarmma yoga...

Apa arti tulisan di atas? Sudah dialihaksarakan ke dalam aksara Latin saja, banyak yang tidak paham. Apalagi kalau masih tertulis dalam aksara aslinya, lebih tidak tahu. Tidak dimungkiri, sebagian besar masyarakat Indonesia masih merasa awam terhadap tulisan di atas. Nah, bagaimana kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kata demi kata, seperti berikut:

Selamat! Tahun Saka telah berlangsung 824 tahun, bulan Posa, tanggal 10 paro gelap, pada hari tunglai, kaliwuan dan hari senin, kedudukan planet di selatan, bintang Jaista: dewa Mitra, yoga...
(Sumber: Tiga Prasasti dari Masa Balitung, 1982)

Memang kata-kata itu masih agak sulit dimengerti. Jangankan masyarakat awam, pakar bahasa pun mungkin merasa “kewalahan” dengan terjemahan seperti itu. Karena aksara dan bahasanya berasal dari belasan abad yang lampau, tentu berbagai kendala dihadapi para peneliti zaman sekarang.

Penggalan baris pertama dari puluhan baris yang ada pada Prasasti Panggumulan itu memang masih terasa asing di telinga kita. Tidak sembarang orang mampu mengalihaksarakan dan membacanya. Apalagi menerjemahkan dan menafsirkannya sekaligus ke dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Hanya segelintir orang yang mampu melakukannya, yakni para arkeolog. Itupun tidak seluruh arkeolog, melainkan mereka yang mendalami bidang epigrafi. Epigrafi adalah subdisiplin dari arkeologi yang memelajari segala aksara dan bahasa kuna beserta seluk-beluknya. Berdasarkan hasil kajian para epigraflah, maka penulisan sejarah kuno Indonesia seperti yang dikenal sekarang, bisa tersusun dengan baik.

Kalau tidak ada epigraf, kita tidak mungkin mengenal Kerajaan Majapahit dengan Rajanya Hayam Wuruk dan Patihnya Gajah Mada. Kita pun mungkin tidak tahu akan kebesaran tokoh Jayabaya, Airlangga, dan Ken Arok atau Kerajaan Tarumanagara, Sriwijaya, dan Singhasari. Tentu tak terbayangkan jadinya bila sejarah kuno Indonesia begitu gelap. Dari mana kita akan berkaca, kalau tidak mempunyai masa lampau yang cemerlang?


Akhir prasejarah

Ditemukannya prasasti tertua pada sejumlah situs arkeologi, dianggap menandai berakhirnya masa prasejarah, yakni babakan dalam sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tradisi tulisan. Kata prasasti sendiri berasal dari bahasa Sansekerta. Arti sebenarnya adalah pujian. Namun kemudian diangggap sebagai “piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang, dan tulisan”. Di kalangan ilmuwan, prasasti disebut inskripsi. Sementara orang awam mengenalnya sebagai batu bertulis atau batu bersurat.

Meskipun berarti pujian, tidak semua prasasti mengandung puji-pujian kepada raja. Sebagian besar prasasti justru diketahui memuat keputusan mengenai penetapan sebuah desa atau daerah menjadi perdikan atau sima (tanah yang dilindungi). Sebagian lagi berupa keputusan pengadilan tentang perkara-perkara perdata (disebut prasasti jayapattra atau jayasong), sebagai tanda kemenangan (jayacikna), tentang utang-piutang (suddhapattra), dan kutukan atau sumpah.

Prasasti tertua Indonesia yang pernah ditemukan bertarikh abad ke-5 M. Periode terbanyak pengeluaran prasasti terjadi pada abad ke-8 hingga ke-14 M, ketika yang berkuasa di Nusantara adalah kerajaan-kerajaan bercorak Hindu dan Buddha (dikenal sebagai masa klasik), seperti Mataram Hindu, Sriwijaya, Singhasari, dan Majapahit.

Selain kerajaan Hindu dan Buddha, di negara kita juga pernah berkuasa kerajaan atau kesultanan Islam, seperti Samudra Pasai, Demak, Gresik, dan Cirebon. Prasasti dari periode Islam pun cukup banyak tersebar di Nusantara. Begitu pula prasasti dari masa pendudukan (kolonial).

Sesuai etnisitas atau pengaruh kebudayaan, tentu saja aksara dan bahasa yang digunakan dalam prasasti amat beragam. Pada masa klasik, yang terbanyak adalah Sansekerta atau Jawa kuno, kemudian Melayu kuno, Sunda kuno, dan Bali kuno. Pada masa selanjutnya aksara-aksara ini berkembang menjadi Jawa tengahan dan Jawa baru.

Pada masa Islam digunakan aksara dan bahasa Tamil (India) dan Arab. Prasasti-prasasti dari masa ini umumnya berupa tulisan pada batu nisan yang memuat keterangan tentang nama, tanggal wafat seseorang, kutipan ayat suci Al-Qur’an, serta berkenaan dengan pendirian masjid, kraton, dan gapura.

Prasasti-prasasti dari masa kolonial relatif lebih mudah dibaca karena beraksara Latin. Bahasa yang digunakan antara lain Portugis, Belanda, dan Inggris. Prasasti Latin umumnya dijumpai pada batu makam, tugu peringatan, gereja, rumah tinggal, benteng, dan pergudangan. Selain itu, ada pula prasasti-prasasti beraksara dan berbahasa Mandarin yang sebagian terbesar terdapat pada batu makam.

Uniknya, di negara kita pernah ditemukan sejumlah prasasti yang menggunakan dua bahasa sekaligus. Mungkin ini karena di kerajaan tersebut bermukim dua komunitas besar. Prasasti-prasasti dwibahasa itu antara lain Kayumwungan atau Karangtengah (824 M) yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dan Jawa kuno serta Amogaphasa (1286 M) dengan bahasa Melayu kuno dan Jawa kuno.


Bahan

Budaya tulis rupanya sudah dikenal sejak lama. Namun sarana menulis bukanlah tinta dan kertas, melainkan batu dan pahat. Batu merupakan bahan yang mudah didapat, sekaligus tahan lama. Selain andesit, yang digunakan sebagai sarana penulisan prasasti adalah batu kapur atau basalt. Di kalangan arkeologi, prasasti batu disebut upala prasasti.

Namun sesungguhnya di luar batu ada juga bahan yang tak kalah awetnya, yakni logam. Prasasti berbahan tembaga atau perunggu disebut tamra prasasti. Selain itu ada ripta prasasti, yakni prasasti yang ditulis di atas lontar atau daun tal. Prasasti logam dan lontar juga relatif banyak ditemukan di Nusantara.

Yang sedikit jumlahnya tapi tergolong unik adalah prasasti berbahan tanah liat atau tablet. Isi tablet adalah mantra-mantra agama Buddha. Sebenarnya, ada juga prasasti yang dituliskan di atas lembaran perak atau emas. Namun jumlahnya tidak banyak dan itu pun lebih cenderung menunjukkan nama orang/raja.

Di antara sekian jenis prasasti, rupanya hanya prasasti batu yang memiliki berbagai variasi bentuk. Mungkin disesuaikan dengan batu yang ada atau karena keterampilan sang pemahat. Yang terbanyak adalah berbentuk balok (segiempat), lingga (bulat panjang), dan yupa (tiang batu). Prasasti berbentuk stele, dengan bagian atas bulat atau lancip, juga banyak ditemukan. Demikian halnya dengan prasasti berbentuk wadah (jambangan, gentong, peti batu, lumbung) dan alamiah (batu alam). Sejumlah prasasti malah dipahatkan pada bagian candi dan badan arca (Hari Untoro Drajat, 1992).

Dari berbagai bentuk itu, ada yang polos dan ada yang berhiasan, termasuk ukiran, simbol kerajaan, dan simbol keagamaan. Salah satu prasasti yang tergolong megah dan unik adalah Prasasti Telaga Batu dari masa Kerajaan Sriwijaya. Bentuk fisik prasasti tersebut sangat istimewa. Bagian atas prasasti itu dihias dengan tujuh kepala ular kobra berbentuk pipih dengan mahkota berupa permata bulat, sementara leher ularnya mengembang dengan hiasan kalung.

Di antara berbagai sumber sejarah kuno Indonesia, seperti naskah dan berita asing, prasasti dipandang merupakan sumber terpenting karena mampu memberikan kronologis suatu peristiwa. Ada banyak hal yang membuat prasasti sangat menguntungkan dunia penelitian masa lampau. Selain mengandung unsur penanggalan, prasasti juga mengungkapkan sejumlah nama dan alasan mengapa prasasti tersebut dikeluarkan.

Hingga kini prasasti telah banyak membantu penyusunan buku-buku teks sejarah. Berbagai atribut negara pun, seperti bendera merah putih dan lambang burung garuda, digali berdasarkan data dari prasasti.

Disayangkan, masih banyak data belum muncul karena berbagai masalah, seperti huruf pada prasasti sudah aus, batunya pecah-pecah, sebagian tulisan hilang, dan belum terbaca karena tenaga ahlinya (pakar epigrafi atau epigraf) masih langka. Di seluruh Indonesia, mungkin kita hanya memiliki belasan pakar epigrafi yang tersisa. Itu pun sebagian besar sudah berstatus pensiunan. Bahkan ada beberapa yang sudah meninggal.

Karena kita hidup di masa kini, tentunya kita tidak bisa mengingkari masa lampau. Sebagai cermin untuk masa kini dan masa mendatang, sudah sepatutnya kita memberi perhatian kepada prasasti karena prasasti ibarat ensiklopedia tentang masa lampau kecemerlangan bangsa Indonesia.

(Naskah asli. Dimuat dalam majalah Intisari, Maret 2010)

Read More......

Dictionary

Kontak Saya

NAMA:
EMAIL:
SUBJEK:
PESAN:
TULIS KODE INI: