Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Minggu, 07 September 2008

Penyuluhan Arkeologi

Views

- Kepada Guru dan Murid

Oleh DJULIANTO SUSANTIO

MARAKNYA perusakan dan pencurian benda-benda kuno di seluruh Indonesia-baik dengan cara memenggal, mencongkel, maupun mengangkut-bukti bahwa artefak-artefak masa lampau disukai banyak orang. Hal ini didukung oleh menjamurnya art shop atau art gallery ilegal dan calo-calo barang antik di pasaran gelap.

Minat yang besar terhadap barang antik memperlihatkan hobi ini tak pernah surut. Meskipun harga sebuah koleksi bisa mencapai jutaan dollar (AS), pembeli barang-barang itu tetap saja ada.

Arkeologi sendiri memang bermula dari hobi (sekitar abad XVII). Kemudian beberapa cendekiawan Barat mulai tertarik menyusun kisah sejarah dari koleksi-koleksi tersebut (sekitar abad XVIII). Setelah itu, berkembanglah segala teori dan teknik, termasuk ekskavasi (abad XIX-XX).

Sesuai namanya, arkeologi (archaeos = purbakala dan logos = ilmu) adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaan masa lampau. Di Indonesia arkeologi mulai dikenal pada abad ke-20. Pada mulanya titik berat perhatian adalah pendaftaran, pencatatan, dan pemugaran. Itu pun terfokus pada sisa-sisa kebudayaan kuno, yang sebagian besar berupa candi dan arca dari masa pengaruh agama Hindu dan Buddha di Indonesia.

Pada masa kini arkeologi dikenal sebagai ilmu yang meneliti masa lampau berdasarkan benda-benda yang ditinggalkan. Namun, penelitian tersebut bukan semata-mata ditujukan untuk mempelajari masa lampau. Dikeluarkannya Undang-Undang Lingkungan Hidup tahun 1982 menyiratkan bahwa warisan budaya merupakan unsur lingkungan hidup yang harus dilindungi. Dengan demikian, warisan budaya juga harus berfungsi untuk masa kini maupun masa akan datang. Hal ini diperkuat oleh Undang-Undang Benda Cagar Budaya Nasional tahun 1992.

Sejak lama banyak situs arkeologi seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Kompleks Trowulan dimanfaatkan untuk kepentingan kepariwisataan. Ironisnya, seiring pesatnya perkembangan pariwisata di Tanah Air, meningkat pula perusakan dan pencurian terhadap peninggalan-peninggalan masa lalu.

Tak dimungkiri bahwa masyarakat Indonesia masih belum memedulikan warisan budaya nenek moyangnya. Banyak warga masyarakat belum memahami apa itu arkeologi beserta tujuannya dan cara-cara pencapaiannya. Hal ini tentu saja menjadi persoalan dan perlu mendapat perhatian para arkeolog.

Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan arkeolog untuk memberikan penerangan kepada masyarakat mengenai betapa pentingnya tinggalan budaya untuk memahami masa lalu. Yang sering adalah menyelenggarakan pameran kepurbakalaan dan penyuluhan lewat film dokumenter. Namun, segala upaya itu belum membuahkan hasil memadai karena perusakan dan pencurian masih kerap terjadi di seluruh Indonesia hingga kini.


Pendidikan anak


Di banyak negara maju, kunci keberhasilan dalam bidang apa pun terletak pada peran guru dan murid. Karena itu, untuk mengantisipasi tindakan negatif terhadap berbagai peninggalan purbakala, pihak berwenang di Indonesia harus memberikan penyuluhan arkeologi kepada para guru dan murid.

Penyuluhan harus berdampingan dengan pendidikan arkeologi karena pendidikan tidak dapat dipisahkan dari tujuan pendidikan dan kurikulumnya. Tujuan pendidikan amat dipengaruhi oleh sesuatu yang terjadi di masyarakat sekelilingnya, yang merupakan bagian dari cita-cita yang dituju oleh suatu lembaga pendidikan (Sumiati Atmosudiro, 1995).

Arkeolog Inggris, M Corbishley, pernah mengemukakan tulisan yang banyak dikutip arkeolog negara berkembang tentang pendidikan arkeologi. Menurutnya, tujuan pendidikan arkeologi seharusnya bukan hanya diarahkan pertama kalinya kepada para mahasiswa, tetapi harus dikenal sejak masa anak-anak.

Sejak itu di Inggris arkeologi menjadi kurikulum nasional yang dipelajari di sekolah-sekolah, dimulai ketika anak berumur lima tahun. Bahkan, arkeologi bukan saja merupakan bagian dari kurikulum sejarah, tetapi juga menjadi aspek disiplin lain, seperti geografi, ilmu alam, matematika, dan seni (Sri Utami Ferdinandus, 1996: 104). Langkah Pemerintah Inggris selanjutnya adalah membentuk sebuah badan bernama English Heritage di bawah The National Heritage Act.

Peranan dari English Heritage adalah melakukan konservasi kesadaran dan kesukaan akan lingkungan sejarah untuk kepentingan generasi masa kini dan masa akan datang. Selain itu, English Heritage memberikan beasiswa kepada para murid, dana pemeliharaan monumen bersejarah, dan informasi untuk para guru dalam rangka penyusunan program pendidikan mengenai arkeologi.

Corbishley juga memberikan penjelasan mengenai data arkeologi yang ditemukan dalam ekskavasi kepada anak-anak. Kemudian dia memberi penyuluhan agar seorang anak dapat melihat artefak seperti mata seorang arkeolog.

Berkat pendekatan yang dilakukan Corbishley kepada para guru dan murid, masyarakat Inggris sudah memiliki apresiasi tinggi terhadap dunia kepurbakalaan. Apabila mengunjungi suatu bangunan kuno, misalnya, anak-anak akan mencatat ciri-ciri pintu, warna tembok, penggunaan ruangan, dan model atap (Sri Utami Ferdinandus, 1996: 105-106).

Keberhasilan Corbishley di Inggris barangkali patut ditiru arkeolog-arkeolog Indonesia. Jika anak-anak diberi pengertian tentang warisan budaya, tidak mustahil segala kejahatan terhadap peninggalan arkeologis Indonesia akan semakin berkurang.

DJULIANTO SUSANTIO Arkeolog

(Kompas, 10 Januari 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dictionary

Kontak Saya

NAMA:
EMAIL:
SUBJEK:
PESAN:
TULIS KODE INI: