Views
HINGGA hari ketujuh setelah skandal perusakan situs ibu kota Majapahit di Trowulan terungkap luas di masyarakat, Prof Dr Mundardjito masih belum habis pikir bagaimana sebagian orang yang mengaku arkeolog masih berpendapat bahwa tidak terjadi kerusakan pada situs penting itu. Wawasan, pengalaman, dan pengabdiannya sebagai arkeolog, yang dibangun berpuluh tahun, seketika dianggap tak berarti oleh pernyataan orang-orang tersebut.
Profesor Mundardjito (72) adalah Trowulan. Itulah kesan pertama saat saya pertama kali mendapat tugas meliput peristiwa ini. Hampir seluruh kenalan yang memiliki akses ke dunia arkeologi di Tanah Air hanya merekomendasikan satu nama saat ditanya siapa orang paling berkompeten berbicara tentang situs Majapahit di Trowulan. ”Prof Mundardjito atau Pak Oti dari UI,” demikian bunyi hampir setiap SMS yang masuk.
Dalam perkembangan selanjutnya pengungkapan kasus ini, makin jelas bahwa pria kelahiran Bogor, 8 Oktober 1936, tersebut adalah orang paling kompeten dan menguasai permasalahan di lapangan. Mundardjito juga yang dari tahap paling awal gigih berjuang mengingatkan pemerintah untuk segera menghentikan pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) di situs Segaran III, Trowulan, Mojokerto.
Bahkan di tengah kesibukan dan keprihatinan mempersiapkan operasi pengangkatan empedu istrinya, Ny Martuti S Danusaputro, Mundardjito tetap melayani wawancara dengan wartawan, konsultasi dengan kalangan arkeolog dan orang-orang yang peduli terhadap peninggalan sejarah, hingga menerima telepon dari menteri untuk menjelaskan duduk perkara kasus tersebut. ”Banyak hal yang belum jelas dan belum selesai dari kasus ini,” katanya.
Sejak batu pertama proyek itu diletakkan pada 3 November 2008, dilanjutkan dengan dimulainya pekerjaan fisik pada 22 November, Mundardjito terus mendapatkan informasi tidak sedap dari teman-teman dan kolega sesama arkeolog yang berdinas di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur. Informasi itu sangat mudah ia dapatkan karena dari pengalamannya selama lebih dari 40 tahun di dunia arkeologi, bisa dikatakan Mundardjito mengenal dengan baik hampir semua arkeolog, yang sebagian adalah bekas muridnya.
Dua pejabat tinggi di bidang pelestarian peninggalan purbakala saat ini, yakni Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Drajad dan Direktur Peninggalan Purbakala Soeroso MP, juga adalah bekas murid Mundardjito. ”Mereka dulu mahasiswa saya. Bahkan saat Hari Untoro menikah, saya yang menjadi saksi,” ungkap Pak Oti, panggilan akrab Mundardjito.
Dua orang itulah yang kena ”semprot” Mundardjito pada 19 Desember 2008 saat profesor tersebut membawa bukti-bukti tak terbantahkan tentang kerusakan situs Majapahit di lokasi pembangunan PIM. ”Saya katakan kepada mereka bahwa sampai kapan pun orang akan mengingat kejadian ini. Jika Pak Harto akan selalu diingat orang karena korupsinya pada masa Orde Baru, orang pun akan selalu mengingat mereka sebagai perusak peninggalan Majapahit jika tidak segera menghentikan proyek ini!” tandas salah satu pendiri Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) ini.
Pengabdian
Jika kita menengok ke belakang, akan terlihat bagaimana Mundardjito menghabiskan 3/4 hidupnya untuk kemajuan dunia arkeologi di negeri ini. Tahun 1956, saat usianya baru 20 tahun, Mundardjito memutuskan masuk ke Jurusan Arkeologi, yang waktu itu masih berada di bawah Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Sembari kuliah, Mundardjito muda menghabiskan waktunya dengan bermain band untuk mencari tambahan uang guna membiayai kuliahnya. ”Saya main gitar dan bas betot. Dulu kami sering main di mana-mana, mulai dari Wisma Nusantara, Societet Harmoni, sampai ke Istana Bogor,” kenangnya.
Saat ujian sarjana muda tahun 1961, Dekan Fakultas Sastra waktu itu yang menjadi Ketua Tim Penguji bertanya kepada Mundardjito. ”Saya ditanya, apakah mau jadi pemain musik atau jadi sarjana? Saya betul-betul kaget dengan pertanyaan itu. Sejak saat itulah saya meninggalkan musik dan serius belajar untuk jadi sarjana,” ujar Mundardjito.
Setelah gelar sarjana ia dapat pada 1963, Mundardjito langsung diangkat sebagai asisten dosen di Jurusan Arkeologi UI. Tahun 1969 ia mendapat beasiswa dari Pemerintah Yunani untuk belajar metodologi arkeologi di University of Athens. ”Saat itu di UI belum ada mata kuliah metodologi arkeologi. Baru setelah saya pulang dari Yunani tahun 1971 saya langsung membuat mata kuliah itu,” tuturnya.
Metodologi, bagi Mundardjito, adalah hal yang sangat penting untuk mendisiplinkan para calon arkeolog. Mundardjito sangat keras menegakkan disiplin tersebut hingga ke hal paling kecil, seperti menempatkan ibu jari saat memegang cetok penggali dan menggerakkan cetok itu saat mengeruk tanah.
”Cetok adalah alat utama seorang arkeolog di lapangan, bukan cangkul atau linggis. Dan cetok itu harus digerakkan dengan metode khusus dan dengan perasaan karena kalau tidak, bisa merusak peninggalan purbakala yang ingin kita gali. Itu sebabnya seorang arkeolog tidak boleh pakai sarung tangan saat memegang cetok di lapangan supaya bisa mendapatkan feeling-nya,” paparnya.
Disiplin
Mundardjito selalu mengajak para mahasiswanya dalam penelitian arkeologi di lapangan. Dalam sekali ekspedisi, bisa 20 mahasiswa sekaligus yang diajak. ”Sekali ke lapangan bisa jadi 20 judul skripsi. Saya menerapkan cara ini sejak melakukan penelitian di Banten Lama tahun 1970-an dan Borobudur tahun 1980-an,” katanya.
Mundardjito juga selalu memimpin sendiri penelitian lapangan ini. Ia mengatakan, para arkeolog zaman dulu bagaikan ilmuwan di menara gading, yang merasa cukup dengan meneliti artefak atau naskah-naskah sejarah di kampus. ”Seorang arkeolog dilahirkan dari lapangan. Apalagi saat situs-situs purbakala terancam rusak karena laju pembangunan, para peneliti harus turun sendiri ke lapangan mengamankan sendiri situs-situs itu,” tandasnya.
Dalam setiap penelitian lapangan ini, Mundardjito menerapkan disiplin yang sangat ketat bagi para mahasiswanya. Mulai dari waktu tidur, waktu makan, kegiatan di lokasi penggalian, hingga perjalanan pulang, semua diatur dengan ketat.
Salah satu tradisi yang diterapkan Mundardjito sejak dulu adalah mengumpulkan seluruh anggota tim pada akhir ekspedisi, kemudian meminta mereka menaruh tas masing-masing di dalam ruang tertutup. Setelah itu Mundardjito sendiri yang akan memeriksa seluruh tas satu demi satu. ”Jika ketahuan ada yang mengambil temuan purbakala dari lokasi, meski itu cuma secuil bata atau kereweng, akan saya perintahkan untuk mengembalikan ke lokasi tempat benda itu ditemukan. Karena kalau sekarang berani mencuri kereweng, nantinya dia akan berani mencuri emas,” tandas Mundardjito.
Etika moral
Menurut dia, etika moral dan hati nurani harus selalu ada dalam diri seorang arkeolog karena itulah yang akan menjaga mereka dari perbuatan menista sejarah. ”Etika dan moral bahkan berada di atas undang-undang. Saat saya, misalnya, di lokasi penggalian menemukan emas dari lapisan berumur 500 tahun, tak ada orang atau polisi yang tahu jika saya bilang emas itu ditemukan di lapisan yang berumur 5.000 tahun. Saya bisa kemudian menerbitkan temuan itu di jurnal internasional dan menjadi terkenal tanpa ada sanksi hukum. Tetapi, etika dan moral saya yang mencegah saya berbuat seperti itu,” papar penggagas dan penyusun Kode Etik Arkeolog tersebut.
Bahkan hingga Mundardjito diangkat sebagai guru besar arkeologi tahun 1995 saat usianya tidak muda lagi, ia tetap selalu mendampingi mahasiswa bimbingannya melakukan penelitian di lapangan. ”Bekerja dengan mahasiswa itu menarik karena saya bisa belajar mengenal karakter orang dan mengajari mereka bagaimana menjadi arkeolog yang baik. Saya pun sering diminta rekomendasi dari Dirjen saat ia merekrut tenaga baru,” ujarnya.
Kesetiaan Mundardjito terhadap arkeologi didasarkan pada keyakinan bahwa ilmu tersebut adalah ilmu yang sangat penting bagi kehidupan bangsa. ”Arkeologi adalah bagian dari jati diri bangsa,” tegasnya.
Sejak 1964 hingga sekarang ia telah menjelajah hampir seluruh situs arkeologi di Tanah Air, mulai dari yang besar-besar, seperti Borobudur, Trowulan, dan Banten Lama, hingga ke sudut-sudut Kutai, Muara Jambi, dan Pasir Angin (Jawa Barat).
Dalam kaitan dengan situs ibu kota Majapahit di Trowulan, Mundardjito mengatakan bahwa situs tersebut adalah satu-satunya situs kota yang masih tersisa dari masa kejayaan kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara. Keyakinan bahwa Trowulan dulunya adalah sebuah kota dicirikan dengan ditemukannya banyak peninggalan masa lalu di wilayah yang sangat luas. ”Dalam sebuah kota juga akan ditemukan wilayah permukiman padat dan banyak bangunan-bangunan monumental yang digunakan sebagai pusat-pusat ritual keagamaan. Semua itu ditemukan di Trowulan,” paparnya.
Sebuah peninggalan kota masa lalu menjadi penting karena itu akan membuktikan sebuah kerajaan yang besar. ”Kota adalah pusat produksi barang dan jasa. Bangunan-bangunan monumental membutuhkan tenaga manusia yang besar untuk membangunnya. Dan untuk mengoordinasikan semua itu, dibutuhkan seorang pemimpin atau raja yang kuat,” ungkapnya.
Jadi, jika peninggalan-peninggalan masa lalu tersebut kemudian dirusak begitu saja, Mundardjito berpendapat itu sama saja merobek halaman-halaman buku sejarah yang belum sempat kita baca.
(Sumber: Kompas Minggu, 11 Januari 2009)
Profesor Mundardjito (72) adalah Trowulan. Itulah kesan pertama saat saya pertama kali mendapat tugas meliput peristiwa ini. Hampir seluruh kenalan yang memiliki akses ke dunia arkeologi di Tanah Air hanya merekomendasikan satu nama saat ditanya siapa orang paling berkompeten berbicara tentang situs Majapahit di Trowulan. ”Prof Mundardjito atau Pak Oti dari UI,” demikian bunyi hampir setiap SMS yang masuk.
Dalam perkembangan selanjutnya pengungkapan kasus ini, makin jelas bahwa pria kelahiran Bogor, 8 Oktober 1936, tersebut adalah orang paling kompeten dan menguasai permasalahan di lapangan. Mundardjito juga yang dari tahap paling awal gigih berjuang mengingatkan pemerintah untuk segera menghentikan pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) di situs Segaran III, Trowulan, Mojokerto.
Bahkan di tengah kesibukan dan keprihatinan mempersiapkan operasi pengangkatan empedu istrinya, Ny Martuti S Danusaputro, Mundardjito tetap melayani wawancara dengan wartawan, konsultasi dengan kalangan arkeolog dan orang-orang yang peduli terhadap peninggalan sejarah, hingga menerima telepon dari menteri untuk menjelaskan duduk perkara kasus tersebut. ”Banyak hal yang belum jelas dan belum selesai dari kasus ini,” katanya.
Sejak batu pertama proyek itu diletakkan pada 3 November 2008, dilanjutkan dengan dimulainya pekerjaan fisik pada 22 November, Mundardjito terus mendapatkan informasi tidak sedap dari teman-teman dan kolega sesama arkeolog yang berdinas di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur. Informasi itu sangat mudah ia dapatkan karena dari pengalamannya selama lebih dari 40 tahun di dunia arkeologi, bisa dikatakan Mundardjito mengenal dengan baik hampir semua arkeolog, yang sebagian adalah bekas muridnya.
Dua pejabat tinggi di bidang pelestarian peninggalan purbakala saat ini, yakni Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Hari Untoro Drajad dan Direktur Peninggalan Purbakala Soeroso MP, juga adalah bekas murid Mundardjito. ”Mereka dulu mahasiswa saya. Bahkan saat Hari Untoro menikah, saya yang menjadi saksi,” ungkap Pak Oti, panggilan akrab Mundardjito.
Dua orang itulah yang kena ”semprot” Mundardjito pada 19 Desember 2008 saat profesor tersebut membawa bukti-bukti tak terbantahkan tentang kerusakan situs Majapahit di lokasi pembangunan PIM. ”Saya katakan kepada mereka bahwa sampai kapan pun orang akan mengingat kejadian ini. Jika Pak Harto akan selalu diingat orang karena korupsinya pada masa Orde Baru, orang pun akan selalu mengingat mereka sebagai perusak peninggalan Majapahit jika tidak segera menghentikan proyek ini!” tandas salah satu pendiri Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) ini.
Pengabdian
Jika kita menengok ke belakang, akan terlihat bagaimana Mundardjito menghabiskan 3/4 hidupnya untuk kemajuan dunia arkeologi di negeri ini. Tahun 1956, saat usianya baru 20 tahun, Mundardjito memutuskan masuk ke Jurusan Arkeologi, yang waktu itu masih berada di bawah Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Sembari kuliah, Mundardjito muda menghabiskan waktunya dengan bermain band untuk mencari tambahan uang guna membiayai kuliahnya. ”Saya main gitar dan bas betot. Dulu kami sering main di mana-mana, mulai dari Wisma Nusantara, Societet Harmoni, sampai ke Istana Bogor,” kenangnya.
Saat ujian sarjana muda tahun 1961, Dekan Fakultas Sastra waktu itu yang menjadi Ketua Tim Penguji bertanya kepada Mundardjito. ”Saya ditanya, apakah mau jadi pemain musik atau jadi sarjana? Saya betul-betul kaget dengan pertanyaan itu. Sejak saat itulah saya meninggalkan musik dan serius belajar untuk jadi sarjana,” ujar Mundardjito.
Setelah gelar sarjana ia dapat pada 1963, Mundardjito langsung diangkat sebagai asisten dosen di Jurusan Arkeologi UI. Tahun 1969 ia mendapat beasiswa dari Pemerintah Yunani untuk belajar metodologi arkeologi di University of Athens. ”Saat itu di UI belum ada mata kuliah metodologi arkeologi. Baru setelah saya pulang dari Yunani tahun 1971 saya langsung membuat mata kuliah itu,” tuturnya.
Metodologi, bagi Mundardjito, adalah hal yang sangat penting untuk mendisiplinkan para calon arkeolog. Mundardjito sangat keras menegakkan disiplin tersebut hingga ke hal paling kecil, seperti menempatkan ibu jari saat memegang cetok penggali dan menggerakkan cetok itu saat mengeruk tanah.
”Cetok adalah alat utama seorang arkeolog di lapangan, bukan cangkul atau linggis. Dan cetok itu harus digerakkan dengan metode khusus dan dengan perasaan karena kalau tidak, bisa merusak peninggalan purbakala yang ingin kita gali. Itu sebabnya seorang arkeolog tidak boleh pakai sarung tangan saat memegang cetok di lapangan supaya bisa mendapatkan feeling-nya,” paparnya.
Disiplin
Mundardjito selalu mengajak para mahasiswanya dalam penelitian arkeologi di lapangan. Dalam sekali ekspedisi, bisa 20 mahasiswa sekaligus yang diajak. ”Sekali ke lapangan bisa jadi 20 judul skripsi. Saya menerapkan cara ini sejak melakukan penelitian di Banten Lama tahun 1970-an dan Borobudur tahun 1980-an,” katanya.
Mundardjito juga selalu memimpin sendiri penelitian lapangan ini. Ia mengatakan, para arkeolog zaman dulu bagaikan ilmuwan di menara gading, yang merasa cukup dengan meneliti artefak atau naskah-naskah sejarah di kampus. ”Seorang arkeolog dilahirkan dari lapangan. Apalagi saat situs-situs purbakala terancam rusak karena laju pembangunan, para peneliti harus turun sendiri ke lapangan mengamankan sendiri situs-situs itu,” tandasnya.
Dalam setiap penelitian lapangan ini, Mundardjito menerapkan disiplin yang sangat ketat bagi para mahasiswanya. Mulai dari waktu tidur, waktu makan, kegiatan di lokasi penggalian, hingga perjalanan pulang, semua diatur dengan ketat.
Salah satu tradisi yang diterapkan Mundardjito sejak dulu adalah mengumpulkan seluruh anggota tim pada akhir ekspedisi, kemudian meminta mereka menaruh tas masing-masing di dalam ruang tertutup. Setelah itu Mundardjito sendiri yang akan memeriksa seluruh tas satu demi satu. ”Jika ketahuan ada yang mengambil temuan purbakala dari lokasi, meski itu cuma secuil bata atau kereweng, akan saya perintahkan untuk mengembalikan ke lokasi tempat benda itu ditemukan. Karena kalau sekarang berani mencuri kereweng, nantinya dia akan berani mencuri emas,” tandas Mundardjito.
Etika moral
Menurut dia, etika moral dan hati nurani harus selalu ada dalam diri seorang arkeolog karena itulah yang akan menjaga mereka dari perbuatan menista sejarah. ”Etika dan moral bahkan berada di atas undang-undang. Saat saya, misalnya, di lokasi penggalian menemukan emas dari lapisan berumur 500 tahun, tak ada orang atau polisi yang tahu jika saya bilang emas itu ditemukan di lapisan yang berumur 5.000 tahun. Saya bisa kemudian menerbitkan temuan itu di jurnal internasional dan menjadi terkenal tanpa ada sanksi hukum. Tetapi, etika dan moral saya yang mencegah saya berbuat seperti itu,” papar penggagas dan penyusun Kode Etik Arkeolog tersebut.
Bahkan hingga Mundardjito diangkat sebagai guru besar arkeologi tahun 1995 saat usianya tidak muda lagi, ia tetap selalu mendampingi mahasiswa bimbingannya melakukan penelitian di lapangan. ”Bekerja dengan mahasiswa itu menarik karena saya bisa belajar mengenal karakter orang dan mengajari mereka bagaimana menjadi arkeolog yang baik. Saya pun sering diminta rekomendasi dari Dirjen saat ia merekrut tenaga baru,” ujarnya.
Kesetiaan Mundardjito terhadap arkeologi didasarkan pada keyakinan bahwa ilmu tersebut adalah ilmu yang sangat penting bagi kehidupan bangsa. ”Arkeologi adalah bagian dari jati diri bangsa,” tegasnya.
Sejak 1964 hingga sekarang ia telah menjelajah hampir seluruh situs arkeologi di Tanah Air, mulai dari yang besar-besar, seperti Borobudur, Trowulan, dan Banten Lama, hingga ke sudut-sudut Kutai, Muara Jambi, dan Pasir Angin (Jawa Barat).
Dalam kaitan dengan situs ibu kota Majapahit di Trowulan, Mundardjito mengatakan bahwa situs tersebut adalah satu-satunya situs kota yang masih tersisa dari masa kejayaan kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara. Keyakinan bahwa Trowulan dulunya adalah sebuah kota dicirikan dengan ditemukannya banyak peninggalan masa lalu di wilayah yang sangat luas. ”Dalam sebuah kota juga akan ditemukan wilayah permukiman padat dan banyak bangunan-bangunan monumental yang digunakan sebagai pusat-pusat ritual keagamaan. Semua itu ditemukan di Trowulan,” paparnya.
Sebuah peninggalan kota masa lalu menjadi penting karena itu akan membuktikan sebuah kerajaan yang besar. ”Kota adalah pusat produksi barang dan jasa. Bangunan-bangunan monumental membutuhkan tenaga manusia yang besar untuk membangunnya. Dan untuk mengoordinasikan semua itu, dibutuhkan seorang pemimpin atau raja yang kuat,” ungkapnya.
Jadi, jika peninggalan-peninggalan masa lalu tersebut kemudian dirusak begitu saja, Mundardjito berpendapat itu sama saja merobek halaman-halaman buku sejarah yang belum sempat kita baca.
(Sumber: Kompas Minggu, 11 Januari 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar