Views
Oleh: Djulianto Susantio
Majapahit merupakan sebuah kerajaan bercorak agraris terbesar di Indonesia. Keberhasilannya memakmurkan rakyat dan menjalin hubungan kerja sama dengan dunia luar, menjadikannya suri teladan bagi pemimpin-pemimpin bangsa pascakemerdekaan. Presiden Soekarno dan Menteri Pendidikan/Pengajaran Moh Yamin bisa disebut sebagai dua orang yang sangat mengagung-agungkan Majapahit.
Sampai kini warisan Majapahit terbilang sangat banyak dan beragam. Warisan berujud benda tidak bergerak bisa disaksikan di situs Trowulan berupa candi dan bangunan lain. Meskipun kebanyakan terbuat dari batu bata merah, namun beberapa candi menampakkan kemegahannya karena telah dipugar untuk kepentingan pariwisata.
Yang berupa benda bergerak disimpan di Museum Trowulan dan Museum Nasional Jakarta. Bahkan, banyak koleksi masih berada di museum-museum mancanegara dan kolektor-kolektor barang antik.
Warisan-warisan nonfisik pun tergolong tidak sedikit. Justru hal inilah yang tetap lestari sampai sekarang. Anda pasti mengenal semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika”, bukan? Kata-kata demikian begitu bermakna bagi kita. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berasal dari bahasa Sanskerta itu merupakan cuplikan dari kata-kata yang pernah diucapkan oleh Dewa Siwa dalam kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Sutasoma merupakan karya sastra terbesar kedua setelah Nagarakretagama. Keduanya ditulis oleh pujangga istana dari Kerajaan Majapahit.
Dikisahkan, Sutasoma adalah titisan Sanghyang Buddha yang mengajarkan kepada manusia untuk mengendalikan perasaan. Dia tidak suka menjadi raja. Karena itu Sutasoma lari dari istana dalam usahanya mencari kebenaran sehingga akhirnya menjadi penyebar agama Buddha. Di kahyangan lain, raja raksasa Purusada yang gemar makan daging manusia, berjanji akan mempersembahkan 100 orang raja kepada Batara Kala apabila lukanya dapat sembuh. Namun, Kala hanya mau persembahan seorang Sutasoma. Sutasoma sendiri bersedia dijadikan korban asalkan ke-100 raja itu dibebaskan.
Bhinneka Tunggal Ika
Akhirnya Batara Kala dan Purusada sangat terharu menyaksikan keluhuran budi Sutasoma sehingga sejak saat itu Purusada berjanji tidak akan memakan daging manusia lagi. Dewa Siwa yang menitis pada Purusada pun meninggalkan tubuh raksasa itu karena disadarinya bahwa Sutasoma adalah Sang Buddha. Katanya, mangkajinatwa lawan siwatatwa tunggal, bhinneka tunggal ika, tan hana dharmma mangrwa, artinya hakikat Buddha dan hakikat Siwa adalah satu (Kapustakaan Jawi, 1952).
Alkisah, dalam suatu kunjungan ke Bali pada 1962, Presiden Soekarno berkesempatan menonton pementasan wayang. Ketika usai, beliau kembali terkesan dengan kata-kata yang dilontarkan sang dalang tadi, yakni “Bhinneka Tunggal Ika”. Maka beliau mengusulkan agar kata-kata itu dipakai sebagai semboyan negara.
Warisan Majapahit lainnya adalah istilah “bhayangkara”, yang dikenal luas dalam jajaran kepolisian RI. Penetapan nama “bhayangkara” tidak lepas dari popularitas pasukan elite dari masa Kerajaan Majapahit bernama bhayangkari. Pasukan bhayangkari mulai dikenal pada saat Raja Jayanegara (1309-1328) memerintah Majapahit, menggantikan ayahnya Raden Wijaya.
Nama bhayangkari merupakan adaptasi dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno. Arti sesungguhnya adalah hebat atau mengerikan. Di Kerajaan Majapahit bhayangkari termasuk pasukan kesayangan raja dan masyarakat. Soalnya, tujuannya bukan untuk menakut-nakuti rakyat, tetapi justru untuk melindungi rakyat dan kerajaan. Karena populer, nama ini kemudian identik dengan nama kesatuan pengawal kerajaan.
Nama bhayangkari mulai mencuat ketika beberapa pengalasan wineh (pengawas yang diistimewakan) merasa tidak puas dengan penobatan Raja Jayanegara. Oleh karena itu, menurut naskah kuno Pararaton, mereka berkomplot untuk menggulingkan sang raja.
Pimpinan bhayangkari yang paling terkenal adalah Gajah Mada. Dia berhasil menumpas beberapa pemberontakan di Kerajaan Majapahit. Adanya pasukan bhayangkari pula yang menyebabkan Majapahit mampu meluaskan ekspansinya ke luar Jawa hingga mancanegara. Karena prestasinya itu, Gajah Mada kemudian dinaikkan jabatannya menjadi Mahapatih.
Bendera
Tindakan yang pertama kali dilakukan Gajah Mada sejak menjadi mahapatih adalah memperkuat angkatan perang kerajaan, baik di daratan maupun lautan. Selain itu, untuk memajukan kesejahteraan negara, Gajah Mada membentuk jawatan-jawatan yang sebelumnya tidak dikenal, misalnya Jawatan Pekerjaan Umum yang bertugas memelihara dan membangun candi, keraton, dan gedung pemerintah serta Jawatan Pengadilan untuk benar-benar menegakkan supremasi hukum.
Bila ditelusuri, bendera merah putih yang kita kenal sekarang, sebenarnya juga merupakan warisan dari Kerajaan Majapahit. Sebuah prasasti bertarikh 1294 M menyebutkan bahwa bendera merah putih pernah dikibarkan pada 1292 oleh tentara Jayakatwang ketika berperang melawan Singhasari. Menurut kitab Nagarakretagama (ditulis tahun 1365), warna merah putih selalu digunakan dalam upacara hari kebesaran Raja Hayam Wuruk (1350-1389). Konon, warna merah identik dengan buah maja yang kemudian menjadi asal nama Kerajaan Majapahit. Warna putih identik dengan buah kelapa yang berisi air kehidupan. Merah merefleksikan darah, sementara putih mewakili tulang. Di Kerajaan Majapahit merah dan putih adalah warna yang dimuliakan.
Warisan-warisan Majapahit itu tentu saja merupakan kenangan buat kita yang hidup jauh dari masa lalu. Buah maja memang pahit. Namun, lebih pahit bila kita sendiri generasi sekarang yang merusak warisan-warisan berharga itu. Yang tragis, sebenarnya destruksi secara besar-besaran sudah lama terjadi di situs Trowulan. Dulu bahkan sampai sekarang pun demi menyambung hidup, penduduk setempat masih menggerusi bata-bata kuno menjadi semen merah. Paling kurang destruksi besar-besaran itu mulai berlangsung pada 1960-an. Anehnya mengapa masyarakat baru ribut sekarang hanya soal pembangunan PIM (Pusat Informasi Majapahit)?
Situs Trowulan sampai kini masih merupakan satu-satunya situs perkotaan yang paling lengkap di Indonesia. Dampak dari industri semen merah yang tidak terkontrol itu adalah melenyapkan banyak bangunan kuno. Dampak lain adalah banyak bangunan kuno tidak bisa dipugar lagi karena sisa-sisa yang ada tidak mampu mendukung kegiatan itu. Sejak lama banyak penduduk lokal juga sering menjadikan situs Trowulan sebagai ladang perburuan benda-benda antik. Benda-benda ini kemudian mereka jual kepada para penadah.
Penulis adalah seorang arkeolog. Tinggal di Jakarta.
(Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 21 Februari 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar