Views
Oleh: Nurhadi Rangkuti
Akhirnya langkah kaki sampai di Mentoro. Tempat kelahiran Emha Ainun Nadjib ini memang patut dicurigai menjadi lokasi penting dalam melacak jalan menuju kota Majapahit pada abad ke-14. Desa Mentoro di Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, ini terletak di sebelah barat laut situs bekas kota Majapahit di Trowulan, Mojokerto, dengan jarak sekitar 10 kilometer.
Pandangan langsung terpaku pada sebuah patok batu di tepi jalan desa, tepat di depan rumah keluarga Emha Ainun Nadjib. "Patok batu ini bekas tambatan perahu Majapahit," tutur seorang penduduk.
Pada salah satu sisi patok setinggi 127 cm itu terpahat tulisan Jawa kuno yang belum terbaca. Bentuk patok pada bagian bawah berdenah segi empat, sedangkan bagian atas segi delapan. Bentuk patok ini berbeda dengan lingga semu yang juga ditemukan di Mentoro, tepatnya di Kuburan Dowo. Lingga semu berbentuk segi empat di bagian bawah dan bulat di bagian atas.
Informasi pun berkembang. Sekitar 100 meter di sebelah barat patok batu ditemukan lagi patok sejenis di tepi jalan. Menurut penduduk, dulunya patok kedua itu berada di tengah jalan desa, tetapi patok telah patah ditabrak pedati saat pengerasan jalan desa. Sebuah patok lagi dijumpai di halaman rumah penduduk sehingga sedikitnya terdapat tiga patok batu di Mentoro.
Daerah pinggiran kota
Melihat letaknya, Mentoro dahulu masuk daerah pinggiran kota Majapahit yang memiliki akses ke Sungai Brantas di bagian utara. Menurut cerita penduduk, dulu Mentoro adalah hutan belantara yang menjadi jalan penghubung antara Kerajaan Majapahit dan Kota Daha (Kadiri). Mentoro dipercaya pula sebagai tempat pesanggrahan putra-putri kerajaan pada masa itu.
Kompas (2 Mei 2005) memuat tulisan tentang batas situs kota Majapahit di Trowulan. Pada bagian timur laut, tenggara, dan barat daya dari situs bekas kota Majapahit, terdapat kompleks bangunan suci bersifat Hindu. Setiap kompleks bangunan di penjuru mata angin itu ditempatkan sebuah yoni kerajaan dengan cerat berhias rajanaga.
Kompleks bangunan suci di bagian timur laut diidentifikasi adalah situs Klinterejo (Kecamatan Sooko, Mojokerto), di tenggara situs Lebakjabung (Kecamatan Jatirejo, Mojokerto), sedangkan di bagian barat daya adalah situs Sedah (Kecamatan Mojowarno, Jombang). Jarak antara situs Klinterejo dan situs Lebakjabung di bagian selatannya adalah 11 kilometer, sedangkan jarak dari situs Lebakjabung ke situs Sedah di bagian baratnya adalah 9 kilometer. Berdasarkan jarak antarsitus tersebut diperkirakan batas situs kota Majapahit 11 x 9 kilometer, tanpa dibatasi tembok keliling.
Berdasarkan jarak itu pula, kompleks bangunan di bagian barat laut diperkirakan terdapat di wilayah Kecamatan Sumobito, Jombang, tepatnya di Dusun Tugu dan Dusun Badas (Kompas, 2 Mei 2005).
Di lokasi ini tersebar beberapa struktur bata, sebuah yoni polos, batu-batu candi, lumpang batu, dan dua patok batu, sejenis dengan patok-patok di Mentoro. Lokasi Mentoro di sebelah utara Dusun Tugu dipisahkan oleh sudetan Sungai Konto yang dibuat Belanda pada tahun 1914.
Sungai yang hilang
Apabila cerita penduduk Mentoro benar bahwa patok-patok batu itu dulunya tambatan perahu Majapahit, hal itu membuat arkeolog harus berpikir yang sama terhadap patok-patok batu di situs Tugu. Sebaran patok batu dari Mentoro ke Tugu memanjang utara-selatan, membentuk imajinasi patok-patok itu diletakkan pada kedua sisi sungai yang relatif lebar. Sungai yang memanjang utara-selatan dan bertemu dengan Sungai Brantas bila dirunut ke utara.
Imajinasi itulah yang menggerakkan penggalian arkeologis di Mentoro pada tahun 2005 oleh Balai Arkeologi Yogyakarta dengan ketua tim Nurhadi Rangkuti. Selain mencari sungai yang hilang, penggalian juga bertujuan untuk mengetahui permukiman kuno di tepi sungai.
Hasil penggalian mengubah imajinasi menjadi kenyataan. Penggalian di dekat patok batu di depan rumah keluarga Emha dipenuhi oleh pasir dan kerang sungai dan kotak gali mengeluarkan air pada kedalaman satu meter, padahal sedang musim kemarau. Beberapa kotak gali lainnya juga membuktikan hal yang sama. Beberapa penduduk pun lalu berbagi cerita, sering mendengar suara air dari bawah lantai rumah mereka.
Sisa-sisa permukiman kuno di tepi sungai juga berhasil ditemukan dalam penggalian. Sebuah tempat lebih tinggi, yang oleh penduduk disebut Kagenengan, digali dan menghasilkan lebih dari 1.500 fragmen tembikar dan keramik dari dalam tanah. Selain itu ditemukan pula mata uang logam China, fragmen besi, dan tulang serta gigi hewan jenis bovidae.
Bentuk dan kualitas benda-benda tembikar dan keramik di lokasi ini tidak berbeda dengan temuan-temuan dari situs Trowulan. Diperkirakan Kagenengan pernah dihuni oleh komunitas yang bukan dari golongan rakyat biasa, pada sekitar abad ke-13 hingga abad ke-15.
Sungai lama dan sisa permukiman kuno telah berhasil ditemukan, tetapi di antara anggota tim masih terjadi silang pendapat mengenai keberadaan patok batu. Apakah patok batu dulu memang berfungsi sebagai tambatan perahu atau sebagai tugu batas suatu wilayah atau desa pada masa Majapahit.
Sungai Brantas
Lokasi Mentoro dan Tugu memang sangat strategis jika dikaitkan dengan Sungai Brantas dan jalan masuk kota Majapahit dari arah barat laut. Kedua tempat itu menjadi titik simpul jalan darat dan sungai menuju kota Majapahit.
Hadi Sidomulyo (2005) telah mengkaji isi naskah Kidung Wargasari, yang menggambarkan rute dari Wewetih sampai ke Majapahit melalui Jirah, Bletik, Kamal Pandak, dan Sagada. Menurut Hadi, rute yang digambarkan dalam kidung tersebut dapat dilacak dari barat ke timur melalui Kabupaten Jombang.
Ia mengidentifikasi Sagada adalah Segodorejo yang terletak di Kecamatan Sumobito. Lokasi situs Segodorejo berada di sebelah timur Tugu dengan jarak sekitar satu kilometer. Di situs ini dijumpai tinggalan arkeologis berupa lumpang batu dan pecahan-pecahan bata.
Sungai Brantas memang tidak dapat dipisahkan dengan Kerajaan Majapahit. Sungai ini memiliki andil dalam mengembangkan ekonomi Majapahit, sampai-sampai Raja Hayam Wuruk pun menerbitkan sebuah prasasti berangka tahun 1358 tentang desa-desa penyeberangan dan pelabuhan sungai di sepanjang Sungai Brantas dan Bengawan Solo. Dalam prasasti itu tercatat 33 desa penyeberangan di tepi Bengawan Solo dan 44 desa di tepi Brantas.
Dengan mempertimbangkan keberadaan Mentoro dan Tugu pada masa Majapahit, perjalanan menuju kota Majapahit dari Sungai Brantas dapat direkonstruksi. Setelah melayari Sungai Brantas, kemudian perahu memasuki Sungai Watudakon terus ke selatan melewati Mentoro, Tugu, dan Badas. Selanjutnya, dari Badas menuju kota Majapahit ditempuh dengan transportasi darat melalui Sagada (Segodorejo) dan akhirnya masuk kota Majapahit yang letaknya di Trowulan sekarang.
Tentu saja ada seribu jalan menuju kota Majapahit. Salah satunya lewat Mentoro.
Nurhadi Rangkuti
Peneliti,
Saat Ini Kepala Balai Arkeologi Palembang
Peneliti,
Saat Ini Kepala Balai Arkeologi Palembang
(Sumber: Kompas, Selasa, 14 November 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar