Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Sabtu, 07 Maret 2009

Kota Tua di Antara Menara Walet

Views


Oleh: Bambang Budi Utomo

Serombongan petinggi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata datang ke Pangkal Pinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dalam kaitan dengan Lawatan Sejarah Nasional IV/2006. Maksudnya adalah memberikan pemahaman sejarah kepada para siswa utusan dari berbagai provinsi di Tanah Air melalui kunjungan ke situs-situs bersejarah yang ada di sana.

Pulau Bangka memang merupakan sebuah pulau kecil yang "sarat" akan situs bersejarah. Mulai dari tinggalan masa pengaruh budaya India dengan situs Kota Kapur (di Kabupaten Bangka Tengah) dari abad ke-6 Masehi, sampai dengan masa pendudukan Belanda dengan dibuangnya Soekarno-Hatta beserta sejumlah pemimpin bangsa di Muntok pada 1949.


Penambangan timah

Ingat Pulau Bangka dan Belitung, maka ingat pula akan timahnya. Demikian juga di dasar laut terdapat kandungan timah. "Ada gula, ada semut", itulah peribahasa yang berlaku umum.

Di Bangka dan di kota-kota lain di Semenanjung Tanah Melayu, sebut saja Taiping—yang berarti "kota kedamaian luhur" —maka peribahasa yang kemudian berlaku adalah "Ada timah, ada Tionghoa". Mengambil contoh dari Taiping, penambangan timah secara besar-besaran di Bangka mula pertamanya dilakukan oleh para penambang bangsa Tionghoa di samping penduduk asli Bangka sendiri.

Taiping lahir pada pertengahan abad ke-18 setelah perang antara perserikatan pekerja tambang dari Distrik Larut, negara bagian Perak (Malaysia). Larut untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang putra asal Aceh yang bernama Long Ja’afar. Ia membawa kelompok penambang Tionghoa dari Penang untuk dipekerjakan di tambang timahnya di Kelian Pauh.

Para penambang ini berasal dari Tionghoa-Hakka, anggota dari puak Hai San, sebuah perserikatan gelap di Penang yang dipimpin oleh Chung Keng Kooi. Sementara itu, di Kelian Bahru menetap puak Fui Chiu yang jumlahnya lebih kecil. Kedua puak ini secara turun-temurun selalu bertikai. Setelah mereka berperang dan masuknya campur tangan Inggris, pada tahun 1874 diresmikanlah nama Taiping sebagai sebuah kota, tempat yang dibangun para penambang tersebut.

Entah sejak kapan timah ditemukan di Bangka dan bagaimana cara menemukannya. Hingga saat ini belum ada secarik pun data tertulis yang sampai kepada kita kapan ditemukannya timah di Bangka.

Penambangan timah di Bangka dan Belitung mungkin sudah lama dikenal. Berita Tionghoa dari abad ke-7 Masehi menginformasikan bahwa komoditas perdagangan dari Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) antara lain adalah timah. Pada abad-abad tersebut Bangka dan Belitung termasuk dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya. Namun, pada masa itu penambangan timah belum dilakukan secara besar-besaran karena belum merupakan barang komoditas penting.

Indikator pemakaian logam dasar yang bernama timah sudah lama diketahui dengan bukti berupa artefak logam seperti arca, cermin, dan mangkuk yang dibuat dari perunggu. Perunggu merupakan logam campuran (alloy) yang terdiri dari tembaga dan timah.

Kerajaan-kerajaan tua di Nusantara, seperti Sriwijaya dan Malayu (abad ke-7 Masehi), banyak menggunakan perunggu sebagai bahan untuk membuat alat-alat keperluan upacara dan rumah tangga. Dengan demikian, sebelum orang mengenal perunggu tentunya sudah terlebih dahulu mengenal timah dan tembaga.

Kandungan timah terbesar di dunia terletak di jalur utara-selatan, mulai dari pegunungan di Myanmar bagian timur, Semenanjung Tanah Melayu, hingga ke Bangka dan Belitung. Banyaknya kandungan timah di Bangka dan Belitung baru diketahui tahun 1709, tetapi di bagian tengah Semenanjung Tanah Melayu sudah diketahui sejak abad ke-10 Masehi.

Sumber lain menyebutkan bahwa timah di Bangka ditemukan secara tidak sengaja. Kala itu pada tahun 1710, ketika sebuah rumah yang terbakar pada bagian lantai tanahnya terdapat lelehan yang berwarna putih keperakan.

Kemudian pada tahun 1754, setelah pengusiran orang Tionghoa tahun 1740, otoritas Tionghoa mengumumkan untuk pertama kali bahwa setiap orang Tionghoa dengan alasan yang sah berhak kembali ke Nusantara dan dilindungi hak-haknya. Aturan tersebut memicu eksodusnya saudagar, penambang, pengusaha perkebunan, dan petualang dari Tiongkok ke semua penjuru Asia. Di Vietnam bagian utara, Phuket, Kelantan, Kalimantan bagian barat, dan Bangka terbentuk koloni-koloni pertambangan Tionghoa.


Kota penambang

Bangka merupakan pusat industri timah paling awal dan hasilnya merupakan milik Kesultanan Palembang-Darussalam. Pada tahun 1722, VOC membeli timah untuk dikirim ke Eropa.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin (1774-1804), Bangka merupakan pemasok timah terbesar di Asia. Teknologi penambangan timah yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa menyebabkan produksi timah meningkat. Penjualan kepada VOC rata-rata 20.000 pikul per tahun (1 pikul=62,5 kg).

Sejalan dengan majunya teknologi penambangan dan meningkatnya permintaan pasar, meningkat pula produksi timah Bangka. Beberapa tempat yang dihuni oleh koloni penambang timah, misalnya Muntok, Sungai Liat, dan Toboali berubah menjadi kota kecil.

Entah sejak kapan Muntok dihuni orang. Mungkin dihuni dan dibangun tidak lama setelah ditemukan dan dieksploitasinya bijih timah. Tidak diketahui dengan pasti mengapa kota tua tersebut dinamakan Muntok.

Sebuah sumber di Eropa menyebutkan bahwa Muntok dinamai menurut nama Gubernur Jenderal Inggris yang berkedudukan di Tumasik (sekarang Singapura), yaitu Lord Minto. Letaknya di sebuah teluk di kaki tenggara Gunung Menumbing, menghadap ke Selat Bangka, berhadapan dengan muara Sungai Musi. Karena letaknya ini, pada abad ke-18/19 kota ini pernah mengalami kejayaan dan menjadi ibu kota Keresidenan Bangka hingga tahun 1913 sebelum dipindahkan ke Pangkal Pinang.

Bangunan-bangunan tua di Muntok yang dibangun pada abad ke-18/19, misalnya rumah-rumah tinggal para pegawai tambang timah bangsa Eropa, rumah tinggal seorang Mayor Tionghoa, bangunan kelenteng, dan Masjid Jami’.

Rumah Mayor Tionghoa yang bernama Tjong merupakan rumah mewah dengan tiang-tiang yang berukuran besar. Bangunan kelenteng yang menurut ceritanya sudah berusia lebih dari 200 tahun didirikan berdampingan dengan bangunan Masjid Jami’ Muntok yang juga merupakan bangunan tua.

Kekunoan bangunan masjid tampak pada bentuk atapnya yang mirip dengan bentuk atap Masjid Agung Palembang. Kedua bangunan ini memberikan petunjuk bahwa pada masa lampau ada dua kelompok masyarakat berbeda agama yang hidup berdampingan secara damai.

Sejak zaman Sriwijaya, Selat Bangka merupakan jalur lalu lintas air yang padat. "Kapal-kapal yang datang dari mana pun melalui selat Peng-chia (Selat Bangka)", demikian uraian Ma-huan, seorang penulis yang ikut pelayaran Cheng-ho tahun 1420-an.

Lebar dan kedalaman selat ini tidak sama. Ada daerah-daerah yang membahayakan pelaut yang melaluinya. Kadang-kadang ada kapal yang kandas atau menabrak karang. Karena itulah pada tahun 1864 dibangun sebuah menara suar di Tanjung Kelian. Menara suar ini masih tegak berdiri dan masih berfungsi dengan baik.

Kota tua Muntok kini sudah tercemar oleh bangunan-bangunan menara yang menjulang tinggi di antara bangunan-bangunan tua. Bangunan menara yang dicat dengan warna-warna mencolok—kuning, oranye, dan krem—itu tampak lebih mendominasi warna kota. "Makhluk hidup yang hidup dengan layak di tengah-tengah kota adalah burung walet".

Itulah yang terjadi. Bangunan menara yang indah tersebut adalah sarang burung walet. Keberadaannya hampir merata di seluruh penjuru kota. Ini tidak hanya berlaku di Muntok saja. Di tempat-tempat lain di Nusantara hal semacam ini juga banyak ditemukan, misalnya di Banten, Cirebon, Lasem, Tuban, dan Gresik.

Dapatkah tujuan dari Lawatan Sejarah Nasional IV diimplementasikan kepada masyarakat, sementara itu sudah banyak situs bersejarah yang rusak, tidak terawat, atau sebagian isinya hilang seperti yang terjadi di Muntok? Hanya para petinggi itulah yang dapat menjawab dengan perangkat kebijakan dan ketegasannya.

Jadi, sebelum mengubah metode pengajaran sejarah dengan melakukan kunjungan ke situs bersejarah agar membangkitkan minat siswa, mungkin situsnya perlu dibenahi dulu.

Bambang Budi Utomo
Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional

(Sumber: Kompas, Rabu, 23 Agustus 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dictionary

Kontak Saya

NAMA:
EMAIL:
SUBJEK:
PESAN:
TULIS KODE INI: