Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Jumat, 20 Maret 2009

Menentukan Pertanggalan Candi

Views


Oleh: Djulianto Susantio

Sampai kini, belum ada kesimpulan yang pasti mengenai kapan suatu candi mulai dibangun atau didirikan. Dari berbagai data arkeologi, memang tidak satu pun yang menyiratkan informasi suatu tarikh secara akurat. Maka, pertanggalan yang diberikan oleh para arkeolog selalu diimbuhi kata-kata “kemungkinan (besar) atau diperkirakan didirikan pada abad kesekian pada masa kerajaan anu”. Bukannya “didirikan pada tahun sekian oleh raja anu”. Padahal, bila pertanggalan mutlaknya diketahui, tak dimungkiri kronologi sejarah kuno Indonesia akan terkuak lebih lebar.

Sejak awal abad XX, sudah banyak pakar berusaha menelusuri pertanggalan candi, di antaranya oleh EB Vogler. Upaya yang dilakukan pakar Belanda ini adalah membagi perkembangan candi di Jawa Tengah atas lima periode. Pendapatnya diajukan setelah mengadakan penelitian perkembangan hiasan kala makara di atas pintu candi dan sejarah politik kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah. Keistimewaan dari masing-masing bangunan kemudian dihubungkannya satu sama lain sehingga didapatkan sebuah hipotesis.

Menurut Vogler, periode I berasal dari masa sebelum tahun 650. Ia memperkirakan, pada masa itu sudah ada bangunan yang terbuat dari bahan yang mudah rusak dan lapuk sehingga tanda-tanda arsitekturalnya tidak tersisa. Periode II berasal dari tahun 650 hingga 760. Ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Sanjaya dari Kerajaan Mataram. Raja itu beragama Siwa, mungkin berasal dari India Selatan. Gaya bangunan pada masa ini, dipengaruhi oleh arsitektur Pallawa yang juga berasal dari India Selatan. Bangunan-bangunan candi dari periode ini pun, menurut Vogler, sudah rusak dan lapuk sehingga tidak mudah teridentifikasi.

Periode III berlangsung tahun 760-812, pada masa Dinasti Sailendra. Contoh-contoh bangunannya antara lain Candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan, dan Sari. Periode IV berlangsung tahun 812-928. Pengaruh asing, terutama gaya Chandiman (India), mulai memperkaya unsur-unsur candi. Contoh-contoh bangunannya, antara lain Candi Prambanan, Sajiwan, Plaosan, dan Ngawen. Periode V berlangsung tahun 928 hingga akhir masa Hindu-Jawa. Bangunan-bangunan yang ada merupakan perkembangan dari gaya-gaya sebelumnya. Bangunan dari periode ini pun mulai diperkaya dengan unsur-unsur kesenian Jawa Timur, terutama bentuk kala. Contoh-contoh bangunannya antara lain Candi Pringapus, Sembodro, Ratna, dan Srikandi.


Sanggahan Soekmono

Teori Vogler bertahan selama bertahun-tahun. Namun kebenaran atau kesalahan teori tersebut, belum terbukti secara mutlak. Selewat pertengahan abad XX, teori tersebut mendapat sanggahan dari Soekmono. Arkeolog pertama bangsa Indonesia ini mencoba menyusun periodesasi candi berdasarkan “teori profil klasik”.

Menurutnya, profil klasik Jawa Tengah dapat dipakai sebagai dasar perkembangan profil candi-candi yang ada. Landasan pemikiran Soekmono adalah profil yang masih sangat sederhana dianggap lebih tua umurnya daripada profil yang mempunyai bentuk kompleks.

Berbeda dengan Vogler, Soekmono membagi candi-candi di Jawa atas dua periode saja. Periode I bergaya Dieng Lama (tahun 650-730). Contoh-contoh bangunannya antara lain Candi Arjuna, Semar, Srikandi, dan Gatotkaca. Periode II terdiri atas tiga gaya, yakni Dieng Baru, Sailendra, dan gabungan keduanya (tahun 730-800). Contoh-contoh bangunannya, antara lain Candi Gedongsongo, Bhima, Kalasan, Sewu, Sambisari, dan Lumbung.

Sejumlah candi yang ditemukan di Indonesia, diperkirakan memiliki hubungan erat dengan prasasti, baik karena tempat penemuannya maupun karena isinya. Di halaman candi Gunungwukir, misalnya, pernah ditemukan prasasti Canggal. Karena pertanggalan prasasti itu adalah 732 Masehi, lantas saja pertanggalan candi pun dianalogikan seperti itu. Prasasti Kalasan (778) yang menyebutkan “pembangunan kuil bagi dewi Tara”, selanjutnya dihubungkan dengan candi Kalasan. Masih banyak lagi hal-hal demikian.

Sayangnya, menurut berbagai hasil penelitian, tarikh prasasti bukan menunjukkan pada tanda mulai dilakukannya pembangunan candi, melainkan peringatan atau telah berfungsinya suatu bangunan candi. Seperti pada zaman sekarang, prasasti hanya menginformasikan waktu peresmian sekaligus siapa yang meresmikan bangunan itu. Bukan sebagai tanda pemancangan tiang pertama.

Sejak lama, para peneliti di negara maju meyakini kalau tata letak suatu bangunan purbakala berkaitan dengan gejala astronomi, seperti gerak bulan dan gerak matahari. Pengetahuan demikian boleh dikatakan bersifat universal karena banyak ditemukan pada peradaban kuno di seluruh dunia. Oleh karena itu berbagai pakar mulai meluaskan pandangannya lewat ilmu-ilmu nonarkeologi.


Astro-arkeologi dan Arkeoastronomi

Menyelidiki budaya purba lewat astronomi pernah dilakukan astronom Inggris Norman Lockyer pada 1894 terhadap piramida Mesir. Gagasan Lockyer lalu mengilhami sejumlah astronom, seperti Hawkin dan Thom terhadap Stonehenge di Inggris. Hasilnya ternyata sanggup memberi pertanggalan atas tinggalan-tinggalan arkeologi. Namun karena penelitian itu dilakukan oleh astronom, maka hasilnya belum memuaskan para arkeolog. Sejak itulah para arkeolog dan astronom mengembangkan ilmu astroarkeologi dan arkeoastronomi.

Di Indonesia, upaya mencari tahu tanggal pendirian candi, pernah dilakukan oleh arkeolog Eadhiey L Hapsoro (1985). Dalam penelitiannya, dia mengambil sampel lima buah candi yang memiliki tarikh prasasti. Dengan mengukur koordinat candi lalu menganalisisnya dengan bantuan komputer, antara lain diperoleh hasil bahwa kemungkinan besar candi Gunungwukir mulai dibangun pada 19 November 719 atau 11 Januari 726. Sedangkan peresmiannya pada 6 Oktober 732 sebagaimana data prasasti Canggal di atas. Sejauh ini, penelitian arkeologi menggunakan ilmu-ilmu eksakta merupakan hal baru di Indonesia.

Hasilnya pun masih dianggap belum mutlak karena adanya dua kemungkinan dimulainya masa pembangunan candi. Malah ada yang memiliki lima kemungkinan. Tentunya persoalan akan menjadi rumit bilamana suatu candi tidak dapat dihubungkan dengan suatu prasasti. Betapapun, penelitian tersebut dianggap sudah lebih maju daripada penelitian-penelitian sebelumnya.

Sayangnya, kita belum tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun candi Gunungwukir itu. Apakah memerlukan 13 tahun, kalau kita andaikan mulai dibangun pada 19 November 719. Ataukah hanya 6 tahun, sekiranya mengacu pada awal pembangunan pada 11 Januari 726?

Seyogianya perlu ada penelitian tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mendirikan suatu bangunan candi. Menghitung luas bangunan tentu tidaklah terlalu sulit. Yang njlimet adalah menduga-duga berapa banyak pekerja yang membangun candi itu. Jika saja kedua hal itu dapat ditentukan, bukan tidak mungkin kronologi candi-candi di Indonesia akan terurut dengan mutlak.

Sejauh ini penelitian arkeologi lebih berorientasi kepada masalah historiografi, belum kepada hal-hal lain yang bersifat eksakta. Sudah saatnya para arkeolog membuka diri dengan mempelajari ilmu-ilmu keras (hard sciences) dan ilmu-ilmu lunak (soft sciences). Kesimpulan akhir memang merupakan sebuah proses panjang. Mudah-mudahan setahap demi setahap, segala misteri tentang pembangunan suatu candi sekaligus kronologinya akan terungkap.

Penulis adalah seorang arkeolog.

(Sumber: Sinar Harapan, Rabu, 7 Februari 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dictionary

Kontak Saya

NAMA:
EMAIL:
SUBJEK:
PESAN:
TULIS KODE INI: