Views
Oleh Djulianto Susantio
Berjenis-jenis penyakit sudah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu. Penelitian para ahli paleopatologi terhadap mumi (mayat yang diawetkan) menunjukkan penyakit seperti sipilis, radang hati, dan pengeroposan tulang pernah menjangkiti manusia-manusia purba. Nah, ada penyakit tentu ada obatnya.
Namun sejak kapankah manusia mengenai obat-obatan tradisional yang paling awal? Salah satu bukti tertua yang menguraikan ilmu pengobatan adalah kitab Rigvedha. Kitab ini berasal dari India dan ditulis sekitar tahun 3000 Sebelum Masehi (SM). Isinya antara lain tentang bahan-bahan yang digunakan sebagas obat.
Kitab yang relatif lebih lengkap adalah Ayurvedha, juga berasal dari India. Kitab ini ditulis sekitar lahun 1500 SM, menguraikan suatu sistem pengobatan dengan teori tridosha, yaitu vayu, pitta, dan kapha. Vayu atau angin mewakili susunan syaraf pusat, pitta atau empedu mewakili seluruh metabolisme di dalam tubuh, dan kapha atau lendir mewakili pengaturan suhu tubuh oleh cairan-cairan tubuh, Ayurvedha memuat tidak kurang 1.500 jenis bahan obat dari tumbuhan lengkap dengan pengolahan dan penggunaannya.
Kemudian perbaikan dilakukan berbagai ahli, di antaranya terrnuat dalam kitab Sushruta Samhita dari tahun 1000 SM dan Charaka Samhita dari tahun 350. Kedua kitab memuat kira-kira 2.000 jenis bahan obat beserta penanamannya, bagian-bagian yang dipakai, khasiatnya, dan cara membuat ramuan.
Dibukukan
Di Cina peninggalan tertulis tertua mengenai obat-obatan adalah kitab Pen Tsao karya dari zaman kaisar Shen Nung bertarikh tahun 3500 SM. Di dalamnya termuat uraian tentang penggunaan 350 jenis tumbuh-tumbuhan sebagai obat. Pada zaman dinasti Han, tahun 350 SM, kitab itu direvisi oleh sebuah tim. Perkembangan dari kitab tersebut adalah karya seorang tabib, Tang Shen Wei, kira-kira tahun 1200. Uraian penggunaan dan ramuan obat-obatan bertambah menjadi 1.000 jenis bahan obat.
Pada abad ke-16 tampil seorang tabib dan ahli farmasi Lie Shih Chen yang banyak membantu berkembangnya ilmu pengobatan tradisional. Ia diberi julukan ahli farmakologi besar dari Cina kuno. Semua hasil penyelidikannya dibukukan dalam kitab Pen Tsao Kang Mu atau The Compendium of Materia Medica. Suatu masterpiece (adikarya) bagi mahasiswa dan sarjana masa kini itu memuat 1.892 jenis bahan obat.
Lantas kapan masyarakat kuno Indonesia mulai mengenal obat-obatan? Sayang, belum ada bukti-bukti tertulis tentang obat-obatan, meskipun berjenis-jenis penyakit sudah dikenal manusia prasejarah. Bukti tertulis yang paling dipercaya, prasasti, tidak pernah menyebutkan resep obat-obatan tradisional. Sejumlah prasasti yang berhasil dibaca hanya menginformasikan sejenis tumbuh-tumbuhan yang kemungkinan besar digunakan sebagai penyembuh penyakit.
Boleh jadi dulu sebagian masyarakat belum mengenal obat-obatan. Sesuai kepercayaan rnereka, proses penyembuhan diserahkan kepada dewa. Uraian seperti ini pernah dikemukakan Chau-ju-kua dalam kitab Chu-fan-chi (1225). Dikatakan, orang-orang Jawa yang sakit tidak berobat tetapi mohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha.
Di Bali dikenal kitab rontal Rukminii-tatwa. Kitab ini antara lain berisi bermacam-macam obat-obatan yang berhubungan dengan kehidupan seksual suami isteri, misalnya bagaimana agar wajah bisa cantik, mengundang rasa cinta, memperbesar buah dada, dan menjadi muda kembali. Namun masa penulisan kitab itu belum begitu jelas.
Sebagian lagi masyarakat kuno kemungkinan sudah mengenal obat. Hal ini tergambar dari cerita atau relief cerita candi yang menggambarkan adegan ruwatan. Dalam cerita Sudamala, contohnya, dikisahkan bagaimana Sudamala berhasil menyembuhkan mata pendeta Tambapetra yang buta.
Relief cerita Mahakarmmawibhangga pada kaki Candi Borobudur yang tertutup konon menggambarkan seorang anak kecil yang sakit dan sedang diobati dua orang tabib. Salah satu panil di Candi Borobudur juga mernperlihatkan kegiatan memasak obat.
Bahasa Daerah
Dalam masa yang lebih muda resep obat-obatan tradisonal tertuang dalam bentuk tulisan. Diperkirakan di seluruh Indonesia terdapat puluhan kitab usadha (=obat) dan sejenisnya, beberapa buah di antaranya berbentuk lontar. Kitab-kitab ini masih berbahasa Jawa kuno dan berbahasa daerah lainnya.
Naskah sejenis juga terdapat di Bali, misalnya usada tuwa, usada putih, usada tuju, usada seri. dan usada cewil. Kitab-kitab ini pun masih berbahasa Bali kuno, hanya sebagian aksaranya sudah dilatinkan.
Yang agak banyak meninggalkan resep obat-obatan adalah naskah-naskah Melayu. Naskah-naskah tersebut antara lain memuat berbagai jamu sawan, jamu sorong, jamu untuk orang hamil dan sesudah melahirkan, obat sakit mata, obat pinggang dan perut. perangsang nafsu makan, dan obat mabuk karena makanan.
Di Indonesia ilmu pengobatan tradisional belum dibukukan. Berbagai resep atau cara meramu obat biasanya diturunkan secara lisan dari orang tua ke anak, misalnya oleh sinshe atau tabib.
Baru pada zaman kolonial catatan-catatan tentang obat-obatan tradisional Indonesia. dikumpulkan orang-orang Belanda. Jacobus Bontius (1627) dalam bukunya memaparkan 60 buah lukisan tumbuh-tumbuhan obat Indonesia beserta pemerian dan penggunaannya.
Georgius Everhardus Rumphius (1628-1702) dalam karyanya Amboinisch Kruidboek dan Herbarium Amboinese ikut pula mengadakan penyelidikan terhadap flora yang tumbuh di Ambon. Pada abad ke-19 penelitian ilmiah dilakukan oleh Gresshoff, Vordermann, dan Boorsma.
Sebenarnya banyak potensi tersembunyi di antara obat-obat asli Indonesia. Hanya kelemahan kita, resep obat-obatan tradisional belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Hampir semuanya masih berbahasa daerah.
Penulis adalah arkeolog,
tinggal di Jakarta
tinggal di Jakarta
(Sumber: Sinar Harapan, Jumat, 11 Februari 2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar