Views
OLEH: DJULIANTO SUSANTIO
Pada tahun 1994, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menyelenggarakan Forum Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Sastra dan Seni. Di situ diutarakan orientasi kegiatan penelitian arkeologi di Indonesia hingga 25 tahun mendatang. Ada lima tema utama yang diusung, yakni (1) proses dan aliran imigrasi nenek moyang, (2) proses persentuhan budaya Nusantara dengan tradisi-tradisi besar, (3) adaptasi dan tumbuhnya bu-daya-budaya lokal, (4) diversifikasi kultural, dan (5) integrasi budaya. Kebijakan nasional itu dilengkapi dengan delapan arah kebijakan sesuai dengan paradigma arkeologi, yaitu (1) pendekatan interdisipliner, holistik, dan wawasan, (2) pemanfaatan teori-teori kesinambungan dan perubahan, (3) survei, ekskavasi, dan wawancara, (4) analisis secara interdisipliner, (5) penanganan dokumentasi, (6) manajemen dokumentasi, (7) sistem informasi manajemen, dan (8) sistem informasi arkeologi (Moendardjito, 1996).
Namun kebijakan tersebut juga mengundang pertanyaan, apakah para mahasiswa arkeologi (S1 hingga S3) harus melakukan penelitian sesuai kerangka acuan kebijakan nasional itu? Bagaimana dengan penelitian arkeologi yang sudah dirancang oleh institusi lain, seperti perguruan tinggi, Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, museum, lembaga nonpemerintah, dan lembaga nonarkeologi?
Lalu, apakah kebijakan itu sudah memerhatikan dan merangkum berbagai kepentingan lembaga-lembaga arkeologi lain? Ini mengingat setiap institusi memiliki kebijakan masing-masing, seperti pelestarian (Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala), penelitian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional), pendidikan (perguruan tinggi), dan pemanfaatan (museum dan pariwisata).
Penelitian arkeologi boleh dibilang telah menjangkau seluruh provinsi. Pemerintah berupaya sedapat mungkin menyebarkan penelitian ke seantero negeri. Meskipun belum merata, upaya mengungkap ribuan situs kuno dari berbagai masa itu, sudah merupakan hasil maksimal di tengah keterbatasan dana. Namun tidak dimungkiri kalau sekitar 60 persen penelitian memang berlangsung di Jawa dan Bali. Alasannya, selain lebih murah, situs-situs arkeologi yang terdapat di Jawa dan Bali amat beragam, dari masa prasejarah dan pengaruh agama Hindu-Buddha hingga masa kolonial dan Islam.
Baru Mencakup Permukaan
Selain itu, banyak penelitian baru mencakup permukaan, belum mengarah kepada substansinya. Ambil contoh penelitian candi di Jawa. Ratusan situs candi yang tersebar itu memang sudah dapat diketahui lokasinya. Bahkan bangunannya sudah dipugar atau dilestarikan. Akan tetapi hingga kini masih banyak pertanggalan candi belum dapat ditentukan secara jelas karena berbagai penyebab, misalnya data pendukung belum lengkap.
Maka sejauh ini kita bertumpu pada pertanggalan re-latif, yakni atas dasar bentuk dan gaya bangunan. Oleh karena sumber informasinya masih langka, kita belum mampu mengungkapkannya dengan analisis pertanggalan mutlak. Padahal, dengan diketahuinya pertanggalan mutlak suatu candi, kemungkinan akan diketahui pula siapa raja atau penguasa yang memerintahkan pembangunan candi itu. Kelengkapan informasi akan membuat penulisan sejarah kuno Indonesia lebih tematis, kronologis, dan terarah.
Meskipun Candi Borobu-dur sudah diakui sebagai monumen dunia, ternyata sampai sekarang tahun berdirinya masih belum bisa dipastikan dengan tegas. Benarkah candi itu didirikan tahun 800-an oleh Raja Samarotungga, sebagaimana tertulis dalam buku-buku sejarah, masih menjadi perdebatan di kalangan arkeolog hingga kini.
Di pihak lain, banyak epigraf berhasil membaca bagian yang memuat angka tahun suatu prasasti secara cermat. Akan tetapi, lokasi di mana prasasti itu ditemukan masih belum jelas karena penemu-penemu zaman dulu tidak memerincinya dalam catatan. Hal seperti ini juga menyulitkan para arkeolog untuk menyusun informasi sejarah dalam dimensi ruang.
Yang paling menyedihkan adalah bila suatu temuan purbakala sulit ditentukan tarikhnya. Juga lokasi di mana benda tersebut pernah ditemukan, tidak terdokumentasi dengan baik. Jadi, bukan hanya dimensi ruang yang tidak diketahui, tetapi juga dimensi waktu dan dimensi bentuk masih sangat kabur.
Sejak zaman kolonial, bumi Indonesia sudah dianggap “surga” bagi penelitian arkeologi. Tidak heran banyak lembaga penelitian asing kemudian mendirikan cabang di Indonesia, seperti KITLV (Belanda) dan EFEO (Prancis). Beberapa lembaga asing juga bermitra dengan lembaga-lembaga penelitian Indonesia. Dampaknya tentu saja sangat menguntungkan para peneliti Indonesia karena bisa memeroleh kesempatan memperluas cakrawala pengetahuan mereka, di kala anggaran yang disediakan pemerintah kita kurang memadai.
Mencari dan Menghamburkan Uang
Berbagai penelitian arkeologi memang selalu dikaitkan dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dalam perjalanannya telah tercipta berbagai metode penelitian arkeologi berikut perangkatnya. Selama itu pula berkembang teori-teori baru, bahkan sub-subdisiplin arkeologi, seperti arkeologi perkotaan, arkeologi permukiman, arkeologi publik, dan arkeologi sejarah.
Namun tidak dapat diingkari kalau berbagai kegiatan arkeologi selalu dihubungkan dengan kepentingan pariwisata. Ini mengingat tujuan akhir dari arkeologi memang adalah menyajikan segala temuan untuk kepentingan masyarakat umum. Temuan-temuan itu kemudian dipamerkan di dalam museum, yang selalu dicanangkan sebagai objek pariwisata sekaligus pendidikan yang bersifat rekreatif edukatif.
Di sinilah kepentingan itu tampak berbenturan, apakah arkeologi ditekankan kepada unsur pendidikan dan kebudayaan ataukah pariwisata. Selama bertahun-tahun arkeologi menjadi bagian dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kemudian Departemen Pendidikan Nasional. Kini justru arkeologi menjadi bagian dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Tidak dimungkiri kalau orang berpandangan bahwa pariwisata hanya bersifat hiburan dan glamor. Tujuan utama pariwisata adalah menjual se-gala produk kebudayaan yang sudah “matang”, dengan kata lain “mencari uang” berdasarkan pekerjaan yang dilakukan oleh arkeologi. Upaya itu antara lain dilakukan dengan cara mengomersialkan banyak candi, antara lain Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Sebaliknya kebudayaan adalah kegiatan yang dianggap “menghambur-hamburkan uang”. Berbagai kegiatan penelitian, seperti pemugaran, ekskavasi, survei, dan pendokumentasian memerlukan perlengkapan yang memadai agar hasilnya memuaskan. Dana terbesar yang dikeluarkan oleh arkeologi adalah untuk memugar bangunan-bangunan kuno yang sudah rusak, bahkan hampir runtuh.
Menjelang terbentuknya kabinet baru, perlu ada terobosan untuk memisahkan pariwisata dengan kebudayaan. Artinya, Departemen Pariwisata dan Departemen Kebudayaan harus berdiri sendiri-sendiri. Meskipun hasil akhirnya untuk pariwisata, antara kebudayaan dengan pariwisata yang berdiri terpisah itu tetap bisa saling mendukung.
Penulis adalah seorang arkeolog, tinggal di Jakarta
(Sinar Harapan, Selasa, 28 Juli 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar