Views
Oleh: Nurhadi Rangkuti
Undangan dari Balai Arkeologi Banjarmasin setahun yang lalu sangat menantang. Eksplorasi pulau-pulau terpencil di sekitar Selat Karimata dengan pendekatan arkeologi. Tentu saja yang dicari adalah bukti-bukti peradaban masa lampau yang menunjukkan peran penting Selat Karimata.
Selat Karimata memang penting dan strategis. Selat yang lebarnya 150 km itu menghubungkan antara Laut Cina Selatan dan Laut Jawa. Letaknya di antara Pulau Belitung dan Pulau Kalimantan. Dari Pulau Belitung sekitar 70 mil di sebelah timur laut.
Menurut David E. Shoper (1977) dalam bukunya: The Sea Nomads: A Study of the Maritime Boat People of Southeast Sumatra, kelompok pulau-pulau di Selat Karimata memiliki hubungan dengan Pulau Belitung dan Kepulauan Riau-Lingga pada masa lalu, terutama tentang budaya orang laut (sea nomad). Di Pulau Belitung terdapat Suku Sekah yang menyebut diri mereka sebagai orang “Manih Bajau” yang berarti “descendant of the Bajau”, atau keturunan orang Bajau dari Sulawesi. Orang-orang Sekah sering menjelajah mencari tripang sampai ke pesisir Kalimantan dan Lampung. Orang Sekah memiliki tempat penguburan di Pulau Selanduk di sebelah barat Pulau Belitung.
Di Pulau Karimata terdapat permukiman Suku Galang yang muncul pada pertengahan abad XIX Masehi yang pernah dikunjungi oleh orang laut (sea nomad) dari Pulau Belitung. Selain Suku Sekah, di Pulau Belitung terdapat orang laut lainnya, yaitu orang Juru yang beragama Islam dan tinggal di Pulau Lepar. Mereka telah menggunakan perahu yang lebih besar daripada perahu orang Sekah. Telah terjadi percampuran budaya antara orang Sekah dan orang Juru melalui perkawinan. Mereka bermukim di Tanjung Pandan, Mangar dan memiliki tempat (outlet) timah di bagian timur Belitung dan sebuah perkampungan di Pulau Karimata.
Banyak pulau yang tersebar di sekitar Selat Karimata, sebagian masuk wilayah Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung dan pulau-pulau lainnya masuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Pulau-pulau yang masuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat, terutama di Kabupaten Kayong Utara , tercatat ada 108 pulau yang meliputi :
- Kecamatan Kendawangan 30 pulau, Matan Hilir Selatan dan Benua Kayong 2 pulau, Matan Hilir Utara, Delta Pawan, Muara Pawan 5 pulau, Sukadana 10 pulau, Pulau Maya Karimata 61 pulau (tidak berpenghuni 26 pulau).
Gunung Tote
Eksplorasi baru dilakukan pada tahun 2009 dengan fokus Pulau Maya dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Tanggal 17 Mei 2009 saya bertolak dari Palembang menuju Pontianak . Esoknya berangkat menuju Kota Ketapang untuk bergabung dengan Tim Balai Arkeologi Banjarmasin. Hanya 35 menit numpak pesawat kecil dari Pontianak ke Kota Ketapang. Perjalanan dilanjutkan dengan mobil selama 1,5 jam menuju Sukadana, ibukota Kabupaten Kayong Utara (KKU). Sukadana lebih mendekati ciri-ciri desa daripada kota.
Tim bermalam di hotel yang dibangun di atas pantai pasang surut hutan mangrove. Waswas juga tidur di hotel yang mengangkangi laut itu, jangan-jangan muncul pasang besar yang dapat menggenangi kamar.
Esok pagi tim berangkat dengan speedboat ke Pulau Maya. Empat puluh lima menit lamanya perjalanan sampai di Desa Tanjung Satai. Di desa ini issue tentang peninggalan purbakala yang spektakuler telah santer dibicarakan penduduk. Foto-foto yang diperlihatkan seorang petugas kecamatan membuat tim tercengang. Foto-foto itu memperlihatkan patung-patung kuno dan lukisan bangunan candi yang dipahat pada permukaan batu besar. Selain itu penduduk menceritakan harta karun lainnya berupa emas, manik-manik, dan keramik kuno. Semua peninggalan tersebut terdapat di kaki Gunung Tote yang masuk wilayah Desa Dusun Kecil.
Dua jam perjalanan dengan speedboat menuju Desa Dusun Kecil, kemudian dilanjutkan dengan naik perahu kecil menyusuri Sungai Tote. Sampai di hulu sungai, perjalanan dilanjutkan sampai ke lokasi situs dengan jalan kaki selama 30 menit menapaki lumpur hutan mangrove.
Situs Gunung Tote tampak porak poranda. Sisa-sisa lubang galian liar bertebaran dimana-mana. Sesosok patung batu berbentuk sapi alias arca nandi (Hindu) telah dipotong kepalanya karena disangka di dalamnya terdapat emas. Perusakan itu dilakukan karena sebelumnya para penjarah menemukan benda-benda emas di bawah kaki arca batu berbentuk dewa Wisnu (?) setinggi 120 cm dan bobot 125 kg.
Pahatan dua bangunan stupa pada batu besar masih dapat dilihat di lokasi. Pahatan ini diperkirakan sezaman dengan pahatan serupa di Situs Batu Pait di Kalimantan Barat, diperkirakan abad V-VI Masehi. Terlihat ada upaya menggeser batu besar itu untuk mencari emas di bawahnya, namun batu itu tidak dapat digerakkan karena terlalu besar dan berat.
Seorang informan menceritakan penggalian massal itu dilakukan pada tahun 2007. Mereka menemukan 8 arca batu yang terdiri satu arca besar dan 7 arca kecil. Arca besar sempat di simpan di rumah Bapak Saleh, seorang dukun yang tinggal di Dusun Tote. Ketika ditemui di rumahnya, arca itu tidak berada di tempatnya lagi. Menurut Bapak Soleh arca itu telah dibawa oleh orang-orang dari Desa Paritjali, Kecamatan Teluk Batang sekitar dua bulan yang lalu.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, penggalian tersebut dilakukan orang-orang dari Desa Paritjali, Kecamatan Teluk Batang. Tim Balai Arkeologi Banjarmasin segera melacak temuan sampai ke Parit Jali.
Di Paritjali tim langsung bertemu dengan penyandang dana “Proyek Gunung Tote”. Sang boss mengeluarkan dana besar untuk menyediakan mesin penyedot pasir dan dongkrak hidrolik untuk mengangkat bebatuan gunung (relief stupa) yang diduga terdapat emas di bawahnya. Selain arca mereka menemukan keramik, gerabah, manik-manik, senjata logam (kapak), nampan dan penginangan dari kuningan. Seorang penduduk Desa Paritjali menceritakan mereka berhasil mengumpulkan emas seberat ± 4 kg emas dalam bentuk bulatan, lantakan, dan lembaran. Emas-emas tersebut ditemukan di bawah arca besar tadi kemudian dilebur lalu dijual.
Tim Arkeologi memperkirakan peninggalan-peninggalan tersebut berasal dari abad V hingga abad XVIII Masehi. Sejak awal Masehi daerah sekitar Selat Karimata memang telah ramai sebagai jalur perdagangan dari Cina dan India menuju Kalimantan, pantai timur Sumatera dan Jawa.
Rupa-rupanya perompak atau lanun tidak hanya ada pada zaman dulu. Bila dulu mereka membajak muatan kapal-kapal dengan senjata, lanun zaman sekarang merompak situs dengan mesin penyedot air dan dongkrak hidrolik. Dilakukan secara terang-terangan tanpa ada yang mencegahnya. Tanpa ada yang peduli. Hah?!
(Sumber: nurhadirangkuti.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar