Views
Oleh: DJULIANTO SUSANTIO
Dari ribuan koleksi benda kuno yang ada di Museum Nasional Jakarta, ada satu artefak yang patut mendapat perhatian kita. Benda kuno itu berupa sepotong lempengan logam berukuran 27 cm x 23 cm, dengan kode inventaris E 63. Kondisi koleksi memang sudah berkarat di sana-sini sehingga terkesan “amburadul”. Dilihat dari bentuknya tak ada yang bernilai seni, kecuali berupa tatahan aksara. Tidak sembarang orang mampu membaca benda ini.
Namun bagi arkeolog yang menggeluti bidang epigrafi (aksara dan tulisan kuno), benda itu sangat berarti karena informasi di dalamnya sangat bermanfaat untuk kajian masa kini. Koleksi tersebut adalah prasasti Wurudu Kidul, ditulis dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno. Pertama kali isi prasasti Wurudu Kidul diulas oleh W.F. Stutterheim pada 1935.
Pada intinya prasasti Wurudu Kidul menguraikan bagaimana susahnya seseorang menjadi warga keturunan dalam menghadapi petugas pajak. Kemungkinan, sebelum ini pemerasan pajak hampir selalu dilakukan terhadap orang asing. Hukum Jawa kuno memang mengatur bahwa pajak orang asing lebih tinggi daripada pajak orang pribumi. Namun kalau sudah keterlaluan, jelas-jelas akan menimbulkan citra buruk bagi penguasa kerajaan.
Konon, menurut bagian awal prasasti ini—disebut Prasasti Wurudu Kidul A—ada seorang pria bernama Sang Dhanadi. Dia berdomisili di desa Wurudu Kidul. Suatu hari Dhanadi kedatangan tamu bernama Wukajana. Orang ini menjabat sebagai Samgat Manghuri, yang bertugas memungut pajak dari rumah ke rumah.
Begitu melihat Dhanadi, Samgat Manghuri langsung menuduh Dhanadi bahwa dia adalah anak orang asing. “Anda termasuk golongan warga atau wka kilalang (orang asing),” mungkin begitu katanya. Sebagai orang asing tentu saja Dhanadi harus membayar pajak lebih besar daripada warga pribumi.
Spontan Dhanadi tidak terima dengan sangkaan tersebut. Dia lantas mengadu ke pengadilan. Untungnya hakim tidak mengulur-ulur waktu perkara seperti zaman sekarang. Tak berapa lama, hakim segera mengusut tuduhan terhadap Dhanadi itu.
Pertama kali, keluarga Dhanadi dipanggil satu per satu ke persidangan. Mulai dari kakek nenek hingga ayah ibu di-screening secara ketat di pengadilan. Dari garis kakek dirunut-runut apakah ada unsur asing yang mengalir dalam darah Dhanadi. Begitu pula dari garis nenek. Bukan cuma itu. Warga di desa Grih, Kahuripan, dan Paninglaran yang berada di sekitar desa tempat Dhanadi tinggal, ikut dimintai keterangan sebagai saksi.
Setelah melakukan pemeriksaan yang ketat dan seksama, dengan tegas dan berwibawa hakim segera memutuskan bahwa Dhanadi dan keluarganya benar-benar orang pribumi asli. Istilahnya menurut prasasti wwang yukti. Dengan demikian besarnya pajak yang harus dibayarkan Dhanadi tidak setinggi seperti yang diminta petugas pajak itu.
Sebagai pegangan, hakim itu Sang Pamget Padang pu Bhadra, memberikan “Surat Sakti” tertanggal 6 Kresnapaksa bulan Baisakha tahun 844 Saka atau identik dengan 20 April 922 Masehi. Waktu itu pula (922 Masehi) yang dijadikan tarikh prasasti Wurudu Kidul.
Namun sudah plong-kah hati Dhanadi? Mungkin karena sudah “mental Melayu”, rupa-rupanya petugas pajak tersebut tidak puas atas keputusan hakim. Akibatnya kali ini ketenangan Dhanadi terusik kembali oleh petugas pajak lain, Pamariwa. Ternyata Pamariwa adalah orang suruhan Samgat Manghuri, petugas pajak yang coba memeras Dhanadi tadi.
Begitu bertemu muka dengan Dhanadi, demikian menurut Prasasti Wurudu Kidul B, Pamariwa langsung menuduhnya anak keturunan Khmer atau Kamboja. Dibilang wka kmir, tentu saja Dhanadi sangat tersinggung. Dia mengadu lagi ke pengadilan.
Sesuai prosedur hukum, hakim mengirim surat panggilan pertama ke rumah Pamariwa agar menghadiri sidang gugatan. Namun pada panggilan pertama, Pamariwa tidak datang.
Hakim mengirim lagi surat panggilan kedua. Kali ini Pamariwa juga tetap tidak datang. Akhirnya Samget Juru i Madandar memenangkan Dhanadi. Rupa-rupanya pada waktu itu belum dikenal istilah “pemanggilan paksa” seperti pada zaman sekarang. Jadi cukup pemanggilan dua kali berturut-turut. Jika tidak datang, berarti kalah perkara.
Sekali lagi, Dhanadi menerima “Surat Sakti” tertanggal 7 Suklapaksa bulan Jyaistha tahun 844 Saka atau 6 Mei 922 Masehi. Jelas sekali dari kedua kasus itu, ada upaya pemerasan yang coba dilakukan petugas pajak. Di pihak lain, upaya negatif itu digagalkan hakim yang jujur.
Sayang, proses pengadilan itu terjadi di masa lampau, tepatnya di Kerajaan Mataram. Kalau saja terjadi di masa kini, mungkin penjara kita sudah dipenuhi koruptor-koruptor pajak.
Terhadap ulah Pamariwa yang dua kali mangkir, tentu saja dikenakan sanksi berdasarkan hukum Jawa kuno. Dikatakan di dalam berbagai kitab hukum, perbuatan menuduh yang tidak berdasar (duhilatan) adalah tindak pidana yang patut dikenai hukuman. Namun belum jelas hukuman apa yang dijatuhkan kepada Pamariwa itu. Juga kepada atasan Pamariwa, Samgat Manghuri.
Sebenarnya gambaran penerapan hukum di Indonesia banyak sekali terdapat dalam prasasti-prasasti yang berkategori jayapattra, jayasong, suddhapattra, dan sukhadukha (prasasti mengenai persoalan hukum). Sayang, pakar-pakar kita yang mampu menerjemahkan dan menafsirkan prasasti-prasasti demikian, masih bisa dihitung jari tangan. Akibatnya, banyak data masih tersimpan di berbagai museum di seluruh Indonesia. Juga di tempat-tempat lainnya seperti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala dan Balai Arkeologi.
(Naskah asli. Dimuat dalam majalah Intisari, Maret 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar