Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net

Kamis, 29 Juli 2010

Gajah Mada dan Perang Bubat

Views


Dr. Agus Aris Munandar
Departemen Arkeologi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia



Gajah Mada adalah anggota Dinasti Rajasa

Orang tua dan kelahiran Gajah Mada hingga sekarang masih belum diketahui secara jelas. Oleh karena itu banyak kisah dan mitos yang berhubungan dengan kelahiran orang besar dari Kerajaan Majapahit tersebut. Berdasarkan uraian kitab Pararaton dan dukungan interpretasi dari prasasti Gajah Mada (tahun 1273 Śaka/1351 M) yang ditemukan di dekat Candi Singhasari, dapat dikemukakan bahwa sangat mungkin Gajah Mada masih anggota dinasti Rajasa juga. Ia masih keturunan Ken Angrok, Gajah Mada adalah cucu dari Krtanagara bukan dari garis permaisuri, melainkan dari salah seorang selir Krtanagara.

Adalah Gajah Pagon dalam Pararaton disebutkan sebagai salah seorang pengawal Raden Wijaya yang terluka terkena tombak orang-orang Kadiri yang mengejar-ngejar mereka. Raden Wijaya lalu menitipkan Gajah Pagon tersebut kepada kepala Desa Pandakan dengan wanti-wanti harus dirawat. Macan Kuping sang kepala desa akan menyediakan makanan setiap hari bagi Gajah Pagon, namun ia harus tinggal di ladang yang penuh ilalang. Maksudnya jika ada tentara Kadiri mencari-cari ke Desa Pandakan, mereka tidak akan menemukan pengikut Raden Wijaya. Perhatikan pernyataan Raden Wijaya dalam Pararaton yang sangat mengkhawatirkan keadaan Gajah Pagon, dia terluka dan dititipkan kepada kepala Desa Pandakan sebagai berikut:

Sira Gajah Pagon tan kawasa lumaku; andika nira Raden Wijaya: “Buyuting Pandakan, ingsun atuwawa wong sawiji, Gajah Pagon tan bisa lumaku didine ring sira” (Brandes, 1920: 27; Padmapuspita, 1966: 29).

(Gajah Pagon tidak dapat berjalan, berkata Raden Wijaya: ”Kepala Desa Pandakan saya titip seseorang, Gajah Pagon tidak dapat berjalan, lindungilah olehmu”).

Dalam hal pengiring Raden Wijaya yang terluka Pararaton hanya menyebutkan secara khusus tokoh Gajah Pagon tersebut, artinya penulis Pararaton begitu mengistimewakan tokoh Gajah Pagon. Jika ia bukan siapa-siapa, tidak mungkin Raden Wijaya menitipkan dengan sungguh-sungguh Gajah Pagon yang terluka itu kepada kepala Desa Pandakan. Maka dapat dikemukakan bahwa Gajah Pagon tentunya masih putra Krtanagara pula, dari salah seorang selirnya, sedangkan putri-putri yang menjadi istri Krtarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya) adalah anak Krtanagara dari permaisurinya.

Telah dikemukakan pula bahwa sangat mungkin Gajah Pagon selamat, menikah dengan putri kepala Desa Pandakan dan akhirnya mempunyai anak Gajah Mada yang mengabdi kepada istana Majapahit. Jadi Gajah Mada dengan Tribhuwanottunggadewī mempunyai eyang yang sama, mereka adalah cucu-cucu Krtanagara Bhattara Śiva-Buddha. Perbedaan terletak pada garis keturunan, Gajah Mada cucu dari istri selir Krtanagara; sedangkan Tribhuwana adalah cucu dari istri resmi Krtanagara, sang permaisurinya, hanya saja nama permaisuri Krtanagara belum dapat diketahui.

Pararaton tidak menceritakan lebih lanjut tentang tokoh Gajah Pagon, namun dapat ditafsirkan bahwa keadaan berangsur-angsur aman dan Gajah Pagon sembuh dari lukanya. Sangat mungkin ia lalu menikah dengan anak perempuan Macan Kuping. Setelah penghulu Desa Pandakan itu meninggal, Gajah Pagon menggantikan kedudukannya menjadi kepala Desa Pandakan. Kemudian keadaan semakin membaik. Majapahit berdiri, dan Wijaya menjadi raja. Pada waktu itulah teman-teman seperjuangan Wijaya mendapat kedudukan masing-masing, walaupun berbagai sumber menyatakan ada yang tidak puas. Gajah Pagon tetap menjadi penguasa daerah Pandakan. Interpretasi selanjutnya telah terbuka bahwa Gajah Pagon kemudian mempunyai anak lelaki yang tumbuh gagah seperti ayahnya yang dijuluki Gajah Mada. Jadi, Gajah Mada adalah anak Gajah Pagon, dari ibunya adalah cucu Macan Kuping, penghulu tua Desa Pandakan.

Gajah Mada dilahirkan dan dibesarkan di Desa Pandakan; ia kemudian mendapat berbagai pendidikan kewiraan oleh ayahandanya. Pandakan sebagai nama desa yang disebut dalam Pararaton, mungkin berlokasi di wilayah Pandakan sekarang, kecamatan di utara Malang. Apabila benar bahwa Pandakan sekarang dahulu berpangkal kepada Desa Pandakannya Macan Kuping, maka dapat diketahui bahwa Gajah Mada lahir di Jawa Timur, di dataran tinggi Malang, daerah awal mengalirnya Sungai Berantas.


Candi bagi sang Kakek

Setelah Gajah Mada menjadi patih amangkubhumi Majapahit ia mendirikan caitya bagi Krtanagara di wilayah Malang, lokasinya sekarang Kecamatan Singasari. Mungkin tempat berdirinya Candi Singasari tersebut dahulu bekas kedaton Krtanagara yang sebagiannya dibakar dalam serangan licik pihak Jayakatwang.

Bentuk arsitektur Candi Singasari cukup berbeda dengan bentuk candi lainnya yang sezaman atau candi pada umumnya di Tanah Jawa. Sebagaimana diketahui bahwa secara konsepsi vertikal, bangunan candi terbagi menjadi tiga bagian, masing-masing bagian itu melambangkan konsep tingkatan dunia tertentu dalam Hinduisme atau Buddhisme. Bagian pondasi, lapik, dan kaki candi melambangkan Bhurloka (Hinduisme) atau Kamadhatu (Buddhisme), yaitu suatu dunia atau suasana tempat berlangsungnya kehidupan duniawi yang masih penuh dosa dan nafsu angkara. Tubuh candi yang terdapat di atas bagian kaki candi tempat adanya bilik utama candi dan relung-relung (parśvadevata) yang berisikan arca dewa melambangkan Bhuvarloka (Hinduisme) atau Rupadhatu (Buddhisme). Dalam konsep tersebut dipandang sebagai suatu dunia yang telah lepas dari segala hasrat dan nafsu, namun manusia belum bersatu dengan alam dewa-dewa atau dengan dewata. Manusia masih terperangkap dalam kehidupan kasarnya di alam manusia, namun mereka telah berhasil menekan segala keinginan dan nafsu kehidupan. Adapun atap candi melambangkan Śvarloka (Hinduisme), yaitu alam kehidupan dewa yang serba menyenangkan, tidak ada penderitaan, dan manusia tidak akan dilahirkan kembali. Dalam Buddhisme atap candi melambangkan Arupadhatu, yaitu suatu keadaan yang “hampa”, tanpa wujud apapun, tanpa warna, tanpa cahaya, kosong dan senyap (sunyata), yang merupakan tujuan akhir para pemeluk Buddha agar tidak dilahirkan kembali.

Konsepsi Triloka digambarkan cukup berbeda dalam bangunan Candi Singasari, arca-arca dewa Hindu (Lingga-yoni, Mahākala, Nandiśvara, Durga Mahisasuramardinī, Agastya, dan Ganeśa) tidak diletakkan di bagian tubuh candi yang melambangkan konsepsi Bhuvarloka. Arca-arca tersebut justru ditempatkan di bagian kaki candi yang didirikan di permukaan lapik yang lebar. Jadi arca-arca dewa simbol manusia yang telah bebas dari hawa nafsu “ditarik” keberadaannya ke lapisan Bhurloka yang disimbolkan pada bagian kaki Candi Singasari. Keadaan seperti ini sungguh tidak lazim dalam arsitektur bangunan candi, dimana arca dewa berada di kaki candi, arca-arca dewa seharusnya berada di bagian tubuh candi (Bhuvarloka).

Terdapat dugaan bahwa di bagian tubuh candi yang sekarang terlihat pejal tanpa rongga, dahulu terdapat relung dangkal untuk bertahtanya arca-arca Tathagata (Dhyani Buddha) sesuai dengan keletakannya di arah mata angin. Hanya saja sekarang semua arca Tathagata sudah tidak ada lagi di tempatnya. Jika asumsi itu benar, maka terdapat dua interpretasi, yaitu:

(a) terdapat dua nafas keagamaan di bangunan Candi Singasari, yaitu Hindu-śaiva dan Buddha Mahāyana, atau sering disebut ringkas saja menjadi terdapat aspek Śiva-Buddha.

(b) terdapat perbedaan dalam menempatkan arca-arca dewa, bahwa dewa-dewa Hindu posisinya lebih rendah, di kaki candi; sedangkan dewa-dewa Buddha diposisikan pada tempat yang lebih tinggi di bagian tubuh candi. Mengenai adanya perbedaan penempatan itu tidak boleh ditafsirkan bahwa kedudukan agama Hindu-śaiva lebih rendah dari Buddha Mahāyana, mungkin terdapat perbedaan konsep keagamaan yang harus dibahas lebih lanjut.

Apa yang terwujud dalam bentuk arsitektur candi itu tentunya sudah diketahui oleh Gajah Mada, dan pastinya bentuk arsitektur demikian mempunyai maksud yang berkaitan dengan ajaran keagamaannya. Gajah Mada pasti sudah mengetahui bahwa leluhur para penguasa Majapahit, yaitu Krtanagara atau dalam prasasti dijuluki Bhatara Śri Krtanagarajnaneśwarabraja Namābhisekā, memuja Śiva dan Buddha secara bersamaan. Gelar yang tercantum dalam prasasti jelas mengandung unsur nama Hindu-śaiva dalam kata “isvara” dan Buddha Tantrayana dalam kata “braja, bajra” atau “vajra” Dalam kitab Pararaton Krtanagara dijuluki Bhatara Śiva-Buddha, dan dia agaknya melak-sanakan ritual Tantrayana, sebab diberitakan dalam Pararaton bahwa Krtanagara bersama patihnya tewas dibunuh tentara Jayakatwang ketika sedang minum tuak (Hardjowardojo, 1965: 38). Minum tuak adalah bagian dari ritual Panca Makara Puja, yaitu mada, meminum minuman keras sampai mabuk dan pada saat itulah si pemuja dapat bersatu utuh dengan dewanya. Ritual itu sangat mungkin terpotong tiba-tiba oleh serbuan tentara Jayakatwang, dan Krtanagara tewas sebelum persatuan sempurna dengan sang dewa dapat terlaksana.

Berdasarkan berbagai data yang ada, baik berita dari prasasti, karya sastra, dan tinggalan arkeologis, dapat ditafsirkan adanya dua alasan Gajah Mada untuk memuliakan Krtanagara di Candi Singasari, yaitu:

1. Gajah Mada mencari acuan legitimasi untuk membuktikan Sumpah Palapa-nya, bahwa ia akan berupaya keras agar wilayah Nusantara mengakui kejayaan Majapahit. Sebenarnya raja pendahulu Gajah Mada yang mempunyai wawasan politik luas dengan memperhatikan daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa adalah Krtanagara. Raja itulah yang mengembangkan wawasan Dwipantara mandala (daerah-daerah diluar pulau [Jawa]), Krtanagaralah yang membina hubungan dengan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara daratan, wilayah Semenanjung Melayu, dan Sumatera. Krtanagara pula yang mengirimkan tentaranya ke Malayu seraya menghadiahi penguasa Malayu dengan arca Amoghapaśa Bhairawa. Dalam kitab Pararaton peristiwa berangkatnya bala tentara Singhasari ke Malayu itu dinamakan Pamalayu.

Dengan demikian Gajah Mada seakan-akan “ngalap berkah” (minta restu) kepada Raja Krtanagara yang telah menjadi bhattara (hyang) bersatu dengan dewa-dewa. Gajah Madalah yang meneruskan politik pengembangan mandala hingga seluruh Dwipantara/Nusantara yang awalnya telah dirintis oleh Krtanagara. Sumpah Palapa Gajah Mada penerus gagasan Krtanagara tersebut terbukti berhasil, Majapahit Raya pernah menguasai Nusantara dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk (1351—1389 M).

2. Dalam masa Jawa Kuno (Singhasari-Majapahit) candi atau caitya bagi pemuliaan seorang tokoh (pendharmaan), selalu dibangun oleh kaum kerabat atau keturunan langsung tokoh tersebut. Banyak candi pendharmaan yang didirikan oleh anak-cucu sang tokoh, misalnya Candi Jago (Jajaghu) yang pernah dibangun dalam masa Singhasari untuk raja Wisnuwarddhana diperbaiki kembali oleh Mpu Aditya (Adityawarman) dalam masa Majapahit tahun 1265 Śaka/1343 M, Candi Sumberjati bagi Raden Wijaya dibangun sekitar tahun 1321 M dalam masa pemerintahan Jayanagara, dan Candi Bhayalango pendharmaan bagi Rajapatni Gayatri dibangun oleh cucunya, yaitu Hayam Wuruk sekitar tahun 1362 M.

Demikianlah berdasarkan data itu dapat ditafsirkan bahwa sangat mungkin Gajah Mada masih keturunan dari raja Krtanagara! Setidaknya Gajah Mada masih mempunyai hubungan darah dengan Krtanagara. Oleh karena itu, Gajah Mada mempunyai perhatian khusus kepada raja itu yang memang leluhurnya. Selanjutnya dapatlah dipahami mengapa Gajah Mada sangat menghormati Raja Krtanagara, karena raja itu tidak lain eyangnya sendiri, hanya keturunannya sajalah yang dengan senang hati membangun caitya bagi diri sang raja. Krtanagara mungkin sangat menginspirasi Gajah Mada, terutama dalam hal pengembangan konsepsi Dwipantara mandala yang mendorong Gajah Mada mencetuskan sumpah Palapanya. Bagi Gajah Mada, tokoh Krtanagara adalah raja besar yang patut dijadikan teladan, layak mendapat pemujaan dan pemuliaan walaupun dia telah tiada. Demi untuk mengenang kebesaran leluhurnya lalu didirikan caitya atau Candi Singasari sekarang.


“Kesepakatan Gajah Mada dan Raja Sunda”

Setelah banyak daerah di Nusantara menyatakan bernaung di bawah kekuasaan Majapahit, tinggal beberapa saja yang masih bebas merdeka, antara lain Kerajaan Sunda yang berkembang di Jawa bagian barat. Haruslah dipahami bahwa sukar dibayangkan apabila armada dan tentara Majapahit harus menyerang Kerajaan Sunda. Kerajaan Sunda memang wilayah yang cukup unik bagi Majapahit, sebab (1) Sunda merupakan kerajaan tersendiri yang bebas merdeka namun berada dalam lingkungan pulau yang sama, yaitu Jawadwipa, (2) tidak ada sesuatu alasan pun untuk berperang dengan kerajaan itu. Jadi berbeda dengan Bali yang disebut oleh Mpu Prapanca ikaŋ bāli nathanya duśśila nīcchā, (“raja Bali berbuat kasar, kejam, dan nista) oleh karena itu perlu diperangi dan Bali akhirnya mengakui kekuasaan Majapahit, (3) mungkin di masa itu telah berkembang anggapan bahwa Sunda wilayah patut dihormati dan tidak layak ditaklukkan secara militer.

Agaknya dalam pemikiran Gajah Mada kedudukan Sunda yang merdeka itu menjadi ganjalan untuk membuktikan sumpahnya, namun tiada alasan untuk bermusuhan dengan kerajaan Sunda. Gajah Mada sebagai tokoh yang cerdas pastinya mengetahui beberapa kenyataan sejarah berikut ini:

1. Wilayah Jawa bagian barat tempat berkembangnya Kerajaan Sunda merupakan wilayah peradaban tua, dahulu kerajaan yang bercorak kebudayaan India pertama kali muncul di Jawa bagian barat, yaitu Tarumanagara.

2. Wilayah barat Majapahit dahulu adalah tempat kekuasaan Sanjaya, raja pertama Mataram Kuno yang berdasarkan prasastinya pertama kali menyebarkan agama Hindu Trimurtti yang masih dikenal hingga zaman Majapahit. Sanjaya dapat dipandang sebagai penyeru agama Hindu-śaiva di Tanah Jawa, karena itu bekas daerah kekuasaannya juga tetap dihormati.

3. Ketika wilayah Jawa Timur terus-menerus dilanda kerusuhan dan peperangan sejak zaman Airlangga, Janggala-Panjalu, Kadiri, Singhasari, hingga masa Tribhuwanottunggadewi, wilayah Jawa bagian barat aman saja, penduduk tidak ditakutkan dengan berbagai peperangan.

Atas dasar pertimbangan itulah mungkin Gajah Mada menjadi segan untuk melakukan serangan ke wilayah Kerajaan Sunda. Dikhawatirkan apabila tentara Majapahit menyerang Sunda dalam suatu peperangan terbuka sebagaimana yang terjadi atas Bali, Lombok, dan Sumbawa, maka pihak Majapahit akan dapat dikalahkan. Lagi pula secara politik hubungan antara Sunda dan Majapahit baik-baik saja, hanya saja para penguasa Sunda tidak pernah mengakui raja Majapahit sebagai penguasa yang harus dipertuannya.

Sumber-sumber tertulis menyatakan bahwa keberangkatan raja Sunda beserta rombongannya ke Majapahit adalah untuk keperluan pernikahan putrinya dengan Hayam Wuruk. Raja Sunda tersebut menurut Carita Parahyangan dan Pararaton dinamakan dengan Prebhu/Prabhu Maharaja, dalam sumber-sumber Jawa Barat lainnya disebutkan nama sebenarnya adalah Linggabuwana, karena tokoh tersebut berhasil mempersatukan seluruh wilayah Jawa bagian barat, mempersatukan Kerajaan Galuh dan Sunda. Nama itu sungguh merupakan pilihan yang mengandung makna yang dalam, raja tersebut mengaku diri sebagai Lingga bagi dunia. Lingga adalah simbol Śiwa Mahādewa sang dewa tertinggi. Linggabuwana juga dapat diartikan sebagai titik tengah dunia yang tidak lain adalah Gunung Mahāmeru yang di puncaknya terdapat tempat persemayaman dewa-dewa. Jika dia menganggap dirinya sebagai Linggabuwana, maka kekuasaannya juga harus luas sebab sebagai titik tengah alam semesta. Oleh karena itu --menurut uraian Kidung Sunda-- ketika Raja Majapahit meminang putrinya, Dyah Pītaloka untuk dijadikan permaisurinya, sang Linggabuwana setuju, karena tujuannya akan membawa kebaikan, yaitu bersatunya kedua kerajaan besar di Tanah Jawa tersebut. Dalam sudut pandang Gajah Mada, perkawinan itu juga bertujuan sama, yaitu akan mempersatukan Sunda dan Majapahit tanpa harus melakukan peperangan antara keduanya. Hal lain yang penting bagi Gajah Mada adalah jika perkawinan tersebut terjadi, akan menjadi pembuktian sumpahnya, mempersatukan wilayah-wilayah Nusantara. Jadi terdapat pemikiran yang sama dan ideal antara kedua tokoh besar itu, antara Linggabuwana dan Gajah Mada telah sepaham untuk mempersatukan Jawa dengan perkawinan, tanpa harus berperang dan saling menyakiti.

Akan halnya pertanyaan para cerdik-cendikia yang mengherankan sikap Raja Sunda untuk bersusah payah mengantarkan putrinya ke Majapahit, mungkin hal itu dapat dirujuk kepada tradisi perkawinan masa itu. Banyak sumber yang menjelaskan bahwa pihak perempuanlah yang mendatangi pihak lelaki untuk mencari jodohnya. Misalnya dalam kisah rakyat Jawa tentang Ande-ande Lumut dinyatakan bahwa para Klenting yang mendatangi tempat Ande-ande Lumut berada, ketika mereka harus menyeberangi sungai, para Klenting itu harus rela dicium oleh Yuyu Kangkang. Kecuali Klenting Kuning yang berhasil mengatasi Yuyu Kangkang dan akhirnya bertemu dengan Ande-ande Lumut.

Di lingkungan budaya Sunda Kuno sendiri terdapat penjelasan tentang pihak perempuan yang melamar dan mendatangi pihak lelaki ketika hendak mencari pasangan hidup. Uraian itu terdapat dalam kisah Bujangga Manik yang menyebutkan bahwa sang Rakean Jaya Pakuan dilamar oleh putri bangsawan bernama Putri Ajung Larang. Utusan datang membawa uba rampe lamaran lengkap dengan sirih pinang pengikat perjaka Akan tetapi lamaran dari sang putri itu ditolak oleh Bujangga Manik, seluruh benda persembahan yang diuraikan secara rinci dalam naskah itu, diminta dikembalikan kepada sang putri (Noorduyn & A.Teeuw 2009: 289—291).

Mungkin masih terdapat contoh lainnya bahwa dalam masa kuno, baik di Sunda atau Jawa terdapat juga tradisi pengajuan lamaran dari pihak perempuan, atau pihak perempuanlah yang “menghampiri” kediaman pihak laki-laki. Dengan demikian datangnya rombongan Raja Sunda mengantar putrinya sebagai calon mempelai bagi Hayam Wuruk adalah hal yang wajar saja, tidak ada sesuatu yang luar biasa pada masanya. Jadi dalam hal ini tidak ada kaitannya dengan tuduhan bahwa “keluarga Raja Sunda demikian bangganya akan menikahkan putrinya dengan raja Majapahit yang agung” sehingga mereka rela mengantarkan sang putri hingga ke Majapahit; atau juga tuduhan-tuduhan lain yang bernuansa negatif bagi pihak Sunda.


Epilog: Gajah Mada yang Disalahkan

Setelah melakukan kajian terhadap kisah-kisah Panji dapat disimpulkan bahwa kisah-kisah itu sebenarnya mengacu kepada peristiwa sejarah yang pernah terjadi dalam era Majapahit (Munandar, 2005). Tokoh-tokoh utama dalam cerita Panji adalah metafora dari tokoh-tokoh sejarah Majapahit sebagai berikut:

1. Raden Panji/Raden Mantri/Wanengpati/Raden Putra) = Hayam Wuruk,
2. Ayahanda Panji raja Keling/Janggala/Koripan = Krtawarddhana alias Raden Cakradhara
3. Ibunda Panji permaisuri raja Keling/Janggala/Koripan=Tribuwana Wijayottunggadewi, ibu Hayam Wuruk bergelar Bhre Kahuripan, penguasa Majapahit ke-3 ( 1328—1350 M)
4. Raja Daha, paman Panji = Wijayarajasa alias Raden Kudamerta, paman Hayam Wuruk
5. Permaisuri Raja Daha = Rajadewi Maharajasa, bibi Hayam Wuruk adik Tribhuwana, bergelar juga Bhre Daha.
6. Dewi Sekar Taji/Candrakirana putri raja Daha = Indudewi, menurut Nagarakrtagama anak Rajadewi Maharajasa dengan Wijayarajasa, permaisuri Hayam Wuruk yang merupakan adik sepupunya. Menurut Pararaton putri ini berjuluk Paduka Śori (paduka parama + iśwari = permaisuri).
7. Dewi Angréni = putri Sunda, dikenal juga dengan nama Dyah Pitaloka.
8. Patih Kudanawarsa, ayahanda Dewi Angréni = Raja Sunda
9. Raden Brajanata = Gajah Mada.
10. Para Kadéyan = Mantri-mantri Majapahit antara lain Gajah Enggon, Pu Tanding, Pu Nala, Patih Dami dan sebagainya.

Demikian kentaranya penyamaan tokoh-tokoh tersebut dan juga terdapat kedekatan uraian kisahnya, maka dapat dinyatakan bahwa kisah Panji Angréni Palembang yang telah dibahas oleh R. M. Ng. Poerbatjaraka (1968: 178—225), pada bagian awal hingga pertengahannya sangat sejajar dengan peristiwa sejarah yang dialami oleh Hayam Wuruk. Peristiwa itu adalah gagalnya perkawinan antara Hayam Wuruk (Panji) dengan Dyah Pitaloka (Dewi Angréni), padahal keduanya telah saling mencintai. Dalam hal ini Pararaton mencatat peristiwa peperangan di Bubat disebabkan oleh sikap keras Gajah Mada yang memerintahkan raja Sunda langsung menyerahkan putrinya ke kedaton Majapahit. Hal itu ditolak mentah-mentah hingga timbul tragedi di Bubat. Baik Pararaton maupun Kidung Sunda, kedua sumber tertulis tersebut terus terang menyalahkan Gajah Mada yang tidak setuju jika Hayam Wuruk kawin dengan putri Sunda dalam upacara meriah dalam kondisi setara antara dua kerajaan merdeka. Gajah Mada menghendaki agar Putri Sunda dianggap sebagai persembahan kepada raja Majapahit. Oleh karena itu, ia harus diantar langsung ke keraton. Hayam Wuruk tidak perlu menjemput calon istrinya di Bubat, demikian pendapat Gajah Mada.

Kisah Panji Angréni Palembang menawarkan tafsir lain tentang latar belakang terjadinya peristiwa Bubat dalam tahun 1357 tersebut. Latar belakang peristiwa Bubat bukan ambisi politik Gajah Mada untuk menaklukkan Sunda yang belum bernaung di bawah panji-panji kebesaran Majapahit. Latar belakang itu hanya sederhana saja, yaitu masalah asmara dan untuk menjaga persatuan keluarga kerajaan Majapahit. Sejalan dengan uraian kisah Panji Angréni, ayah dan ibu Raden Panji tidak suka anaknya menikah dengan Angréni karena Panji tidak mau menikah dengan perempuan lain lagi, bahkan dengan Dewi Sekar Taji yang sudah ditunangkan sejak kecil. Apabila perkawinan Panji dengan Sekar Taji batal, hal itu akan membuat Raja dan permaisuri Daha (ayah dan ibu Sekar Taji marah) dan akibatnya akan menimbulkan perang antara kedua kerajaan tersebut. Oleh karena itu Raja dan Ratu Koripan (ayah dan ibu Panji) menyuruh Brajanata, anak raja Koripan dari selir untuk membunuh Dewi Angréni. Maksudnya jelas agar Panji terbebas dari cintanya kepada Angreni, dapat melupakan Angreni, dan pada akhirnya mau menikah dengan Dewi Sekar Taji, putri paman-bibinya yang telah dijodohkan sejak kanak-kanak.

Demikianlah apabila diterapkan kepada kenyataan sejarah kehidupan Hayam Wuruk terdapat kesetaraan yang nyata dengan kisah Panji Angréni tersebut. Hayam Wuruk sebenarnya memilih dan jatuh cinta kepada Dyah Pitaloka putri raja Sunda. Berdasarkan namanya terbayangkan bahwa sang putri sangat cantik, bersih, berkulit kuning langsat, dan mungkin menyenangi busana dengan warna kuning, karena pitaloka berarti “dunia dalam nuansa kuning”.

Kerajaan Sunda memang tidak sepopuler Majapahit dalam masanya. Oleh karena itu, raja Sunda hanya disamakan saja dengan patih Kudanawarsa dalam kisah Panji. Dalam sejarah perkawinan itu tidak jadi dilangsungkan, namun dalam Kisah Panji perkawinan itu terjadi antara putra mahkota Koripan dengan Dewi Angreni, anak Patih Kudanawarsa yang telah menghadap kepada raja Koripan. Raja Koripan semula setuju dengan pernikahan Raden Panji dengan Dewi Angreni, namun setelah mendengar kabar bahwa Panji tidak mau menikah lagi dengan siapa pun, maka raja memerintahkan Brajanata untuk membunuh Angréni.

“Sementara itu baginda radja sedang duduk-duduk dengan Bradjanata; mereka lama menunggu kedatangan Pandji. Baginda memerintahkan kepada Bradjanata untuk membunuh Angréni, apabila Pandji tidak ada di dekatnya…” (Poerbatjaraka 1968: 183).

Maka dapat ditafsirkan bahwa dalam peristiwa sejarah sebenarnya Gajah Mada (Brajanata) sangat mungkin disuruh oleh ayahanda Hayam Wuruk, Krtawarddhana suami Tribhuwanottunggadewi yang disebut sebagai penguasa Kahuripan. Krtawarddhana agaknya mendesak Gajah Mada agar dengan berbagai alasan untuk membatalkan pernikahan Hayam Wuruk dengan Putri Sunda. Dapat ditafsirkan bahwa apabila terjadi pernikahan Hayam Wuruk dengan putri Sunda, maka putri Sunda akan menjadi permaisuri Rajasanagara, sebagaimana yang diinginkan oleh Raja Sunda dan para pengiringnya. Mereka minta Hayam Wuruk menjemput mempelainya di lapangan Bubat, tempat orang-orang Sunda membuka perkemahan, bukan pihak Sunda yang mengantarkannya ke istana Majapahit. Sebab sebagaimana telah dikemukakan, apabila diantarkan ke istana berarti puteri persembahan dan hanya akan dijadikan istri selirnya Hayam Wuruk.

Menyaksikan perkembangan tersebut Krtawarddhana ayahanda Hayam Wuruk merasa berkeberatan. Agaknya sebagai anggota keluarga besar istana Majapahit keturunan Raden Wijaya, ia beserta isitrinya, Tribhuwana Wijayottunggadewi telah berjanji untuk menjodohkan Hayam Wuruk dengan Indudewi, anak Rajadewi Maharajasa adik Tribuwana yang berkedudukan di Daha (Kadiri) didampingi suaminya Wijayarajasa. Andaikata terjadi perkawinan antara Rajasanagara dengan Dyah Pitaloka, maka Indudewi hanya akan menjadi selir, dan pasti keluarga Daha menolak ingá pada akhirnya akan terjadi perpecahan keluarga dan konflik pun timbul di Majapahit yang sedang berada di puncak kejayaannya. Oleh karena Krtawarddhana --sangat mungkin telah disetujui oleh Tribuwanottunggadewi-- segera meminta Gajah Mada agar mengajukan alasan yang membuat pihak raja Sunda mau menerima syarat dari pihak Majapahit atau kalau tidak, akan dipaksa dengan kekerasan agar pihak Sunda menyerahkan putri Dyah Pitaloka ke istana Majapahit. Dalam hal situasi tersebut Rajasanagara tidak mengetahuinya, ia tetap bersemayam di istananya tanpa mengetahui perkembangan dan ketegangan di Bubat.

Adanya desakan dari Krtawarddhana dan Tribhuwanottunggadewi kepada Gajah Mada untuk membatalkan perkawinan Hayam Wuruk dengan putri Sunda, adalah sesuatu yang tidak pernah diketahui oleh umum. Masyarakat luas, pejabat tinggi Majapahit dan pihak Sunda sendiri pastinya menduga bahwa yang mempunyai niat untuk membatalkan perkawinan dalam tataran raja dan permaisuri itu adalah Gajah Mada. Demikianlah berdasarkan uraian dari kisah Panji mengemuka tafsiran baru tentang biang keladi terjadinya peristiwa Bubat, peristiwa Bubat terjadi akibat keinginan ayah dan ibu Hayam Wuruk sendiri, bukan karena ulah Gajah Mada.

Dapat dipahami sekarang bahwa Gajah Mada hanya melaksanakan perintah orang tua Hayam Wuruk yang tidak setuju jika Raja Majapahit yang masih muda itu menikah dengan putri Sunda. Gajah Mada yang semula setuju rajanya menikah dengan putri Sunda, bahkan merancang undangan dan kedatangan orang-orang Sunda di Bubat; mau tidak mau menjadi tidak setuju dan mengajukan alasan-alasan agar putri Sunda diantarkan langsung ke istana Majapahit. Gajah Mada hanya perpanjangan tangan orang tua Hayam Wuruk yang khawatir kedudukan permaisuri Majapahit jatuh ke tangan Dyah Pitaloka, padahal mereka telah bersepakat untuk menikahkan Hayam Wuruk dengan Indudewi, putri dari Rajadewi Mahārajasa adik Tribhuwanottunggadewī. Dalam interpretasi ini alasan terjadinya peristiwa Bubat bukan ambisi pribadi Gajah Mada untuk membuktikan Sumpah Palapanya, alasan itu begitu logis dalam ranah domestic institution, yaitu masalah asmara dan perjodohan.

Maka Gajah Mada juga manusia yang mempunyai banyak kelemahan, ia tertekan dan tidak tidak berdaya melawan perintah orang-orang yang dimuliakannya, padahal kewiraan dirinya sebagai patih amangkubhumi Majapahit waktu itu sedang berada di puncak kejayaannya. Kedatangan rombongan patih Sunda ke Pakuwon Kepatihan Gajah Mada untuk melaporkan bahwa rombongan raja dan putri Sunda telah tiba di Bubat, menunjukkan bahwa Gajah Mada sejak awal memang menyetujui pernikahan Hayam Wuruk dengan Putri Sunda. Mungkin dalam pikiran Gajah Mada jika Majapahit dan Sunda dipersatukan dalam ikatan perkawinan justru akan lebih membawa kejayaan Majapahit, sebagaimana yang dicita-citakannya. Mungkin juga Gajah Mada hingga waktu itu tidak mengetahui adanya pertunangan antarkeluarga istana Majapahit untuk menikahkan Hayam Wuruk dengan Indudewi (Paduka Sori). Mungkin Gajah Mada terkejut mendapat perintah dari Krtawarddhana untuk membatalkan pernikahan Hayam Wuruk dengan Putri Sunda. Justru yang diharapkan Gajah Mada adalah putri Sunda itu sebagai permaisuri Hayam Wuruk, agar Majapahit dan Sunda bersatu. Gambaran kebimbangan dirinya dalam menghadapi situasi yang berada di luar kendalinya itu digambarkan secara baik lewat sosok Brajanata dalam kisah Panji Angréni. Perhatikan kutipan berikut:

Bradjanata berkata: ‘Nah, aku dapat perintah membunuh tuan’

Angreni dengan sangat minta pendjelasan mengapa. Djawab Bradjanata: ‘Baginda radja berpikir demikian: selama tuan hidup, Pandji tidak akan pernah mau kawin dengan puteri Kadiri. Itulah sebabnja tuan harus dibunuh’.

‘O, begitu’, djawab Angreni. ‘Tapi saja selalu berdoa, apabila sedang chusjuk sembahjang, semoga perkawinan suamiku dengan puteri Kadiri bisa berlangsung. Di dunia ini maupun di achirat kelak, aku tidak keberatan sesuatu apapun; dan kini ternjata bahwa hidupku mendjadi rintangan bagi perkawinannja itu. Djika demikian, wahai tuan pangeran, segeralah bunuh aku’.

Bradjanata: ‘Sekiranja mungkin, ingin aku menjembunjikan tuan sampai berlangsung perkawinan Pandji dengan puteri Kadiri. Kemudian aku akan katakan kepada Pandji bagaimana duduknja perkara, sehingga ia dapat membawa tuan kepada puteri Kadiri dan dengan demikian tuan dapat tinggal terus bersamanja’.

Angreni menangis dengan sedih, bukan karena takut mati, tapi kerena tjintanja jang besar kepada suaminja. Air mata meleleh di pipinja dan mengalir di atas dadanja. Disapunja air matanja itu dengan badju suaminja, jang dipakainja sebagai selendang. Achirnja ia bertanja kepada Bradjanata: ‘Katakanlah, dimanakah saudara tuan, suamiku, wahai pangeran? Aduhai, dimanakah engkau, suamiku jang tertjinta?’

Bradjanata mendjawab dengan bertjutjuran air mata: ‘Ia pergi ke Putjangan, dipanggil oleh bibinja. Sesudah itu aku mendapat perintah dari baginda radja untuk membunuh tuan’. Sambil mengeringkan air matanja Bradjanata meneruskan lagi: ‘Kalau aku tidak mengerdjakan perintah radja, aku akan kena kutukannja; dan aku takut kena kutukan’.

Setelah mengutjapkan beberapa kata perpisahan jang mengharukan kepada Pandji jang tidak hadir, ia pun berkata kepada Bradjanata: ‘Nah tuanku pangeran, ambillah njawaku, aku kuatir saudara tuan (Pandji) sudah dalam perdjalanan pulang’

Bradjanata segera memberi perintah kepada Kebotendas untuk mendjalankan hukuman itu; Angreni dikeris (Poerbatjaraka, 1968: 183—185).

Andaikata benar bahwa kisah Panji Angreni adalah representasi dari peristiwa gagalnya perkawinan Hayam Wuruk dengan Putri Sunda. Maka jelaslah bahwa Gajah Mada tidak bertanggung jawab atas meninggalnya puteri Sunda, ia hanya pejabat tinggi yang melaksanakan perintah raja. Ia tidak bermaksud menggagalkan perkawinan Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka, namun kedua orang tua Hayam Wuruk-lah yang menghendaki batalnya perkawinan itu, demi keutuhan keluarga istana Majapahit.

Demikianlah sejarah telah terjadi, peristiwa Bubat akhirnya pecah, Hayam Wuruk meratapi kematian Dyah Pitaloka, kemudian dia banyak melakukan perjalanan keliling Jawa Timur. Mungkin untuk menghibur hatinya yang terluka akibat tidak terkabul bersanding dengan putri Sunda. Hayam Wuruk menerima putri pilihan orang tuanya, yaitu Indudewi sepupunya, anak paman dan bibinya (Wijayarajasa dan Rajadewi Maharajasa). Dalam cerita Panji dinyatakan bahwa roh Angréni akhirnya memasuki tubuh Dewi Sekar Taji, sehingga kecantikan kedua putri itu menjadi satu. Oleh karena keindahannya bagaikan sinar bulan, Dewi Sekartaji selanjutnya dinamakan Candra Kirana. Uraian itu seakan-akan memberi legitimasi agar Hayam Wuruk tidak perlu bersedih, karena kecantikan Putri Sunda Dyah Pitaloka telah berpadu dengan Indudewi yang sekarang menjadi permaisurinya (Paduka Śori).

Gajah Mada sebagai abdi negara Majapahit mendapat getahnya sampai sekarang, ia selalu dihujat bahwa sebagai patih amangkubhumi Majapahit yang digjaya, di akhir kariernya justru kejeblos dalam peristiwa Bubat yang tidak populer itu. Bahkan menurut Kidung Sunda, Gajah Mada akhirnya dibenci oleh keluarga istana Majapahit karena telah menggagalkan pernikahan agung Rajasanagara. Akhir kehidupan Gajah Mada melenyap dalam uraian ketidakpastian karena ia malu dengan pecahnya tragedi Bubat. Gajah Mada dikagumi pada masa muda dan kejayaannya dalam berkarier, namun menjelang hari tuanya justru namanya tidak cemerlang lagi. Gajah Mada tak ubahnya diri kita yang juga manusia biasa.


PUSTAKA ACUAN

Hardjowardojo, Pitono, 1965. Pararaton. Djakarta: Bhratara.

Munandar, Agus Aris, 2009. Gajah Mada: Kuasa, Cita-cita, dan Prahara. Bogor: Akademia.

-------------, 2005. “Bingkai Sejarah yang Menjadi Acuan Kisah Panji”, makalah dalam Seminar Internasional Jawa Kuna: Mengenang Jasa-jasa Prof.Dr. P. J. Zoetmulder S. J. Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa Kuna. Diselenggarakan oleh Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok 8—9 Juli.

Noorduyn, J. & Teeuw, 2009. Tiga Pesona Sunda Kuno. Diterjemahkan oleh Hawé Setiawan, Tien Wartini dan Undang A.Darsa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Poerbatjaraka, R. M. Ng., 1968. Tjerita Pandji dalam Perbandingan. Diterdjemahkan oleh Zuber Usman dan H.B.Jassin. Djakarta: Gunung Agung.

*Makalah, disampaikan pada DIALOG BUDAYA SEKITAR PERANG BUBAT, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Bandung, Rabu, 21 Oktober 2009

(lihat pula warnaindonesia.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dictionary

Kontak Saya

NAMA:
EMAIL:
SUBJEK:
PESAN:
TULIS KODE INI: